Jika kemarin aku sudah menulis tentang Tsurugajo Castle (istana dari han Aizu), maka untuk menulis tempat yang aku kunjungi setelah itu, aku harus menuliskan sedikit sejarah Jepang jaman Meiji awal, 1868-an.
Pada jaman sebelum Meiji, atau yang dikenal dengan jaman Tokugawa atau Edo (nama Tokyo waktu itu), Jepang dikuasai oleh Shogun dari keluarga Tokugawa dan menjadi pucuk pimpinan dari wilayah-wilayah yang disebut han, yang diketuai oleh seorang daimyo. Pada akhir kekuasaan Tokugawa, ada dua han yang melawan Tokugawa dan mendukung pemerintahan baru, yaitu Satsuma dan Chosu. Sedangkan han Aizu yang diketuai Matsudaira Katamori sebagai daimyo terakhir mendukung pemerintahan lama.
Pada perang antara pendukung Tokugawa dan pendukung pemerintahan baru yang disebut perang Boshin tahun 1868-1869 (yang berakhir dengan kekalahan Tokugawa), Aizu ikut bertempur dan sebagai pasukan cadangan dibuatlah pasukan yang diberi nama Byakkotai atau bisa diterjemahkan menjadi Kesatuan Macan Putih. Kesatuan ini terdiri dari 305 pemuda berusia 16-17 tahun yang terdiri dari anak-anak samurai dari han Aizu. Pada waktu terjadi pertarungan di Tonogahara, ada 20 anggota Byakkotai terpisah dan mundur ke bukit Iimori. Dari bukit Iimori ini, mereka bisa melihat ke arah kastil Tsurugajo dan terlihat kastil itu terbakar. Merasa kalah dan tidak bisa mempertahankan tuan mereka, prajurit muda ini kemudian melakukan bunuh diri di bukit tersebut. Tapi ada satu prajurit yang selamat (diselamatkan penduduk) bernama Iinuma Sadakichi yang kemudian setelah perang selesai pindah dan tinggal di Sendai. Karena pengakuan Iinuma inilah diketahui nasib 19 orang anggota Byakkotai yang bunuh diri ini. Untuk mengenang keberanian mereka di bukit Iimori ini dibangun tempat kenangan, monumen dan kuburan yang diberi nama Byakkotai Kinenkan (Byakkotai Memorial).
Dalam komplek ini terdapat puisi dari Matsudaira Katamori yang tertulis di batu peringatan yang bertuliskan: “Seseberapa banyaknya tangisan akan menghapus batu-batu ini, nama-nama mereka tidak pernah akan terhapuskan dari dunia”. Kagum akan keberanian dan kesetiaan pasukan Byakkotai, Benito Mussolini dari Italia mengirimkan sebuah patung batu dari Pompeii untuk didirikan dalam kompleks Memorial ini.
Setelah memarkirkan mobil, kami menuju Memorial dan di pintu masuknya kami mendapati sebuah tangga yang tinggi sekali. Sempat berpikir juga, apakah aku sanggup untuk naik ke sana. Tapi ternyata untuk turis penakut seperti aku, tersedia elevator sampai ke atas dengan membayar 250 yen. Jadi aku, Riku dan Kai naik elevator sedangkan Gen naik tangga. Sesampai di atas memang hanya monumen dan patung serta kuburan yang bisa dilihat. Bagi wisatawan yang tidak mengerti jalan cerita sejarah Byakkotai pasti menganggap tempat ini membosankan. Tapi buat mereka yang mengerti bisa merasakan dan membayangkan kegalauan anak-anak muda yang demi membela han dan tuannya, rela bunuh diri sendiri.
Dari bukit tempat memorial, kami menuju arah pulang sesuai dengan petunjuk yang ada. Dan kami menemui sebuah bangunan yang aneh. Semacam menara berwarna hitam. Kami diajak untuk mencoba masuk dan naik menara ini, dan merasakan keajaiban bangunan yang didirikan tahun 1796. Jika kita masuk dan menaiki tanjakan (bukan tangga) Aizu Sasaedo ini, kita akan bisa sampai atas, dan tanpa perlu kembali ke arah datang kita bisa turun ke bawah. Jadi waktu turun kita tidak akan pernah berpapasan dengan orang yang sedang naik. Memang menarik sekali bangunan kuno ini. Meskipun rasanya 400 yen cukup mahal sebagai tanda masuknya 😀
Tapi waktu kami meninggalkan Aizu Sasaedo dan akan berjalan pulang, kami menemukan sebuah kali kecil berarus deras dengan Jinja (tempat berdoa) dan pemandangan di sini indah! Tanahnya ditutupi daun-daun kuning sehingga kami bisa merasakan autumn yang sesungguhnya. Jepang Utara di musim dingin memang memikat.
Wow, praktis isi bangunan itu tangga semua ya Mba, jadi pengen liat 😀
cantik sekali itu tanah berselimutkan dedaunan berwarna kuning
seperti dikarpeti saja ….
mba, itu nurunin tangga? ke atasnya napak dong? ga sanggup deh kayaknya hehehe …
sama mbak ahahaha, bisa klepek2 duluan..
anak tangganya banyak sekali ya kak, lumayan pegel dong 🙂
wuih, kebayang kalu aku harus lewat tangga yg tinggi menjulang itu,
bisa2 copot dengkul ini ,Mbak EM 🙁
hehehehe…ketauan gak pernah olah raga 😛
salam
wah jadi sejarahnya seperti itu ya, sy belum pernah mendengar tentang Byakkotai ini, atau saya lagi nggak fokus ya pas lagi belajar tentang sejarah Jepang =”. terimakasih mbak, saya juga suka sekali pergi ke tempat2 bersejarah, seperti musem dan lain-lain.
Wow cantiknya autumn, pergantian warna daun dilanjutkan daun gugur. Salam
bunuh diri kayak gitu itu namanya senppuku apa senppuki ? tapi gg mungkin tanuki ya 😀
cantiknya :O daunnya warna kuning gitu 😀
Menurut saya, betapapun alasannya, bunuh diri adalah suatu tindakan melarikan diri dari kenyataan hidup. Semacam kepengecutan. 🙂
Wuih, gedung dengan tangga berulir itu bagus sekali, Bu.
“… yang memungkinkan kita tidak usah kembali untuk turun.”
Maksudnya apaan ya, Bu? 😀
jadi betul ya cerita di novel2 itu, tiap daerah itu punya pasukan dan penguasanya sendiri2 yang suka saling perang?
ckckck…tangganyaaaaa…
ngeliatnya aja udah jiper duluan…hihihi…
pas nyampe atas ada yang jualan teh botol gak mba?…hihihi…
Kalo di Indo mah pasti udah bakalan banyak yang dagang asongan di atasnya mba…hihihi…
Foto kalinya mana mbak EM? kok gak ada?
tapi emang serunya itu kalau kita naek jalan kaki yak, walaupun pasti capek bener, daripada naek lift dan gak menikmati sekitar kan,, hehehe
Melihat tempat bersejarah seperti ini perlu seorang guide, atau minimal ada semacam leaflet, sehingga pengunjung menikmati.
Memabaca ceritamu ini, saya merasakan bagaimana perang saat itu, dan bagaimana sedihnya kesatuan Macan Putih saat melihat kastil terbakar.
Ada cerita Jepang yang saya sukai, yaitu Mushashi (dulu pernah ditulis sebagai cerita bersambung di Kompas)…