Ada Mutu Ada Harga

26 Okt

Tadinya aku mau menulis judul “Ada Rupa Ada Harga” seperti yang sering alm. mama katakan. Kalau mau bagus ya mestinya mau bayar mahal. Tapi rasanya itu bagaimana kita menilai barang, sedangkan yang ingin aku tuliskan di sini adalah lebih tentang jasa.

Ada seorang eksekutif Jepang yang akan pergi ke Indonesia. Tentu dia harus mengambil Visa on Arrival (VoA) di imigrasi Jakarta, waktu mendarat nanti. Harganya 25 dollar untuk 30 hari. Nah, dia ingin supaya tidak perlu mengantri untuk mengurus VoA ini karena dia dengar koleganya harus antri selama 2 jam untuk mendapatkan VoA. Dia tanya apakah tidak ada cara lain sehingga dia bisa masuk Indonesia tanpa harus mengantri begitu lama. Ya, aku tahu memang mengantri VoA itu amat menyebalkan. Karena aku harus menemani anak-anakku yang warga negara Jepang untuk mengurus visa mereka. Dan terakhir aku sempat murka! Karena kami disuruh bolak balik karena loket untuk VoA tidak buka. Kami disuruh ke antrian orang Indonesia, ada 2 orang asing di depanku dan kulihat petugas imigrasi menyuruh orang asing itu untuk kembali ke loket VoA. Tanpa penjelasan, dengan cara mengusir dengan melambaikan tangan seperti mengusir anjing ke arah belakang. Dan tiba giliranku, dia bilang: Tidak bisa mengurus VoA di sini bu, kami tidak punya alatnya. Lalu aku katakan, “Lah kenapa kami disuruh ke sini? Jangan begitu dong. Beri keterangan yang benar. Pakailah bahasa Inggris. Orang asing ini tidak tahu harus bagaimana kan?”

Akhirnya aku dengan suara keras mengatakan pada orang-orang asing di belakangku dalam bahasa Inggris dan Jepang untuk kembali ke loket VoA, dan antri….. Waktu kami kembali itu sudah panjang karena sudah ada pesawat lain yang mendarat 🙁 Duh menyebalkan sekali. Orang Jepang memang sabar, mereka tidak ngomel-ngomel seperti aku. Tapi bersamaan dengan itu, ada rombongan orang Italia dan mereka marah-marah karena mereka terlambat untuk naik pesawat lanjutan. Aku dengar mereka mengancam dan memaksa petugas Imigrasi mengganti tiket pesawat dan hotel mereka. RASAIN!!!

Ekskutif ini menanyakan apakah tidak ada Fast Line seperti di Thailand, karena di Thailand ada jalur khusus bagi mereka yang mau cepat dengan membayar biaya tambahan. Duh, setahuku memang tidak ada. Kalaupun mau bisa saja mengurus visa multiple di kedutaan besar RI sebelum berangkat. Tapi bukan visa biasa, sehingga biayanya 12.000 yen (1,2 juta). Waktu aku mendengar biaya itu aku langsung kaget: “Mahal! Soalnya waktu aku mengambil multiple visa untuk Jepang HANYA 6.000 yen. Apa standarnya sehingga KBRI menetapkan harga visa segitu ya?

Aku sendiri juga sering heran. Biaya legalisasi di KBRI Tokyo biayanya 1800 yen. Dan kalau aku browsing berapa harga legalisasi di KBRI negara-negara lain, aku mendapatkan angka yang berbeda-beda. Apa standarnya? Padahal yang mengurus legalisasi itu kebanyakan warga negara Indonesia sendiri loh. Aku baca keluhan mahasiswa di luar negeri lain (Eropa) yang harus membayar mahal untuk legalisasi ijazah. Belum pernah aku bayar surat-surat di pemerintah daerah di sini lebih dari 300 yen! Mungkin ada pegawai Deplu yang bisa menjelaskan standar penentuan harga yang kadang tidak masuk akal.

vending machine di KBRI Tokyo

Tapi ada satu perubahan yang kurasa bagus pada pelayanan imigrasi dan konsuler di KBRI Tokyo sekarang, yaitu pembayaran dilakukan bukan di loket lagi, tapi dengan membeli “karcis” di vending machine sesuai dengan keperluannya apa. Jadi misalnya mengurus legalisasi 1800, kami disuruh membeli tiket no 33 seharga 1800. Masukkan uang ke mesin dan kami mendapat struk. Serahkan struk dan setelah berkas selesai, kami akan mendapat kwitansi. Sistem vending machine ini memang banyak dipakai di kantor-kantor pemerintah, sekolah dan universitas untuk mengatur pembiayaan surat-surat yang diperlukan. Dengan demikian tidak ada lagi uang “di bawah meja” dan semuanya terekam otomatis oleh mesin tersebut. Inginnya sih mesin seperti itu ada juga di kantor-kantor kelurahan di Indonesia ya…. hehehe.

Ah ya, ada satu curhat lagi mengenai “jasa” ini. Aku melihat suatu kecenderungan negatif di Jepang, yaitu mengenai harga pasaran atau souba 相場 penerjemah. Semakin lama harga pasaran semakin rendah. Banyak perusahaan yang mencari penerjemah semurah-murahnya, dan aku sering menemukan hasil terjemahan yang begitu amburadul. Sepertinya  si penerjemah memakai google translator dan memindahkannya semua plek plek secara harafiah. Masih mending kalau perusahaan itu membayar mahasiswa yang baru 2-3 tahun tinggal di Jepang.  Langsung ketahuan kok dari hasilnya siapa yang menerjemahkan. Inilah yang kumaksud dengan ada mutu ada harga. Kalau mau membayar sedikit, ya silakan puas dengan hasil yang tidak bagus. Apalagi kalau mau gratisan? ya siap-siap saja menerima klaim atau dituntut karena salah translasi hehehe.

Jadi? Aku masih harus mencari cara supaya si Eksekutif Jepang itu bisa tidak menunggu lama di imigrasi mengurus VoA.  Pernah dengar? Aku sih cenderung menyuruh si Eksekutif untuk antri dan merasakan yah begitulah Indonesia 😀 Cuma memang aku ikut malu sih, soalnya kalau aku mendarat dan di imigrasi Jepang, tidak sampai 10 menit (termasuk antri) udah selesai 😀 Loketnya puluhan bo…. begitu dilihat banyak orang langsung dibuka semua.

Gembel

26 Okt

Dalam tulisanku di Menggenapi 21 tahun di Edo Castle, banyak yang merasa heran, memangnya di Tokyo ada gembel? Dan ya, di setiap negara, di mana saja di dunia ini sebetulnya ada gembel, gelandangan, atau yang disebut homeless di Jepang. Masalahnya terlihat atau tidak, atau lebih dalam lagi apakah kita mau melihat atau tidak.

Homeless adalah mereka yang tidak punya rumah yang tetap sehingga membuat tempat tinggal di jalan, taman, bantaran sungai, sarana umum seperti stasiun dan lain-lain. Dahulu mereka dinamakan furosha 浮浪者, tapi karena kata ini mengandung prejudice atau henken 偏見 kata ini tidak dipakai lagi. Kata homeless kesannya lebih manusiawi, “tidak punya rumah”. 

Aku tidak meneliti tentang homeless, tapi sekedar memberikan informasi dari apa yang kudapat di internet saja dalam tulisan kali ini. Homeless memang membuat pusing pemerintah daerah. Dan pemerintah pun sampai merasa perlu untuk meneliti, mengadakan survey tentang homeless di seluruh negeri Jepang. Maksudnya tentu untuk menghapus keberadaan homeless di dalam kota, yang “mengotori” pemandangan. Apalagi tahun 2020 nanti olimpiade akan diadakan di Tokyo, jadi Tokyo tentu harus banyak bebenah, membersihkan dirinya.

Dalam lembar laporan “Kondisi Homeles tahun 2012” diketahui bahwa jumlah homeless di seluruh negeri sejumlah 9576 orang. Tapi jumlah ini jauuuh lebih sedikit daripada jumlah tahun 2008 yang 16.018 orang. Di Tokyo sendiri jumlahnya 2368 orang, berkurang 304 orang dari tahun sebelumnya. Dari jumlah homeless itu, mereka terbanyak menempati bantaran sungai, kemudian taman kota. Sumber :  Ministry of Health, Labour and Welfare http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r98520000027ptf.html

Homeless yang tinggal di bawah jembatan. Foto diambil oleh seorang pastor

Survey ini diadakan untuk mengurangi jumlah homeless dan terlihat dalam 5 tahun sudah terlihat penurunan yang signifikan. Hal ini diperkirakan akibat peningkatan kebijakan pencegahan pertambahan homeless dan peningkatan penerima tunjangan hidup dari pemerintah atau yang disebut dengan seikatsu hogo 生活保護. Seikatsu hogo ini merupakan suatu program pemerintah yang memberikan jumlah tertentu untuk kehidupan sehari-hari. Tapi syaratnya orang tersebut memang tidak bisa bekerja. Jika sudah bekerja maka tidak bisa lagi menerima tunjangan tersebut. Ini memang cocok sekali dengan “dipelihara negara”. Aku sendiri pernah bertemu dengan seorang supir taxi yang sebelumnya dia adalah penerima tunjangan pemerintah ini. Jadi memang warga dibantu untuk bisa berdikari, dan selama mencari kerja itu mereka dipelihara negara.

NAMUN akhir-akhir jumlah penerima seikatsu hogo ini semakin banyak dan mulai merepotkan negara. Tentu saja uang tunjangan ini asalnya juga dari pajak penduduk lainnya.

Tempelan peringatan di “rumah plastik” bahwa sampai dengan tanggal yang tertera, tempat itu harus dibersihkan. Berarti mereka harus pindah dari situ.

Jadi negara maju seperti Jepang pun, mempunyai banyak masalah sosial seperti homeless, seikatsu hogo, bahkan laju pertumbuhan kaum lansia. Mereka semua merupakan tanggung jawab generasi muda pekerja Jepang.