Dulu waktu saya kecil, sama sekali tidak mempunyai mainan (dan memang tidak suka). Jika ditanya mau apa, saya pasti minta dibelikan buku. Atau setelah memulai koleksi perangko, saya selalu minta dibelikan perangko. Pernah juga hobi mengumpulkan gambar tempel (sticker) dan menulis pada list pesanan oleh-oleh waktu papa ke luar negeri dengan : “gambar temple“. Boneka Barbie-babie-an? no way … alat masak-masakan? ngga punya. Lalu apakah saya sebetulnya hobi yang mainan cowo seperti mobil-mobilan, tembak-tembakan dll? ya ngga juga. Benar-benar saya tidak ada kenangan punya mainan masa kecil.
Adik saya, Novi suka dengan boneka. Setelah besarpun kadang dia minta dibelikan boneka. (Dan dia memang telaten merawat bonekanya). Dan biasanya jika masa kecil memendam keinginan pada sesuatu, jika besar akan berusaha memenuhi keinginan itu (Masa kecil kurang bahagia gitchuuu). Setelah saya besar dan bisa membeli sendiri, mainan apa yang saya beli? Entah itu mainan atau bukan, jaman saya masih “kaya” (sekarang udah jatuh miskin gitu hihih) saya selalu membeli peralatan electronik. Mulai dari komputer, compo/stereo deck, (TV dan video deck ngga masuk itungan —abis ngga suka sih) , CD walkman, MD player, scanner, hand – copy machine, handheld PC, camera, digital recording, hand held TV(yang aku kasih ke papa) etc etc…. Pokoknya sudah bisa bikin kantor sendiri deh hehhehe. Tapi semua ada batasnya, karena produksi elektronik sekarang sudah tidak “invent” sesuatu yang baru lagi. Semua hanya perbaikan dari versi yang sudah ada.
Jadi semua barang elektroniks itu menurut saya adalah “mainan” saya. Sedangkan satu-satunya boneka yang saya beli dan saya anggap saya punya adalah “Ben”. Belinya sih untuk Riku, waktu itu Natal waktu dia berusia 2 tahun. Kami melewati Natal di jakarta, dan saya beli BEN ini untuk Riku. Yang ada, waktu dia terima boneka sebesar dia ini, dia menangis ketakutan hihihi. Ya sudah, untuk mamanya saja (Padahal emang pertamanya beli dengan tujuan mamanya bisa minjem hihihi). Sesudah BEN, tahun-tahun berikutnya saya pernah membeli TIGER nya Winnie the Pooh, juga sebesar Riku, dan karena tidak bisa masuk koper terpaksa saya tinggal di Jakarta. Waktu bulan Agustus kemarin, saya hampir membeli boneka Cheetah sebesar Riku juga yang dijual murah di PIM. Tapi karena waktu itu lagi ketemuan ENDAYORI, jadi malu juga kalau saya bawa-bawa boneka besar gitu. Dan kalah dengan Riku yang minta dibelikan mainan pokemon. So…. bagi saya sekarang, kalau ada uang dan keisengan, akan membeli dan mengumpulkan boneka fluffy binatang yang besar-besar, sambil bermimpi tidur dikelilingi those animals… bisa dijadiin guling deh hehehhe.
Lalu kenapa dulu waktu kecil tidak minta boneka fluffy begitu? Sejak kecil saya alergi debu/bulu… bersin-bersin terus. Dari SD saya harus disuntik alergi 3 hari sekali dan berlanjut terus sampai SMA. Jadi sedapat mungkin mainan yang menyerap debu tidak ada di rumah saya (selain alasan mahal tentunya hehehe). Sejak kekebalan hasil suntikan itu sedikit bermanfaat, masih ada hari-hari tanpa bersin. Tapi sejak saya datang ke Jepang, saya semakin jarang bersin-bersin. Mungkin udara juga mempengaruhi ya.
:::::::::::::::::
Sayang sekali Riku tidak suka boneka fluffy seperti itu. Dia memang lebih suka boneka plastik hero-heroan seperti Ultraman, atau pokemon, dan tidak memilih mobil-mobilan (udah puas kali yah hihihi). Sekarang dia suka mengumpulkan kartu Pokemon yang bisa dipakai untuk battle. Saya sebetulnya heran sekali dnegan sistem kartu-kartuan ini dan tidak melihat kesenangan apa yang didapat. Sama seperti kalau menonton film-film Amerika yang menunjukkan mereka mengumpulkan kartu-kartu pahlawan baseballnya. Dan Melati san selalu memanjakan Riku dengan membelikan kartu-kartu Pokemon, dan dengan sabar menemani dia bermain (terima kasih banyak loh Melati).
Setiap dia pergi ke toko konbini, selalu minta dibelikan mainan. Dan saya selalu bilang, boleh tapi yang harganya depannya angka satu (seratus gitu maksudnya) …. dan dia selalu merengek minta yang lebih besar dengan angka 3. Jadi saya bilang, boleh tapi untuk 3 hari tidak boleh beli mainan lagi. OK…. Dan yang dia beli selalu tentu saja perlengkapan Hero-hero dia, entah itu katana, atau mobilnya atau bentuk robotnya atau apa saja. Dan sebetulnya dalam satu kotak itu hanya ada lembar plastik yang masih harus di rakit dengan satu buah permen. Di Jepang disebut Pramodel yaitu singkatan dari Plastic Model Kit ( Plastic Model). Karena Riku belum bisa merakit sendiri, dia selalu menyuruh saya merakitkannya. Dan …. ternyata saya itu enjoy sekali hihihi.
:::::::::::::::::
Ternyata juga saya memang “boy” at heart. Merakit parts mainan itu satu demi satu sehingga terbentuk sebuah robot atau mobil atau apa saja. Kalau Tamiya (yang tentu lebih mahal) memang bagus tapi terlalu banyak parts sehingga perlu waktu yang lama, sedangkan mainan dalam box seharga 315 yen ini cukup beberapa menit saja. Dan hasilnya tidak mengecewakan. Saya selalu takjub dengan ketelitian produsen Jepang, karena sampai sticker yang harus ditempelkan di bagian-bagian bodynya begitu pas dan warna-warni.
:::::::::::::::::
Namun namanya anak-anak, dia tidak menghargai 315 yen + usaha ibunya merakit karena sebentar saja mainan itu sudah menjadi parts lagi yang akan masuk tempat sampah. (Saya jarang sekali membuang mainan Riku,lain dengan papanya… karena saya tidak suka jika mainan/milik saya dibuang, maka saya juga tidak akan membuang mainan Riku tanpa ijinnya. Jadilah rumah saya gudang mainan hehhehe)
Rakit merakit ini sudah saya tekuni sejak Riku berusia 2-3 tahun… dan saya tahu ada saatnya dimana Riku akan bisa merakit sendiri, dan saat itu mamanya hanya bisa gigit jari sambil lihat riku merakit hihihi. Ok deh, mamanya merakit rumah dari tahu saja ahhhh….. (secara saya suka rumah putih bergaya neo-classic)