Duniaku di Rumah, atau di Rumah Dunia

11 Agu

Bagi seorang bayi dan balita, dunianya pasti hanya ada di rumah. Penitipan atau playgroup hanyalah tambahan. Memasuki usia SD dunia anak-anak ini bertambah menjadi rumah dan sekolah. Tapi untuk anak jalanan yang tidak bersekolah? Haruskah dunianya jalanan saja?

lihat senyum mereka, anak-anak bermain pada peringatan Hari Anak di Rumah Dunia

Waktu aku berkunjung ke Rumah Dunia tanggal 25 Juli lalu, aku sempat bertemu dengan seorang ibu berjilbab, yang kemudian disapa oleh Mas Gong,
“Cari siapa bu?”
“Anak saya pak….. Dia katanya ikut lomba”
“Ohhh ya di sana”

Mungkin ibu ini adalah satu dari sekian banyak ibu yang mencari dan menemukan anaknya di Rumah Dunia, bermain, bersendagurau dengan teman-temannya, membaca buku dan belajar menulis. Sebagai seorang ibu, aku juga akan lebih suka jika anak-anakku bermain di sini, di Rumah Dunia, daripada di warnet atau di jalanan.

Bersama Mbak Tias, Mas Gong dan Uda Vizon.... orang-orang yang aku kagumi

Rumah Dunia sudah berusia 10 tahun, dan aku mengenalnya baru 2 tahun. Jika Anda tahu Roy (tokoh dalam “Balada si Roy”), Anda tahu pengarangnya Gola Gong, semestinya juga tahu sepak terjangnya mendirikan Rumah Dunia ini. Masalahnya aku tidak kenal siapa itu Gola Gong. Pas “Balada si Roy” tenar di Jakarta, aku sudah tinggal di Jepang. Apalagi waktu itu adalah awal-awal aku tinggal di Jepang untuk belajar, sehingga aku menutup semua info tentang Jakarta…dan saat itu belum ada internet. Sampai sekitar awal 2009 dari percakapan dengan Daniel Mahendra tentang persahabatannya dengan Mas Gong yang begitu dibanggakannya. Dan aku resmi menjadi teman mas Gong September 2009. Aku kemudian memantau kegiatan Mas Gong dan istrinya Tias Tatanka lewat FB, dan media internet lainnya.

Membahasa, mengapa di Indonesia tidak ada karakter yang begitu berpengaruh seperti ultraman. Di depan bangunan awal mula mengumpulkan anak-anak mengenal buku, membaca dan berekspresi.

Dari situlah aku mulai mengenal keberadaan Rumah Dunia, yang ternyata sudah 10 tahun berdiri. Berawal dari buku-buku yang dibiarkan untuk dipinjam anak-anak sekitar, yang waktu itu sama sekali tidak mempunyai minat membaca. Kalau membaca curhat mbak Tias, bagaimana anak-anak itu datang hanya “berantakin” atau kadang menyobek buku-buku, tanpa ada niat membaca, ikut merasakan sedih dan gemes. Tapi berkat kesabaran mbak Tias dan Mas Gong, anak-anak itu kemudian dapat menghargai buku. Awalnya sering disogok dengan pisang goreng, atau didongengi, atau bermain bersama. Lama kelamaan mereka datang sendiri untuk membaca sendiri. Sebuah perjuangan yang tak kenal lelah… dan untuk siapa? Untuk anak-anak calon penerus bangsa. Usaha literasi lokal berawal dari Komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang, Banten.

RUMAH DUNIA
Pustaka, Jurnalistik, Sastra, Rupa, Teater, TV
Mencedaskan dan Membentuk Generasi Baru
Berwawasan luas, bermula dari yang Kecil, dan terus berkarya

Terus terang aku kagum pada pasangan suami istri bersahaja ini. Yang mencurahkan perhatian dan kegiatan mereka bagi masyarakat sekitar. Mungkin sudah banyak taman baca yang sudah didirikan di Indonesia, tapi kurasa baru sedikit taman baca yang bisa langgeng terus berdiri sampai saat ini, dan menghasilkan alumni, pihak-pihak yang saling membantu menjaga dan memajukan sebuah mimpi bersama. Lihat saja mereka terus memperluas lahan Rumah Dunia demi menyediakan tempat bermain bagi anak-anak. Ada tanah seluas 1873 m2 yang sedang dibeli Rumah Dunia untuk dijadikan Rumah Budaya termasuk mendirikan WC. Aku ikut berdebar-debar setiap menjelang jatuh tempo pembayaran cicilan tanah itu, sambil berdoa agar lebih banyak lagi orang menyumbang pembelian tanah tersebut. Masih ada tahap ketiga sebesar 150 juta yang jatuh tempo tanggal 1 januari 2012. Andai aku konglomerat…. ah….

Ketika aku bertandang ke Rumah Dunia untuk kedua kalinya tanggal 25 Juli lalu, aku sempat diwawancarai seorang gadis manis. Dia bertanya, “Mengapa mbak Imelda mau ke Rumah Dunia yang begitu jauh ini? Apa yang menyebabkan mbak memilih Rumah Dunia?”

Diwawancarai Hana, dari Rumah Dunia sampai jurnalistik

Memang aku merasa, aku sedang mencari sebuah tempat yang bisa menjadi tempat yang disana aku merasa memiliki. Jakarta adalah rumahku sebelum aku pindah ke Jepang, tapi Jakarta tidak mempunyai daya tarik lagi untuk dimiliki. Kita akan merasa memiliki sesuatu jika di dalamnya kita mempunyai andil untuk membesarkannya. Dan aku bertemu Rumah Dunia, dan aku merasa cocok dengan pemikiran Mas Gong dan Mbak Tias. Aku yakin tanpa mas Gong dan mbak Tias, aku tidak akan sampai ke Rumah Dunia.

“Tapi mbak, RD ini kan jauh dari Jakarta. Kok mbak mau sih jauh-jauh datang?”. Laaah kan ada mobil? Kan ada waktu? Serang itu tetangganya Jakarta loh. Apa salahnya kita mengunjungi tetangga? Dan di mobil dalam perjalanan pulang aku sempat berpikir, seandainya aku tinggal di Jakarta, bukan di Jepang yang datang untuk mudik saja, apakah aku masih mau meluangkan waktu datang jauh-jauh dalam macet ke Rumah Dunia? hmmmm. Mungkin tidak juga.

Semakin kujawab pertanyaan yang diajukan, dan sambil menuliskan posting ini (yang amat memakan waktu…karena aku sambil berpikir…”WHY”) aku tahu bahwa aku menemukan sosok “Terakoya” di sini. Terakoya adalah suatu wadah pendidikan jaman Tokugawa yang bersifat sukarela. Terakoya meskipun mengandung kata “tera” atau kuil, sudah tidak membawa unsur agama di dalamnya. Tanpa ruang kelas yang formal, seorang guru terakoya menerima kedatangan para murid di rumah. Mengajarkan murid-murid yang berasal dari masyarakat biasa itu membaca, menulis dan berhitung, 3 dasar pendidikan. Murid- murid itu tidak membayar dengan uang, tetapi dengan barang atau jasa yang mereka punyai. Petani akan memberikan hasil panennya, atau hanya sekedar menyapu rumah sang guru. Dan keberadaan Terakoya pada jaman itu berhasil “memelekkan” masyarakat Jepang sehingga siap untuk menyerap ilmu dari luar pada saat restorasi Meiji (1868). Terakoya adalah bidang penelitianku untuk lulus dari Sastra Jepang UI tahun 1991. Dan ….aku bertemu kembali dengan model mirip terakoya ini di Rumah Dunia.

terakoya, sekolah informal jama Edo, Tokugawa 浮世绘 加贺藩仪式风俗图绘「寺子屋」

 

Ada banyak alasan bagiku untuk terus kembali ke Rumah Dunia, kecintaan pada buku, keinginan memajukan pendidikan, keinginan untuk memberikan anak-anak tempat bermain dan membaca, kecemburuan pada Mas Gong dan Mbak Tias dalam mewujudkan cita-cita bersama, keprihatinan pada perkembangan anak-anak Indonesia jasmani dan rohaninya…. banyak alasan lain. Dan semuanya ingin kucari dalam binar mata dan senyum tulus anak-anak Indonesia.
Aku akan datang lagi.
Ke sini.
Ke Rumah Dunia.

 

 

 

Silakan baca tulisan Uda Vizon tentang kunjungan kami ke Rumah Dunia, tanggal 25 Juli yang lalu di sini.

http://hardivizon.com/2011/07/31/bermain-di-rumah-dunia/

Mas Gong, Kai dan gaya Ultraman

36 Replies to “Duniaku di Rumah, atau di Rumah Dunia

  1. love this posting mbak!
    aku juga jatuh cinta dengan rumah dunia pertama kali aku kesana denganmu tahun kemarin…dan memang mewakili apa yang aku inginkan dalam hidup. Tidak dipungkiri bahwa mas gong dan mbak tyas sudah menjadi orang baik, tidak hanya untuk orang lain dan masyarakat sekitarnya tetapi untuk pribadi mereka masing-masing karena mereka berhasil mewujudkan apa yang mereka inginkan…yup…aku jeles sama mereka *dalam artian baik loh* ingin juga rasanya membuat yang seperti RD disini di duri tapi kok susah banget ya huhuhuhu….

    kalau di Indonesia juga ada loh mbak sistem pendidikan seperti yang mbak imel tulisan skripsi mbak imel s1 itu terakoya! tapi kami dulu *di Makassar* itu belajar mengaji, guru mengajiku tidak hanya menerima uang bahkan ada yang anak muridnya hanya membantu memasak karena guru mengajiku seorang janda. Tak kadang dia juga menerima dalam bentuk makanan dari orang tua murid2 yang dia ajarin mengaji….mmm jadi keinget beliau.

  2. Duh mba EM, aku jd malu deh…udah tahu Rumah Dunia sejak kapan tahun, sering baca buku2nya Gola Gong, tapi belum sekalipun ke sana apalagi berkontribusi untuk anak2 itu, hiks… Terima kasih sudah diingatkan ya, hidup seharusnya memang tidak hanya untuk diri sendiri, tapi jg harus berguna bagi masyarakat sekitar.. Semoga bisa seperti mba Imel, uda Vizon, mas Gong & mba Tyas, dan orang2 ‘hebat’ lainnya suatu saat nanti. Aamiin..

  3. saya tau tuh gola gong. dulu emang ngetop buku2nya. tapi saya gak pernah baca sih.
    bagus tuh ya rumah dunia. semoga bisa selalu ada… 🙂

    btw di indo sebenernya ada karakter kayak ultraman mbak.. namanya gundala putra petir. hehehe. tapi kayaknya anak2 sekarang pada gak tau kali ya… 😀

    • Gundala Putra Petir … (alias Sancaka) … saya kenal dong Om … (hehehe)

      Demikian juga dengan … Godam … Laba-laba Merah … Pangeran Mlaar …

      (macan komik jaman dulu)

      salam saya Om Arman

        • Wah sayang saya gak tahu Gundala Man, Om NH, kak Monda.

          Mbak EM, mungkin kalau mbak tinggal di Jakarta, even g bisa sering2 datang, tapi kalau sudah cinta biasaya disempetin datang.
          Salut dengan niat tulus mas gong, mb tyas, dan mb EM sendiri…. mudah2an ada konglomerat yang mau membantu ya..

  4. Ini tulisan yang Bagus EM …
    Tulisan yang sangat bagus …
    I like it …

    Upaya yang dirintis oleh Gola Gong dan Tias memang patut untuk menjadi perhatian kita bersama …
    kalaulah kita tidak bisa memberikan materi … kalaulah kita tidak bisa memberikan tenaga …

    saya rasa … dengan menyebarkan informasi kebaikan ini akan sangat banyak impactnya bagi Rumah Dunia … dan juga rumah semacam lainnya …

    Semoga Rumah Dunia dapat terus menjadi Rumah yang nyaman untuk belajar dan bermain bagi anak-anak Indonesia

    salam saya EM

  5. Ya mbak, tau balada si Roy dan tau kisah Rumah Dunia, seandainya tau rencana ke Serang itu, aku ingin ikut. Tahun lalu waktu masih silent reader TE kunjungan ke sana juga sudah kubaca. Karena adikkupun terinspirasi dari mas Gong, tetapi buku2 dan majalah di rumah baru disalurkan ke perpus sekitar Jakarta yg dikelola teman2nya. Dan aku sudah menerima Dunia Ikan dari Rumah Dunia, yg dititipkan lewat Askatnya pak de. Di sana dikatakan juga dana dari buku itu untuk membeli tanah. Terima kasih mbak, bgmn cara kami berpartisipasi lebih banyak?

  6. Aku pengagum tulisan Mas Gong sejak aku remaja. Aku kagum sama mereka berdua mas Gong dan Tyas, apa yang mereka lakukan menginspirasiku, Kebetulan aku suka menulis dan bergerak dalam dunia pendidikan. Great posting Mbak

  7. Senangnya, melihat anak-anak bisa bebas belajar semacam itu. Kadang iri juga, karena dulu waktu kecil tidak ada sosok teladan yang menyuruh rajin membaca dan akses perpustakaan yang kaya buku (menyebabkan saya tidak begitu suka membaca meskipun sangat mencintai buku).

    Terakoya, ya? Kalau semacam itu di kampung halaman saya dulu ada: guru mengaji. Anak-anak datang ke rumah sang guru, lantas diajari baca-tulis Arab, diajari tentang Islam, dsb. Sang guru memang meminta imbalan atas jasa tersebut, karena bagaimana pun diajarkan bahwa seorang murid harus membayar atas ilmu yang diperoleh dari guru. Tetapi guru mengaji tersebut tidak mau menerima imbalan berupa uang.

    Maka yang sering dimintanya adalah anak-anak disuruh membantu merawat tanaman-tanaman yang ada di halaman rumahnya. 😀

  8. Suatu ketika saya berharap dapat menjejakkan kaki di rumah dunia…mudah2an kesibukanku dan si sulung mereda sehingga bisa mengantar ke sana.

    Menyenangkan ketemu dengan orang-orang yang bisa memberi motivasi baik bagi lingkungan sekelilingnya, salut untuk mas Gong dan Mbak Tias..semoga rumah dunia makin maju.

  9. waw hebat sekali rumah dunia ini. Di Surabaya juga sudah mulai banyak social movement seperti ini mbak EM, semoga saja kegiatan seperti ini selalu ada di tiap kota ya..

  10. Suatu saat berharap bisa kesana, malah kalau bisa ajak anak anak dari padang kesana, biar bisa main bareng dengan anak anak rumah dunia hehehehe

  11. Gola Gong salah satu penulis favoritku sejak jaman kuliah dlu Mbak… jamannya Gola Gong baru mendirikan Rumah Dunia… ah sayang bgt smpe skrg aku kok belum kesana yah…

    Gola Gong, sosok yang sangat menginspirasi… 🙂

  12. Kadang orang2 yang punya kemampuan secara finansial belum tentu juga dapat membangun tempat seperti ini dan bertahan selama ini yak mbak..

    Ah mudah2an rumah dunia terus berkembang dan terus maju dan bisa melunaskan kredit tanahnya hingga memiliki sendiri 🙂

  13. semoga selalu ada bantuan utk kegiatan sosial anak2 indonesia disini ya Mbak EM.
    jadi , Mbak EM gak usah lagi deg2an atau membayangkan seorang konglomerat 🙂
    benar2 menginspirasi, sepasang suami istri yg hebat ini ya Mbak
    salam

  14. bagus banget ya mbak idenya mas gong itu..dan yang buat aku semakin kagum adalah embak em terlihat sekali juga begitu mencintai budaya buku dan baca…rumah dunia..rumah ilmu yang tak terbatas ya mbak,,,semoga senantiasa berkembang amiin..

  15. tante kalau tahun depan,,ke jakarta lagi…
    aku ikut ya ke rumah dunia.. 🙂 🙂 🙂

    jamannya inyiak NH mungkin masih ada gundala petir,,jaman aku bener-bener gak ada.. mungkin si unyil kali ya…

    salut sama perjuangan mas Gola gong dan istrinya,, (^_^) gak banyak orang yang peduli pada anak anak jalanan..

  16. sudah lama saya mendengar kiprah mas Gola Gong di Rumah Dunia bersama sang istri yang juga pengarang. Sudah lama hasrat ingin berkunjung. Tulisan mbak imel kian membuat rasa rindu berkunjung ke sana kian menggebu.

    Terima kasih mbak imel

  17. ih hebat ya mas Gong dan istrinya bener-bener berbuat dan berbakti untuk kemajuan bangsa. memajukan anak-anak sebagai masa depan gitu. pemerintah ngebantuin dalam bentuk dana gak ya? ini mirip-mirip taman bermain dan belajar kayak dik doank gak ya? mayan jauh juga di serang ya mbak. mudah-mudahan sih Rumah Dunia makin meluas ke kota lainnya, amin..

  18. Senang bisa mengenalkan RD beserta orang-orang yang ada di dalamnya kepada orang lain. Yang telah datang ke RD ada yang sekadar suka dengan kegiatannya, ada yang ingin terus dan terus datang, ada pula yang malah bersahabat akrab dengan orang-orang RD itu sendiri.

    Ada hal lain yang bisa dilakukan secara bersama-sama. Rupanya di luar sana ada hidup yang tak sekadar rumah-kantor-rumah.

    Semua menyenangkan. Seperti halnya kesempatan untuk kembali dan kembali mengunjungi RD. Suka tulisan ini.

  19. Pingback: NINE FROM THE LADIES 2011 (#2) | The Ordinary Trainer writes …

Tinggalkan Balasan ke vhyan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *