15000

9 Feb

Ternyata 3 hari yang lalu, saya telah hidup di dunia ini selama 15.000 hari. Duuuh siapa sih yang mau hitung umur dengan hari? Biasanya memang satuan hari dipakai untuk menghitung usia bayi yang baru lahir. Mungkin kalau di Jepang berhenti sampai umur 100 hari, karena pada saat itu diadakan upacara makan pertama bagi bayi yang disebut Okuizome. Meskipun bapak mertua saya sempat menghitung sampai 365 hari waktu Riku lahir. Maklumlah cucu pertama. Tapi biasanya sesudah 100 hari, akan dipakai satuan bulan, ya paling tidak sampai umur 5 tahun. Di atas 5-6 tahun maka satuan waktu yang diperhatikan hanya tahun saja.

Saya menemukan satuan hari untuk usia kita hidup di dunia ini, dari gadget atau plugin yang disediakan platform Blogspot. Wah, Imelda selingkuh dari WordPress? Hmmm, tidak juga. Karena dari blog pertama saya yang dimulai April 2005 itu memakai blogspot. Saya memakai platform WordPress di domain pribadi saya ini belum genap setahun. Dan memang ada beberapa “kekurangan” yang saya rasakan pada WordPress, yang dimiliki oleh Blogspot. Salah satunya adalah Blogroll yang memberitahukan posting up-to-date dari blogroll kita. Memang di WordPress juga ada pluginnya, seperti yang saya pakai di sidebar sebelah kiri, namun tampilannya menurut saya tidak memuaskan dan kecepatan akses juga menjadi agak lambat. Karena itu saya memakai blogspot untuk live-blogroll saya (terus terang ikut-ikut pak Mars)

Kembali soal waktu penghitungan hari usia. Waktu hari ini saya mengisi tanggal lahir saya, dan kemudian pada tampilan tertera Anda sudah hidup selama 15.003 hari, membuat saya berpikir soal dimensi waktu ini. Betapa umur yang 41 tahun jika diganti menjadi satuan hari menjadi sedemikian banyak. Tapi kemudian saya berpikir, jika saya mati pada usia 80 tahun, berarti saat itu umur saya menjadi 30.000 hari saja. SAJA? ya saya pikir 30.000 hari itu sebetulnya tidaklah lama. Wong satu minggu yang 7 hari itu rasanya bisa cepat sekali kan?

Waktu saya bekerja sebagai announcer di Radio, satuan yang populer dipakai adalah detik. Misalnya saya tidak boleh tidak bicara atau tidak memasang musik atau BGM lebih dari 10 detik, karena akan dianggap sebagai kecelakaan kerja. Atau saya sering harus berbicara untuk iklan dalam hitungan 20-30 detik. Dalam waktu 20 detik itu Saya harus bisa menyampaikan pesan sponsor, dan biasanya terdiri dari 4-5 kalimat. Atau satu lembar A4, berisi 23 baris biasanya bisa dibaca dalam 2 setengah menit. Di Radio (dan televisi) satuan detik amat sangat berharga. (Kalau arbaito atau kerja part time di Jepang biasanya dihitung dalam satuan jam, kami yang di Radio dihitung dalam satuan detik!)

Dimensi waktu ini sangat terasa jika hidup di Jepang. Sudah ada 2 postingan saya mengenai ucapan minta maaf terlambat 2 menit dan 10 menit. Mungkin kalau di Indonesia yaaaahh segitu sih ngga usah minta maaf. (Mungkin malah diketawain — sama seperti waktu saya minta maaf kepada teman-teman sastra Jepang saya, dan mereka katakan “Duuuh melda, kamu tuh udah nipponjin (orang jepang) banget sih!”. Padahal kalau di Jepang, terlambat minta maaf saja menjadi masalah.

Jika terjadi gempa, saya akan langsung memasang televisi NHK, untuk mengetahui pusat gempa dan apakah ada tsunami. Biasanya dalam jangka waktu kurang dari 5 menit, sudah akan ada pengumuman, pukul sekian:sekian telah terjadi gempa berskala getar sekian dengan pusat gempa di bla-bla-bla. Jika gempa itu besar, di atas 6 Richter (7 skala Jepang) maka acara lain akan dihentikan dan khusus memberitakan gempa dan segala kerugiannya.

Tidak usah jauh-jauh, dimensi waktu itu juga dapat ditemukan dalam cerita Urashimatarou. Seorang pemuda yang menolong kura-kura, yang ternyata kura-kura itu adalah putri Raja Laut. Sebagai tanda terima kasih, Urashimataro ini diundang ke dasar lautan , dijamu dan “berlibur” di sana. Pada saat dia pulang, ternyata dia sudah hidup di laut selama ratusan tahun, ibunya dan orang yang dikenalnya sudah meninggal. Dan seketika dia yang tadinya muda menjadi tua.

Saya rasa cerita yang menekankan dimensi waktu ini tidak ada dalam cerita dongeng Indonesia. Kalau ada, tolong saya diberitahu. Apakah ini juga menunjukkan bahwa orang Indonesia memang tidak mempunyai kepekaan terhadap waktu? Dan akhirnya jadi tidak menghargai waktu yang ada? Memang kalau menelaah dari musim, seperti yang dikatakan Watsuji Tetsuro dalam pemikiran Fuudo (iklim), sifat manusia ditentukan oleh iklim tempat tinggalnya. Jadi mereka yang tinggal di daerah tropis, memang ya begitu itu, rileks, tidak gigih dalam berjuang, karena memang iklimnya bersahabat.Kalau sudah begitu, memang saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sudah dari sononya hehhehe.

Satu lagi yang sering saya baca dalam cerita-cerita dongeng di Jepang, yaitu tokoh yang sering muncul pasti seorang kakek dan nenek dan bayi. “Mukashi mukashi aru tokoro ni Ojiisan to obaasan ga sundeimashita” “Dahulu kala tinggallah seorang kakek dan nenek…….”. Kemana sih orang yang selevel umurnya dengan orang-tua umumnya? Apakah ini suatu perlambang? tua dan muda. Saya jadi tergelitik untuk membaca kembali dongeng-dongeng Indonesia, apakah ada unsur usia, unsur waktu yang tersirat.

Huh, Maafkan saya jadi menulis melantur begini. Gara-gara angka 15.000 itu, pikiran saya melayang kemana-mana. Tapi yang pasti saya diingatkan lagi untuk menggunakan waktu sebaik mungkin, meskipun saya juga tidak mau terikat mati dengan waktu yang akan membuat saya menjadi parno. Hodo-hodoni (yang pas-pas saja).