Let It Go!

27 Jul

Tahu dong lagu ini ya? Yang pasti aku sudah muak dengan lagu ini karena memang sering diputar dan itu cukup lama diputar di media Jepang. Bukan itu saja, kalau pergi-pergian pasti bisa dengar deh anak-anak kecil nyanyi, “Ari no mama de~~~~” (Terjemahannya Let it go gitu deh)

Postingan ini memang aku tulis setelah aku tiba di Jakarta, dengan judul yang aku sudah tetapkan bahkan waktu aku masih melayang-layang di atas angkasa. Karena persiapan mudik bertepatan dengan akhir semester membuat aku pontang-panting menyelesaikan tugas-tugas sehingga tidak bisa menulis. Apalagi Tokyo sering aneh cuacanya, kadang hujan, kadang badai, kadang panas terik, sehingga cucian juga mengitu irama cuaca di luar. Sambil packing barang-barang yang mau dibawa dalam koper, aku memeriksa ujian mahasiswa. Sambil masak dan beberes. Hari Jumat akhirnya aku bisa menyerahkan daftar nilai ujian kepada biro akademik, dan menyelesaikan satu pekerjaan di studio.

Ada anak ngumpet di balik koper at Haneda Airport

Untung juga aku sempat mendaftarkan dua koper untuk diambil hari Kamis di rumah mengikuti program Hands Free Travel (Tebura) dari ANA yang mengambil koper dari rumah, dan mereka akan memasukkan bagasi cek in, sehingga kami tinggal mengambil dari conveyer di bandara tujuan. Sayang sekali kali ini aku tidak bisa bawa banyak barang, karena jatah koper per penumpang sudah ganti. Kalau dulu setiap penumpang (kelas ekonomi) bisa bawa dua koper max 23 kg, sekarang hanya bisa 1 koper max 23kg. Duh terasa benar pengaruhnya untukku, apalagi nanti kalau pulang dari Jakarta ke Tokyonya. Mana cukup 3 koper barang/oleh-oleh Indonesia untuk stock 1 tahun huhuhu. Dan untung sekali kopernya diambil hari Kamis pukul 4 sore, karena malam harinya hujan deras bercampur petir, halilintar, guruh dan guntur (ayoooo bisa bedakan ngga?) bersahutan di langit. Amat mengerikan. Dan aku sempat melihat petir jatuh sekitar 300 m dari apartmenku. Mati listrik semenit, sempat nyala kembali, tapi akhirnya mati listrik lebih dari 1 jam.

Jadi, aku masih punya jatah 1 koper yang akan kami bawa ke bandara sendiri. Karena bajuku, Riku dan Kai HARUS bisa masuk ke dalam 1 koper, aku harus atur benar-benar supaya tidak overweight. Selain membereskan koper, aku juga harus membereskan rumah karena akan aku tinggal 3 minggu, sehingga Gen tidak perlu membuang sampah atau menyalakan kompor lagi. Mengeluarkan pot listrik untuk air panas (lebih aman meskipun biaya listriknya lebih mahal daripada gas), juga meninggalkan uang tunai untuk membayar tagihan koran dan susu yang biasanya ditagih akhir bulan. Kerjaan emak-emak itu sangat banyak dan tidak ada kata selesai deh. Itu juga yang membuat aku tidak tidur semalaman, karena harus bangun jam 4, dan berangkat ke Haneda jam 5 pagi. Tapi untung saja ke Haneda bukan ke Narita, sehingga lebih cepat waktu tempuhnya.

Kami baru pertama kali memakai bandara Internasional Haneda. Agak bingung dengan pintu masuknya, tapi untung saja kami tidka perlu berputar-putar berkali-kali. Setelah parkir, kami menggeret koper masing-masing dan pergi ke counter cek in. Karena aku sudah punya boarding pass online, kami tinggal menaruh satu koper lagi di counter dan… cari sarapan. Bagus juga sih konsep interior di lantai atas untuk keberangkatan, bertemakan perkampungan Jepang dengan restoran dan toko khasnya. Bingung juga akan makan apa, karena restoran ramen sudah banyak antriannya, dan rasanya makan ramen untuk sarapan terlalu berat. Untung saja kami menemukan sebuah restoran Italia, yang kosong, dan menyediakan sarapan roti khas (seperti pizza) aku lupa namanya apa. Kami memesan untuk 4 orang dan rasanya enak! Tidak menyesal kami masuk ke restoran ini (tapi menyesal waktu melihat tagihan karena … muahal hahaha). Seperti biasa sih, kalau mama Imelda masuk toko yang sepi, pasti tak lama lagi tokonya jadi rame 😀 (kadang sebel juga loh punya “daya tarik” begini hihihi)

Karena sudah diwanti-wanti ground-staff bahwa boarding gate kami itu jauh, kami akhirnya berpisah dengan Gen pukul 9 pagi dan menyelesaikan imigrasi. Dan memang benar kami musti jalan jauh sekali, karena gate kami terletak paling ujung. Sambil menunggu aku menahan kantuk yang amat sangat. Dan dengan santai kami masuk pesawat paling belakang, karena sudah banyak orang yang berebutan untuk antri boarding. Banyak sekali keluarga dengan anak-anak mereka yang pasti akan melewati libur musim panasnya di Jakarta (atau kota lain). Biasanya mereka berebut ngantri masuk karena barang bawaannya banyak sehingga bisa “menjajah” kompartmen orang lain. Dan benar saja, waktu kami sampai di tempat duduk kami, bagian kompartmen atas tempat duduk sudah diisi koper milik orang lain, padahal jeleas-jelas itu bagian dari tiga nomor. Sabar…sabar… memang banyak orang Indonesia yang begitu 😀

Hampir semua WC yang kumasuki di Haneda memakai pintu lipat. Konsep yang bagus karena berarti cukup lebar untuk bisa masuk bersama koper bawaan. Ruginya jumlah bilik lebih sedikit. Tapi semua otomatis sih. Dalam pesawat ANA 787B yang baru pun semua alat dalam WC memakai sensor, sehingga kita tidak perlu memegang tuas flash/keran bekas orang lain pegang. Jadi semakin higienis

TAPI kesabaranku habis setelah pesawat lepas landas. You know lah, anak-anak di seluruh dunia itu pasti cerewet, ribut, pecicilan…TAPI seharusnya orang tuanya memperingatkan anak-anaknya agar tidak mengganggu orang lain. AKU selalu menegur anak-anakku kalau tindakan mereka, misalnya bersuara keras atau menendang kursi depan dll supaya mereka tidak melakukannya lagi. TAPI orang tua yang duduk di depanku sepertinya cuek saja dengan tingkah anaknya. Dua anak perempuan yang berteriak, bernyanyi keras-keras –tentu lagu LET IT GO–, atau menengok ke belakang (ke kami) dan memantau kami terus. Pernah saking tidak sukanya, aku membisiki Riku yang duduk di sebelahku, “Gimana kalau mama pasang tampang galak ya? Kaget kali ya? Kalau dia nangis mama pasang muka bengong aja” Dan Riku tertawa tergelak-gelak. Huh menyebalkan!

TAPI tingkah ke dua anak perempuan ini masih jauh lebih mendingan daripada tingkah anak lelaki yang duduk di sebelah kananku yang dibatasi lorong. Tadinya anak ini duduk di tengah antara bapak dan ibunya, dan entah kapan dia pindah. Aduuuuuh, anak ini kami namakan GAMER (Boy). Waktu antri boarding aku sudah melihat dia antri sambil main game dan ketinggalan jauh. Aku melihat rupanya ibunya berdiri di barisanku dua orang di depanku. Dan waktu si ibu mau masuk, dia menyerahkan dua lembar boarding pass, untuk dia dan anaknya, tapi anaknya tidak ada! Hahaha antara ingin ketawa dan ingin ikut memarahi si anak 😀 Makanya kalau punya anak  diperhatikan toh buuuu. Aku merasa bersyukur bahwa anakku (belum) tidak sampai segitunya bermain. Ohhhh seandainya menunjukkan gejala begitu? aku akan ambil itu DS, atau PS atau whatever it is, dan BANTING di depan si anak 😀 supaya dia tidak bisa pakai lagi. Jahat? Memang, tapi aku lebih baik menjadi ibu yang jahat daripada aku punya anak yang jahat 🙂 Aku sudah berusaha balancing memberikan mainan dan seharusnya anak-anak pun balancing antara bermain dan memperhatikan sekelilingnya, terutama menuruti perintah orang tuanya. Aku paling benci melihat orang tua yang mau saja diperintah anaknya 😀

Yang paling menjengkelkanku, anak GAMER itu bermain game terus sepanjang 7 jam perjalanan dan dia MENGUCAPKAN SEMUA TINDAKANNYA WAKTU BERMAIN. Kalau pistol ya dia bilang dor dor dor, mampus lu, eh ini gimana mainnya (sambil tanya ke papanya yang tentu saja tidak tahu), kiri kiri, kanan kanan….seperti reporter sepak bola dan suaranya keras! duuuuh kalau ada pistol kemarin itu mungkin aku sudah tembak deh. Dan herannya papa mamanya cuek beibeh, benar-benar membiarkan si anak bermain dan ribut begitu. Beberapa kali aku lihat ke anak itu dengan memancarkan mata marah supaya bapaknya menegur, eeeh si bapak tidak ngerti. Mau tegur langsung juga tidak enak, karena biasanya orang Jepang jarang sekali menegur langsung (sedangkan aku sudah seperti orang Jepang kan ~~~ uhuk uhuk). Benar-benar khawatir pada perkembangan anak-anak generasi sekarang jika orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan baik deh. Dan sedih dengan berkurangnya toleransi orang tua terhadap kenyamanan umum.

Dan sayup-sayup di bangku depanku, anak perempuan itu bernyanyi…”Let it go let it go~~~” Dan suara anak itu terasa jauh lebih menyejukkan hati. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku memasang headset (aku tidak suka pakai headset soalnya) dan pasang lagunya Billy Joel yang melantunkan “Honesty~~~” dan ikut bergumam… sayangnya aku tidak bisa nyanyi keras-keras untuk menandingi anak-anak itu. Biarlah aku dianggap kalah dengan anak-anak, asal aku masih santun 😀

Let it go~~~~~

 

12 Replies to “Let It Go!

  1. Mengenai gamer boy … Ada di depan saya …
    Saya kan pura-pura buru-buru … Menabraknya … Dan kalau bisa menginjak (seolah) tak sengaja mainannya.
    Masih belagu juga … Jitak …
    Bapaknya marah ? …selesaikan secara adat …hahaha

    Welcome home EM

    Salam saya
    (27/7 : 1)

    • waaaaah aku setuju banget!!! Tapi mas yang melakukannya ya, aku di belakang mas aja, bantuin jitak! hahaha.

      Bener deh gedek banget sama si gamer boy itu. Dan merasa kasihan nanti dia bagaimana kehidupannya ya?

  2. Hahaha…. Sabar… 🙂

    Jd serem nih kalo kita pulang Indo, si emma mana bisa betah ya. Dan dia suka nyanyi kenceng pula… Takut ntar ada yg sebel dengernya… Hahaha.

    • ok Emma memang suka nyanyi kenceng dan ngga betah. BUT at least kamu atau Esther kan pasti akan kasih warning, or punya muka “maaf sodara-sodara anak kami mengganggu” Nah si ortu dua anak itu kagak ada. Bener-bener bukan sifat orang Jepang, karena orang Jepang itu pasti TIDAK MAU MENGGANGGU KEPENTINGAN UMUM

  3. Duh jadi ikutan emosi bacanya! Walaupun aku termasuk org yg cuek (pake bgt), tapi aku setuju bgt kl sbg orang tua hrs bisa ngajarin anaknya supaya jgn mengganggu org lain (reminder to my self nanti kl udah pny anak). Btw, airportnya keren, org jepang emang kreatif deh! 🙂

  4. Hehehe…bacanya geli deh..
    Ara beberapa waktu lalu juga lagi seneng2nya lagu Let it Go….dimanapun berada nyanyi lagu tersebut….syukurlah sekarang sudah reda.

    Imel, memang beda sekali dengan anak-anak di Jepang ya…saya pernah naik trem di Toyohashi, seorang ibu sendirian bawa tiga anak, kira2 umur 10 tahun, 5 tahun dan 3 tahun…anak2nya tenang sekali, paling senyum sama penumpang lain.
    Kalau lagi naik pesawat memang sulit kalau duduknya dekat keluarga yang punya anak kecil, berdoa semoga anaknya tak rewel…kalau anak sehat dan aktif, mengganggu penumpang lain dengan obrolannya atau teriakan nya…sedang kalau kurang enak badan, bisa-bisa sepanjang perjalanan ada musik berupa tangisan. Tak ada kata lain…cuma harus sabaar.

  5. Suka sebel sama orang tua yg tdk care dg lingkungan spt itu.

    Btw sy pernah mengalami hal yg sama, dr washington ke indonesia transit dubai.
    Disekitar seat saya banyak pasangan muda india yg bawa anak2, sekitar 17 orang anak2 dan bayi.
    Satu nangis semuanya nangis. Anak2 jg begitu brisik sekali.
    Untung mrk turun di dubai ….. 🙁

  6. Selamat pulang ke rumah mbak EM, Riku dan Kai
    Kataatan dan perhatian kelingkungan sekitar dimulai dari pola asuh keluarga ya mbak, dududuh koq ortunya gak peka gangguan lingkungan.
    Tentang kompartemen, rasanya aturan 1 koper/tas kecil masuk kabin banyak dilanggar, yang masuk belakangan jadi nggak kebagian tempat.
    Salam hangat

  7. wuiiih, untung aku ga di sana. udah tak sate itu thuyul2
    aku juga kalo ga suka bocah2, tak penthelengi. *evil glare*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *