Belajar (+Wisata) Lagi di Kyoto

24 Nov

Sepuluh hari yang lalu, tepatnya tgl 14-15 November aku pergi ke Kyoto. Sendiri, dalam arti tanpa anak-anak. Karena aku pergi ke sana bukan untuk berwisata, tapi untuk belajar. Lagi. Jadi mulai awal tahun lalu aku menjadi anggota sebuah Himpunan yang diberi nama Himpunan Peneliti Indonesia Seluruh Jepang atau dalam bahasa Jepangnya Nihon Indonesia Gakkai 日本インドネシア学会( untuk selanjutnya aku sebut Gakkai saja).

Sudah lama aku ingin masuk gakkai ini, tapi kesibukanku mengurus dua anak yang masih kecil membuatku mengurungkan niat. Kebetulan aku mendapatkan rekomendasi dari Funada Sensei untuk menjadi anggota (rupanya untuk menjadi anggota harus ada rekomendasi dari anggota lainnya). Dan gakkai ini mempunyai program sekali setahun yaitu berkumpul dan mengadakan kongres. Selain kongres, anggota yang bersedia bisa mempresentasikan (menyajikan) hasil penelitiannya di depan anggota lainnya. Kesempatan mempresentasikan makalah bisa menjadi nilai plus bagi peneliti untuk mendapatkan pengakuan akademis juga. Selain itu dengan adanya kongres, kita bisa bertatap muka dengan profesor-profesor peneliti tentang bahasa dan budaya (termasuk sejarah) Indonesia. Bisa bertemu dengan Prof Sasaki yang mengarang kamus bahasa Indonesia, yang baru pertama kali kutemui. Karena biasanya aku bertemu dengan istrinya yang juga dosen bahasa Indonesia. Prof Sato juga pengarang kamus. Ah, pokoknya orang-orang hebat semua! Kebanyakan anggotanya (seluruhnya sekitar 90 orang) memang orang Jepang, tapi ada juga mahasiswa pasca sarjana atau dosen orang Indonesia. Jadi semua yang hadir pasti bisa bahasa Indonesia dan bahasa Jepang!

Kalau mengikuti penyajian makalah-makalah  itu, aku jadi diingatkan asyiknya meneliti. Bermacam tema dihadirkan, mulai dari ahli bahasa Makassar Prof. Yamaguchi dari Universitas Setsunan. Ada makalah juga ahli bahasa Bali, bahasa prokem, atau sejarah Indonesia jaman penjajahan Jepang. Yang terakhir ini benar-benar mengingatkanku pada tahun-tahun aku sakit perut meneliti dokumen perang dengan bahasanya yang njlimet 😀 Memang seharusnya tema ini dikerjakan oleh orang Jepang sih hehehe. Kalau ditanya sekarang aku mau meneliti apa, lebih baik tidak melanjutkan thesisku deh…. lebih baik meneliti sosio-linguistik bahasa Indonesia atau sejarah kebudayaan. Tapi belum terpikir untuk mengambil S3 sih.

Perjalanan dimulai dari jumat sore, langsung setelah mengajar di univ S, ke stasiun Tokyo. Masih keburu untuk membeli bento makan malam di dalam shinkansen dan keluar stasiun untuk melihat night view… wisata malam sekitar stasiun Tokyo… udik deh, soalnya aku jarang keluar malam kan 😀

Well, kongres di Kyoto itu berlangsung siang hari tanggal 14 sampai sore, dilanjutkan dengan makan malam bersama. Kemudian keesokan harinya dimulai pukul 9 pagi sampai pukul 12. Aku bersama Funada sensei pergi ke Kyoto bersama Jumat sorenya, sehari sebelum pelaksanaan kongres. Tadinya aku sudah senang sekali berkesempatan memotret di Kyoto, tapi karena prakiraan cuaca menyebutkan hujan selama 3 hari, aku meninggalkan kamera DSLRku. Juga tidak membawa kamera pocket karena akan dipakai Gen waktu menonton pagelaran musik di SD. Sehingga kucukupkan memotret dengan iPhone saja.

Kiyomizudera di pagi hari dalam rintik hujan. Magis!

Pagi hari pukul 7, tanpa sarapan, kami sudah keluar menuju ke Kiyomizudera dalam hujan rintik. Karena aku membaca bahwa kuil-kuil di Kyoto buka mulai pukul 6. Pagi hari bukan halangan bagiku untuk bergerak, jadilah kami berdua pergi ke Kiyomizu. Rasanya aneh sekali berjalan menaiki Kiyomizudera dalam sepi, hanya satu dua wisatawan yang ada. Tapi memang jadinya pemandangan yang terhampar masih berkabut tipis dan sesekali kami harus memakai payung. Tapi keindahan kuil yang menyatu dengan alam dihiasi daun-daun yang mulai berwarna pertanda musim gugur dapat mengibur hati dan menambah semangat untuk menghadapi satu hari yang panjang.

Memang kalau ke Kyoto HARUS ke kiyomizudera. Ini merupakan kunjunganku ke sini yang ke 4 kalinya, tapi pertama kali dalam musim gugur. Keindahan 4 musim memang berbeda!

Tadinya kami berniat untuk pergi mencari ilumination malam harinya tapi acara makan malam tidak bisa ditinggalkan. Yang rencananya makan malam dari pukul 6 sampai 8 malam, berlanjut sampai jam 10 malam! Jadi kami bertekad mampir ke Heian Shrine keesokan harinya, sebelum acara gakkai mulai jam 9 pagi. Karena kami tahu Heian Shrine letaknya hanya 10 menit berjalan kaki dari Kyoto Career College of Foreign Languages, tempat gakkai diadakan.

Makan malam kami. Bawah Heian shrine

Kami juga tahu bahwa taman di shrine itu bagus, sehingga kami menyempatkan mengelilinginya, meskipun aku harus menggeret tas setelah cek out hotel. Waktu satu jam sebelum gakkai terasa pendek, tapi cukup memuaskan karena pemandangan yang indah di taman. Belum lagi waktu kami keluar dari kuil, sudah mulai banyak pengunjung yang datang, terutama keluarga yang membawa anak-anak berkimono. Karena pas hari itu memang ada perayaan shichigosan, mendoakan anak-anak usia 3-5-7 tahun.

Taman Heian Shrine. Duh nyesal tidak bawa kamera DSLRku karena di sini mulai cerah langitnya

Setelah gakkai selesai, kami makan siang dan langsung pergi ke Tofukuji, sebuah kuil yang letaknya berlawanan dan terkenal dengan pemandangan di musim gugur. Kami harus naik kereta dan berjalan cukup jauh dari stasiun. Terasa lebih jauh karena aku masih harus menggeret kereta, tapi tentu saja tangan satunya dipakai untuk memotret 😀 Dan waktu itu saja sudah cukup banyak wisatawan yang datang padahal warna-warna daun belum banyak yang berubah. Aku jamin pasti dua minggu lagi, wisatawan harus sabar antri untuk melihat dan memotret keindahan tamannya.

Tofukuji… cerah, banyak orang dan cukup panas! Kami hanya punya waktu satu jam di sini, karena sudah memesan shinkansen pulang jam 5

Mungkin inilah yang tepat dinamakan mencampur kegiatan bisnis akademis dengan wisata. Ingin rasanya aku kembali lagi ke Kyoto pada musim gugur tahun depan …tapi lebih larut dari tahun ini atau pada saat ada salju! Dan tentu tidak lupa membawa kameraku.

(SSttt aku masih punya laporan kunjungan ke Kyoto pada musim semi lalu yang belum sempat kutulis. Kyoto dengan sakura juga indah!)

 

Merintang Waktu

17 Nov

Bukan merentang waktu loh… tapi mengisi waktu luang dengan melakukan sesuatu. Atau bahasa Inggrisnya kill time.  Kebanyakan orang memilih untuk duduk di coffee shop atau cuci mata di dalam mall. Tapi aku dalam dua kesempatan memilih untuk berjalan-jalan di taman. Apalagi musim gugur, rasanya sayang untuk melewati cuaca bagus di dalam ruangan.

Hari Rabu yang lalu, aku mempunyai waktu 3 jam kosong sebelum mengajar malam. Aku memang harus pergi ke KBRI di daerah Meguro, sehingga aku mencari taman yang bisa dilihat di sekitar KBRI. Ada sih sebuah taman milik balai pengantin, tapi aku tahu daerahnya berbukit, dan agak melawan arah tujuanku setelah dari KBRI. Sebetulnya aku ingin pergi ke Teien Art  Museum yang baru saja dibuka setelah renovasi lama. TAPI ternyata setiap hari Rabu minggu ke2 dan ke 4 ditutup. Informasi itu sudah kuketahui sebelum pergi ke arah KBRI. Tapi toh kupikir mampir saja, siapa tahu bisa memotret bagian depannya saja. Ternyata… tidak terlihat apa-apa hehehe.

Nah kemudian aku melihat papan petunjuk bahwa di sebelahnya ada Taman Natural Education. Karena tanda masuknya cuma 300 yen, aku pikir coba saja masuk ke dalamnya. Di sini tidak tutup meskipun letaknya persis berdampingan. Bagaimana dalamnya?

Shizen Kyouiku-en

Well… seperti masuk dalam hutan belantara. Taman ini BUKAN taman buatan, sehingga tidak dengan sengaja ditanam bunga-bungaan. Isinya pepohonan atau bunga liar, atau tanaman sekitar rawa-rawa. Untuk penyuka bunga, tempat ini tidak aku sarankan. Tapi waktu aku memperlihatkan foto-foto kepada suamiku, dia langsung ingin pergi. Dia memang lebih suka yang alami daripada yang buatan.

Di situ setiap tanaman diberi nama, sehingga sangat menolong bagi yang mempelajari biologi. Aku bertemu dengan seorang mahasiswa yang sibuk mencatat dan memotret tumbuhan. Mungkin kalau dibandingkan semestinya taman ini setara dengan Kebun Raya Bogor, tapi menurutku KR Bogor juga masih lebih terlihat dibuat-buat. Jika kita berada di sini, tak akan menyangka bahwa taman itu berada di pusat kota. Dan memang taman ini luasnya 20 hektar!

rimbunnyaaaaaa

Tempat ini awalnya merupakan salah satu rumah (shimoyashiki) dari Matsudaira Yorishige dari clan Takamatsu. Pada jaman Meiji mejadi tempat penyimpanan amunisi angkatan laut dan darat Jepang. Baru pada tahun 1962 ditetapkan menjadi taman penelitian alam.

Lumayan ada tempat duduk di dalam sehingga aku bisa beristirahat di situ sebelum berjalan kembali ke pintu gerbang dan melanjutkan perjalanan ke KBRI.

Perjalanan “kill time” yang kedua, baru kemarin, tgl 16 November. Kebetulan aku ada waktu dari jam 2 sampai jam 5 sore. Tiga jam pasti bisa kupakai untuk jalan-jalan di dalam kota Tokyo, dan Gen menyarankan untuk pergi ke Taman Rikugien. Memang aku sudah lama mendengar tentang taman ini, tapi belum pernah kudatangi. Dan kebetulan temanku dari Radio InterFM dulu juga mau pergi bersama. Jadilah kami berdua berjalan dari stasiun Komagome ke taman Rikugien.

Taman Rikugien

Taman ini awalnya merupakan taman yang dibuat atas perintah Shogun Tokugawa Tsunayoshi. Meniru taman-taman dari Cina, dan diberi nama RIKUGIEN karena mempunyai 6 unsur yang diperlukan dalam membuat puisi. Pada jaman Meiji taman ini kepunyaan pendiri Mitsubishi yaitu keluarga Iwasaki. Tapi pada tahun 1938 keluarga memberikannya kepada pemerintah daerah Tokyo, dan sepuluh  tahun sesudahnya ditetapkan menjadi taman milik negara.

Taman ini memang taman buatan yang indah. Menempati areal seluas 87,809.41m2 taman ini juga mempunyai tempat berkumpul dan chaya (tempat minum teh). Tidak memerlukan waktu yang banyak untuk mengelilingi satu taman ini, sehingga aku dan temanku menyempatkan diri minum mattcha dan kue khas Jepang (seharga 500 yen) di balai-balai berwarna merah di samping kolam. Suasananya cocok sekali untuk merenung (dan melamun hehehe).

bebek dan teh mattcha

Karena waktu kami datang belum banyak daun yang memerah, kami berjanji untuk datang lagi di awal bulan Desember. Atau mencari lagi taman lain yang berada di dalam kota Tokyo, dan konon ada 20 taman yang cukup besar loh!

Beginilah caraku merintang waktu sekitar 3-4 jam kosong antara 2 pekerjaan. Kalau kamu punya waktu 3-4 jam kosong, bagaimana caramu menggunakannya?