The Princess and The Frog

6 Apr
The Princess and The Frog

Kemarin malam Kai memintaku untuk membacakan cerita “The Princess and The Frog” dari Disney yang diterjemahkan menjadi “Purinsesu to Mahou no kisu” プリンセスと魔法のキス sebelum tidur. Di sebelahku Riku sudah terlebih dahulu tidur. Anak itu paling mudah untuk tidur, begitu kepala menyentuh bantal… ZzzZZzz deh. Jadi aku mendongengkan Kai. Di situ aku tanya pada Kai,
“Kai tahu princess  artinya apa?”
“Ngga tau”
“Princess itu anak perempuan dari Raja (Oosama – ini dia sudah tahu).
Kalau anak laki-laki itu disebut Prince. Untuk Mama, Kai adalah Prince”
“Ihhh ngga mau…”
“Kenapa ngga mau? Riku juga prince. Jadi mama punya dua prince”
“eeeeee?? Riku prince?”
“Iya, Kai juga prince. Mau?”
” un (ya)”
” Kai prince…”
“Mama princess…” Duh aku kaget sekali… kok dia langsung tahu penggunaan kata princess.
“Waaah mama princess? Makasih Kai” Lalu aku cium Kai.
dan tahu reaksi dia? “Kero kero…(suara kodok)” … Ya ampun dia tahu bahwa prince itu menjadi kodok.

Saking gembiranya aku juga bilang pada Kai, “Mama princess cium prince jadi mama kodok yaaa (dalam cerita ini si prince tidak berubah menjadi manusia, malahan si princessnya jadi kodok juga)”
“kero-kero….Hahaha…” kami berdua tertawa…
Dan tadi pagi dia meloncat-loncat seperti kodok waktu aku panggil dia Kai prince.

Ada banyak kejadian yang menunjukkan Kai tiba saatnya untuk mengekspresikan semua yang dia tahu, semua yang selama ini dia lihat tapi belum bisa keluar dalam bentuk kata-kata. Dan aku berusaha menikmati perubahan ini.

Dan hari ini kedua prince ku pergi ke “sekolah”. Riku memulai hari pertamanya sebagai murid kelas dua SD. Dan dalam upacara penerimaan murid baru (kelas 1), dia harus mengucapkan kata sambutan pertama sebagai wakil kelas dua. Pendek memang, hanya mengucapkan “Adik-adik kelas satu…” kemudian akan dilanjutkan oleh murid lain. Tapi sebagai pemula, dia harus berbicara dengan lantang, supaya keseluruhannya dapat berjalan dengan baik.

Tadi dia pulang dan mengatakan bahwa dia dipuji oleh gurunya, karena berhasil berbicara dengan suara lantang.
“Tadi grogi?”
“Sedikit sih… tapi ngga papa tuh” (sasuga mama no ko – anak mama sih, jadi tidak grogian hehehe)

Selain memberikan sambutan kepada kelas satu, murid-murid kelas dua juga mempertunjukkan permainan harmonika sebagai penyambutan kepada kelas satu. Aku jadi teringat peristiwa satu tahun yang lalu. Saat itu Riku yang menjadi murid kelas satu, dan disambut oleh kakak kelasnya. Tadi juga waktu aku mengantar Kai ke penitipan sempat melihat ibu-ibu bersama anak-anak mereka yang baru masuk SD memakai kimono atau jas. Wah, satu tahun sudah berlalu sejak saat itu, dan Riku sekarang sudah kelas dua. Sudah menjadi kakak kelas, yang juga diberikan tanggung jawab untuk membimbing adik-adik kelasnya. (Aku senang dengan sistem SD di sini yang memberlakukan sistem mentoring, membimbing adik kelas sehingga mereka menjadi bertanggung jawab.)

Kai juga sudah menjadi “kakak kelas” , meskipun dia baru 2,5 tahun. Sebelumnya di penitipan (hoikuen– 保育園)dia masuk kelompok usagi (kelinci) yang diperuntukkan bagi anak-anak berumur 1-2 tahun. (Di bawahnya ada kelas hiyoko (anak ayam) yang diperuntukkan bagi anak berusia di bawah 1 tahun. Mulai tanggal 1 April Kai menjadi anggota kelompok zoo (gajah) yaitu untuk anak berusia 3 tahun ke atas (sampai dengan sebelum 6 tahun, usia masuk SD). Banyak orang tua yang keduanya bekerja, tidak memasukkan anak-anak mereka ke TK, karena jam belajar TK hanya sampai jam 2 atau kalaupun ada perpanjangan hanya sampai jam 5. Sedangkan kalau di penitipan bisa sampai jam 8 malam. Dulu akupun sebetulnya ingin agar Riku tetap di penitipan sampai usia SD, supaya aku bisa bekerja terus. Tapi karena Gen ingin anak-anaknya mengecap pendidikan di TK, jadi aku yang mengalah dan berhenti kerja malam (yang sebetulnya lebih banyak pekerjaan  mengajar di malam hari, hampir setiap hari biasa), dan memasukkan Riku ke TK waktu dia berusia 4 tahun.

TK di Jepang terdiri dari 3 tingkat, kelas nenshou 年少, anak berusia 3 tahun, kelas nenchuu 年中 mereka berusia 4 tahun dan nenchou 年長 yang berusia 5 tahun. Jadi Riku masuk dari pertengahan, di kelas nenchuu. Sedangkan Kai kami ingin memasukkan dia sejak dari nenshou, bulan April tahun depan. Memang lain ya mendidik anak kedua dengan anak pertama. Kelihatannya anak kedua lebih cepat pintar dan cepat beradaptasi, karena mengamati dan meniru kakaknya. Tadi pagi juga begitu aku bilang bahwa Kakak Riku sudah pergi ke sekolah, Kai juga ditunggu sensei… dia mau pergi ke penitipan meskipun dengan enggan. Jangan kalau dia tahu Riku ada di rumah, pasti tidak mau pergi dari rumah.

Well, mulai hari ini kesibukan di rumah kami pun mulai, meskipun aku sendiri baru mulai mengajar tanggal 16 April nanti. Itu sebagai Mama sensei… tapi “Mama Princess” nya Kai kerjanya sebagai upik abu setiap hari 24/7, tanpa libur. (Eh tapi mulai hari ini aku bisa bernafas lega sedikit waktu membersihkan rumah tidak ada dua unyil yang mengganggu. Dan bisa konsentrasi nulis deh seperti hari ini)

Princess and her prince

Mendongeng di Sekolah

21 Mei

Sudah sejak Riku berusia 1 tahun, kami biasakan untuk membacakan Picture Book sebelum tidur. Selalu bergantian, siapa saja yang bisa, saya atau Gen. Dan setelah berusia lewat 4 tahun, Riku yang memilih sendiri cerita mana yang ingin dia dengar. Hampir setiap malam, sampai Kai lahir.

Kai paling mudah untuk tidur. Cukup berikan botol susu dan kadang tanpa ditemani tidurpun, dia bisa tidur nyenyak. Tak ada cerita, tak ada lullaby. Sepi…. Sampai Gen menyayangkan kondisi ini. Terasa dingin, kurang ada hubungan batin antara Kai dan kami sebagai orang tua. Sementara Riku juga biasanya sudah tertidur sebelum Gen pulang kerja, atau saya sedang menidurkan Kai, memberi makan atau lain-lain. Kalau capek, Riku bisa tertidur sambil duduk di meja makan!

Tapi sejak Kai mulai berinteraksi dengan teman-teman di Himawari (penitipan anak) yang tentu saja salah satu kegiatan mereka adalah membaca Picture Book, Kai mulai menunjukkan minat pada buku. Tak jarang dia mengambil sendiri sebuah buku dan membalik-baliknya, tak jarang mengoceh sendiri dengan suara keras. Sebuah pemandangan yang jarang kami temui waktu Riku berusia sama dengan Kai, 1 tahun 10 bulan.

Dan akhir-akhir ini setiap malam terpaksa saya harus “berantem” dengan mereka. Karena Riku minta dibacakan “Iyaiyaenいやいやえん” sebuah buku yang sedikit gambarnya, sedangkan Kai minta dibacakan buku yang lebih banyak gambar khusus untuk usia 0-1-2 atau sebuah buku “Daiku to Oniroku だいくとおにろく” . Dan biasanya yang menang Kai, karena Riku langsung tertidur begitu kepalanya kena bantal. Jadilah saya mendongeng untuk Kai, berkali-kali sampai… terkadang saya yang duluan tertidur karena bosan.

Beberapa hari yang lalu, saya baru tahu bahwa setiap hari Kamis pukul 8:30 sampai 8:45 (pelajaran mulai pukul 8:50) di setiap kelas dari kelas 1 sampai 6, diadakan pembacaan buku cerita/mendongeng di SD nya Riku. Yang membacakan adalah orang tua murid yang tergabung dalam kelompok “Yomoccha Asa no kai”. Saya mengetahui tentang keberadaan kelompok ini, karena ada surat ajakan untuk ikut masuk ke dalam perkumpulan itu. Saya sebetulnya ingin sekali masuk ke kumpulan itu, tapi berhubung saya orang asing, pengucapan kalimat bahasa Jepang saya bisa mengacaukan pendidikan bahasa anak-anak sehingga saya mengurungkan diri. Tapi yang saya kagumi, pertama: sekolah memberikan waktu khusus untuk dipakai mendongeng di kelas. Dan kedua, orang tua sukarela meluangkan waktu untuk membacakan cerita. Karena tujuan membaca cerita itu amatlah bagus. Pasti ada manfaatnya bagi anak-anak di kemudian hari.

Selain acara rutin setiap pagi sebelum pelajaran pertama mulai, ada juga sebuah kegiatan lain dari PTA, yang juga mengumpulkan anak-anak setelah pulang sekolah pukul 3:30 sore di ruang serba guna, dan membacakan cerita. Selama 30 menit, murid bisa mendengar, melihat dan juga bertanya. Hari ini cerita yang dibacakan adalah mengenai “Curious George Goes to Hospital”… tentu saja versi bahasa Jepang.

Mendongeng… Saya sampai besar dan datang ke Jepang belum pernah mengalami “didongengi” selain oleh orang tua (baca: mama, pada waktu kami belum bisa membaca). Tapi di Jepang sering saya temui acara “mendongeng” yang disebut juga dengan yomikikase atau roudoku. Yomikikase biasanya audiencenya anak-anak, sedangkan roudoku pembacaan di atas panggung (mungkin bisa dibayangkan seperti pembacaan puisinya Rendra). Dan roudoku ini biasanya menampilkan artis kawakan yang penghayatannya juga bagus. Dan sekali lagi, roudoku bukan hanya konsumsi anak-anak! Hebat memang Jepang.

Saya hanya tahu kegiatan mendongeng di Indonesia diadakan oleh  Poetri Soehendro, announcer yang banyak membacakan cerita untuk anak-anak. Tapi selain dia, saya tidak tahu. Or saya juga tidak tahu seberapa “banyak”nya kegiatan mendongeng di Indonesia. Padahal, bekalnya hanya buku loh. Dan suara. Murah bukan? Dan dengan didongengi begini, daya imaginasi anak-anak bisa dipupuk, selain memperkaya pengetahuan.

Memang masyarakat Jepang tidak bisa lepas dari buku. Sejak anak-anak sampai dewasa. (Dan saya tak henti-hentinya mengatakan Indonesia harus meniru Jepang untuk yang ini)

NB: Sssst… Ada satu Picture Book, yang saya pribadi ingiiiin sekali beli. Berjudul, “Shakkuri Gaikotsu” terjemahan dari “Skeleton Hiccups” karangan Margery Cuyler、 S.D. Schindler. Masih mikir-mikir mau beli ngga soalnya harganya 1575 yen … cukup mahal untuk sebuah Picture Book.

Amazon.com
Skeletons are a little less scary when they have the hiccups. This particular skeleton can’t seem to shake them–not in the shower (nice fuzzy bat slippers!), not while brushing his teeth (woops! there goes the bottom jaw!), not while polishing his bones, carving a pumpkin, raking leaves, or even when playing baseball with his friend Ghost. Ghost, instead of Boo-ing! away his buddy’s hiccups right away as we might expect, advises Skeleton to hold his breath and eat some sugar and drink water upside down. When he finally does Boo! it still doesn’t work. But when Ghost finds a mirror and holds it up to Skeleton’s face, he sees his reflection and screams in fright! The hiccups jump away, hic, hic, hic. While it’s novel to see a skeleton eating sugar, drinking water, showering, etc., it may be tricky to find the right audience for this unusual picture book that’s more about hiccups than Halloween. (Ages 4 to 8) –Karin Snelson

Akhirnya aku dibelikan buku ini, yang bisa dibaca ceritanya di sini.