Tips

26 Agu

Semua orang pasti tahu apa itu tips. Meskipun banyak sebetulnya artinya, bisa berarti ujung, bisa berarti kiat/nasehat/info, tapi juga bisa berarti uang persenan/uang rokok/uang jajan.

Nah, sebelum saya menulis tentang tips di Jepang, baca dulu sebuah ilustrasi yang cukup “kena” di hati saya waktu saya membacanya.

Satu sore di sebuah mal, seorang anak berusia sekitar 8 tahun berlari kecil. Dengan baju agak ketinggalan mode, sandal jepit berlumur tanah, berbinar-binar senyumnya saat dia masuk ke sebuah counter es krim ternama.

Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia harus berjinjit di depan lemari kaca penyimpan es krim. Penampilannya yang agak lusuh jelas kontras dibanding lingkungan mal yg megah, mewah, indah dan harum.

“Mbak, Sunday cream berapa?” si bocah bertanya, sambil tetap berjinjit agar pramusaji dapat melihat sedikit kepalanya, yang rambutnya sudah lepek basah karena keringatnya berlari tadi.
“Sepuluh ribu!” yang ditanya menjawab.

Si bocah turun dari jinjitannya, lantas merogoh kantong celananya, menghitung recehan dan beberapa lembar ribuan lusuh miliknya.

Kemudian sigap cepat si bocah menjinjit lagi. “Mbak, kalo Plain cream yang itu berapa?”

Pramusaji mulai agak ketus, maklum di belakang pelanggan yang ingusan ini, masih banyak pelanggan “berduit” lain yang mengantri. “Sama aja, sepuluh ribu!” jawabnya.

Si bocah mulai menatap tangannya di atas kantong, seolah menebak berapa recehan dan ribuan yang tadi dimilikinya.
“Kalau banana split berapa, Mbak?”
“Delapan ribu!” ujar pramusaji itu sedikit menghardik tanpa senyum.

Berkembang kembali senyum si bocah, kali ini dengan binar mata bulatnya yang terlihat senang, “ya, itu aja Mbak, tolong 1 piring”. Kemudian si bocah menghitung kembali uangnya dan memberikan kepada pramusaji yang sepertinya sudah tak sabar itu.

Tidak lama kemudian sepiring banana split diberikan pada si bocah itu, dan pramusaji tidak lagi memikirkannya. Antrian pelanggan yang tampak lebih rapi dan berdandan trendi banyak sekali mengantri.

Detik berlalu menit, dan menit berlalu. Si bocah tak terlihat lagi dimejanya, Cuma bekas piringnya saja. Pramusaji tadi bergegas membersihkan sisa pelanggan lain. Termasuk piring bekas banana split bekas bocah tadi.

Bibirnya sedikit terbuka, matanya sedikit terbebalak. Ketika diangkatnya piring banana split bocah tadi, di baliknya ditemukan 2 recehan 500 rupiah dibungkus selembar seribuan.

Apakah ini?
Tips?
Terbungkus rapi sekali… rapi !

Terduduk si pramusaji tadi, di kursi bekas si bocah menghabiskan Banana splitnya. Ia tersadar, sebenarnya sang bocah tadi bisa saja Menikmati Plain Cream atau Sunday chocolate, tapi bocah itu mengorbankan keinginan pribadinya dengan maksud supaya bisa memberi tips kepada dirinya. Sisa penyesalan tersumbat di kerongkongannya. Disapu seluruh lantai dasar mall itu dengan matanya, tapi bocah itu tak tampak lagi.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2009/06/18/418/Di.Balik.Sepiring.Banana.Split

Menyentuh bukan? Mengingatkan kita, yang bekerja di bidang jasa/pelayanan agar tidak memandang penampilan pembeli dengan apa yang terlihat saja.

Saya tidak tahu siapa sih yang memulai kebiasaan memberikan tips atau persenan kepada pelayan/petugas yang telah melayani kita. Memang tips merupakan salah satu penghargaan si “pelanggan” terhadap “service” yang diterimanya. Tapi tidak semua dapat diekspresikan dengan uang, bukan? Kata terima kasih dan pujian yang tulus, sebetulnya sudah cukup karena toh sebetulnya pembeli sudah membayar apa yang sudah dibelinya.

Persoalan memberikan tips ini juga sering membuat saya pusing. Berapa sih sepantasnya saya memberikan tips kepada pelayan, yang jangan sampai dia tersinggung karena terlalu sedikit misalnya. Karena sejak kecil saya memperhatikan waktu bapak saya membayar, saya melihat berapa yang dia berikan untuk tips pelayan sebuah restoran misalnya. Besarnya tergantung pula pada “level” restoran itu, apakah hanya ber”level” rumah makan, atau restoran mahal yang eksklusif. Yang paling sering saya lihat memang, meninggalkan kembalian dari jumlah yang dibayarkan. (Dari segi kepraktisan memang malas rasanya menerima kembalian, apalagi kalau banyak koin nya)

Karena bapak saya juga sering ke luar negeri, saya juga tahu bahwa di Amerika atau negara Eropa, ada kebiasaan memberikan tips sebesar 10% dari apa yang sudah kita bayarkan. Hitungan ini yang kemudian saya pakai jika pergi ke luar negeri. Tapi ternyata, setiap negara punya hitungan dan kebiasaannya sendiri.

Misalnya waktu saya pergi ke Melbourne, saya sempat dimarahi adik saya yang tinggal d situ waktu itu, karena memberikan tips 10% dari yang saya harus bayarkan di sebuah restoran Vietnam. Katanya, “kamu merusak tatanan perburuhan di sini”. Jadi? saya harus membayar tips berapa? Katanya cukup 2-3 dolar saja. Hmmm….

sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche
sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche

Yang menarik juga pengalaman waktu menyewa mobil di Munchen sekitar akhir tahun 2001. Sudah sejak dari Jepang saya menghubungi Mr some-german-name lewat internet. Minta dijemput di bandara Munchen, untuk menuju Hersching, rumah kediaman adik saya waktu itu. Saya memakai jasa Mr itu selama 3 hari karena dia bisa berbahasa Inggris, dan mempunyai mobil besar yang bisa mengangkut 7 orang + koper.

Nah, yang menarik waktu saya akan membayar dengan credit card. Di situ tertera juga kolom “tips” selain dari harga yang saya harus bayarkan. Saya tinggal menuliskan berapa yang saya mau beri, lalu jumlahkan dan tanda tangan. Ow, praktis sekali. Jadi saya tidak usah menyediakan uang kecil terpisah.

Tapi, untung juga saya sempat menanyakan di bagian informasi airport Changi, waktu saya mendarat di Singapore dan akan bermalam di hotel di sana. Saya tanyakan berapa saya harus bayar tips untuk supir taxi, dan berapa untuk petugas hotel. Kemudian kembali saya ditanya, “Madam, kamu akan menginap di hotel mana?”
“Raffles”
“THE Raffles??? (hei… I ‘m on honeymoon you know! jangan pasang muka aneh gitu dong) well, kamu tidak usah memberikan tips pada petugas di sana, karena semua service dia sudah termasuk dalam bill hotel. ”
“Untuk bell boy juga?”
“Ya, tidak usah….” uhhh gini deh kalo katrok.
Jadi memang akhirnya saya tidak memberikan apa-apa kepada petugas hotel yang bersorban dan gagah-gagah itu. Tapi tetap saja rasanya tidak “nyaman” jika tidak memberikan tips.

Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban
Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban

Memang saya perhatikan juga kebanyakan restoran besar di Jakarta sekarang sudah menambahkan sekian persen (5% rasanya) di dalam tagihan makanan khusus untuk service. Nah, kalau saya sudah melihat tulisan itu, enak deh, tidak usah memberikan tips lagi.

Tapi memang paling enak menjadi turis di Jepang. Semua restoran, hotel, pelayanan jasa … SEMUA TIDAK MENERIMA TIPS. Jangan sekali-kali mencoba memberikan tips kepada supir taxi, pelayan toko/restoran di Jepang, karena biasanya kamu akan malu sendiri. Mereka akan kembalikan, dan menjawab, service sudah termasuk dalam barang/jasa yang dibayarkan. Tidak usah bersusah payah menghitung-hitung berapa tips yang patut diberikan. Bayar sesuai tagihan saja. (Oh ya, kebanyakan restoran di Jepang kita yang harus membawa tagihan bill ke kasir dan membayar sebelum keluar restoran. Sedikit sekali yang mau menerima bayaran di meja. Kecuali hotel internasional)

Lalu apakah orang Jepang memang sama sekali tidak memberikan tips? Kata beberapa murid saya, tentu saja ada yang memberikan tips jika menginap di hotel ala jepang “ryokan” yang pelayanannya memang bagus sekali (dan biasanya memang mahal). Diberikannya langsung pada pemilik ryokan tersebut. Atau pelanggan pria yang menggunakan jasa “pub/snack” memberikan pada host “Mama-san” (pemilik night club). Dan biasanya tips itu juga cukup besar jumlahnya. Tapi untuk kita yang “turis biasa-biasa” tidak perlu memikirkan tips di Jepang.

Nah, karena di Jepang tidak ada kebiasaan memberikan tips, biasanya orang Jepang yang ke Indonesia juga terbawa kebiasaan itu, tidak memberikan tips pada pelayanan yang diterima di tempat wisata/restoran di Indonesia. Sehingga terkenallah, “Orang Jepang Pelit!”. Meskipun bagi orang Jepang yang sudah sering ke luar negeri, mereka tahu kebiasaan memberikan tips ini. Dan biasanya mereka menaruh uang tips itu di atas bantal. Namanya saja Makurazeni 枕銭 まくらぜに (Makura = bantal, zeni = uang). Katanya itu untuk petugas yang membersihkan kamar. Hmmm memang orang Jepang jarang ada yang bisa memberikan langsung tips ala “salam tempel”.

Well, berapa pun yang kita berikan untuk tips pada jasa yang kita terima tentu saja akan diterima, asalkan kita juga memberinya dari hati bukan? Seperti si anak yang membeli Banana Split pada cerita di atas. Bagaimanapun Pelayan juga manusia!

Pesan

11 Des

Pesan tanpa melihat konteks kalimatnya bisa berarti macam-macam. Bisa “message”, bisa “reservation”, bisa “order”…..

“Hallo, Bisa bicara dengan Imelda tante?”
“Oh dia belum pulang”
“Bisa pesan tante”
“Bisa, mau apa? Teh panas, atau sirup, atau air putih?”
“#$&%&()’)”

(percakapan seorang teman dengan ibu saya….. so… bisa tahu kan darimana saya dapat sifat “iseng” itu?)

Menjelang Natal dan Tahun Baru, ibu rumah tangga di Jepang sibuuuuk sekali. Pesan Kue Natal untuk tanggal 24 Desember, pesan Ayam Goreng si Kolonel untuk tanggal 24 juga, membeli wine atau champagne (Dom Perignon? heheheh buat apa sih champagne semahal itu ya?) menghias rumah terutama untuk yang mempunyai anak kecil. Ntah kenapa Hari natal di Jepang itu identik dengan Strawberry Short Cake dan Ayam…. Menjelang natal susaaaaah sekali cari ayam hidup utuh maupun potongan terutama bagian paha. Atau…. kalau malas memasak sendiri di rumah, untuk yang belum mempunyai anak, sibuk memesan tempat di restoran atau hotel dengan gala dinner artis terkenal. Jangan deh cari ruangan kosong untuk buat party di hotel/restoran mulai tanggal 20 desember sampai akhir tahun… penuh! (dan booking harus dilakukan paling lambat setengah tahun sebelumnya).

Dan untuk mempersiapkan Tahun Baru, ibu RT itu akan memesan Osechi Ryori makanan khusus untuk tahun baru yang biasanya tertata indah dalam kotak bersusun. Makanan ini diwakili Ise Ebi, Udang Besar, kacang-kacangan, chestnut masak manis, kamaboko (bakso ikan), nimono (rebusan ubi taro, wortel, renkon, dan ayam) dll. Makanan osechi ini biasanya tahan lama karena paling sedikit untuk 3 hari (selama 3 hari, tgl 1-2-3 ibu rumah tangga diharapkan bisa libur memasak/menggunakan dapur ceritanya)

Osechi Ryori
Osechi Ryori

:::::::::::::::::::::::

Semua pesanan untuk Natal, biasanya akan diambil sendiri oleh si pemesan pada tanggal 24 siang/sore karena tanggal 24-25 bukan hari libur. Jadi pada tanggal 24 malam Anda bisa melihat banyak ibu/bapak yang menenteng tas berisi kue/ ayam pesanan mereka untuk disantap di rumah. Perlu diketahui tanggal 23 Desember adalah hari libur di Jepang, hari ulang tahun Kaisar. Sedangkan tanggal 25 Desember, waktu hampir di seluruh dunia merupakan hari libur nasional, di Jepang TIDAK libur. Menjawab pertanyaan Bang Hery, kenapa Natal tidak libur? Mungkin yang terbaik jawabannya adalah Jepang bukan negara yang berdasarkan agama, tidak menganut agama tertentu sebagai agama mayoritas, dan Jika mau dipikir agama Shinto memang tidak mempunyai Hari besar agama. Demikian pula dengan Buddha di Jepang (Waisak tidak dirayakan). Jadi Jepang secara “adil” tidak memperingati hari besar agama tertentu dan menjadikannya hari libur. Karena kondisi ini maka komunitas orang Indonesia beragama Kristen/Katolik di Jepang akan mengadakan misa natal pada hari Minggu terdekat atau tanggal 23 Desember yang hari peringatan Ultah Kaisar. So jangan heran kalau melihat satu negara Jepang masih bekerja di hari Natal. (They shoud see the film “Scrooge” hihihi)

Sedangkan untuk pesanan makanan untuk Tahun baru biasanya akan diantar ke rumah-rumah sampai dengan tanggal 30-31 Desember. Memang membuat osechi ryori sulit dan repot, meskipun saya pernah mencobanya…. lebih indah kalau membeli.

Yang membuat saya heran memang adalah perencanaan orang Jepang dalam mempersiapkan segala sesuatu. Pesan makanan-makanan itu sudah sejak awal Desember! Kayaknya kalau di Indonesia jarang ada acara pesan-memesan yang dilakukan secara serentak dimana-mana oleh semua toko, bahkan sampai toko akan mengirim DM (Direct Mail bukan Daniel Mahendra) segala ke rumah-rumah. Menerima pesanan untuk hari Natal! Mungkin di blogsphere ini hanya ibu Enny yang sudah repot-repot memesan atau mempersiapkan dari jauh hari. Mungkin juga orang Indonesia lebih senang memasak sendiri daripada membeli yang sudah jadi. Atau mungkin di Indonesia ada juga pesan memesan ini tapi sifatnya lebih individual, antar kenalan. Promosi juga tidak terlalu gembar-gembor seperti di Jepang. Segala sesuatunya harus dipesan dulu sebelumnya… kalau tidak???? tidak kebagian apa-apa.

Nah! di sini saya ingin menjelaskan juga hubungan antara “gadis single” dan “Natal”. Kalau diposting lalu saya menyinggung bahwa mereka pergi ke Jinja untuk berdoa …. 2 minggu sebelum Natal…. supaya enteng jodoh. Kenapa harus 2 minggu sebelum Natal? Dan mungkin kalau ada toko yang menyebarkan DM “Terima pesanan pacar untuk Natal Anda”, sudah dapat dipastikan pesanan akan membanjir (untung saja tidak ada karena akan menjadi masalah hukum di sini — jual beli manusia— hihihi)

Natal yang sebetulnya merupakan hari suci agama, bagi kaum muda Jepang identik dengan “Pacar” dan “Hotel”. Semua gadis yang belum mempunyai pacar, menjelang natal –sekitar oktober, november — akan berusaha mencari pacar. Kalau bisa giri-giri mepet awal desember begitu ada cowo yang disuka atau mendekat… caplok saja dulu. Cocok atau tidak urusan nanti, yang penting waktu natal ada pasangannya. Dan kebanyakan couple, pasangan tidak akan putus menjelang Natal. Saiaku 最悪 … worst! jika sampai putus sebelum natal (Putus-memutuskan aja ada hitung-hitungannya hihihi)

hotel

Karena… di hari natal- ok – christmas eve- Malam Natal, pasangan ini akan jalan-jalan, date berduaan. Makan malam berduaan… mungkin ke disneyland juga berduaan dan akhirnya ke hotel … Bed IN. Makanya perlu juga memesan hotel, atau kalau yang mahasiswa tidak ada uang untuk pesan hotel, ya …. bersihin kamarnya dan hias heheheh. Atau untuk karyawan muda/ kalau ada uang sedikit, ya pergi ke RABU HOTEL (bukan hotel yang bukanya hari rabu saja loh. Rabu ini ucapan bahasa Jepang untuk LOVE) cukup 2-3 jam saja hehehe. Hotel-hotel yang bisa dipakai jam-jam an ini beraneka ragam, ada yang murah dua jamnya kira-kira 5000 yen, sampai yang mewah dengan jacuzzi, karaoke dan water bed segala bisa sampai (wah ngga tahu jeh mungkin sampai 20.000 yen). (Keterangan ttg Rabu Hotel ini yang lengkap ada di majalah-majalah!!!! ada fotonya segala… kalau minat nanti saya beliin deh majalahnya hehhe **loh**). Tergantung juga letak hotelnya, biasanya hotel-hotel begini ada dekat stasiun… tapi stasiun pun ada macam-macam. Kalau stasiun terkenal seperti Shibuya, Aoyama, Harajuku dll sudah pasti lebih mahal, daripada stasiun di tempat yang kumuh.

Jadi bagi mereka Natal = cinta (pacaran) = seks jadinya. Memang tidak semua begini, masih ada banyak yang lebih suka berkumpul bersama teman-teman terdekat dan membuat home party , sedikit yang mau melewati Natal dengan keluarga. Tapi beginilah Natal menurut anak-anak muda di Jepang. Ironis bagi orang Indonesia, tapi tidak untuk mereka.  (Ayo… Melati san…. tambahkan cacian mu di komentar mengenai hal ini hihihi).

Oh ya, tambahan!!!! GEREJA yang tidak pernah penuh di hari Minggu biasa, akan PENUH SESAK oleh orang Jepang (yang bukan simpatisan = bukan beragama kristen loh) yang ingin tahu bagaimana misa natal itu. Tentu saja tidak apa-apa, bahkan saya sebagai umat senang sekali karena ada kemungkinan mereka “berminat” pada agama. Meskipun kadang kehadiran mereka sedikit mengganggu (yang biasanya bisa duduk jadinya harus berdiri). Tapi hei … di Indonesia juga begitu kan… ada juga umat Kristen Natal/Paskah atau Kristen KTP 😀 . Jadi apa bedanya dengan orang Jepang ini? …. Bedanya sesudah mengikuti misa mereka pergi ke…. hotel hihihihi.

Demikianlah hubungan gadis single, orang jepang, dengan Natal. Dilaporkan oleh Imelda yang sudah 16 tahun 22 tahun melihat “keanehan” ini dan tidak bisa berbuat apa-apa sambil terheran-heran.

So? Keluarga Miyashita sudah pesan-pesan belum? Berhubung saya orang Indonesia, ngga ada tuh acara pesan-pesanan. Kue Natal? gampang… bikin sendiri. Ayam? hmmm kalau bisa dapat Ayam utuh bisa masak ayam panggang yah… lalu makan pakai bumbu kecap hmmm yummy. Wine/champagne? belum beli hehehe. Mungkin saya akan masak macaroni schotel atau pastel tutup, kebiasaan keluarga Coutrier waktu Natal. Hotel/Gala dinner? wahhh kalau ini ngga deh … mahal hihihi. Mending saya yang nyanyi ya? hehhehe.  Osechi Ryori? Ngga usah bikin karena tahun ini kami berkabung (Omnya Gen meninggal) jadi sebetulnya kalau berkabung tidak boleh merayakan dengan mewah dan tidak boleh mengirim kartu tahun baru juga. Tapi yang pasti kami akan makan Toshikoshi soba (Mi tutup tahun) bersama di Yokohama.

Tapi… daripada mempersiapkan segala-segala yang bersifat material ini, bukankah lebih penting menyiapkan hati kita? (uuuh Imelda bisa religius juga hehhehe).

Silakan pakai saya!!

15 Okt

Sebelum tulis laporan trip to sendai, saya mau posting ini ah yang ringan-ringan dulu …. “Silakan pakai saya”…. saya ada di depan pintu masuk sebuah Hotel besar di Sendai bernama Koyo Grande Hotel. Kami sendiri sih tidak menginap di situ karena muahaaall.(Dan actually Gen ngga suka pada komposisi benda-benda seni yang ada di sana… kesannya kok malah jadi kampungan …katanya hihihi)  Yah kalo mau ngebayangi, tinggal dalam museum deh hehhehe.

Nah, si saya ini adalah

Alat Semir Sepatu otomatis.

Taruhlah kaki Anda di bawah bulu-bulu itu. Sepatu hitam di bulu hitam, dan sepatu coklat di bulu coklat. Tekan tombol “ON” dan goyangkan kaki Anda. Di jamin mengkilap deh….. Tapi tentu saja yang bisa pakai alat ini cuman yang bersepatu kulit. Kalau sepatu kets, sandal jepit dan sepatu sandal (hiiiii geli lah) apalagi safety shoes ( ada yang merasa ngga ya ) ya ngga bisa deh hihii.

Harga sekali pakai? GRATIS…. kapan saja bisa, sehari berapa kali juga OK…. cuman musti hati-hati nanti sepatunya bolong loh….

So? Semua di Jepang serba otomatis…tapi saya lebih senang yang tidka otomatis sebetulnya. Apalagi kalau ada seorang anak yang menawarkan untuk membersihkan sepatu kita…. mesipun masih bersih silakan dik. (meskipun dengan tidak tega, tapi kalau pikir dengan uang yang kita beri dia bisa membeli buku? harus ditega-tegain.