Penyebab Pertengkaran Suami Istri

9 Mar

Kemarin pagi aku menemukan sebuah angket yang menarik, yaitu “Penyebab Pertengkaran Suami Istri”(夫婦で言い合いになる原因). Wahhh aku jadi ingin tahu, apa sih penyebab pertengkaran pasangan orang Jepang (sekaligus ngecek untuk diri sendiri sih hehehe)

Katanya nomor satu adalah (1) Cara menghadapi anak-anak. Hmmm memang benar sih, kadang aku tidak setuju dengan cara Gen menghadapi anak-anak. Sebetulnya bukan tidak setuju, tapi semacam membela, dan heran kenapa sih gitu aja marah…. 😀 (Kadang melihat seperti itu aku juga sadar bahwa aku suka memanjakan anak-anak, dan saat itu memang aku yang salah). Tapi tidak sampai bertengkar. Terus terang aku tidak mau terlalu ikut campur tentang cara membesarkan anak, karena anak-anakku adalah anak Jepang yang hidup di Jepang. Sedangkan aku kecil di Indonesia dan tidak tahu apa-apa kehidupan selayaknya untuk anak-anak Jepang. Jadi biasanya aku tanyakan pada Gen sebaiknya bagaimana.

2. Cara penggunaan uang (keluarga). Ya aku tahu banyak orang yang bertengkar soal uang. Untung saja aku dan Gen tidak pernah bertengkar soal penggunaan uang. Karena paling-paling Gen memakai uang untuk kepentingan kami semua. Tidak minum-minum di luar rumah, dan tidak membeli sesuatu untuk hobi yang mahal-mahal. Ada temanku yang aku tahu suaminya hobby bermain motor balap (bukan Mas Nug kok), tapi hobby semacam itu di Jepang pasti mahal kan. Semahal-mahalnya dia membeli paling buku :D, dan aku tidak bisa marah kalau buku 🙂

3. Cara melewati hari libur. Wah kalau ini tidak menjadi topik pertengkaran kami. Karena kadang kami memang maunya di rumah saja, tapi ada kalanya kalau Gen mau keluar, biasanya aku sudah bisa menebak pergi ke mana. Dulu bahkan sering masing-masing kami sudah mempunyai tujuan pergi, dan waktu diucapkan…. loh kok sama. Tapi sekarang memang lebih banyak Gen yang mencari tempat-tempat yang bisa dikunjungi melalui internet. Aku sih ikut saja 😀

4. Pemikiran cara membesarkan anak. Sama seperti nomor 1, kami jarang bertengkar soal ini.

5. Tidak bertengkar… aku kurang mengerti apa yang dimaksud dengan point ini. Masak sih pasang bertengkar karena tidak pernah bertengkar? hahaha

6. Cara menjawab waktu berbicara. Hmmm bisa dimengerti kalau menikah dengan laki-laki yang cukup tua, maka kelihatan sekali feodalnya :D.

7. Mengenai orang tua masing-masing. Nah loh untung aku tidak pernah

8. Tidak membereskan baju yang ditanggalkan (berantakan). Bisa dimengerti sih, tapi kalau aku malah bertengkarnya sama Riku 😀

9. Penentuan temperatur AC/heater. Ini juga tidak masalah. Sama-sama lahir bulan Januari sih 😀

10. Penggunaan WC. hahaha… mungkin ada pasangan yang lupa flush kali ya? jadi sampai berantem

11. Seringnya pergi minum. Ini memang masalah masyarakat Jepang yang pergaulannya harus dengan minum-minum.

12. Telat pulang. Nah… ini sering terjadi. Gen akhir-akhir ini pulang sampai rumah jam 12 malam, kemarin bahkan jam setengah dua 😀 Tapi kita tidak pernah bertengkar, atau tepatnya aku tidak pernah marah, karena aku tahu memang bulan Maret begini penutupan tahun fiskal banyak sekali kerjaan yang harus dibuat. Aku malah kasihan 🙂

13. Lain-lain

14. Jarang bicara. Dulu memang Gen jarang bicara, tapi sekarang sih ok-ok saja.

15. Banyaknya menggunakan waktu untuk hobby. Hobby nya baca buku, nonton film, tapi itu pun sekarang tidak ada waktu. Waktunya lebih baik dipakai bersama keluarga.

16. Kesukaan pada makanan tertentu. Hihihi, aku suka makanan Jepang, Gen suka makanan Indonesia, tapi buat apa berantem ya?

17. Setengah telanjang (pakai kolor saja) di dalam rumah. Untuk pasangan berusia di atas 50-an suami-suami banyak yang suka begini sih. Untung Gen tidak 😀 (dan aku juga tidak hahaha)

18. waktu yang terbuang untuk make up. Yes… pasti banyak yang sering bertengkar karena istrinya lama dandannya. Untung aku tidak pernah lama dandan. Bahkan biasanya aku yang menunggu Gen 😀

19. Pemilihan chanel televisi. Aku tidak minat nonton TV jadi terserah dia.

Waktu aku membacakan ini dan berdiskusi dengan Gen, ada Riku juga. Lalu kesimpulan kami berdua memang kami jarang bahkan tidak pernah bertengkar. Kemudian Riku berkata, “Bagus dong”. Dan dijawab oleh Gen, “Sebetulnya itu menunjukkan bahwa mama banyak menahan diri, tidak marahin papa. Jadi papa bersyukur…..” Sebuah pengakuan yang membuat aku tersenyum 🙂

Sampai sekarang aku masih cari-cari juga sih, apa yang bisa membuat kami bertengkar ya?
Kalau kamu? Semoga tidak ada juga ya 😉

 

 

Sedangkan Orang Tua Tidak Tahu

8 Mar

Apa yang biasanya disembunyikan oleh anak-anak sampai orang tuanya sendiri tidak tahu? BANYAK hehehe. Tapi biasanya sih orang tua yang peka pasti akan bisa mengetahuinya. Sebetulnya aku ingin menceritakan tentang gigi geraham bungsu …. eh benar kan namanya gigi geraham bungsu? Itu loh gigi geraham yang paling dalam/ujung. Nama bahasa Inggrisnya Wisdom Teeth, jadi yang belum punya gigi geraham bungsu ini berarti belum bijaksana 😀

Memang aku dengar gigi itu menunjukkan kedewasaan seseorang. Ada yang sudah tumbuh cepat, dan ada yang telat tumbuh. Tidak tahu deh ada tidak ya, yang belum tumbuh sampai kakek-kakek/nenek-nenek? Musti tanya dokter gigi nih 😀

Nah karena tidak tahu kapan tumbuhnya itu, maka gigi geraham bungsu itu dinamakan “Gigi yang Orang Tua Tidak Tahu”, yang bahasa Jepangnya Oyashirazu 親知らず.

Aku sudah mempunyai Oyashirazu lengkap sejak remaja, mungkin karena aku bongsor ya? Ada satu yang miring tumbuhnya sehingga langsung dicabut. Tapi tiga yang lain masih dipertahankan. Nah, di postingan tanggal 31 Mei tahun lalu aku menuliskan serba-serbi tentang gigi (dokter gigi) di Jepang. Di situ aku menuliskan bahwa aku harus pergi ke RS Universitas untuk mencabut gigi geraham bungsuku (karena tambalan lepas, dan patah) , tapi karena sedang flu, tunggu dulu:D

Ternyata….. tunggunya cukup lama. Setelah sembuh flu, ada saja yang dipakai alasan. Memang RS Universitas itu jauh dari rumah, sehingga aku malaaaas sekali pergi. Harus pergi dari pagi! Dan pasti membutuhkan satu hari penuh untuk antri…. Uuuuhhh ogah deh.

Kemudian aku mudik ke Jakarta. Kupikir, hmmm lebih baik cabut di Jakarta mungkin ya? Tapi waktu bercakap-cakap dengan teman yang mengerti tentang gigi, dia berkata, “Belum tentu di Jakarta lebih murah loh mel. Bisa jadi 5 jutaan kalau perlu pakai operasi segala” waduuuh… keder deh dengar 5 juta. Kupikir 5 juta = 50 ribu yen. Jadi lebih baik di Jepang deh, masih bisa dapat keringanan  sedikit dari asuransi.

Kembali dari Jakarta…. ada saja alasan untuk tidak pergi. Tapi sejak bulan Desember, aku menemukan seorang dokter gigi yang menerima pengobatan untuk anak-anak. Dekat sekali dengan rumah. Karena aku mau memperbaiki gigi Kai, aku “membelot” dari dokter gigi yang biasanya (karena tidak bisa handle anak-anak…Kai menangis terus) dan mulai pergi ke dokter gigi baru ini.

Mungkin pengaruh psikologis juga ada. Tempat dokter yang baru ini cukup luas untuk menaruh 2 kursi “pesakitan” tapi dokter yang melayani hanya seorang. Yang dulu seperti klinik dengan 6 kursi dan 4 dokter. Suasana “kedokteran” nya (haiyah istilah apa lagi nih) terasa sekali. Di tempat baru ini perawat merangkap uketsuke (pelayanan informasi/meja tamu/kasir) nya juga seorang obasan, ibu-ibu setengah umur yang sabar sekali menghadapi anak-anak. Dokternya sendiri sih tidak charming, biasa saja. Tapi pengaruh perawat obasan itu besar sekali untuk Kai. Jadi Kai sejak Desember itu secara rutin pergi ke dokter gigi itu. Dari 4 gigi depan yang tanggal, sekarang sudah ada 1 gigi “palsu”, sembari merawat gigi-gigi yang lain yang memang sudah rusak juga.

Kemudian aku berpikir, daripada aku pergi ke RS universitas jauh-jauh, kenapa tidak coba tanya saja apakah dokter ini bisa mencabut gigi geraham bungsuku. Jadi 2 minggu lalu aku tanyakan, dan dokter itu membuat rontgen gigi yang bermasalah. Memang terlihat agak sulit karena letak jauh ke dalam dan hampir mengenai pembuluh syaraf utama. Seminggu lalu, dia mengambil rontgen yang lebih mendetil dan hari ini gigi gerahamku dicabut.

Tadinya aku memang agak takut, kenapa kok klinik gigi yang dulu sampai menyuruhku ke RS universitas segala. Tapi ah, aku harus percaya pada dokter ini. Jadi waktu aku datang jam 12 tadi, langsung disuntik bius. Duh serasa setengah mulut kaku. Dan sambil menunggu obatnya bekerja s/d jam 12:15 dia membersihkan gigi yang lain. Persis jam 12:15 dia utak atik gigi geraham bungsu sebelah kananku. Tapi sebelumnya dia memang bilang, ada kemungkinan akar yang paling ujung tidak bisa tercabut semua karena bentuknya membengkok.

Karena dibius tentu saja tidak terasa sakit sama sekali, cuma terasa dia memakai tenaga yang besar untuk mendorong, dan mengorek…entah dengan alat apa karena otomatis mata tertutup (ada ngga ya yg buka mata terus gitu? dokternya pasti ngeri juga ya diliatin hahaha). Kira-kira 5 menit berikut dia sudah menyuruh aku berkumur-kumur, dan mengatakan berhasil…. wah! Hebat! Lucu juga bentuknya dua akar yang terpisah (kalau wajar kan msetinya menyatu tuh). Ingin sih rasanya minta ijin motret, tapi ngeri juga ah untuk dilihat lagi (m*ntah lah mel hihihi).

Jadi begitulah, sekarang aku menulis sambil merasa aneh saja. Barusan makan dan minum obat antibiotik dan pain killernya, jadi tidak terasa cenat-cenutnya 😀 Tapi yang pasti aku merasa lega sekali. Bayangkan dari Mei tahun lalu aku tahan loh. Memang tidak sakit tapi karena patah, sering melukai lidah… pokoknya tidak enak deh.

Dan tentu saja…. orang tua ku tidak tahu bahwa hari ini gigi dewasa ku dicabut 😀

Semoga pembaca TE tidak pernah menderita karena gigi ya. Eh tapi katanya Meggy Z almarhum lebih baik sakit gigi daripada sakit hati tuh… jadi aku ganti doanya, semoga pembaca TE tidak pernah sakit hati ya hihihi

NB: nanti aku ingin tanya berapa biaya pasang behel di tempat dia. Karena ada temanku orang Indonesia yang mau pasang behel mengatakan bahwa dia dikasih tau biayanya 1juta yen….. waaaahhhh itu uang masuk universitas swasta di Jepang tuh 😀

 

Mereka Melihat dan Mendengar

7 Mar

Pernah ada seorang temanku menulis begini, “Hai orang tua, bagaimana kalian bisa mengharapkan anak-anakmu patuh pada peraturan, jika kalian sendiri membonceng mereka naik motor tanpa helm dan surat-surat lengkap?”. Langsung aku klik tombol LIKE.Memang benar begitu kok.

Ya memang, aku pun sering menuliskan bahwa anak-anak itu melihat tindakan kita para orang tua. Mereka akan melihat tindakan kita dan menirunya. Bagaimana kita bisa mengharapkan anak-anak tidak akan menerobos lampu merah jika kita sendiri masih menerobos lampu merah?

Di dekat rumahku ada jalan kecil dengan lampu lalin. Jarang sekali mobil lewat jalan itu sehingga banyak orang hanya melihat apakah mobil datang atau tidak, lalu kalau tidak melihat ada mobil datang, langsung menyeberang. Memang jalan itu satu arah! Tapi aku selalu berhenti di situ, dan meskipun lampu merah dan tidak ada mobil yang lewat pun aku tetap berhenti. Untuk itu aku tegas. Pernah aku pulang dari sekolah bersama Riku melewati jalan itu.  Waktu Riku TK dan aku sedang hamil. Riku “nyelonong” begitu saja di jalan itu. Aku langsung memarahi dia, karena benar-benar bahaya. Ada mobil lewat persis dia nyebrang. Duh…. Sudah diajarkan yang benar saja, Riku masih mau “melanggar” peraturan. Bagaimana kalau aku slengekan dan melanggar lampu merah karena berpikir toh tidak ada mobil lewat? Sampai sekarang pun meskipun aku tidak bersama anak-anak aku tetap berhenti di jalan itu waktu lampu merah dan tidak ada mobil. Karena semua itu adalah kebiasaan.

Sampai pada suatu saat aku dan Kai pergi ke Kichijoji (daerah pertokoan) dan sedang menunggu lampu merah. Banyak orang, dan tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang mungkin terburu-buru, menyeberang begitu saja. Memang tidak ada mobil lewat, tapi semua orang yang ada di situ melihat ke arah ibu itu. Aku pun melihat beberapa tatap mata ke arah Kai. Aku bersyukur Kai tidak berkata keras-keras, “Mama, ibu itu kan salah ya…kan lampu merah!”. Tapi begitu kami bisa menyeberang waktu lampu berganti hijau, aku langsung berbicara pada Kai, “Kai, tadi ada ibu yang menyeberang waktu lampu merah kan? Itu tidak bagus, jadi Kai jangan begitu ya”. Sebanyak-banyaknya aku berusaha memberikan input pada anak-anakku.

Ada peristiwa yang lucu juga terjadi. Aku sering menegur Kai kalau dia makan dengan tangan, bukan pakai sumpit atau sendok. Di penitipannya pun mereka mengajarkan anak-anak balita ini untuk berusaha memakai sendok dan sumpit. Nah, suatu kali aku makan nasi dan ikan ala Indonesia. Tentu saja pakai tanganl dong. Dan saat itu Kai berkata, “Mama kok makan pakai tangan? Kan ngga boleh makan pakai tangan!” Aku tertegun, dan berkata, “Iya Kai… mama makan pakai tangan karena ini masakan Indonesia. Ikan ini banyak tulangnya, jadi kalau pakai sendok atau sumpit, susah ketahuannya. ”

Mereka melihat….. dan mendengar. Tadi aku benar-benar kaget pada jawaban Kai, karena dia bisa mengulang sebuah perkataan yang aku tahu tidak sering aku ucapkan.

Jadi ceritanya kemarin malam, Riku bertanya pada kami arti dari Ran ran ru. Karena temannya berkata begitu padanya, dan dia tidak tahu artinya. Dia hanya tahu kata itu sepertinya mempunyai arti negatif. Kami sendiri tidak tahu, dan aku mencari di internet artinya apa. Dan terkejut mendapatkan kenyataan, bahwa kata Ran ran ru itu merupakan kata baru yang populer di kalangan anak SD sekarang, dan berarti “Shine shine (bukan bahasa Inggris loh), kiero” (Mati lu, mati lu, enyahlah)….

Wah benar-benar kata yang provokatif dan jelek sekali. Jadi Riku pun bertambah sedih dikatakan begitu. Tapi aku katakan, “Biarkan saja teman-teman kamu bicara seperti itu, yang penting Riku jangan. Dan Riku tak perlu kecil hati. Jangan berteman saja dengan dia. Dia sendiri mungkin tidak tahu arti sebenarnya dari Ran ran ru itu, atau meskipun tahu hanya mau bercanda saja.” Yang parahnya suamiku malah bilang pada Riku, “Kalau kamu dikata-katai Ran ran ru, kamu bilang saja “Mampus lu” (bahasa Indonesia). Nanti kan dia bingung kamu bicara apa. Lalu senyum-senyum aja, jangan kasih tahu. Dia tambah sebel deh”… haiyah…

Nah, tadi di dalam mobil, tiba-tiba Riku bertanya pada Kai, “Kai kamu tahu Ran ran ru itu apa?”
“Tahu dong”
Aku yang sedang menyetir saja masih mencoba mengingat-ingat apa ya artinya, waktu Kai dengan tegasnya berkata,
“Shine shine kiero!” ………duaaaarrrr.………..
“Kai! Kamu tahu dari mana?”
“Tahu dari sekolahnya Riku”
“Bohong! ” (Wong dia seharian ada di rumah denganku)
Lalu Riku berkata, “Pasti Kai dengar waktu mama bicara kemarin”

………. Padahal aku bicara pada papanya. Dan arti itu pun aku cuma katakan paling dua kali. Tapi aku tidak sadar bahwa ada telinga kecil yang mendengarkan, dan mengetahui bahwa kata itu buruk…dan mengingatnya. Bahaya!

Susah ya jadi orang tua…. sama saja dengan komentar dari Nique di postingan saya yang Aduh Mama Bodoh, yang menulis:

saya jadi sedih klo mbaca ini?
soalnya di warnet hampir setiap jam mendengar umpatan ‘bego’ ‘tolol’ ‘bodoh’ ‘idiot’ yang keluar dari mulut anak2 yang bermain game. Sudah saya coba agar mereka tidak mengucapkan itu dengan memberi reward, ga mempan, pake marah2 lebih ga mempan lagi.

Dan aku jawab dengan,” Memang jangan membolehkan anak-anak mengumpat dengan kata kasar begitu. Tapi jika ortunya sendirinya mengumpat dengan kata-kata begitu? Anak kan meniru…..”

Ya, mereka (anak-anak) adalah manusia yang punya otak dan hati, dan dalam proses belajar apa saja dalam kehidupan ini. Mereka bisa melihat dan mendengar. Kita sebagai orang tua harus hati-hati, karena tindakan mereka adalah cermin tindakan orang tua juga. Menjadi orang tua itu memang berat ….

Maaf, postingan kali ini curhatan ibu-ibu.

 

Hari Pasar Jepang

6 Mar

Akhirnya aku bisa memenuhi permintaan sahabat blogger saya Nana, untuk membahas tentang hari pasar Jepang. Mereka yang bersuku Jawa tentu tahu Hari Pasar (Weton) yang terdiri dari Manis (Legi), Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Ada lima hari yang katanya sih punya arti masing-masing. Tapi kali ini aku tidak akan menyinggung hari Pasar tapi mengenai “Hari Pasar”nya Jepang.

Selain Hari biasa yang disebut Getsuyoubi 月曜日(Senin), Kayoubi 火曜日(Selasa), Suiyoubi 水曜日(Rabu), Mokuyoubi 木曜日(Kamis), Kinyoubi 金曜日(Jumat), Doyoubi 土曜日(Sabtu), Nichiyoubi 日曜日 (Minggu). Dan kalau melihat penanggalan Jepang, di bawahnya ada tulisan “Hari Pasar” nya Jepang.

“Hari Pasar” Jepang disebut dengan Rokki 六輝 atau Rokuyou 六曜 (Enam Hari) . Dengan penjelasan sebagai berikut.

Senshou 先勝 (bisa juga dibaca senkachi, sakigachi, sakigachi). Dilihat dari kanjinya saja sudah bisa diketahui bahwa siapa cepat dia menang. “Nasib baik jika melakukan pada pagi hari, sedangkan kalau dari jam 2 sampai jam6 akan mengalami kesialan”.

Tomobiki 友引. Dilihat kanjinya secara harafiah adalah menarik teman. Tapi bukan dalam arti yang baik. Terutama dalam kemalangan. Jadi biasanya upacara pemakaman tidak dilakukan pada hari Tomobiki ini. Konon kecuali pemakaman dikatakan bahwa pada hari ini, pagi hari beruntung, siang sial, sore untung besar. Mungkin ini diperhatikan oleh mereka yang berdagang ya.

Senbu 先負 (bisa dibaca senpu, senmake, sakimake) .  Dilihat dari kanjinya berarti yang duluan kalah. Karena itu sering dikatakan “Tidak baik dilakukan pagi hari, tapi bagus dilakukan pada siang hari”.

Butsumetsu 仏滅. Dalam 6 hari butsumetsu merupakan hari tersial. Ada anggapan bahwa Sang Buddha meninggal di hari ini. Sehingga disarankan mengurangi kegiatan di hari ini, kalau sakit akan berlarut-larut, tetapi boleh mengadakan upacara agama Buddha seperti peringatan kematian dll. Karena dianggap hari sial, sedikit sekali orang yang mau mengadakan pesta pernikahan di hari ini. Tapi pihak penyelenggara hotel biasanya menyediakan potongan harga yang besar bagi yang “nekad” mau mengadakan pesta. Tinggal pengantinnya mau ikut anggapan umum, atau cuma mau cari murah 😀

Taian 大安. Merupakan hari paling bagus dalam 6 hari, tidak mungkin gagal jika melakukan pada hari ini. Sehingga banyak pesta pernikahan dilakukan pada hari ini, demikian pula dengan peresmian pembetukan kabinet.

Shakkou 赤口 (bisa juga disebut shakku, jakku, jakkou) . Merupakan hari sial juga, konon “bagus” nya hanya dari jam 11 sampai jam 1 siang. Karena memakai huruf berarti merah 赤, harus berhati-hati waktu memakai api dan pedang, karena berkaitan dengan kematian.

Sumber dari wikipedia Jepang.

BTW Saya lahir hari Minggu Legi nih, jadi manis ya **kabuuurr….dikejar orang sekampung** …. hahaha. Pembaca tahu “Hari Pasar” tanggal kelahirannya?

Sudah 17 tahun dong, deh, loh!

5 Mar

Jumat kemarin aku menggantikan teman mengajarku di KOI (Kursus Orientasi Bahasa Indonesia) untuk kelas Atas, karena dia ada urusan lain. Jadi seperti setiap hari Senin aku berangkat dari rumah pukul 4:30 bersama anak-anak, menitipkan mereka di rumah keluarga Indonesia di dekat SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo), lalu ke sekolah Indonesia itu.

Memang aku sudah mendapatkan bahan mengajar dari temanku itu jadi hanya tinggal setor muka, dan menerangkan tema hari itu. Sebetulnya lebih tepat memeriksa pekerjaan mereka, karena mereka sudah diberikan soal-soal sebelumnya. Temanya tentang “lho”,” kok”, “dong”,” deh”, “sih”!

Yihaaaaa sedangkan orang Indonesia saja tidak tahu definisi persis dari pemakaian kata-kata ini. Pakai perasaan! Bagaimana mereka bisa mengerti kapan pakai kata dong atau deh untuk kalimat yang tepat? Harus mengerti perasaan orang Indonesia? Pastinya 🙂 ….

Tapi bahasa bisa ditarik kecenderungan pemakaian seperti “dong” pasti lebih kuat dari “deh” yang datar. Sedangkan “kok” mengandung pertanyaan  “kenapa?”.  Dan di antara ke 5 kata itu yang bisa bersanding bersama hanya “lho kok”.

Nah, mulailah pelajaran dengan membahas soal-soal. Karena hanya 4 orang muridnya, giliran terasa cepat berputar dan ayo coba isi latihan ini ya?

1. Jangan marah ……………….. , kan aku hanya bercanda saja.
2. Aku ………. mau-mau saja pergi asal kamu jemput ke rumahku.
3. ……………, …………. ngga jadi pergi?
4. Gimana ……… kok belum jadi? Janjinya kan jadi hari ini?
5. Kamu hebat ……….. kalau bisa mengalahkan dia main pingpong.

Bisa jawab dong ya? No 1. sudah pasti jawab “dong”. No 2. “sih” dan nomor 3. “lho, kok” (satu-satunya yang bisa dijadikan satu). Nah yang no 4 ini menjebak, karena ada koknya, maka disangka pasangan kok yang harus diisi, sehingga banyak yang menulis lho. Padahal seharusnya sih, yang menempel pada kata Gimana. Gimana sih! Siapa sih! Apa sih! Riku sering sekali berkata, “APA SIH!!!!” dengan nada marah kalau Kai mengganggunya waktu dia main game. Itu salah satu bahasa Indonesianya yang paling lancar 😀

Yang lucu juga ada contoh kalimat seperti ini, “Enak kan masakannya? Siapa dulu …….. yang memasak.” Jawabnya pasti “dong” deh. Dong sering dipakai untuk jiman (sombong) pada diri sendiri. Ingat saja kalimat ” Riku pintar ya…. Siapa dulu dong ibunya” 😀 hihihi.

Untuk kalimat “Kamu hebat …………… kalau bisa mengalahkan dia main pingpong” Bisa saja diisi “deh” atau “loh”, tergantung penekanannya bagaimana. Ada beberapa kalimat yang memang mempunyai kemungkinan lebih dari satu, tergantung latar belakang situasinya.  Harus ada keterangan ilustrasi yang mendukung.

Lalu apa hubungannya cerita tentang jalannya pelajaran Bahasa Indonesia kemarin itu dengan judul?

Waktu aku masuk ke dalam kelas 10 menit sebelum jam mulai (6:30 sore), ada 3 murid yang sudah hadir. Dua di antaranya aku kenal karena mereka ikut kelas dasar di tempatku setahun sebelumnya. Nah, murid ke empat yang masuk ke kelas persis waktu jam mulai itu yang membuatku terkejut. Namanya K. san dan merupakan mantan muridku sudah lama. “Loh K san sudah lama kan belajar bahasa Indonesia. Saya ingat sekali kamu adalah guru Sejarah di SMA kan? ”

“Tentu saja, saya sudah lama belajar bahasa Indonesia. Meskipun tidak pandai-pandai. Saya pertama belajar di KOI ini tahun 1994, dan menurut saya waktu itu Imelda san juga pertama kali mengajar di KOI. Jadi sudah…. 17 tahun!” demikian kata K san.
Whaaat…. sudah 17 tahun ya?” Dan aku terharu karena ada saksi sejarah lamanya aku mengajar di KOI yaitu K san ini. Ternyata aku sudah mengajar TUJUH BELAS TAHUN (dikurangi sekitar 4 tahun untuk melahirkan 2 anak), dan aku masih berdiri di sini untuk mengajar. Berarti KOI satu-satunya tempat mengajarku yang terlama.

“Waktu itu taihendeshita ne (Susah ya). Karena kita belajar 3 kali seminggu setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Senseinya taihen, muridnya lebih taihen kalau ada PR :D. Kelasnya juga di lobby bawah, karena muridnya 40 orang. hahaha.”

Meskipun awalnya 40 orang itu memang banyak yang tumbang di tengah semester dan tinggal separuhnya di akhir term pertama. Salah satu dua yang tinggal bertahan adalah K san dan Watanabe san yang kuceritakan pada “Belajar Sampai Mati” di TE. Itu menunjukkan juga betapa besar minat orang Jepang untuk belajar bahasa Indonesia kala itu. Sekarang? Kelas diisi 8 orang saja sudah berterima kasih, karena seringnya harus dimulai dengan susunan 5 orang. Banyak kursus bahasa Indonesia yang tidak bisa membuka kelas karena peminatnya sedikit. (Imelda juga jadi nganggur nih hihihi)

Well, aku memang sudah berumur, ibaratnya mangga ranum hampir busuk hahaha 😀 😀 😀 . Dan boleh (sedikit) berbangga, aku mengajar Bahasa Indonesia sudah 17 tahun DONG! (atau “17 tahun deh”, atau “17 tahun loh” pilih tergantung situasinya). 😀

 

Berpisau

4 Mar

Dahiku sempat bekernyut membaca penggalan sebuah kalimat yang konon diucapkan seorang wakil rakyat, “Wajar saja jika setrika menempel di tubuh pembantu(TKW)”. Wahhh apa wajarnya ya?

Aku jadi teringat pada sebuah episode waktu aku mengajar murid Jepang mengenai kata kerja ber+kata benda. Biasanya dipakai kata berdasi, berkacamata, bertopi dsb, jadi yang menempel di badan. Nah, saat itu ada seorang muridku yang berprofesi sebagai koki.

“Sensei, jadi saya boleh pakai berpisau dong ya?”
“Loh, emang kamu bawa pisau kemana-mana terus?”
“Iya, saya pasti bawa pisau ke mana-mana untuk masak”
“Emangnya kamu tempel di badan?”
Doooh susah sekali kasih mengerti orang ini. Akhirnya aku bilang, “Ya boleh saja untuk kasus kamu, tapi biasanya yang berpisau adalah penjahat dan pembunuh…..”
Diam deh dia hahaha telak!

Ya bagi muridku yang koki ini, pisau mungkin adalah hartanya yang paling berharga. Pisau adalah nyawanya. Mungkin bagi Maknyo Dea, Spatulanya yang merupakan nyawanya, karena Maknyo pembuat kue. Tapi memang aku melihat bahwa koki di Jepang menganggap pisau sebagai nyawa mereka. Sebegitu pentingnya pisau, dan mungkin hubungan manusia dan benda yang begitu erat, jarang kita dapati di Indonesia. Mungkin.

Seperti waktu aku mau membuat sashimi di postingan ini, aku katakan aku punya pisau yang memadai. Memang sejak aku menikah dan terus terang sejak mulai memikirkan bahwa untuk memasak yang enak pisau amat menentukan, aku mulai memperhatikan pisau dapurku.

Riku belajar menguliti dan memotong apel

Sampai waktu aku pergi ke Jerman tahun 2002, aku sempatkan membeli satu set pisau Zwilling Henckels yang cukup mahal. Bawa berat-berat dalam koper, untung jaman itu belum ada heboh-heboh teror. Well, aku anggap itu assetku. Pisau-pisau itu menemaniku memasak di dapur.

Set pisau aku sih tidak segini banyak, cuma 6 jenis saja. Gambar diambil dari website Zwilling

Pisau yang tajam sangat menentukan kerapihan pemotongan bahan masakan. Untuk bisa membuat irisan daging yang tipis, perlu memakai pisau yang tajam dan agak bergerigi karena biasanya potongan dagingnya adalah potongan daging beku. Aku ingat aku pernah membawakan beberapa pisau ke Jakarta khusus karena pisau di dapur rumah ibuku dooooh benar-benar bikin jengkel waktu dipakai memotong.

Padahal pisau itu ada bermacam-macam bentuk dan besarnya, yang dikhususkan untuk tujuan pemotongan benda tertentu. Pisau untuk daging, berbeda dengan pisau untuk ikan atau buah/sayur-sayuran. Kalau mau melihat website tentang macam-macam pisau dapur, bisa dilihat pembedaan juga dari ujungnya. Apakah persegi (seperti pisau dapur china) atau membulat atau lancip.

Macam-macam jenis pisau

Tapi kalau mau dipikir memang Jepang memang negara spesialis. Ada pisau khusus untuk menguliti buah/sayur, pisau khusus untuk membuang sisik ikan, pisau khusus untuk memotong tomat/telur, pisau khusus untuk tomat dan lain-lain. Kadang aku merasa spesialisasi itu sebenarnya tidak perlu, hanya akan menambah isi laci/lemari, padahal belum tentu sering dipakai. Tapi selain pisau dapur 2-3 jenis yang memang perlu, aku merasa pisau untuk menguliti buah/sayur atau peeler itu penting ada di dapur. Menguliti kentang, ubi dan wortel jauh lebih cepat daripada pisau biasa. Meskipun bukan berarti tidak bisa pakai pisau biasa.

Kai mau coba pakai pisau, jadi aku ajarkan pakai peeler ini saja dan berlatih mengupas ubi

Ada satu lagi yang ingin aku tulis di sini yaitu bahwa cara mengupas orang Indonesia dan orang luar negeri itu lain. Aku tahu pertamanya dari tanteku, kok dia mengupas buah-buahan aneh sekali. Lain dari cara yang aku tahu dari ibuku. Apakah pernah lihat?

Orang China memakai satu pisau seperti ini untuk macam-macam bahan, tidak seperti Jepang yang pakai pisau spesial untuk jenis bahan tertentu.

Bagian tajam pisau ada di bagian terdekat dengan badan kita, sehingga kalau menguliti apa saja, arahnya ke bagian dalam. Sedangkan kalau biasanya orang Indonesia (bukan aku saja kan yah? kok jadi ragu nih ) bagian tajamnya di sebelah luar, sehingga memakai pisaunya ke arah luar. Nah, waktu aku mengajar pemuda-pemudi (ada ibu-ibunya juga sih)  dalam program lintas budaya, aku memberikan demo masak soto ayam. Dan waktu itu aku mengupas dengan cara Indonesia. Langsung ibu-ibu yang melihat demo aku itu langsung berkata, “Abunai… (bahaya)”. Langsung aku putar pisaunya dan dengan kagok melanjutkan menguliti. Huh.

Kiri: cara Indonesia ke arah luar, Kanan: cara LN ke arah dalam

Dan memang ini juga menjadi pemikiranku waktu itu, kenapa cara memakai pisau kita berbeda. Waktu ibu-ibu itu berkata bahaya, aku langsung sadar, memang pemakaian pisau ala Indonesia itu membahayakan orang di sekitarnya. Sedangkan kalau memakai ke arah dalam, paling-paling yang kena pisau itu kita sendiri. Nah, apakah ini bukan penggambaran yang jelas dari sifat manusia? Manusia (Indonesia) hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, masa bodoh dengan keselamatan orang lain, sedangkan kalau di Jepang (atau LN lain) menjaga supaya keselamatan orang lain tidak terganggu. Ah, mungkin pemikiranku ini terlalu kasar, tapi sepertinya kok cocok dengan apa yang kita lihat sehari-hari di Indonesia. Apalagi ada isilah masabodoh, atau EGP.

Nah kan, dari pisau malah melantur ke sifat manusia Indonesia. Tapi sedikitnya bisa menjadi bahan pemikiran. Memang cara-cara itu turun temurun dan merupakan kebiasaan saja. Tapi kebiasaan seharusnya juga bisa dirubah kan?

Kalau muridku itu menganggap pisau (berpisau) sebagai nyawanya, bagaimana dengan pembaca TE? Ada barang yang mutlak harus ada? HP, internet? Laptop? Sampai kemana saja dibawa (bahkan sampai ke WC?) hehehe.

 

 

 

 

Gotcha A Gacha-gacha

3 Mar

Pernah tahu film “Gotcha”? Pasti banyak yang lahir sesudah tahun 1985 jadi tidak tahu film ini. Tapi bagi anak angkatan 80-an pasti tahu film tentang pelajar yang menjadi spy ini. Aku sendiri yang tidak hobby nonton film tertarik dengan film ini. Mungkin karena waktu itu aku masih SMA dan membayangkan kejadian itu dialami sendiri. Apalagi Linda Fiorentino, artis pembantu dalam film itu kuanggap mirip aku (kebalik ya mustinya hahaha) dengan rambut hitam pendeknya..

aduhay kakinya.... si Linda ini memang masuk dalam 100 cewe terseksi sih.

Gotcha itu berarti “I’ve got you” atau bahasa belanda Indonesianya, “ketangkep lu!” . Dan tidak ada hubungannya dengan gacha-gacha yang banyak dijumpai di Jepang. Gacha-gacha itu apa?

Gacha-gacha adalah sebutan kesayangan untuk mainan mini dari Capsul Toy. Masukkan uang sejumlah yang tertera di mesin itu, misalnya 10 yen, 100 yen, 200 yen atau 500 yen, (kebanyakan sih 100 dan 200 yen) dan memutar tuas yang ada. Kemudian sebuah bola plastik yang berisi mainan akan keluar yang mutunya tentu sesuai harganya. Waktu memutar tuas sampai mengeluarkan mainan dalam bola itu berbunyi seperti “gacha-gacha”, karenanya dinamakan gacha-gacha.

Padahal mesin capsul toy ini awalnya adalah mesin penjual permen karet bulat yang ditemukan di Amerika. Masuk ke Jepang tahun 1965, dan pada tahun 1970 dikembangkan menjadi mesin penjual mainan. Gacha-gacha ini pertama kali ditempatkan di Asakusa, dan meluas dari tempat bowling, tempat penjualan snack, supermarket, bahkan sekarang di depan toko kombini. Apalagi isi mainan gacha-gacha ini bermacam-macam yang dijual oleh perusahaan-perusahaan terkenal seperti Bandai (si pencipta Ultraman) dan yujin.

Pinter banget deh toko Yodobashi camera, menempatkan gacha-gacha sebanyak ini di sepanjang jalan menuju WC. Untung Kai tidak merengek minta dibelikan. Anak sapa dulu dong 😀 (Mamanya serem sih hahaha)

Pasar utamanya tentu saja anak-anak, dan musuh utamanya adalah orangtua 😀 Bayangkan saja, setiap mau masuk toko, orang tua sibuk menolak permintaan anak-anak untuk “main” (beli) gacha-gacha. Lumayan kalau setiap kali pergi ke toko harus mengeluarkan 100/200 yen kan? Tapi sebetulnya dibandingkan dengan mainan sungguhan yang berharga 1000 an, dengan uang yang sama bisa 5 kali yah hehehe. Benar deh perusahaan yang mengembangkan capsul toy ini pinteeeer sekali! Pasti laku terus kok.

Satu lagi selain gacha-gacha yang aku rasa pinter adalah pemilik restoran (biasanya sih family restoran) yang menyediakan (baca menjual) mainan di rak samping kasir pembayaran di pintu masuk. Anak-anak pasti tertarik untuk mampir dan memilih-milih dan minta (merengek) pada orang tuanya untuk dibelikan. Untung saja biasanya di restoran seperti itu ada menu khusus untuk anak-anak, kids meal , yang jika kita pesan itu akan mendapatkan mainan (murahan sih, paling mahal 100yen). Tapi dibanding mainan yang dijual seharga 600-1000 yen tentu saja orang tua akan lebih memilih kids meal ini. Meskipun biasanya ada saja kakek nenek yang termakan rayuan cucunya dan membelikan mainan mahal itu. Atau paling tidak  si cucu “gotcha” a “gacha-gacha”.

NB: Yang mau dengar OSTnya Gotcha bisa dengar di sini http://www.youtube.com/watch?v=LrxOfep_i7w

 

Suki Kirai – Suka Benci

2 Mar

Bahasa Jepangnya suka adalah suki dan kirai artinya benci. Jadilah judul aneh seperti di atas. Padahal maksud suki kirai yang mau kubahas kali ini adalah “pemilih” atau “cerewet”…. dan waktu mencari bahasa Inggrisnya ketemu kata “faddily” atau “fussy“.  Dalam bahasa Jepang memang ada istilah “suki kirai ga ooi” atau “suki kirai ga hageshii“, banyak tidak suka ini itu.

Contohnya mungkin tidak sevulgar ilustrasi yang diajukan mas trainer di sini:

”Bang beli bakso setengah … nggak usah pake micin … mi kuningnya aja ya … daun bawangnya sedikit aja … bawang goreng banyakin … garemnya seujung sendok … kecapnya dua kecrot … saos tomatnya satu kecrot aja … kuahnya banjir yaaa …”

Tapi sering kita mendengar, tidak mau pakai daun bawang, atau bawang goreng, atau sayur dll. Ok deh kalau cuma satu-dua bahan yang tidak disukai, tapi kalau ini itu tidak suka? Susah lah yang masak.

Terus terang aku benci pada orang yang terlalu “milih” tidak mau ini itu. Tadinya sebelum menikah kupikir Gen adalah pemakan segala seperti aku, ternyata setelah 11 tahun hidup bersama cukup panjang juga daftar “tidak suka” nya. Dan yang heran justru dia tidak suka makanan Jepang yang aku suka hahaha. Misalnya acar takuwan (acar lobak) , shiroae (rebusan sayur yang diberi tumbukan tahu), nikujaga (semur daging dan kentang) dll. Jadi seringnya kalau aku mau makan makanan Jepang seperti itu, aku beli yang sudah jadi  dan makan sendiri hihihi. Dia suka hampir semua makanan Indonesia yang pernah aku masak, kecuali sayur lodeh 😀

Kalau Riku, tidak suka cuma wortel dan Kai tidak suka paprika (green pepper). Mungkin nanti akan banyak juga daftarnya, tapi di rumahku HARUS coba makan semua! Ngga ada tuh cerewet-cerewet ngga mau ini itu. Nah, supaya anak-anak makan sayur, kadang aku masukkan wortel dan paprika ke dalam saus meat saucenya spaghetti atau dalam daging giling :D. Makan deh.

sisa-sisa (kuping) roti + corned beef+ susu +telur+cheese, panggang 30 menit

Nah, tadi pagi di FB aku upload foto sarapan pagi berupa bread gratin, ya seperti macaroni schotel tapi bukan macaroni, tapi pakai roti (roti sisa atau kuping roti) . Dan tahu-tahu ada yang nyeletuk: Makan Natto. Oh No…. khusus Natto, aku ngga deh. Sampai si Diajeng, teman SMAku tulis begini: “Mel, natto itu apa sih, aku baca diatas…kok tumben ada yg tdk kamu suka, hehe..”. Hebat kan…. Aku memang dikenal sebagai pemakan segala! hehehe

Ini dia Natto, dimakan pakai nasi panas, katanya sih enak. Tapi kalau aku mending TEMPE kemana-mana deh 😀

Natto adalah keledai kedelai yang difermentasikan, sehingga mengeluarkan lendir. Rasanya seperti tempe busuk, dan merupakan makanan yang bergizi tinggi. Natto bisa menjadi bahan untuk diet, sayangnya aku dan kebanyakan orang asing lainnya tidak bisa makan natto….. padahal sehat sekali. (Kalau sama sekali tidak ada makanan lain, hanya ada natto dan aku lapaaaar sekali, mungkin aku bisa juga sih makan) Dan katanya semua bahan makanan yang berlendir begitu, seperti okura (sayur yang kelihatan seperti cabe hijau) juga bagus untuk kesehatan. Mau coba? hihihi (Aku pernah menulis soal Natto ini di postingan lama “Ultraman Suka Natto“)

okura ini kalau dipotong juga berlendir (foto dari wikipedia)

Semoga pembaca TE tidak cerewet dan pemilih ya… apalagi kalau mau kopdar sama aku, jauh-jauh duduknya hahaha. Ngga deh, becanda kok ;).

So… (bahan) makanan apa yang kamu tidak sukai?

 

Aduh Mama Bodoh!

1 Mar

Aku katakan itu berulang kali hari Sabtu kemarin. Dan Riku membelaku mengatakan, “Ngga kok, mama tidak bodoh. Kan mama dosen….. Mama pintar!”

Baka! (bodoh!) Aku memang hari itu pengen ngedumel itu terus. Masalahnya karena sebuah telepon yang aku terima Sabtu pagi pukul 10:25.  Sebuah telepon dari guru (bakal) TK nya Kai.

“Ibu, kok hari ini tidak datang acara pertemuan pertama orang tua dan guru?”
“LOH? Ada acara apa hari ini? Tertulis di mana?” Karena dalam otakku tak ada input bahwa tgl ini ada acara sekolahan.
“Ada tertulis di kertas kecil, “Tanda Penerimaan Murid” berwarna kuning”
“Wah maaf, saya tidak baca, jadi tidak tahu. Bagaimana ya? ”
“Tidak apa kalau ibu tidak bisa datang. Kan dulu waktu Riku sudah tahu. Nanti ambil saja dokumen dan pengumumannya di TK hari lain”
“OK. Maaf hari ini saya alergi sekali.  Muka saya bengkak. Saya ambil hari Senin deh”
“Kami tunggu”

Dan begitu aku tutup teleponnya, aku mengeluarkan sumpah serapah kata-kata itu : Baka! Kok aku bisa teledor begitu tidak membaca. Karena biasanya kalau sudah membaca satu kali aku pasti ingat. Sebeeeel banget deh hari itu. Kesal pada diri sendiri. Tapi Riku menghiburku, bahkan berkata, “Mama, kalau mama mau cepat-cepat pergi ke TK sekarang boleh loh. Nanti aku jaga Kai di rumah”…. oh anakku….

Di rumahku memang tidak boleh mengatakan “baka” pada siapapun.
“Mama, kalau kita bilang bodoh pada orang lain, berarti kita sendiri yang bodoh kan?” Riku belajar bahwa dia tidak boleh mengatakan orang lain bodoh dari tempat penitipannya Himawari. Dan itu menurun juga ke Kai. Sehingga kata “baka” biasanya keluar kalau sudah marah sekali. Atau pada diri sendiri 😀

Tapi biarlah aku bertambah bodoh/pelupa jika memang sudah saatnya (faktur U deh).  Karena aku sekarang sedang menikmati perkembangan anak-anakku yang bertambah pintar dan berinisiatif.

Seperti kemarin, aku menyiapkan bekal makan (bento) untuk anak-anak untuk dimakan waktu mereka aku titipkan di rumah keluarga Indonesia selama aku mengajar. Waktu sampai di rumah temanku itu, aku baru ingat bahwa aku tidak menyediakan sendok/sumpit. Tapi ternyata ada sumpit dan sendok. Lho kok?

“Kai kan masukin ke dalam bentonya” kata Kai. Memang aku tahu Kai menutup bento dan memasukkan dalam kantong bento. Tapi aku tidak tahu bahwa dia mengambil sumpit untuk Riku dan sendok/garpu dia dan memasukkannya ke dalam kantong. Waaaah hebat ini anak. Tanpa aku minta dia sudah tahu apa saja yang musti disiapkan.
“Kai erai (pintar)?”
“Ohhh…Kai pintar sekali… Terima kasih yah”, kataku

Demikian juga Riku. Waktu berbelanja berdua, dia memang sering bertanya, “Mama aku boleh beli ini?” Dan aku tidak begitu periksa apa saja yang dia masukkan dalam keranjang belanjaan. Waktu membayarpun tidak ada yang aneh. Nah waktu mengeluarkan belanjaan, kupikir Riku membeli satu kotak karet gelang untuk dia.
”Bukan ini buat mama, kan karet gelang di laci dapur sudah habis, jadi aku beli”
….. Aku termangu bercampur senang karena berarti dia memperhatikan isi rumahnya juga. Di Jepang orang yang “perhatian” seperti itu dinamakan orang yang mempunyai “kikubari“. Dan memang sekarang semakin sedikit anak muda yang mempunyai kikubari ini (contohnya mahasiswaku… ngga ada deh yang punya inisiatif…**curcol**).

Nah kan…. jadinya melantur deh. Udah dulu ah….

(niatnya sih bulan Maret mau posting sehari satu…. bisa ngga ya? hihihi)

Riku datang padaku, "Ma, aku sudah bisa masak Omuraisu. Ajari yang lain dong". Akhirnya aku minta dia mempersiapkan salada untuk papanya. Kai "Aku juga mau bantu!" Karena pakai pisau, jadi Kai bantu nonton saja hehehe.