When Geo met Desi

15 Sep

Setelah dari Bandung Coret, kami cepat-cepat menuju Bandung Pusat. ITB tepatnya. Tapi,……sekali lagi supirku tidak tahu jalan. Dan aku beruntung mempunyai GPS hidup di Bandung, yang tak lain adalah pak Lurahnya Bandung :D. Aku selalu memberitahukan posisiku dan Danny yang waktu itu sedang berada di bagian Bandung yang lain  menunjukkan arahnya. Sampai pada suatu saat, kok sepertinya kita kok cari jalannya menjauh. Lucu rasanya ketika sampai suatu jalan Danny bisa menyusul kami. Dan setelah itu aku lega deh karena pak supir tinggal ngekor di belakang mobilnya Danny saja. Karena waktu itu sudah menunjukkan pukul 4:30 an. Untung kedua bapak professor ini mau menunggu kedatanganku.

Sampailah kami di ITB, parkir dan aku ajak Danny ikut bertemu Pak Hendra Grandis (blognya bernama Oemar Bakrie)  dan Pak Nanang Puspito. Pak Hendra Grandis ini mantan blogger angkatan-angkatan awal (awalnya seberapa ya? yah sekitar th 2008-2009 an deh) yang cukup akrab dengan kami. Sedangkan Pak Nanang Puspito adalah temanku (teman di gereja dan karaoke :D) tahun 1995- an waktu Pak Nanang sedang belajar di Universitas Tokyo (eh bener ngga ya). Aku sendiri sudah pernah kopdar dengan pak Grandis, tapi Danny dan Pak Grandis yang sama-sama tinggal di Bandung belum pernah bertemu sama sekali. Jadi kesempatan deh. Apalagi aku berhasil menghubungi Catra Pratama yang juga sudah lama kukenal lewat blog, tapi belum pernah bertemu. Jadilah kami berempat bertemu di depan gedung GEODESI 😀

Menurut IAG (International Association Of Geodesy, 1979), Geodesi adalah Disiplin ilmu yang mempelajari tentang pengukuran dan perepresentasian dari Bumi dan benda-benda langit lainnya, termasuk medan gaya beratnya masing-masing, dalam ruang tiga dimensi yang berubah dengan waktu. Dalam bahasa yang berbeda, geodesi adalah cabang dari ilmu matematika terapan, yang dilakukan dengan cara melakukan pengukuran dan pengamatan untuk menentukan:  Posisi yang pasti dari titik-titik di muka bumi ; Ukuran dan luas dari sebagian besar muka bumi; Bentuk dan ukuran bumi serta variasi gaya berat bumi

Karena kedua dosen harus pulang ke keluarga masing-masing, kami pamit. Dan sebelum meninggalkan ITB itu aku, kai dan Catra sempat berfoto di depan gerbang. Well, setidaknya ada tanda bahwa sudah pernah ke sini hehehe.

Bertemu orang-orang pintar di ITB

Danny dan Catra ikut sampai ke hotel, karena kami berencana untuk buka bersama. Hotel yang kupilih kali ini adalah Golden Flower Hotel yang berada di jln Asia Afrika. Sebetulnya ingin sekali mencoba yang di Dago atau Ciumbuleuit tapi kok rasanya rugi menginap di hotel mahal berdua dengan Kai saja. Lagipula aku pesan hotelnya hanya satu hari sebelum hari menginap lewat agoda.com. Hotel ini lumayan lah meskipun kesannya gelap dan muter-muter untuk bisa ke liftnya (aku dapat kamar yang jauh dari lift). Dan untungnya mereka juga punya kamar untuk supir dengan harga yang reasonable.

Karena kami sampai di hotel pas waktu buka, Danny dan Catra membatalkan puasanya di lobby hotel dengan tajil yang beraneka ragam. Nah, setelah cek in, aku menghubungi seorang lagi yang ingin kutemui di Bandung. Tidak lain dan tidak bukan adalah Guru Menulis yang kerap kupanggil pak EWA.Pak Ersis Warmansyah Abbas sudah lama kukenal sejak awal menulis juga, dan diperkenalkan temanku di Kumamoto, Mega. Menulis Tanpa Berguru menekankan bahwa menulis itu mudah. Pak Ewa sudah menulis puluhan buku tentang kiat menulis.

Kami bertemu pak Ersis di Ciwalk. Terus terang ini pertama kalinya aku ke Ciwalk. (udik yah :D) . Kami berempat dengan satu mobil menuju Ciwalk (tentu tanpa acara nyasar karena ada GPS hidup), dan begitu turun di depan Ciwalk, langsung “dihadang” pak Ersis yang ternyata sudah cukup lama menunggu. Langsung kami menuju restoran korea, steamboat, tapi karena terlambat sudah lewat waktu buka, kami harus menunggu dulu baru bisa makan. Padahal sudah lapar tuh. Keliling Ciwalk, kami (aku dan pak Ersis) berkesimpulan bahwa restorannya tidak menarik semua. Kami tentu saja tidak mau makan di tempat franchise… masih mending di restoran Padang. So, kami akhirnya sepakat untuk mencari restoran yang lebih “representative” di Paris Van Java.

Wait, Paris Van Java memang aku tahu julukannya kota Bandung, dan sekilas saja mendengar bahwa itu adalah nama pusat pertokoan di Bandung. Tentu saja aku belum pernah ke sana (lebih udik lagi mungkin hihihi). Jadi kita makan di sebuah restoran Thailand di PVJ yang bernama Suan Thai (Paris Van Java GF-RL-C19 Jalan Sukajadi No. 137-139). Enak-enak makanannya di sini, tapi yang terenak adalah masakan daging sapi lada hitam (mungkin namanya beda). Mau deh ke situ lagi untuk pesan nasi dan daging sapi itu. Bener enak (duh ngebayanginnya aja sekarang ngiler deh aku hihihi…) .

masakan daging sapi yang uenaaak banget!

Di restoran ini Kai sempat protes. Waktu Catra dan Danny buka puasa di hotel, dia melihat om-omnya ini makan es buah. Dia pengen, tapi waktu mau ambil sudah habis. Lalu aku bujuk dia nanti beli di restoran. Nah, waktu lihat menu di restoran Thai itu, dia lihat semacam es shanghai gitu yang gelasnya pakai gelas es krim. Tapi waktu pesanannya datang, gelasnya lain! Duuuuuuh anakku itu memang begitu. Dia mau yang SAMA PERSIS! Hmmm anakku yang satu ini, kalau punya sumpit pribadi, dia maunya makan dengan sumpit pribadinya dia, dan tidak ada orang lain boleh pakai. Dan dia akan protes, kalau aku misalnya makan dengan sumpit papanya. Kalau cangkir untuk teh, ya hanya untuk teh, tidak boleh untuk yang lain. Kalau aku bilang tidak boleh pakai tangan (kalau makan mie atau masakan Jepang), dia akan protes melihat aku makan ayam/ikan+sambel pakai tangan. Orangnya KODAWARI, hmmm bahasa Indonesianya apa ya? Mungkin untuk kasus ini, CEREWET, strict, punya pendirian? Jadi waktu dia menerima es buahnya pakai gelas tinggi biasa, dia masih menanyakan es shanghainya dia mana????? Duuuh susah banget aku njelasin ke dia, bahwa ISInya sama, gelasnya kotor jadi ngga ada…terpaksa pakai gelas minum biasa…. sampai akhirnya aku bisik ke pelayannya, “Mas, kalau bisa sajiannya yang sama ya dengan yang di menu…anak saya nih jadi cerewet, karena dia pikir itu lain!” Si pelayan hanya senyum-senyum saja. Dan kelihatannya memang mereka tidak punya gelas es krim, atau malas mindahin. Karena kalau di Jepang, kita “protes” begitu, biasanya mereka akan pindahkan isinya ke gelas yang sama dengan di gambar hehehe. (Aduh semoga teman-teman bloggerku ngga ada yang seperti Kai yah :D)

Berbincang-bincang dengan pak Ersis yang sebetulnya sedang deg-degan karena ternyata keesokan harinya akan mengikuti ujian seminar proposal. Memang kami dengar soal ujian proposal, tapi tidak ngeh bahwa keesokan harinya  :D. Pembicaraan berkisar tentang dunia tulis menulis, dan aku dibawakan hadiah buku-buku karangan pak Ersis. Terima kasih banyak pak.

Satu hari di Bandung bisa bertemu dan kopdar dengan Erry, Danny, Pak Grandis, Pak Nanang, Catra dan pak EWA. Sayang Asop dan empunya Farijs van Java tidak bisa bergabung (karena memang mendadak juga sih). Senang sekali rasanya bisa merajut benang laba-laba yang lebih besar lagi.

 

BIG Usagi si empunya Usagi-goya, mengucapkan terima kasih pada Little Usagi a.k.a Putri yang telah membantu publish posting ini. Koneksi Jepang Indonesia tampaknya lelet seharian.