Bulan Tanpa Dewa

21 Okt

ini merupakan terjemahan dari nama bulan Oktober, yang bahasa Jepangnya adalah Kannazuki 神無月. Kalau melihat dari Kanjinya, langsung bisa mengetahui artinya yaitu bulan tanpa dewa. Dikatakan pada bulan Oktober ini, dewa-dewa dari seluruh Jinja (Kuil Shinto) di Jepang pergi ke Izumo Ooyashiro, Jinja “pusat” yang berada di prefektur Shimane. Jadi di Jinja-jinja selain Izumo jinja itu tidak ada dewanya. Kosong deh ….

Sehingga ada juga orang Jepang yang kritis dan pernah menulis di Yahoo Question begini, “Kalau dewa-dewa tidak ada di Jinja, buat apa kami pergi ke jinja untuk berdoa. Toh tidak ada dewanya, bagaimana bisa dikabulkan?” Hmmm benar juga teorinya ya. Meskipun bagi agamaku, Tuhan berada di dalam hatiku 😀

Nah, sudah tahu di Jinja tidak ada dewanya, yang aku heran kenapa cukup banyak matsuri (festival) diadakan di Jinja. Kalau tanggal 3 Okt, kami pergi ke Kuil Kitano, maka hari Minggu lalu (17 Oktober), kami bersepeda ke Kuil Hikawa (Hikawa Jinja) yang terletak dalam kompleks Taman Shakujii. Karena dari rumah kami terdengar suara ramai-ramai arak-arakan omikoshi (altar usung) . Riku dan Kai langsung ingin pergi ke Matsuri, jadi kami bersepeda ke sana sekaligus mengembalikan buku di perpustakaan. (Jalanannya cukup menanjak euy, padahal aku membonceng Kai sehingga menggeh-menggeh juga hehehe)

Omikoshi atau altar usung yang diarak-arak sekeliling Jinja

Seperti biasa, kami berdoa dulu di depan altar Jinja sesudah mencuci tangan di tempat cuci depan altar. Setelah itu kami mencoba minum teh hijau matcha yang biasa disajikan dalam upacara minum teh chanoyu. Teh Hijau matcha ini yang biasanya dibuat es krim, pahit tapi… manis. Nah loh bingung kan? Memang sebelum minum teh ini, sebaiknya makan kue manis atau dodol, sehingga waktu minum teh, tidak terlalu pahit. Untuk Kai, si pembuat teh membuat tehnya lebih encer dari biasanya. Dan Kai minum semua sampai habis.

Sesudah minum teh matcha itu, kami menonton pertunjukan taiko (gendang) yang dibawakan oleh perkumpulan anak-anak yang biasa berlatih di jinja itu. Aku selalu senang menonton pertunjukkan taiko. Adrenalin dipompa setiap hentakan dan dentuman gendang, belum lagi teriakan dan gaya mereka yang kakko ii …kereeeen. Pengen sekali deh belajar taiko, tapi aku ragu apa aku bisa. Sayangnya Riku sama sekali tidak menunjukkan apresiasi pada pertunjukan taiko itu. Dia bilang, “Mama…ribut, aku pergi ya…. ” Aku tahu dia tidak sabar untuk pergi mencari stand permainan dan… minta duit untuk itu hahaha.

Sementara Kai tetap bersamaku dan menonton pertunjukkan Taiko. Sayangnya, dia melihat seseorang yang membawa senapan, dan dia juga mau! Heran sekali deh, dia suka sekali main dengan senapan dan pistol-pistolan. Sepertinya dulu Riku tidak terlalu bermain dengan pistol deh.

Osakayaki, sejenis kue dengan isi daging dan sayuran (seperti okonomiyaki)

Dan tentu saja Gen melarangku membelikan senapan untuk Kai. Jadi deh Kai merajuk dan merengek, berteriak minta dibelikan. Jadi kami cepat-cepat pulang, selain juga kami merasa bahwa toko-toko yang ada di festival itu sedikit dan tidak menarik juga. Padahal kuil ini cukup besar untuk daerah ini. Aku juga sempat mendengar seorang ibu berkata harus mendaftarkan anaknya untuk upacara shichi-go-san (7-5-3) peringatan khusus untuk anak-anak yang biasanya dilakukan bukan November. Sayangnya untuk anak laki-laki hanya diadakan pada usia 5 tahun, jadi masih 2 tahun lagi untuk Kai. Saat itu anak-anak itu akan didoakan di kuil dan memakai kimono yang bagus. (sewa dari photo studio sih biasanya).

Oktober masih ada 10 hari lagi, tapi mungkin matsuri (festival) sudah tidak ada lagi karena kuil-kuil biasanya sibuk menyambut shichi-go-san. Dan tentu saja menyambut kembalinya dewa-dewa ke jinjanya masing-masing. 🙂

Miko san, asisten Kannushi, pendeta Shinto dalam upacara-upacara keagamaan.

Keterangan tentang Miko san 巫女さん bisa dibaca di sini.