Antara Pahlawan dan Uang

10 Nov

Rasanya aneh sekali ya judulnya. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa di Indonesia, tidak ada pahlawan yang kaya! Sampai sekarang aku masih selalu sedih melihat sebuah foto seorang mantan pejuang yang makan nasi bungkus sambil jongkok. Pasti teman-teman juga pernah melihat fotonya kan? Meskipun memang rasanya seberapapun uang yang kita bisa berikan kepada para pahlawan dapat mencukupi sebegai balasan atas jasa-jasa mereka. Dan tentu mereka juga tidak mengharapkan balasan apa-apa karena apa yang mereka lakukan adalah karena rasa kebangsaan mereka.

Tapi jika diperhatikan di negara manapun biasanya memasang foto wajah pahlawan/pemimpin negara/orang terkenalnya pada uang kertas atau uang logam mereka. Setiap hari kita dapat “bertemu” dengan pahlawan-pahlawan melalui gambar mereka di alat tukar tersebut. Nah, aku mau memperkenalkan salah satu “pahlawan” Jepang yang fotonya terdapat dalam uang kertas 1000 Yen, yaitu Noguchi Hideyo. Kebetulan kemarin tanggal 9 November adalah hari lahir Noguchi 135 tahun yang lalu.

Noguchi lahir dengan nama Seisaku (Noguchi adalah nama keluarga). Dia lahir di sebuah desa di Inawashiro, Fukushima. Waktu berusia 1,5 tahun dia jatuh ke perapian sehingga tangan kirinya luka parah sampai “jari-jari tangan kirinya habis”, dan tidak bisa disembuhkan karena tidak ada dokter. Baru waktu masuk SD, berkat bantuan guru dan teman-temannya, Noguchi menjalani operasi yang dapat menyembuhkannya sampai 70%. Kemudian dia bercita-cita menjadi dokter untuk membantu mereka yang membutuhkan, dan belajar di bawah dokter Watanabe Kanae yang mengoperasinya. Dia belajar di Nihon Ika Daigaku dan tahun 1897 dalam usia 20 dia boleh berpraktek sebagai dokter. Tahun 1898 dia mengganti namanya dari Seisaku menjadi Hideyo, hanya karena membaca sebuah novel tentang dokter yang kebetulan namanya sama, dan dalam cerita itu dokter Seisaku memang pandai tapi kemudian menjadi malas dan menghancuri kehidupannya sendiri.

Noguchi Hideyo kemudian terkenal sebagai bakteriologist  yang menemukan syphilis, treponema pallidum dan meninggal tahun 1928 di Gold Coast karena terjangkit yellow fever. (Padahal dia pergi ke Afrika ini untuk meneliti penyakit yellow fever ini dan membuktikan bahwa penyebab penyakit ini bukan virus tapi bakteri). Noguchi menerima berbagai penghargaan baik dari Jepang maupun dari luar negeri. Dan sebagai penghargaan juga, wajahnya diabadikan pada uang kertas nomimal 1000 yen yang diterbitkan tahun 2004.

Kebetulan hari ini adalah hari Pahlawan di Indonesia. Kebetulan juga kemarin adalah hari lahirnya Noguchi Hideyo, dan kebetulan lagi aku membaca posting sahabat blogger Nicamperenique yang berjudul Kadaluarsa. Jadi deh aku menulis postingan hari ini. Ya, aku mau memberitahukan juga bahwa semua uang kertas dan logam Jepang itu TIDAK ADA kedaluwarsanya. (Menurut KBBI penulisan yang benar kedaluwarsa). Tadi aku telepon ibu mertua untuk meyakinkan hal ini, (sebetulnya ingin bicara dengan bapak mertua karena bekerja di bank tapi belum pulang) dan ibu mertuaku mengatakan bahwa dia masih punya uang kertas yang bergambar Shotoku Taishi (nominal 10.000 yang terbit tahun 1958 -1986). Selain itu uang logam Jepang tidak pernah berubah-ubah desain dan gambarnya seperti di Indonesia. Samaaa terus 😀

 

Penghargaan

10 Nov

Tadinya saya tidak mau menulis sesuatu tentang Hari Pahlawan. Tahun lalu saya sempat membuat beberapa tulisan di sini dan di sini. Tapi tahun ini,  saya memang tidak tahu mau menulis apa di Hari Pahlawan. Mungkin saat ini bagi saya, selain orang tua yang selalu menjadi “pahlawan” di hati saya, pahlawan bagi saya masih bapak Watanabe yang saya ceritakan di sini. Sabtu dua minggu yang lalu, saya memberikan print out tulisanku di sini mengenai beliau, berikut komentarnya, semuanya 30 halaman. Saya titipkan pada Akemi san, untuk memberikan langsung padanya. Dan Jumat lalu, sebelum berangkat mengajar saya mengangkat telepon dari Watanabe san. Dia mengucapkan terima kasih atas tulisan saya. Dia terkejut katanya. Dan dalam kesempatan itu saya  juga sampaikan salam dari beberapa orang yang ingin mengirim surat langsung.

Pada tanggal 3 November lalu, Hari Kebudayaan Jepang, dan seperti biasa Kaisar Jepang memberikan penghargaan, medali kepada warga Jepang dan warga asing yang dianggap berjasa bagi Jepang. Memang banyak terdapat polemik di kalangan masyarakat Jepang sendiri mengenai pemberian penghargaan ini… tapi, aku melihatnya sebagai tanda bahwa Jepang pun masih menghargai warganya yang berusaha dan berjuang di bidangnya.

Sekedar informasi, Jepang memberikan penghargaan biasanya dua kali setahun, yaitu di musim semi dan di musim gugur. Musim gugur, biasanya diberikan di awal-awal November. Dan biasanya aku mendapatkan info dari bagian Pendidikan KBRI, Ibu Hikita bahwa hampir setiap tahun ada satu orang Indonesia menerima penghargaan. Dan tahun ini yang menerima penghargaan adalah Jacob Oetama (78), Pemimpin Umum Harian Kompas, Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia, dan seorang mantan anggota DPR.

Beliau menerima Bintang Jasa bernama The Order of The Rising Sun, Gold Rays with Neck Ribbon diberikan Pemerintah Jepang atas jasanya bagi peningkatan hubungan Jepang dan Indonesia. Oetama telah memberikan kontribusi bagi promosi pemahaman terhadap Jepang di Indonesia lewat keunikan berita di Harian Kompas dan keragaman aktivitas penerbitan melalui Kompas Media Grup.

Oetama juga dianggap telah memberikan penilaian tinggi pada makna Restorasi Meiji Jepang, dan sejak masa awal berdirinya Harian Kompas, dengan partisipasi dan kerjasamanya dalam beragam pertukaran intelektual dengan pihak terkait Jepang terutama di bidang jurnalisme dan budaya, memberikan kontribusi saling pengertian di antara kedua negara.

Jakob Oetama juga dengan aktif menawarkan Pusat Budaya (Bentara Budaya) yang dimiliki oleh perusahaannya sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan Jepang. Pada momentum yang sangat penting yaitu tahun peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang di tahun 2008, menjadi penyelenggara bersama kegiatan “Expo Indonesia Jepang 2008”. Kegiatan ini merupakan kegiatan peringatan berskala besar yang telah memberikan kontribusi bagi promosi saling pengertian dan hubungan persahabatan antara Jepang dan Indonesia.

Pemerintah Jepang telah menghargai orang Indonesia dalam usaha menjalin persahabatan dan kerja sama kedua negara. Dan sebetulnya diharapkan juga bahwa pemerintah Indonesia dapat memberikan penghargaan kepada warga Jepang yang memang telah bekerja untuk persahabatan kedua negara. Dalam percakapan saya dengan Hikita san tadi di telepon, dia menyebutkan nama  salah satu calon orang Jepang yang patut dihargai yaitu Ibu Ogura Mie. Beliau telah memberikan seluruh uangnya demi pendidikan di Indonesia, melalui yayasan Fukushi Tomo no Kai. Yayasan ini merupakan perkumpulan mantan prajurit Jepang di Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan dengan memberikan beasiswa bagi anak-anak Indonesia. Dan kegiatan ini sudah lama dia lakukan (kalau tidak salah info sekitar 15 tahun). Ogura Mie san sendiri telah menerima bintang penghargaan langsung dari Kaisar Jepang tanggal 13 Mei yang lalu.

Namun dengan rasa apatis, saya menyampaikan pada Hikita san…. masih banyak pahlawan kita yang belum dihargai oleh pemerintah sendiri, bagaimana kita mau mengharapkan pemerintah Indonesia menghargai orang asing yang telah banyak berbuat untuk hubungan kedua negara? ….  Apa memang sulit ya? Memberikan penghargaan bagi orang-orang yang memang telah berjasa? Entahlah….

sumber: dari sini

Bisakah orang asing disebut pahlawan?

12 Nov

Saya sekaligus mau menjawab komentar teman-teman atas tulisan saya yang Sebutan Itu…. Memang definisi pahlawan itu amat rancu, mulai dari yang paling sempit yaitu mereka yang angkat senjata dan berperang demi kemerdekaan, sampai pada orang-orang dekat kita yang berjasa dalam kehidupan kita. Kebetulan saya pernah membca tentang berita ini, dan kemarin Gen juga memberikan pada saya datanya.

Adalah seorang Endang Arifin yang menjadi pahlawan di Jepang. Tepatnya di prefektur Miyasaki. Ia meninggal tanggal 11 Agustus 2007 diseret ombak karena akan menolong dua murid SMP Jepang yang hanyut. Endang Arifin waktu itu adalah pemagang perikanan dan sedang berlibur di pantai itu. Meskipun dia tidak bisa berenang, dia langsung terjun ke laut dengan maksud untuk menyelamatkan ke dua anak tersebut. Keberanian Endang dihargai masyarakat di sana, dan untuk mengenangnya dibuatlah film yang berjudul “Mas Endang” yang telah diputar di Jakarta dan beberapa kota, dan akan diputar di Osaka dan 4 kota di Kyushu.

Anda bisa baca beritanya di sini.

Saya juga masih ingat sebuah peristiwa kecelakaan kereta api yang terjadi pada seorang mahasiswa Korea dan seorang kameraman. Mereka berdua turun ke rel kereta di stasiun untuk menolong seorang pemabuk yang jatuh. Sayangnya mereka terlambat naik kembali ke peron seletelah menyelamatkan orang ini, sehingga mereka tersambar kereta yang lewat. Mahasiswa Korea ini menjadi pahlawan bagi orang Jepang, dan setiap tahun dikenang peristiwa itu.

Pahlawan sebutan untuk orang yang meninggal? Ya biasanya memang begitu. Sepertinya janggal jika kita menyebutkan seseorang yang masih hidup sebagai pahlawan.  Penilaian orang memang berbeda-beda untuk menentukan seseorang itu layak disebut pahlawan atau tidak. Misalnya ada yang bertanya, lah kalau tidak bisa berenang, kenapa mau sok-sokan terjun ke laut untuk tolong orang segala? Yang pasti kalau ada seseorang yang mau mengorbankan nyawanya untuk orang lain tanpa pandang bulu, bisalah kita anggap dia sebagai pahlawan. Tidak perlu kita lihat apa kewarganegaraannya sehingga seorang warga Indonesia pun bisa menjadi pahlawan di negara lain.

Sebutan itu….

10 Nov

Pahlawan adalah sebuah sebutan yang ditujukan pada orang-orang yang berjasa dalam merebut kemerdekaan. Benarkah itu? Tentu saja benar, tapi mungkin artinya bisa lebih luas lagi. Kita lihat KKBI,

pah·la·wan n orang yg menonjol krn keberanian dan pengorbanannya dl membela kebenaran; pejuang yg gagah berani; ke·pah·la·wan·an n perihal sifat pahlawan (spt keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan)

Waktu saya ingin menulis sesuatu untuk menyambut hari Pahlawan, terus terang saya merasa sulit. Apa yang akan saya tulis? Meskipun saya suka sejarah, ternyata sejarah yang saya kuasai lebih banyak sejarah Jepang daripada sejarah Indonesia. Atau saya merasa “kurang informasi” mengenai sejarah pahlawan Indonesia sendiri. Putar otak dan memanfaatkan internet saya malah membaca bermacam-macam fakta yang membuat kening saya berkerut. Sampai Gen, suami saya berkata,”Mel, dengan muka kamu yang berlipat begitu, pasti tulisan kamu tidak akan menarik!”. Betul sekali… muka saya memang tidak pantas dilihat saat itu.

Berapa sih sebetulnya jumlah pahlawan Indonesia? seratus sekian? Dan lebih terkesiap jika Anda membaca komentar Daniel Mahendra di posting saya yang ini: Ajakan Merayakan Hari Pahlawan

Dan tahukah, Bung Tomo baru akan diberi gelar Pahlawan Nasional itu besok, pada 10 November 2008.

See?

Aduh…. benar-benar aduh! Saya cari di wikipedia tentang Pahlawan dan mencari dengan kata kunci Pahlawan. Terdapat daftar nama Pahlawan Indonesia, yang 138 orang, per 2006. Memang tidak ada nama Bung Tomo. Padahal? Ditetapkan tanggal 10 November itu apa coba dong alasannya? kok… loh… dong … dechhh ….. sih ……

cuma itu yang saya bisa katakan, sambil menahan emosi.

Sutomo (lahir di Surabaya 3 Oktober 1920, meninggal di Makkah, 7 Oktober 1981) lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Banyak yang ingin saya tulis…tapi daripada jadi ngalor ngidul saya hanya mau tanya tentang kata pahlawan itu sendiri. Siapa sih yang menentukan seseorang berhak dipanggil pahlawan? Apakah memang butuh waktu sekian lama untuk menentukan seseorang seperti Bung Tomo menyandang “gelar” Pahlawan (Yang tentunya bagi Bung Tomo sendiri gelar itu sendiri sekarang TIDAK penting!!!!). Dan mengapa kita sendiri bisa mengumbar sebutan pahlawan untuk siapa saja di sekitar kita, tetapi untuk mengakui orang yang benar-benar berjasa saja butuh waktu sekian lama? Saya tidak mempertanyakan keabsahan sebutan itu tapi kalau kita bisa menyebutkan orang tua kita sendiri sebagai pahlawan kita, (lihat posting mascayo )  atau kita bisa menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, atau yang paling aneh menurut saya Tenaga Kerja (Wanita) yang bekerja di luar negeri sebagai pahlawan devisa, masak sih masih banyak orang yang benar-benar berjuang di medan perang, tidak bisa kita panggil sebagai pahlawan? OK, saya mengerti bahwa kalau semua orang dinyatakan sebagai pahlawan akan penuh TMP kita…. tapi selayaknya kita, bangsa Indonesia, memikirkan tentang PAHLAWAN lebih dalam, jangan asal sebut saja, sehingga makna kata Pahlawan itu menjadi kabur. (meskipun dalam KBBI sendiri artinya amat sangat luas sekali).

Ilustrasi percakapan saya dan Gen di pagi hari tanggal 10 November ini:

“Gen …. Yasukuni Jinja itu tempat pahlawan Jepang?”
“Bukan…”
“Tapi kan selalu jadi polemik jika petinggi negara pergi ke sana”
“Kita diajarkan untuk tidak menganggap orang-orang yang di”kubur” di situ sebagai pahlawan”
“Loh… Jadi Pahlawan Jepang itu siapa?!
sambil tertawa, “Ichiro… (pemain base ball)”
“hmmm lalu orang-orang yang tergambar di uang kertas Jepang apakah bukan pahlawan?”
“Ya mereka Pahlawan….. Tapi bagi Jepang sekarang orang-orang yang aktif di dunia internasional sekarang adalah pahlawan”

Natsume Soseki (Satrawan), Fukuzawa Yukichi (Bapak Pendidikan), Shotoku Taishi (Pangeran yang membuat peraturan Jepang pertama kali di abad ke 7) dll.

“OK. Bisa dimengerti…. BTW Indonesia hari ini memperingati hari pahlawan. You know what? TKI aja dibilang pahlawan devisa”

“Understandable!. Indonesia perlu legenda. Sebanyak mungkin memberikan gelar pahlawan atau menyebut seseorang pahlawan untuk menyatukan negeri. Dan memang begitu kondisinya kan. Jepang dari awal tidak perlu pahlawan karena kita menganggap Jepang adalah negara kesatuan dari dulu (yang menurut saya tidaklah 100% benar). Tidak perlu ada istilah pahlawan. Tapi Indonesia perlu. Pahlawan sekarang justru yang sedang berkecimpung di dunia internasional dan mendapat pengakuan luar negeri.”

Hmmmm emang lain ya cara berpikirnya. Tapi soal pahlawan “sekarang” adalah orang-orang yang aktif mengharumkan nama negara di dunia internasional, itu saya amat sangat setuju. Jadi mari…kita berusaha menjadi pahlawan dengan mengharumkan nama bangsa kita. Maju!!!!! jangan melulu tinggal pada romantisme masa lalu. Baca posting pak Oemar tentang Yogi. Selayaknyalah kita berusaha memajukan Indonesia lewat bidang masing-masing. Atau paling sedikit menulis lewat blog Indonesia, seperti komentar DM.