GW-1- Tradisional

30 Apr

Jumat 29 April kemarin sebenarnya adalah hari libur di Jepang yang dinamakan Showa no hi (Hari Showa untuk memperingati kaisar Showa) dan merupakan awal dari rangkaian hari libur yang disebut Golden Week (biasa disingkat GW). Tapi….untukku bukan hari libur. (Sedangkan Gen yang biasanya kerja di hari libur saja, kemarin bisa libur :D)

Ya, akibat permulaan tahun ajaran baru 2011 diundur 1 bulan-an, maka aku yang memang hari kuliahnya hari Jumat, harus mengajar kemarin meskipun hari libur. Tentu saja itu berarti mahasiswa tidak bisa libur. Sama-sama deh. Dan karena Gen libur, aku tidak perlu memikirkan siapa yang harus menjaga Riku dan Kai selama aku mengajar.

Yang menyenangkan sebetulnya adalah pukul 6 pagi waktu aku bangun, Ternyata Riku dan papa Gen juga sudah bangun. Dan Gen mau mengantarkan aku ke universitas naik mobil. horre…. yatta! Meskipun aku tahu naik bus dan kereta ke arah universitas pada hari libur juga tidak terlalu penuh tapi selalu lebih enak kan, jika diantar from door to door.… sampai depan universitas hehehe. Dan untuk mengantisipasi lalu lintas macet, kami berangkat pukul 8:30. Aku mengajar pelajaran ke 2 pukul 10:45, tapi aku perlu me- lithograph (stensil)  bahan pelajaran dulu, yang cukup banyak.

Tapi untunglah jalanan tidak macet sehingga aku bisa sampai di universitas pukul 9:30-an. Aku sendiri tidak tahu apa rencana Gen dan anak-anak selama aku mengajar. Dan baru tahu sekitar pukul 12 bahwa mereka menunggu di daerah sekitar universitas… sampai aku selesai mengajar pukul 2:30

Daerah dekat universitas memang asri sekali. Di situ banyak terdapat rumah-rumah tradisional yang dilestarikan yang tergabung dalam “Taman Rumah Tradisionl” Minka-en. Tadinya mereka ingin pergi ke museum Okamoto Taro, seorang seniman Jepang yang terkenal. Tapi ntah kenapa, letak museum tidak bisa ditemukan. Setelah parkir mobil, malah menemukan kumpulan rumah-rumah tradisional jaman dulu. Memang dulu aku pernah melewati beberapa rumah tradisional waktu pergi dengan Riku. Tapi waktu itu tujuan kami ke planetarium (yang ternyata kecil dan belum buka waktu kami ke sana. Bukanya pukul 3:30 hihihi).

Jadi bertiga mereka berkeliling ke rumah-rumah tradisional itu, dan Riku yang memotret rumah-rumah itu. Langsung keliatan sih dari hasilnya, pasti bukan Gen yang memotret. But not bad juga hasilnya. Ini hasil potretan Riku:

Yang terekam oleh Riku dari depan sampai dapur.

Dalam taman ada 21 rumah tradisional, termasuk salah satunya yang biasa dipakai untuk pertunjukan Kabuki. Sayang kemarin itu tidak ada pertunjukannya. Tapi di beberapa rumah ada sukarelawan, yang biasanya kakek-kakek dan nenek-nenek yang akan menjelaskan tentang rumah dan bercakap-cakap dengan pengunjung. Ada yang menyalakan perapian di irori yaitu perapian berbentuk kotak yang sering dipakai sebagai pengganti meja makan. Bisa bayangkan duduk mengelilingi irori, sambil minum teh atau makan nasi lobak (kayak Oshin deh hihihi).

Kayu yang dipakai untuk membakar akan menghasilkan abu yang terkumpul di sekitar irori. Dan pojok-pojok irori ini dahulu kakek-kakek mengajar cucunya menulis memakai ranting. Very japanese yah 😀

Yang juga menarik adanya beberapa rumah yang berlantai bambu. Biasanya lantai rumah terbuat dari papan kayu tapi ini terbuat dari bambu, yang juga menunjukkan kondisi perekonomian saat itu (bambu jelas lebih murah dari kayu). Kok waktu melihat foto-foto rumah dengan lantai bambu itu aku jadi teringat rumah saudaraku di Makassar dulu semua lantainya terbuat dari bambu sehingga kami bisa melihat kambing-kambing dan ayam berlarian di bawah rumah.

Jangkrik dari daun dibuatkan nenek relawan di rumah tradisional

Untuk memasuki Taman Rumah Tradisional Pemda Kawasaki ini hanya membayar 500 yen (dewasa, SMA-mahasiswa 300 yen, SMP ke bawah gratis) untuk melihat semua rumah yang terdapat dalam kompleks ini. Yang aku cukup terkejut ternyata yang paling tua ada rumah yang berdiri sejak abad 17… berarti 300 tahun yang lalu? Wah orang Jepang memang menghargai sejarah ya.

21 rumah yang terdapat dalam Taman Rumah Tradisional daerah Kawasaki (pamflet)

18 Replies to “GW-1- Tradisional

  1. minggu kemarin habis easter mass, kami jg mengunjungi rumah tradisional kak… sempat memotret tungku, alat buat bikin tepung beras, menjerang air juga… Sayangnya kelewat motret alat membajak & bath (bak) tradisional, dan tadi ditanyakan sm kawan… Wah…

    Kalau tidak salah aku ada foto alat membajak di rumah tradisional Yokomiso, Yokohama. Kalau kamar mandi biasanya tidak ada ya…. setelah kamu tulis begini aku baru sadar. Sepertinya mereka mandi di pemandian umum, atau di bak besar, di isi air panas.

    EM

    • Nah, kemarin itu ada bak tradisional, dibuat dari kayu gitu (gimana gk bocornya ya? Soalnya bentuknya tabung dengan kayu dijejer2 gitu, diikat kawat. Mungkin ada perekatnya yang ya.) trus ada semacam tungku pembakaran di sisi belakang. Bak diisi air dan tungku dinyalakan sehingga air di bak hangat dan dipakai buat berendam.

      Yang mandi bareng itu juga dijelaskan. Aih, mereka mandi sama-sama dalam satu tempat sambil berbincang-bincang katanya. Aduh.. Dan di asramaku pun tempat mandinya 2 jenis, yang satu shower room dan yang satu tempat mandi bersama gitu. Dan sy tidak pernah menggunakan kamar mandi umum itu. Hehehe…..

  2. Tempatnya kok bisa asri dan terawat gitu ya…
    Dan perawatan yang utama memang tak hanya dari pengurusnya tapi justru dari para pengunjungnya.
    Itulah yang kayaknya susah ditiru

    Memang pengunjungnya sendiri mau taat peraturan dan terbiasa antri/hidup bersih sih ya

    EM

  3. gantian ya papa Gen menghabiskan quality time dengan anak-anak,
    senangnya banyak sekali ya tempat2 menarik yang bisa dikunjungi di sekitar mbak Imelda,
    dari brosurnya itu tampaknya rumahnya juga modelnya beda2 ya,
    mungkinkah seperti rumah adat di TMII?

    Hmmm bukan seperti rumah adat karena di Jepang bisa dikatakan homogen, tidak bisa mengatakan yang ini dari daerah A, atau B. Tapi antara selatan dan utara memang ada yang berbeda. Rumah di Okinawa dengan di Sapporo berbeda, karena iklimnya juga berbeda.
    EM

  4. Ingatan saya langsung terbayang pada film kartun Inuyasha. Hehehe…
    Basically, rumah orang Jepang mirip yah dengan rumah orang Jawa tempoe doeloe. Dominan bahan kayu dan ventilasi yang lebar.

  5. rasanya dalam setiap postingan mba Imel bawaannya ngiri terus deh 🙁
    gimana engga coba?
    yang begini ini cuma bisa ditemukan di pelosok banget
    di jakarta? oh mana mungkin 🙁
    seperti yang di gambar yang lagi masak air itu
    terakhir saya lihat waktu ke desa Ciptagelar di Halimun sana,
    yang untuk mencapainya butuh perjuangan

    ah ..*duduk di pojokan sambil membayangkan Jakarta yang bersih saja rasanya kok tak mampu ya :D*

  6. anak2 pasti rada heran dong mbak liat yang serba tradisional gitu…
    mengingat sekarang ini kita udah terbiasa dengan segala kemudahan teknologi masa kini…

    bagus juga sebagai pengenalan 🙂

  7. aku sering denger org jepang bilang “yatta!” dengan mimik lucu.. well, liatnya di anime siiih…
    hehe… maksudnya apa sih Mba… padanan kata “yatta” di bhs indonesia apa ya?

    salut utk japanese people yg menghargai sejarah dan budayanya…

  8. Jadi ingat rumahku…ada untuk masak menggunakan tungku dan kayu bakar. Ceret (untuk memasak air) sama…
    Riku menjadi terlatih untuk memotret ya….pinter sekali, memotret dari depan sampai ke dapur.

  9. Huhuhu, jadi pingin traveling ke Tibet.
    Eh, perasaan Riku kok makin menggendut 😀

    iya nih..kayaknya ikut omnya 😛
    EM

  10. Baik sekali.. Capek2 masih mau mengantar & menjaga anak2.. Om Gen hebat!

    Keren.. Asyik sekali ada situs seperti itu..
    Salah 1 7ab wisata ‘must-go’ tuh
    Hebat ya masih utuh & terawat

    Bagus jg untuk mempekerjakan orang2 sepuh
    & tidak seperti di Indonesia yg motivasinya minta tips kan?

    ~LiOnA~

Tinggalkan Balasan ke Ceritaeka Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *