Dalam mempelajari bahasa Jepang, ada satu kata yang sering dipakai dan paduan katanya amat banyak. Kata ini mungkin akrab di telinga para karateka atau penggemar bela diri lain, seperti Kempo, Jujutsu, Aikido dll segala bela diri yang berasal dari Jepang. Kata itu adalah KI 気 atau kiai 気合 (bukan kyai ya….) Diterjemahkan sebagai “semangat” , sehingga biasanya setiap menyebut kata kiai itu, para karateka akan mengisi dadanya dengan udara dan mengeluarkannya dengan seruan “ahh” atau “ossh” apa saja, asal dengan bersemangat.
“Ki” ini lebih berarti semangat, sesuatu energi yang berasal dari dalam hati, yang bisa diatur dan dilatih oleh sang empunya raga. Bahasa Sansekretanya “Prana”, dan alangkah kagetnya saya juga menemukan arti “Nadi” dalam bahasa yang sama. Ki ga aru = ada hati, ada perasaan. Ki ga au = energi, semangat, perasaannya sama (klik, chemistrynya sama). Ki ga suru = merasa …. Atau dengan paduan kanji yang lain, ki juga membentuk kata “kimochi” 気持ち, yang berarti “perasaan”. Atau yang sering harus dihafalkan oleh murid bahasa Jepang adalah “ki wo tsukeru“, berhati-hati.
Mungkin memang perlu menjadi seorang “ki” (bahasa Indonesia) untuk menguasai seluruh pemakaian kata ki ini. Karena variannya begitu banyak dan artinya berbeda-beda tergantung dari paduannya pula. Tapi ada satu paduan kata yang ingin saya perkenalkan di sini, yaitu “ki ga kiku“, tanggap. Misalnya ada seseorang yang melihat bahwa taplak meja itu miring, dan langsung memperbaikinya, maka pada orang tersebut kita katakan, “Ki ga kikimasu ne”. “Anda cepat tanggap ya”. Dan orang yang mempunyai sifat seperti itu biasanya dikatakan kikubari ga ii、orang yang sensitif, memperhatikan hal kecil-kecil dan memikirkan orang lain. Dan terus terang, saya lebih banyak menemukan “kikubari” ini di Jepang.
Coba perhatikan bunga di atas. Apakah ada yang “istimewa” pada rangkaian bunga itu? Bunga Lily, mawar dan lainnya. Sekilas biasa saja, tapi jika diperhatikan, serbuk bunga berwarna kuning yang biasanya menempel di bunga Lily itu tidak ada. Serbuk bunga itu jika menempel di baju sesungguhnya sulit hilang, selain mengotori tempat jika serbuknya berjatuhan. Oleh si arranger bunga, serbuk itu sudah diambil terlebih dahulu, supaya tidak mengotori sekelilingnya. (Ternyata Gen tidak menyadari hal itu sehingga dia berhati-hati sekali membawa bunga itu di dalam kereta) Sedikit perhatian dari arranger itu membuat kita, konsumen merasa nyaman. Bunga itu didapat Gen, sesudah upacara wisuda di sebuah hotel. Oleh petugas hotel pun, karangan bunga besar-besar yang dikirim sebagai ucapan selamat ke hotel, dilepas dari rangkaian, dibungkus satu per satu dan dibagikan kepada semua orang yang datang atau mau menerimanya. Pernah lihat karangan bunga di tempat-tempat upacara bukan? Sesudah acara biasanya bunga akan dibuang begitu saja, atau ibu-ibu Indonesia (aduh kok sinis begini ya?) akan berkerumun mengambili bunga yang disukai, menggundulinya dan meninggalkan begitu saja. Supaya tidak diperlakukan begitu (mencegah peperangan antar ibu hehhehe) petugas hotel sudah membaginya begitu acara selesai.
Memang perhatian arranger bunga yang membersihkan serbuk bunga sebelum dihias ini sekilas sepele. Tapi justru perhatian kecil-kecil yang sepele itu membuat konsumen merasa aman dan nyaman. Pasti banyak nada sumbang yang mengatakan, “Ahhh jangan berharap deh pelayanan di Indonesia bisa bagus”. Memang mungkin saya harus bermimpi untuk mendapatkan pelayanan prima di Indonesia. Tapi, mungkin sebelum kita mengharapkan “pelayanan servis” di Indonesia membaik, kita juga musti mengaca pada diri kita sendiri, sudahkah saya memberikan sedikit perhatian pada orang lain sekitar kita (selain menjalankan tugas kita sendiri tentunya)? Hal-hal yang mungkin luput dari perhatian orang lain, yang bisa mencerminkan bahwa kita adalah orang yang “kikubari ga ii”.
Saya pernah membaca sebuah tulisan, “Jangan bangga pada bangsa lain!”, tapi saya rasa kita perlu bangga pada sebuah tindakan universal yang baik, terlepas dari kebangsaan mana orang yang melakukannya itu berasal.