“Yah kok seribu yen? Inginnya sih 10.000 yen…. Eh tapi bercanda saja kok, Karena uang seribu-an itu lebih sering dipakai masyarakat kan? Dan saya satu-satunya ilmuwan yang gambarnya diabadikan pada uang kertas. Saya merasa tersanjung” demikian kata “robot” Noguchi Hideyo di Museum Noguchi, Aizu Wakamatsu.
Masih ingat tulisanku yang “Antara Pahlawan dan Uang”? Aku menceritakan tentang Noguchi Hideyo yang berulang tahun tanggal 9 November, salah satu “pahlawan” Jepang yang wajahnya diabadikan dalam uang kertas 1000 yen. Karena mau menulis tentang Noguchi ini, aku sempat browsing dan mencari keterangan tentang dia.
Noguchi lahir dengan nama Seisaku (Noguchi adalah nama keluarga). Dia lahir di sebuah desa di Inawashiro, Fukushima. Waktu berusia 1,5 tahun dia jatuh ke perapian sehingga tangan kirinya luka parah sampai “jari-jari tangan kirinya habis”, dan tidak bisa disembuhkan karena tidak ada dokter. Baru waktu masuk SD, berkat bantuan guru dan teman-temannya, Noguchi menjalani operasi yang dapat menyembuhkannya sampai 70%. Kemudian dia bercita-cita menjadi dokter untuk membantu mereka yang membutuhkan, dan belajar di bawah dokter Watanabe Kanae yang mengoperasinya. Dia belajar di Nihon Ika Daigaku dan tahun 1897 dalam usia 20 dia boleh berpraktek sebagai dokter. Tahun 1898 dia mengganti namanya dari Seisaku menjadi Hideyo, hanya karena membaca sebuah novel tentang dokter yang kebetulan namanya sama, dan dalam cerita itu dokter Seisaku memang pandai tapi kemudian menjadi malas dan menghancuri kehidupannya sendiri.
Karena itu waktu Gen mengajak kami pergi ke Museum Noguchi Hideyo di Aizu Wakamatsu, aku setuju sekali, dan ingin mengetahui lebih dalam mengenai Noguchi Hideyo, dan tentu saja supaya bisa kutuliskan di TE.
Setelah dari Tsurugajo Castle, kami menuju Inawashiro, sebuah danau yang cukup besar, nomor 4 terbesar di Jepang. Luasnya 103,32 km persegi dan kedalamannya 93 meter. Transparansi airnya mencapai angka 12-15. Terasa sekali udaranya lebih dingin daripada waktu di Tsurugajo Castle. Mungkin karena merupakan dataran yang luas, sehingga angin bertiup lebih terasa. Benar-benar dibuat menggigil. Yang pasti penunjuk temperatur di jalan tol menunjukkan 12 derajat + angin. Padahal aku tidak bawa jacket tebal… hiks.
Kami memang tidak sempat mampir di danaunya. Cuaca yang berubah-ubah juga tidak mendukung, dan kami ingin cepat-cepat masuk museum sebelum tutup. Kami juga belum makan siang karena salah jam waktu makan pagi, yaitu jam 11 di Tsurugajo Castle.
Museum Noguchi Hedeyo ini terletak di dekat beberapa tempat wisata. Dari luar terlihat kecil tapi waktu masuk…. kami bisa masuk ke halaman sebuah rumah yang cukup besar. Rumah tempat kelahiran Noguchi Hideyo. Di salah satu ruangan, diputar film sejarah hidup Noguchi Hideyo sepanjang 6 menit, tentu saja dengan kejadian dramatis, waktu Noguchi bayi jatuh ke perapian. Untung saja ada video ini, sehingga aku bisa lebih mengerti jalan ceritanya. Termasuk ketika teman-teman dan guru SD Noguchi saweran uang untuk membiayai operasi tangan Noguchi. Juga perjuangannya berjalan sejauh 12 km untuk bisa pergi ke SMP. Latar belakang ekonomi ini yang membuat Noguchi ingin mengabdi sebagai dokter.
Setelah melihat rumah asli, tapi sudah direnovasi dengan ditambahkannya atap besi yang melindungi atap dari salju, kami menuju jalan keluar yang merupakan rumah tambahan berisi diorama dokumen, barang-barang bersejarah dan cerita kehidupan Noguchi Hideyo. Dari situ aku juga tahu bahwa Noguchi Hideyo yang menjadikanNew York, Amerika sebagai base studi dan penelitiannya menikah dengan Mary Darziz, seorang keturunan Irlandia yang tinggal di New York, dan mereka tidak mempunyai anak.
Yang menarik di lantai 2 museum itu terdapat robot mirip Noguchi. Dan jika menekan sebuah tombol, akan keluar suara Noguchi mengenai suatu pertanyaan. Yang aku kurang teliti apakah benar itu suara Noguchi atau bukan. Tapi robotnya benar mirip dan yang mengagumkan, kelopak matanya berkedip sehingga menambah suasana real.
Kami tidak membeli apa-apa di museum ini, karena tidak ada yang menarik. Dan setelah dari museum ini kami makan di sebuah rumah makan di samping museum, yang menyajikan masakan dari daerah tersebut. Gen memesan satu set soba, dengan tempura natto dan bunga. Tempura bunga? Ya bunga krisan besar berwarna kuning diberi adonan tempura dan digoreng. rasanya? Tak ada rasa, karena itu makan dengan kecap asin.
Kami meninggalkan Aizu Wakamatsu pukul 4:30 sore, sesuai perkiraan yang jam 5, karena perjalanan pulang masih jauh! dan kami sempat terkena macet. Kami sampai di rumah di Tokyo pukul 10 malam. Satu hari yang panjang dan melelahkan, tapi puas karena bermanfaat.
Jalan-jalan di museum selain menambah ilmu, juga mengajarkan anak belajar dari “orang besar”. Saluuut…
Di Jepara hanya ada 1 musem, hehe… andai tinggal di kota besar….
tumben pertama….? Hehe..
wlo menggigil sekalipun tapi semangat plesirannya tetep tinggi ya mba 😀
ga bisa mbayangin nih klo pas plesir ke situ dan musim dingin, jangan2 aku cuma meringkuk di balik selimut neh hehehe *ngayal*
tapio klo makan yg anget2 pas banget ya
wong di sini nyari baso klo pas ujan dan dingin *halah makanan sing dibahas hihihi*
lho tempura bunga krisan?? wah krisan punya 2 kewargabungaan nih tanaman hias sekaligus tanaman pangan. melengkapi daftar bunga edible yah. Salam museum Jeng EM.
sama dengan orang kita yang doyan makan kembang pepaya dan kembang turi ya mbak Prih
Kue mamadoru? Kelihatannya enak tuh, Bu. Dari bahan apa ya bikinnya? 😀
Senangnya yang bisa plesiran. Hwehe. Pedesaan di Jepang bagus juga ya, Bu.
saya kagum dengan karakter orang2 jepang..
pertama kali baca tulisan mbak em tentang noguchi aku kagum sekali dengannya. pengabdiannya besar sekali ya. makanya tak heran kalau sampai dibuat museumnya. btw, rumahnya noguchi mengingatkanku pada film oshin hehe. rumah tradisional jepang memang seperti itu ya?
berkunjung sob..salam blogger
sukses selalu yah..:)
museum disana lebih banyak dikunjungi orang ya kak,terawat juga. itu patungnya bisa berkedip serem gak ya hihihi
blue dan kezedot hadir bu….
salam hangat dari blue
aku kirain itu hanya patung, ternyata robot ya… hmm.. kenapa sih orang Jepang terobsesi banget sama robot.. 😀
iya mbak Imelda, penasaran deh klo makan tempura di tmpt makan Jepang selalu anyep,,, ya makannya pake saus ya… tapi kenapa tepungnya nggak dikasih bumbu ya… just wondering… 😀
Terus terang saya sebagai orang yang jarang ke museum padahal di Indonesia banyak sekali museum. Saya hanya ke Monas,Musem Sudirman di Jogya, dan Museum TNI di TMII saja. Tapi di London pernah juga masuk museum 3 tempat.
Noguchi Hideyo kalah tinggi dengan jeng Imel ya?
“…sebelah kiri kue mamadoru oleh-oleh terkenal dari sini…”. Saya bingung cara menentukan kiri atau kanan sebuah gambar. Apakah dipandang dari yang melihat atau dari arah sana?
salam hangat dari Surabaya
aaahhh,, kenapa orang2 yang keren itu biasanya kecil2 yak? 😀 *teringat dengan BJ Habibie*
Waduh ternyata di Jepang bisa ada macet ya. 😯
Bisa, kalau pas weekend dan hari libur
EM
Selalu menyenangkan membaca informasi semcam ini a la mba EM^^
Terasa deh capeknya perjalanan itu..
Tapi, seperti yang Nechan katakan, manfaat dari perjalanan tersebut mampu menghapus segala lelah yang ditinggalkan.. Kalau anak-anak, kayaknya gak bakal merasakan, senang soalnya.. 🙂
apakah soba itu semacam baso? eh, kok namanya dibalik ya? 🙂
Saya iri deh dengan kebiasaan orang Jepang yang sangat memelihara museum, merawatnya , sehingga bisa menjadi tempat pembelajaran. Anak-anak bisa belajar banyak dari pergi ke museum…dan museum tetap terawat…dananya dari mana Imel? Jika hanya dari orang yang datang, mungkin tak cukup.
aku senangggg karena bisa TE bisa di buka di sini hihihih setelah satu tahun absen, nggak baca2. winter trip nih ceritanya. uihh natto…..kirai daaaa~ mimpi buruk klo denger trs inget yang satu ini :p (walaupun katanya menyehatkan). kue mamadoru itu kok mirip2 mooncake ya….
anw, akku senang neechannnn! aitakatta yoo…nihon no koto mo 😉