Besokpun Kami Tunggu

22 Mar

Ashitamo omachishiteimasu“, adalah frase yang tertulis dalam mangkok ramen (mie kuah) yang kami makan. Tulisan itu baru terbaca jika kita sudah menghabiskan setengah mangkuk ramen itu. Hmmm sebuah iklan atau usaha pemasaran yang cukup menarik. Karena semua mangkuk restoran itu tertulis demikian, dan tidak “shitsukoi“, tidak “memaksa”, tidak “keterlaluan”.

Ashita mo omachisiteimasu.... iklan terbenam ramen hehehe

Ya sejak kejadian gempa Tohoku itu, ada beberapa kata bahasa Jepang yang dianggap “shitsukoi“. Pertama adalah kata “Gambattekudasai“. Memang kata gambattekudasai ini bagus untuk memberikan semangat, tapi dalam situasi seperti sekarang ini rasanya pengungsi juga tidak tahu mau gambaru bagaimana lagi. Sesekali mungkin boleh, tapi jika terlalu shitsukoi/ memaksa begitu esensi kata itu sendiri menjadi hilang. Mereka (pengungsi) juga bisa lelah jiwa dan raga. Karenanya ada seorang yang menyampaikan pesan begini, ” Saya tidak akan pakai kata Gambatekudasai, tapi Amaete kudasai. Ya bermanjalah pada kami kali ini. Kami akan berusaha sekuat tenaga membantu kalian. Kami ingin melihat kalian sehat dan tersenyum kembali……”

Ah, suatu pesan yang begitu mengharukan. Ya, bermanjalah selama masih bisa bermanja. Orang Jepang terkenal tidak mau bermanja pada orang lain, sehingga terlalu memaksakan diri. Mungkin inilah (sikap terlalu memaksakan diri) yang menghubungkan dengan tingkat bunuh diri yang begitu tinggi di Jepang juga. Mereka tidak biasa bermanja pada orang lain.

Kali ini pemerintah Jepang juga mulai membuka diri, “bermanja” pada negara lain. Aku baru tahu bahwa waktu gempa di Kobe 16 tahun lalu, pemerintah Jepang menolak bantuan dari luar negeri, dan mengatakan bahwa “Kami bisa mengatasinya sendiri”. Tapi untuk gempa Tohoku kali ini, pemerintah membuka dirinya terhadap bantuan negara lain. Dan terus terang itu bagus. Dalam hubungan antarmanusiapun adakalanya kita menjadi pihak kuat yang memberikan bantuan terus menurus, tapi dengan kita menjadi korban, dan menerima bantuan serta perhatian dari orang lain, saat itu juga kita mengetahui dan merasakan hubungan yang lebih intim.

Kata kedua yang juga dirasakan shitsukoi saat ini adalah “Gokyoroku onegaishimasu“, yang diteriakkan di stasiun-stasiun, pusat pertokoan dan di depan gedung-gedung terkenal. Meminta sumbangan dengan berbaris dan memegang kotak dana. Memang tidak memaksa seperti kegiatan beberapa oknum di Indonesia yang sampai menghentikan mobil di tengah jalan untuk meminta sumbangan pembangunan rumah ibadah, tapi suasana seperti ini memang jarang terjadi di Jepang. Kegiatan ini dilakukan per kelompok dan tidak pernah hanya sendirian/2-3 orang saja. Minimum 10 orang, sambil juga mengucapkan terima kasih pada orang yang baru memasukkan uang ke kotak. Hmmm risih juga rasanya. Well, selama bisa mengumpulkan banyak dana, tidak apalah.

Gempa bumi kali ini memang yang terbesar dalam sejarah Jepang. Perlu banyak dana untuk membangun kembali kota-kota dan infrastruktur yang hancur akibat tsunami. Dan dari koran pula kami mengetahui betapa banyak orang (baca artis dan orang terkenal) yang concern pada keadaan pengungsi. Aku cukup kaget membaca seorang mantan pembawa acara TV yang terkenal menyumbangkan 200juta Yen sebagai sumbangan pribadi untuk kegiatan penggalangan dana gempa Tohoku ini. Wah, pembawa acara bisa punya uang “lebih” sebanyak itu ya…. (Lalu dijawab mertuaku, dengan memberikan uang sumbangan, dia juga tidak usah bayar pajak banyak atas hartanya kan, hehehe iya juga sih)

Hari Minggu lalu, kami sekeluarga pergi ke misa pukul 12 siang di gereja Kichijoji. Naik bus dari rumah kami, sudah cukup banyak orang yang bepergian dengan bus, sehingga kami menunggu kedatangan bus berikut, supaya bisa duduk. Kami sampai di gereja 10 menit sebelum misa dimulai.

Dalam misa kami mengetahui bahwa ternyata gereja kami itu dipakai sebagai tempat penampungan 40 orang Filipina dari daerah bencana. Sebagian dari mereka akan pulang ke negaranya, dan sebagian akan ditampung di tempat lain. Tapi untuk sementara mereka datang menginap di gereja selama 2 malam. Untung saja gereja memiliki pengurus dari umat, sehingga proses penampungan dan persiapan logistik mereka dapat tercukupi. Jadi selain kegiatan penggalangan dana untuk korban Gempa yang disalurkan melalui Caritas Jepang, umat juga dimohon bisa membantu penyediaan logistik/finansial pengungsi yang mungkin juga akan datang lagi.

Selesai misa, kami mampir makan di sebuah rumah makan di samping toko sate minggu lalu. Kami baru pertama kali ke situ, dan tempatnya cukup bagus. Karena selama seminggu kami juga berhemat, dan aku tidak bisa berbelanja bahan makanan mentah, kami memilih makan sashimi (ikan mentah). Perlu diketahui bahwa harga makanan di restoran Jepang, berbeda harganya antara lunch dan dinner. Aku rasa hampir semua restoran di Luar Negeri (selain Indonesia) semua begitu ya? Untuk lunch di restoran biasanya maksimum 1000 yen, sedangkan kalau dinner sulit untuk bisa 1000 yen. Kalau di Tokyo per orang budget untuk dinner minimum 3000 yen.

Sambil makan, Gen bertanya apakah kita bisa pergi ke Yokohama, rumah ayah ibunya. Naik kereta memang lebih dekat dari Kichijoji. Aku sih tidak apa-apa, meskipun aku sudah tahu kalau pergi ke Yokohama, kami ada kemungkinan besar harus menginap 😀 (Senin adalah hari libur Equinox di Jepang). Rencananya memang selalu pulang hari, tapi…. suamiku ini biasanya tertidur dan akhirnya kemalamam, dan akhirnya terpaksa menginap hehehe.Tapi kupikir tidak apalah, toh rumah sudah dikunci dan tidak ada yang harus ditangani dalam waktu dekat (bisa menunggu sampai esoknya)

Jadi begitulah, kami pergi ke Yokohama melalui Shibuya. Pertama kali aku keluar sampai Shibuya sesudah gempa. Aku juga ingin tahu bagaimana sih keadaan kota saat ini. Ternyata? …semua teram temaram 😀 Ya semua menghemat listrik, sehingga peron hanya separuh lampu dinyalakan. Pintu masuk peron otomatis juga hanya berfungsi separuh. Lampu-lampu iklan/ billboard tidak dinyalakan. Lampu dalam kereta juga tidak dinyalakan, kecuali waktu melewati terowongan. Toko-toko selain tidak menyalakan semua lampu juga tidak memasang heater. Semua berhemat, dan kupikir itu baik adanya. Karena selama ini Tokyo TERLALU BOROS dengan pemakaian listrik.

Karena hari Minggu, maka kereta yang dioperasikan juga hanya kereta lokal, yang berhenti di setiap stasiun. Tidak ada kereta ekspress. Bagi yang bepergian jauh pasti butuh waktu dua kali lipat dari biasanya. Jadi kupikir bagus juga deh, dengan kondisi seperti ini memaksa orang Jepang juga untuk slowdown, tidak usah lari-lari 😀

Selama di rumah mertua, kami benar-benar bisa relaks. Rumahnya juga lebih luas dari apartemen kami, sehingga anak-anak bisa berlarian dan … teriak-teriak :D. Bapak mertua juga memasang video dan program TV yang BUKAN berita sehingga memaksaku juga untuk mengistirahatkan otak. Aku juga enjoy menonton film Peter Pan yang direkam oleh bapak mertua khusus untuk cucu-cucunya. Program televisi mengenai seorang wanita Inggris yang tinggal di Kyoto. Rumah khas Jepang tapi dikelilingi dnegan kebun Inggris. Wah benar deh, kebun Inggris itu benar-benar penuh dengan bunga dan  kehijauan yang berbeda dengan taman Jepang.

Dan yang pasti, semalam menginap di rumah mertuaku itu membuatku juga beristirahat dari masak hehehe. Sebelum kembali ke rumah hari Senin malam itulah kami makan ramen di Kichijoji. Meskipun tidak seperti Bakmi GM, cukuplah untuk melengkapi hari libur kami. Dan perjalanan kami naik kereta juga cukup bisa menghibur kami. (Belum bisa naik mobil, karena sulit bensin nih 😀 bisa hemat BBM deh)

Oh ya. Besokpun Aku Tunggu kehadiran teman-teman semua di TE yah 😀

Pengaruh Media

20 Mar

Dalam kondisi seperti sekarang ini, memang media sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi. Surat kabar memang tertulis dan akurat tapi tetap hanya bisa membaca semacam laporan hari sebelumnya, yang tidak perlu diketahui saat itu juga. Sehingga untuk real time, kami lebih bergantung pada siaran televisi dan radio, dan/atau media online yang berafiliasi dengan media cetak.

Aku sendiri memanfaatkan NHK Televisi di rumah. Rasanya saat ini aku merasa bangga juga karena selalu membayar iuran NHK yang setiap bulannya ditarik 1340 yen. Begitu gempa terjadi, aku langsung menyalakan NHK dan mendapatkan berita akurat yang disiarkan terus menerus. Tentang gempa, gempa susulan, tsunami, jumlah korban, kemudian tentang PLTN Fukushima, dan pemadaman listrik. Pembacaan berita diselingi oleh siaran langsung dari pemerintah, yaitu Menteri Sekretaris Kabinet Edano Yukio, Perdana Menteri Jepang Kan Naoto, pihak Tepco, dll. Juga siaran perkembangan di daerah pengungsian. Semua bisa diikuti di NHK.

Jika aku kalah dengan anak-anak karena mereka mau menonton acara anak-anak, ya aku pindah ke Radio untuk mendengar berita NHK melalui gelombang FM. Karena tanpa tayangan visual, biasanya jika ada berita penting aku minta anak-anak bersabar karena mamanya mau melihat visual dari yang diberitakan. Begitu selesai, kembalikan lagi TV ke anak-anak. Kasihan juga pada mereka karena terus terang sejak kejadian gempa tgl 11 Maret lalu selama kurang lebih 4 hari mereka terpaksa melihat berita terus menerus (yang kemudian berdampak negatif pada Riku, untung sekarang sudah hilang)

Karena aku menonton NHK terus menerus, aku tidak tahu apa yang disiarkan oleh TV swasta, baru setelah 5 hari lewat aku juga mulai melihat chanel lain. Dan yang mencolok bisa terlihat adalah berkurangnya pemasangan iklan dari perusahaan sponsor. Bagian iklan diisi oleh Iklan Layanan Masyarakat dari AC Japan (Advertising Council Japan) yang intinya ingin mengajak masyarakat untuk peduli pada korban gempa dan tsunami. Salah satu iklan yang menarik misalnya tentang kikubari, perhatian terhadap sesama. Seperti adegan seorang pelajar lelaki yang melihat tindakan orang lain yang memberikan tempat duduknya pada bumil, dan akhirnya dia juga membantu seorang lansia yang sedang naik tangga. Tentang iklan ini sahabatku, Mas Sapto Nugroho menulis di Kompasiana. Silakan baca.

Tapi karena iklan layanan masyarakat ini terlalu sering, rasanya juga bosan mendengar himbauan seperti ini terus menerus. Tapi dari chanel swasta ada beberapa hal yang aku juga bisa lihat, antara lain perkembangan kumpulan sumbangan yang dibuka oleh Stasiun TV tersebut. Misalnya pada saat aku melihat chanel Nihon Terebi, mereka melaporkan bahwa sudah terkumpul 400juta yen. Suatu pengumuman yang tidak ada di TV NHK. Selain itu aku juga bisa mendengar diskusi-diskusi mengenai penanganan masalah (nuklir dan pengungsi) yang lebih keras dan kritis daripada NHK. Yah, mereka juga dibayar untuk “bersuara”. Tapi aku pribadi lebih suka mendengar berita yang tidak “radikal”, yang hanya memberikan info begitu saja, tanpa perlu dianalisa. Tapi untuk PLTN, di NHK  analisanya dilakukan seorang ahli Nuklir dari Tokyo University, Prof Sekine. Dan aku suka gayanya yang cool (meskipun sementara orang mengatakan “dia tidak tahu apa-apa”).

Well, memang sulit untuk memilih info mana yang terbaik untuk kita masing-masing. Saking banyaknya media yang bisa dipilih, kadang kita terlalu “banjir” info, yang kadang menyesatkan dan membuat panik. Jangan lupa bahwa di internet, orang bebas untuk mengemukakan pendapat.

Sejak terjadi gempa, aku memang memakai FaceBook sebagai tempat untuk “berkumpul”, bertukar informasi. Mungkin ada beberapa teman yang juga di Jepang yang kurang bisa membaca bahasa Jepang sehingga menganggap tulisanku bisa dipakai sebagai sumber informasi. Terima kasih untuk kepercayaan itu, karena sebetulnya aku juga HANYA menulis saja, menulis apa yang sedang terjadi sebisa mungkin TANPA bumbu. Kalau tidak ada datanya lebih baik aku tidak tulis, karena akan membuat orang bingung.

Dan dipikir-pikir, aku juga merasa beruntung aku tidak lagi menjadi DJ Radio (bisa baca di “Kugadaikan Cintaku” ceritanya). Karena stasiun Radioku dulu itu sebenarnya didirikan untuk memberikan informasi kepada warga asing yang tinggal di Tokyo dan sekitarnya dalam bahasanya sendiri. Jika aku masih bekerja di situ, dan jika stasiun Radio itu masih bertujuan yang sama seperti pada awalnya didirikan, maka aku pasti harus berada di studio terus, untuk siap memberikan laporan gempa, informasi dalam bahasa Indonesia dan termasuk membacakan nama-nama korban/ orang hilang. Sekarang aku cukup menulis di blog TE saja bukan? 😀 Tanggung jawabnya lebih ringan.

Ada beberapa teman di FB juga yang menanyakan padaku, “Dalam laporan gempa Jepang, saya belum melihat liputan yg memperlihatkan korban dalam keadaan yg sangat menyedihkan sehingga terkesan …tidak manusiawi”

Memang Jepang tidak pernah menayangkan korban atau jenazah dalam tayangan TV sehari-hari. Juga tidak dalam bentuk foto di media cetak. Kenapa?

Aku jawab karena Jepang sangat menghargai hak asasi manusia, sehingga ada privacy law, undang-undang menjaga kerahasiaan individu. Aku pun selalu berusaha mem-blurkan wajah orang-orang dalam foto yang kupakai di sini, kecuali jika anggota keluarga atau teman orang Indonesia yang sudah pasti tidak keberatan. Sebelum difoto atau disorot, biasanya pihak TV/wartawan bertanya dulu apakah bersedia disorot. Nah, jenazah pun sebelumnya adalah manusia, tapi tak bisa ditanyakan bukan? Itu jawabanku hanya berdasarkan hak asasi manusia. Tapi selain itu aku juga sudah pernah menjelaskan di TE sekilas, bahwa dalam upacara penguburan pun, tidak ada orang yang memotret jenazah. Tabu! Meskipun memang aku belum pernah bertanya apakah ada dasarnya dalam agama Buddha. Nanti kalau kebetulan bertemu dengan pendeta Buddha akan aku tanyakan. Tabunya lebih pada perasaan/hati. Tentu saja lebih baik kita mengenang orang yang kita cintai itu dalam rupa yang bagus, ceria, sebelum meninggal kan? Daripada mengingat muka terakhirnya yang mungkin dalam rupa kesakitan atau mungkin rusak karena kecelakaan. Intinya apakah kita memakai HATI atau tidak. Etika di sini juga memegang peran. 

(Mungkin bisa baca juga kritik dari Sapto Nugroho tentang : Kritik ke KOMPAS : Judul Menarik tidak harus membuat Panik)

Setelah aku mencari-cari apa sih dasar hukumnya, mengapa di TV/atau koran tidak ada tayangan/foto  jenazah? Aku menemukan jawaban sebagai berikut: (Bisa baca blog dalam bahasa Jepangnya di http://shima-x.petit.cc/banana/20100117164515.html. )

Menurut UU Penyiaran Jepang (Housoushou 放送法) Pasal 3 ayat 2:
Sebagai kewajiban dan persyaratan penting program penyiaran yang merupakan tanggung jawab setiap perusahaan adalah:
Tidak merugikan keamanan umum dan merugikan kebaikan moral umum
adil dalam bidang politik (tidak berat sebelah)
Penyiaran tidak membelok dari kenyataan/kebenaran
Jika terdapat perbedaan pendapat, sedapat mungkin dijelaskan dari berbagai sudut.

karena itu penayangan mayat di media bisa dianalisa:
– membuat mual, merugikan kondisi kesehatan
– memberikan pengaruh buruk pada anak-anak (yang juga melihat tayangan itu)
– Tanggapan, isi, tampilan dari si pembuat
– Berpikir dari sisi jenazah itu, menghormati jenazah, masalah agama
– reaksi dari perusahaan sponsor
– reaksi dari komite moral penyiaran.

Dan isi dari UU Penyiaran itu juga bisa menjawab pertanyaan berikut:

“Apa TV di Jepang itu hanya memilih tayangan yang bagus-bagus dan ada sensor ya? Kok terlihat masyarakat Jepang tenang saja sesudah gempa dan masih antri lagi untuk pulang? Segitunya tenang dan teraturnya mereka ya?”

Memang begitulah adanya masyarakat Jepang sama seperti apa yang ditayangkan oleh media. Karena sebetulnya TV juga mengambil gambar bahwa barang-barang di toko-toko habis, bukan? Itu bukan berita bagus kok menurutku, jadi memang begitulah kenyataannya. Bahkan kemarin ada tayangan pembagian makanan di tempat pengungsian, bisa dilihat mereka juga antri untuk mendapatkan makanan. Tidak ada yang berebut. Malah ada volunter yang mengambilkan makanan, atau berkeliling yang menanyakan kebutuhan para lansia yang di pengungsian. Apakah memang begitu semua? Tentu saja ada beberapa kasus yang negatif, tapi jumlahnya begitu kecil. Bukan karena tidak dilaporkan tapi karena tidak ada sedikit sekali kejadiannya. Ada kok berita tentang anak yang menipu dengan alasan sumbangan ke pusat gempa padahal masuk kantong sendiri. Jumlah kerugian? 2000 yen! Kecil kan?

Satu hal lagi yang ditanyakan media asing terutama di Amerika. Mengapa tidak ada penjarahan di Jepang sebagai dampak dari musibah? Waktu ada bencana hurricane di Amerika, dikatakan banyak terjadi penjarahan, mumpung penghuni/pemilik tokonya tidak ada, ambil saja! Di Indonesia juga terjadi penjarahan besar-besaran tahun 1998 kan? Mengapa?

Di Jepang ada istilah Kajibadorobou. Orang yang menjarah pada wkatu terjadi kebakaran (musibah). Ada? Tentu saja ada, tapi sedikit, tidak banyak. Mungkin karena orang Jepang tidak terlatih untuk merampok 😀 Kalau mau berbuat kejahatan lebih rapih, seperti ore-ore (lewat telepon/transfer). Dan secara moral orang yang mencuri pada saat musibah sudah dicap saitei 最低 tidak berharga lagi hidup sebagai manusia.

Meskipun sebetulnya kalau aku pikir tindakan seperti menyerbu membeli bahan makanan gila-gilaan di toko-toko hampir serupa dengan Kajibadorobou juga kan? Memanfaatkan musibah untuk diri sendiri. OK deh kalau memang sama sekali tidak ada persediaan. Karena aku tahu juga bahwa orang Jepang jarang menyimpan barang, biasanya secukupnya saja, dan berbelanja setiap hari. Lagipula mau membeli barang banyak juga mau simpan di mana? Rumah terlalu kecil. Biasanya aku pun sekali membeli beras max 5 kg. Lain dengan mereka yang tinggal di daerah dingin dan rumahnya lebih besar yang setiap membeli 30 kg.

Aku memang tidak rush untuk berbelanja seperti orang lain. Kupikir untuk seminggu masih cukup kok makanan. Aku tahu bahwa barang di supermarket tidak ada juga dari teman-teman yang tinggal di Tokyo dari tulisan mereka di FB. Susah memang untuk menahan diri untuk tidak ikut panik. Seperti kata Gen, “Orang-orang itu panik kan karena mereka mau segala sesuatunya TIDAK BERUBAH, tidak mau menyesuaikan diri. Kalau memang tidak ada susu, telur dan roti, ya tidak usah panik kan? Kita bisa tetap hidup tanpa itu.”
Ah, untung sekali pemikiranku juga sama dengan pemikiran suamiku. Kesempatan juga untuk matiraga selama bulan Puasa (Katolik – menyambut Paskah).

Tenang dan jangan panik. Justru harus kita praktekkan dalam saat-saat seperti ini. Tapi memang ketenangan itu timbul karena KEPERCAYAAN. Bukan hanya kepercayaan kepada Tuhan yang memang mutlak, tapi aku juga seperti warga Jepang lainnya PERCAYA bahwa Pemerintah Jepang TIDAK AKAN mengorbankan warganya.

Aku share email dari temanku Alex sehubungan dengan recording Yamaha sebagai berikut:

Hello Imelda-san,

It was really a pleasure to hear your cheerful voice this afternoon. In the times like now I am so happy that I am able to talk to people like you and I am happy that you are fine.

Believe it or not but people in Japan are still keep on working: maybe for those who are abroad it’s hard to believe but we both know it is true. Some of my friends left Japan in panic like my good old ****** buddy xxxxxx who came to Japan more than 30 years ago, I really couldn’t believe it…

Anyway I am sending you the text and 2 maps of the studio in Akasaka for the recording on March 22, Tuesday. I will see you there. If there are any questions please let me know anytime.

Till then – all the best and may the God bless us all,Alex

 

Masih kurang percaya? silakan juga baca tulisan seorang Indonesia di Tokyo, Pepih Nugraha yang menulis “Mengapa Saya (Masih) Bertahan di Tokyo“.

It is all about Faith, about Confidence, about Loyalty, about LOVE

Sebagai penutup tulisan aku ingin sharing sebuah lagu dari ANPANMAN. Tahu kan anpanman? Karakter roti yang pernah aku tulis di sini : Roti Sebagai Sumber Ide. Lagu Anpanman March ini populer di kalangan anak-anak. Dan untuk menghibur anak-anak di pengungsian diputar oleh sebuah stasiun Radio. Teman-teman blogger seperti  Imoe, Koelit Ketjil, Kika, Yoga, Uda Vizon, dkk tentu tahu bagaimana anak-anak di pengungsian memerlukan penghiburan untuk meringankan trauma mereka. Bukan terus menerus kabar sedih yang harus mereka terima, mereka tetap mempunyai harapan untuk maju dan hidup. Mereka butuh bermain, bergembira, meskipun sulit. Nah, lagu anak-anak yang diputar ini TERNYATA dapat menghibur pengungsi dewasa lainnya. Karena mereka juga baru sadar kata-katanya saat itu. Begini liriknya:

Ya! Senangnya, Gembira akan Kehidupan ini
Seandainya pun ada luka di dada.

Untuk apa kita lahir,  apa yang dilakukan untuk hidup
Jangan sampai tidak bisa menjawabnya
Bakarlah semangat dengan Hidup yang sekarang ini
Karena itu kamu, pergilah dengan senyum

Ya! Senangnya, Gembira akan Kehidupan ini
Seandainya pun ada luka di dada.

Ah Anpanman yang baik
Pergilah! Pertahankanlah mimpi semua orang

Apa yang kamu perbuat untuk bisa bahagia,
apa yang kamu perbuat untuk bisa gembira
Jangan sampai selesai tanpa mengerti apa-apa
Jangan lupakan mimpi, Jangan teteskan air mata
Karena itu kamu, terbang sampai manapun juga
Jangan takut, untuk semua orang
Hanya CINTA dan KEBERANIAN, teman kita

Ah Anpanman yang baik
Pergilah! Pertahankanlah mimpi semua orang

そうだ うれしいんだ 生きるよろこび
たとえ 胸の傷がいたんでも

なんのためにうまれて なにをして 生きるのか
こたえられないなんて そんなのは いやだ!
今を生きる ことで 熱い こころ 燃える
だから 君は いくんだ ほほえんで
そうだ うれしいんだ 生きるよろこび
たとえ 胸の傷がいたんでも

ああ アンパンマン やさしい 君は
いけ! みんなの夢 まもるため
なにが君の しあわせ なにをして よろこぶ
わからないまま おわる そんなのは いやだ!
忘れないで 夢を こぼさないで 涙
だから 君は とぶんだ どこまでも
そうだ おそれないで みんなのために
愛と勇気だけが ともだちさ

ああ アンパンマン やさしい 君は
いけ! みんなの夢 まもるため

時は はやく すぎる 光る星は 消える
だから 君は いくんだ ほほえんで
そうだ うれしいんだ 生きるよろこび
たとえ どんな敵が あいてでも

ああ アンパンマン やさしい 君は
いけ! みんなの夢 まもるため

(Pencipta Miki Takashi ) Jika mau dengar silakan dengar di YouTube ini.

Hidup terus berjalan….

dan aku menutup tulisan ini sambil menonton TV tentang kantor pos yang berada di daerah gempa (yang masih berdiri) dibuka kembali, dan semua surat yang belum disampaikan, diantarkan ke rumah-rumah, sambil mencari warga di pengungsian juga.

dan lagu yang dinyanyikan oleh siswa yang mengikuti upacara kelulusan di pengungsian:

asu toiu hi ga arukagiri
shiawase ni shinjite

Selama ada hari yang disebut ESOK
Percayalah pada KEBAHAGIAAN

Asu toiu hi http://www.youtube.com/watch?v=QQsKdWKmY-A

dan Selamat Hari Minggu!

*********************************************************************:

Tanggapan Tim Nuklir Indonesia KBRI Tokyo Terhadap Peningkatan Status INES 5 dari PLTN Fukushima

 

Pada hari Jumat,18 Maret 2011, NISA (Badan Pengawas Keselamatan Industri dan Nuklir Jepang) mengeluarkan informasi pada sekitar pukul 18.00 tentang dinaikannya level INES (International Nuclear Events Scale) dari level 4 menjadi level 5 dari skala 7. Peningkatan level ini dilakukan karena lebih dari 3% bahan bakar (fuel) telah mengalami kerusakan (damage). Menurut berita NHK, level 5 ini sama dengan level ketika terjadi kecelakaan pada Three Miles Island-2 (TMI-2) yang terjadi pada tahun 1979.

Pengumuman skala INES menjadi 5 oleh pemerintah Jepang ini tidak diikuti dengan perluasan daerah evakuasi. Sehingga hingga saat ini, daerah evakuasi tetap 20 km dan antara 20 km hingga 30 km disarankan tetap berada dalam ruangan. Dengan melihat data laju dosis radiasi di reaktor Fukushima Daiichi ataupun di beberapa daerah lain (lihat Update Laju Radiasi 18 Maret 2011), memang tidak terlihat peningkatan, terlebih lagi peningkatan yang signifikan. Bahkan data pengukuran mengindikasikan bahwa tindakan pendinginan melalui operasi penyemprotan air mampu menurunkan dosis radiasi. Usaha untuk memulihkan kembali sumber listrik pada instalasi memberikan harapan pemulihan sistem pendingin reaktor. Meskipun keberhasilan dua usaha ini masih perlu menunggu perkembangan lebih lanjut.

Selain pertimbangan dari Tim Nuklir yang berada di Crisis Center KBRI Tokyo, analisis pakar keselamatan reaktor nuklir di tanah air juga memperkuat pertimbangan. Dr. Setiyanto, Kepala Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir BATAN, sesaat setelah pengumuman peningkatan level INES dari 4 menjadi 5 (18 Maret 2011), menyatakan bahwa dari data yang ada, dosis radiasi dari reaktor Fukushima Dai-ichi belum mengkhawatirkan. Beliau pun menyatakan bahwa radius evakuasi 20 km dari pemerintah Jepang sudah cukup aman, meskipun skala kecelakaan ditingkatkan menjadi INES 5.

Dengan memperhatikan berbagai faktor di atas, hingga saat ini KBRI Tokyo belum mengubah rekomendasinya terkait penentuan radius evakuasi, yaitu tetap 50 km. Oleh karena itu, semua WNI di Jepang diminta untuk tetap tenang dengan tetap memperhatikan sumber-sumber informasi dari Pemerintah Jepang dan KBRI Tokyo.

 

The Show Must Go On

18 Mar

Apapun yang terjadi! Kita tentu sering mendengar ungkapan ini kan? Tapi siapa sangka bahwa ini berlaku juga dalam keadaan musibah? Dalam kekacauan setelah gempa. Kalau orang kita mungkin, “Batalkan saja!”….

Memang orang Jepang terkenal dengan dedikasinya yang tinggi terhadap pekerjaannya. Sampai dikatakan bahwa orang Jepang tidak sayang keluarga. Dan itu memang benar. Aku sendiri mengalami dan mengetahui, pantaslah negara Jepang maju, karena setiap orang seperti ini.

Sudah baca ceritaku yang Pemadaman Listrik kan? Suamiku pagi sesudah Gempa Tohoku itu masih pergi ke kantor, naik mobil karena transportasi banyak yang dibatalkan, belum lagi giliran pemadaman listrik. Orang Jepang lainnya? Tetap ke stasiun sambil menunggu kalau-kalau kereta jalan, atau naik bus, jalan kaki ke kantor. Dan tahu dong bahwa kebanyakan pegawai tinggal di pinggiran Tokyo atau bahkan di prefektur lain, seperti Kanagawa, Chiba atau Saitama. Adikku tidak ke kantor karena tidak ada transportasi, dan diperintahkan atasannya untuk kerja di rumah. Lagipula dia memang sering kerja di rumah. IT memang tidak perlu berada di kantor, bisa di remote dari rumah. Tapi itu juga karena perusahaannya adalah perusahaan Amerika. 🙂

Kalau orang Indonesia mungkin fifty-fifty, ada yang pergi ke kantor dengan segala cara, ada yang tetap di rumah. Masalahnya memang bukan “sayang atau tidak sayang keluarga”!

Ok deh, memang suamiku masih tinggal di Tokyo, yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa. Pasti mereka yang tinggal di Sendai tidak akan “ngoyo” begitu kan? Tapi dari percakapan dengan adik ipar Empat Telepon, aku tahu bahwa meskipun dalam keadaan gempa begitu, Adik Gen TETAP pergi kerja, meninggalkan anak-istrinya dalam gelap di apartemen sendirian. Tentu saja jalan kaki, menunaikan tugasnya sebagai bagian editing berita.

Ada yang memberikan komentar “Saya pikir sekolah diliburkan?”
Memang ada beberapa sekolah yang diliburkan di Tokyo berkenaan dengan pemadaman listrik bergilir, tapi SD nya Riku sejak Senin, jalan terus.

Pagi hari Senin itu daerah kami mendapat giliran pemadaman pagi hari dari pukul 6:20 sampai 10 pagi. Karena ragu apakah sekolah tetap jalan atau tidak aku memutuskan dalam hati bahwa Riku akan sekolah jika listrik sudah nyala jam 10, biarlah terlambat. Eh tahu-tahu jam 7 pagi aku mendapat telepon beranting dari Ibu pengurus kelas yang isinya, “Pemda memang menyatakan bahwa sekolah SD wilayah kami terkena dampak pemadaman listrik, tapi kegiatan pembelajaran tetap dilaksanakan. Makan siang juga tetap disediakan”. Karena aku yang terakhir aku perlu menelepon ketua pengurus kelas kami bahwa sudah menerima pesannya. Sistem telepon beranting  Renrakumou benar-benar dipakai saat-saat begini. (Bisa baca di Hubungan dari Hantu ke Hantu)

Jadi aku membiarkan Riku berangkat ke sekolah sendiri seperti biasa, lagipula ternyata wilayahku tidak jadi mati listrik. Tapi begitu pulang Riku membawa surat pengumuman dari pihak sekolah dan memakai topi pelindung yang dinamakan Bousai Zukin 防災頭巾. Topi ini sebetulnya berbentuk empat persegi panjang yang terbuat dari bahan anti terbakar, dan diberi busa pelindung kepala jika kejatuhan barang. Topi ini jika tidak dipakai dilipat dan dijadikan cushion, bantal duduk. Tapi yang aku tahu TK menjadikannya cushion, tapi SD ditaruh di senderan kursi . Tapi yang pasti, berada dalam jangkauan anak-anak. Sehingga jika terjadi kebakaran atau gempa bumi, anak-anak sudah terlatih untuk mengambil Bousai Zukin ini dan memasangnya di kepala. Setiap sebulan sekali ada latihan mengungsi Hinan Kunren 避難訓練 di sekolah.

Bousai Zukin

Isi pengumumannya sebagai berikut:
1. Sedapat mungkin murid datang ke sekolah diantar orang tua/ atau bersama-sama teman. Harap menggunakan topi pelindung.
2. Untuk tgl 17 dan 18, kami sulit menyediakan makan siang karena kemungkinan pemadaman listrik dan ada masalah distribusi bahan makanan ke masing-masing sekolah (masaknya di sekolah). Karena itu tolong bawakan bento (bekal makan siang) untuk anak-anak Anda.
3. Karena ada kemungkinan pemadaman listrik, berarti tidak bisa memasang heater. Anak-anak harap memakai baju yang tebal, yang memungkinkan belajar tanpa heater.
4. Selama seminggu ini harap terus membawa thermos berisi air minum.

Ah, mereka memang sudah siap semua untuk segala kemungkinan. Aku bahkan lebih percaya menitipkan anak-anakku di sekolah daripada di tempat lain.

Jadi begitulah sekarang setiap pagi aku mengantar Riku ke sekolah bersama Kai. Tanggal 15 kemarin Kai memakai helmet sepeda, karena melihat Riku pakai Bousai Zukin. Untuk Kai dia belum memakai Bousai Zukin karena belum sekolah di TK. Begitu masuk TK dia akan memakai Bouzai Zukin yang kira-kira sama bentuknya seperti SD. Tapi mulai tgl 16 Kai tidak memakai helmet lagi.

Gempa susulan yang agak besar hampir terjadi setiap malam. Biasanya persis waktu kami bertiga sudah dalam selimut akan tidur. Tiga kali kejadian, Riku sudah tertidur dan tidak terbangun oleh gempa susulan itu, sedangkan Kai masih melek dan selalu memeluk aku setiap gempa. Aku cuma berdoa asal jangan gempa lebih besar dari 6 SR, kalau 6 SR kami sudah terbiasa, jadi sudah tahu apa yang harus diperbuat.

Lagipula hampir setiap akan ada gempa besar, HP ku berbunyi sebagai “Earthquake warning”. Aku tidak tahu bahwa pemakai HP jenis lainnya, yaitu Softbank — operator yang terbanyak dipakai oleh orang Indonesia, karena bisa iPhone — tidak otomatis memberikan servis ini. Aku beruntung sekali karena setiap kali berbunyi, meskipun deg-degan, anak-anak dan aku bisa langsung berlindung di bawah meja makan. Kai sudah terlatih sekali sehingga begitu dia mendengar bunyi tertentu dia selalu bersembunyi di bawah meja. Kemarin malam (sekitar jam 8 malam) pas aku berada di WC, alarm itu berbunyi. Aku cepat keluar WC dan melihat kedua anakku sudah di bawah meja. HEBAT!

Sebagai penutup aku mau melampirkan Surat Press dari Ketua PPI Jepang mengenai Radiasi PLTN Nuklir. Selamat membaca:

 

***************************************************************

SIARAN PERS

Pernyataan Sikap Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI Jepang)

Perihal Pemberitaan Media Nasional yang Tidak Profesional Terkait Bencana di Jepang, Maret 2011

Berkaitan dengan bencana gempa di Perfektur Miyagi, Jepang, berskala 9 Richter yang disusul dengan tsunami dan ancaman radiasi nuklir, kami mahasiswa Indonesia di Jepang sangat menyayangkan berita-berita di beberapa media nasional yang dinilai tidak profesional dalam menyiarkan informasi. Kami mendapati berita-berita tersebut salah dan tidak sesuai dengan fakta sebenarnya di Jepang sehingga mengakibatkan keresahan berlebihan bagi masyarakat dan keluarga di tanah air.

Untuk itu, atas nama seluruh mahasiswa Indonesia di Jepang, Pengurus Pusat PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Jepang menyampaikan pernyataan sikap seperti di bawah ini, meliputi peringatan bagi pers dan informasi keadaan WNI di Jepang secara umum.

Peringatan bagi pers

Menimbang:

1. bahwa kami banyak mendapati berita di media-media nasional yang bersifat berlebihan dan meresahkan. Berita-berita ini umumnya salah dalam mengungkapkan data serta salah dalam memahami konteks sehingga menimbulkan misinterpretasi bagi masyarakat Indonesia.

2. beberapa contoh yang kami anggap fatal dari beberapa berita yang tersebar adalah berita bertajuk:

– “881 WNI di Jepang Selamat, 30.636 Belum Diketahui Nasibnya” tanggal 15 Maret dan,

– “Jepang Berusaha Hidupkan Kembali Listrik PLTN Fukushima” tanggal 17 Maret.

Keduanya dipublikasikan oleh salah satu portal berita nasional.

– berita pertama, walaupun kemudian diralat, dinilai salah dalam memahami konteks demografi persebaran WNI yang ada. Sebab, selain keempat perfektur ini, Miyagi, Iwate, Fukushima, Aomori, kondisi WNI di lokasi lain tidak mengalami gangguan yang berarti. Angka 30.636 orang adalah salah konteks.

– berita kedua dinilai tidak mengindahkan kaidah jurnalistik sehingga menimbulkan kesan seluruh Jepang mengalami pemadaman listrik padahal kenyataannya tidak demikian.

3. berita-berita seperti di atas menyebabkan kecemasan yang berlebihan, terutama di tanah air. Salah satu akibatnya adalah Posko Crisis Center KBRI Tokyo banyak sekali menerima permintaan konfirmasi terkait berita-berita tersebut, padahal KBRI Tokyo telah menyediakan informasi di situsnya.

Meminta:

4. kepada media nasional agar lebih profesional dalam berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Pers. Salah satunya dengan menyiarkan berita secara informatif, berimbang serta diambil dari sumber-sumber yang kredibel.

Kondisi umum WNI di Jepang

5. PPI Jepang menghimbau agar segala informasi mengenai kondisi WNI di Jepang dapat dirujuk melalui satu sumber yaitu Posko Crisis Center KBRI Tokyo. Silahkan merujuk pada situs KBRI Tokyo, Twitter @KBRITokyo maupun Facebook Kbri Tokyo.

6. bencana gempa, tsunami, dan meledaknya PLTN Fukushima hanya berdampak langsung pada   perfektur-perfektur di daerah utara Pulau Honshu, seperti Miyagi, Iwate, Fukushima, Aomori. Sedangkan secara umum kondisi di daerah selain itu, termasuk Tokyo, Osaka, Hiroshima, Fukuoka, di mana masyarakat Indonesia paling banyak berkumpul, dilaporkan aman dan tak ada korban.

7. KBRI telah berhasil mengevakuasi dan memulangkan lebih dari 100 WNI asal Sendai, Perfektur Miyagi ke Indonesia. Dan sampai saat ini, KBRI sedang mengevakuasi WNI lainnya di kota-kota di utara, seperti Iwate, Fukushima, Kesennuma, dan sebagainya. Selengkapnya bisa diakses di situs KBRI Tokyo.

8. terkait ancaman radiasi nuklir PLTN Fukushima, berdasarkan pada hasil rapat antara KBRI Tokyo dengan para ahli nuklir Indonesia di Jepang tanggal 16 Maret 2011, dinyatakan bahwa ancaman radiasi nuklir masih dalam lingkup kota Fukushima (radius 0-50km dari PLTN), sehingga tidak ada ancaman serius bagi kota-kota di luar radius 50km. Namun demikian, dilaporkan bahwa KBRI Tokyo terus melakukan evakuasi terhadap WNI yang berada pada radius 0-100km ke Tokyo. Perlu diketahui, KBRI Tokyo berada pada lokasi berjarak 250km dr PLTN Fukushima. Selengkapnya dapat diakses di situs KBRI Tokyo.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan dengan iktikad baik menuju perubahan positif. Semoga menjadi peringatan bagi insan pers di Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan berita.

Tokyo, 17 Maret 2011

Ketua Umum PPI Jepang

Fithra Faisal Hastiadi

Empat Telepon

16 Mar

Tanggal 14 Maret 2011. White Day di Jepang, tapi tentu saja gaungnya dikalahkan berita Gempa dan Tsunami yang diberi nama oleh pemerintah Jepang sebagai : Tohoku Chihou Taiheiyou Oki Shinsai (disingkat Gempa Bumi Tohoku). White Day adalah hari “pembalasan” dari Hari Valentine. Kalau di Jepang wanita memberikan coklat kepada pria yang disukai pada hari valentine, dan jika si pria OK, dia akan memberikan sesuatu pada hari White Day ini.

Pagi sekitar jam 8, aku mendapat telepon dari tempat penitipan Kai, telepon pertama. Gurunya mengatakan, “Maaf, sehubungan dengan Gempa Tohoku dan ada pemadaman listrik dan pembatasan transportasi, maka kami guru-guru tidka bisa memberikan pelayanan penuh. Jika orang tua bisa menjaga anak-anaknya sendiri,  kami mohon untuk tetap di rumah”. Lalu kujawab, “Tentu saja bisa. Untuk sementara waktu Kai akan libur terus. Terima kasih banyak.”  Aku akan lebih tenang jika Kai berada bersamaku terus, apalagi masih ada gempa-gempa susulan. Sebelum Riku pergi ke sekolahpun aku sudah katakan padanya, “Riku seandainya ada gempa besar. Ikuti perintah guru. Tinggal di sekolah dan mama akan jemput. Sekolah adalah pusat pengungsian. Jadi Riku tunggu mama di sana saja”. Riku memang masih terlihat trauma, sering menangis sendiri jika melihat berita-berita di TV.

Aku berdua Kai melewati pagi berdua. Kai memang masih kecil sehingga tidak begitu berpikir tentang gempa, dan bermain dengan asyiknya meskipun televisi menyiarkan berita-berita tentang gempa. (Tidak seperti kakaknya yang meminta untuk ganti chanel). Nah sekitar pukul 11 siang aku mendapat telepon lagi, telepon kedua. Orang di seberang sana mengatakan,
“Imelda sensei…..”
“Aaaaaaahhhh Watanabe san……. ”

Masih ingat Watanabe san? Yang aku ceritakan di “Belajar Terus Sampai Mati“. Mantan muridku itu sekarang berusia 95 tahun (April nanti 96 tahun). Sejak aku bertemu beliau Juni 2009, aku belum bertemu lagi. Aku dengar dari mantan murid yang lain, Watanabe san jatuh pertengahan tahun lalu dan sudah berhenti kursus. Aku mengirim kartu tahun baru 2011, tapi belum ada balasan dari beliau. Aku hanya berharap.. kabar apakah dia masih hidup atau….

tanpa aku sadari air mata mengalir,
“Watanabe san…. senang sekali mendengar suaranya”
“Saya cuma mau tanya sensei bagaimana waktu gempa kemarin. Daijobu? Riku dan Kai bagaimana?”

dan aku mengatakan kami baik-baik saja…. dan sangat berterima kasih atas perhatiannya. Dan mohon maaf kok bukan aku yang meneleponnya, tapi malah beliau yang meneleponku. Aku benar-benar terharu. Ah suaranya masih tetap bersemangat, meskipun memang sudah jelas beliau sudah  mudah capek. Telepon kedua yang begitu mengesankan.

Barang-barang yang berjatuhan dari rak rumahku

Telepon ketiga, urusan bisnis 😀 Jadi sebelum terjadi gempa aku sedang menyusun jadwal untuk rekaman perbaikan DVD Yamaha yang pernah aku buat 2 tahun yang lalu. Produser penghubung ini bernama Alex, orang Rusia sehingga aku harus berbahasa Inggris dengannya. Aku tidak menyangka dia akan telepon aku hari Senin itu. Karena sebetulnya sejam sebelum terjadi Gempa Tohoku pukul 14:44 itu dia meneleponku tapi aku tidak dengar. Sesudah terjadi gempa aku baru tahu ada miss called darinya, dan mendengar pesannya. Dia tanya apakah aku bisa tanggal 17 Maret (Kamis). Tentu saja aku mau menolak, apalagi kondiri transportasi Tokyo yang belum pasti, pemadaman listrik terjadwal apalagi masalah nuklir itu. Aku katakan,

“Oh please Alex not in this week. If you can arrange then maybe after 21st will be OK with me. But please set it in the morning, because I have to fetch my children and so on. ”
“Yes I know. I will do my best. Actually I cant believe they set on 17th and still asking me again even there was casualties from the earthquake. I will contact you again.”

Jadi kami berdua yang orang asing ini terheran-heran dengan perusahaan Yamaha yang masih “ngotot” mengadakan rekaman buru-buru tanpa memikirkan kemungkinan kekacauan akibat gempa. Bayangkan misalnya pas aku pergi ke studio itu keretanya masih belum teratur. Kapan aku bisa sampai rumah? Kami berdua ngomel…”dasar orang Jepang” hihihi. Ya kerja tetap kerja.

Dan telepon yang terakhir, telepon keempat sekitar pukul 8:30 malam.

“Ime chan… ini Ryoko”

“Ah Ryoko san…………..” ntah aku bicara apa saja saat pertama dengar suaranya. Dia juga berkata bahwa lega sudah mendengar suara. Hari Senin sore itu3x24 jam setelah gempa, telepon dan listrik menyala kembali. Dia juga bercerita bahwa dia dan Taku (adik Gen) sudah pergi jalan-jalan makan di restoran untuk menghibur diri setelah terkurung di apartemennya. Setelah gempa sampai Minggu, Taku harus bekerja terus di penerbitan surat kabar terbesar di Tohoku.

“Memang benar apa yang dikatakan orang-orang tentang trauma PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Saya mulai merasakan sekarang. Waktu gempa kami harus berusaha sendiri untuk tetap hidup, tanpa tahu keadaan sekeliling. Dalam gelap dunia hanya dunia kami. Tapi begitu keluar lalu melihat kerusakan di luar, apalagi ke kantor lurah dan menonton TV, melihat tayangan tsunami….. kami benar-benar kaget. Tidak menyangka bahwa ada yang LEBIH parah dari kami sampai segitunya. Penderitaan kami tidak ada apa-apanya. Kami harus bersyukur. ”

“Ya memang mungkin setelah ini kamu akan capek, atau sakit karena beban berat seakan terambil. Harus berusaha juga menghibur diri sendiri, tapi jangan ditahan. Kalau mau bicara silakan telepon saja.”

“Iya , tadi juga anak kami (2 th)  melihat tempat-tempat yang rusak itu dan bilang, Mama ini rusak karena gempa ya?. Kemarin kami juga sempat pergi ke gereja dan mengetahui bahwa pastor kami terbawa tsunami. Ada beberapa umat juga yang tinggal di pantai belum ditemukan. Kami merasa sedih”

“Ya aku tahu pasti sedih mengetahui orang-orang yang kita kenal sudah tiada. Tapi kami di sini semua merasa lega karena kamu dan suamimu selamat. Ada sedih ada lega. Bukan gembir, karena tidak ada yang gembira akan kematian orang lain, seberapa tidak kenalnya dia. Tapi ya, mati dan hidup di tangan Tuhan. Buktinya kamu masih bisa hidup dan tertolong. Biasanya kan Taku tidak ada di rumah jam segitu.”

“Taku waktu itu sudah akan berangkat ke kantor (karena dia sering shift malam, jadi pas kena shift malam). Karena bapak saya ulang tahun, maka saya minta Taku bicara di telepon dulu dengan bapak saya. Sesudah selesai, kami berjalan menuju pintu apartemen. Di lorong menuju pintu ada semacam ruang bulat yang cukup besar. Pas kami berada di situ gempa terjadi, sehingga kami bertiga hanya bisa meringkuk di situ. Tapi ternyata tempat itu adalah tempat yang paling aman. Di kamar lain semua lemari dan barang-barang sudah berjatuhan kemana-mana. Seandainya Taku berangkat 3 menit saja lebih cepat dia pasti ada dalam lift dan tidak bisa keluar. Dan kami tidak bisa saling berhubungan…..”

“Tuhan sudah mengaturnya ya. Tuhan melindungi kamu, kita semua. Aku juga bersyukur bahwa aku cepat memberitahu keadaan kami ke orang tua di Jakarta. Kamu juga langsung kirim email kepada kami sehingga kami tahu kamu juga aman, dan bertiga bersama. Kabar itu saja sangat melegakan, dan kami semua percaya kalian pasti bisa mengatasi kehidupan selanjutnya meskipun tidak ada kabar. ”

“Untung saja persediaan makanan dan air banyak. Jadi kami tidak kekurangan. Senter juga penting sekali. Karena di rumah juga ada selimut dan bisa berusaha menghangatkan badan kami.”

Kemudian aku juga bisa berbicara dengan Taku, suaminya… Dia juga terdengar terharu dan menahan tangis. Karena dia pernah bertugas di  daerah-daerah yang disapu tsunami, Ishinomaki dan Onagawa. Dia sangat shock mengetahui tsunami itu yang menghapus semua kenangannya, tempat kerjanya dulu, rumahnya dulu, dan teman-teman, kenalannya di sana belum bisa dihubungi…..

Empat telepon hari Senin itu, masing-masing berbeda tema dan kadarnya, tapi sangat berarti dalam kehidupanku.

Meteran gas yang langsung otomatis berhenti waktu gempa besar. Setelah gempa selesai bisa nyalakan lagi sendiri, dengan menekan tombol yang ada.

Pemadaman Listrik

15 Mar

Kemarin pagi, Senin 14 Maret. Sesudah mempublish posting kemarin, aku bersiap untuk pemadaman listrik. Karena daerahku masuk grup 1, direncanakan kena pemadaman dari pukul 6:20 -10:00. Masalahnya bersamaan dengan pemadaman listrik di Tokyo, berpengaruh juga pada transportasi kereta. Dari televisi kami tahu bahwa line kereta dari stasiun rumah kami sampai stasiun kantornya Gen ternyata tidak jalan. Wah…bagaimana Gen harus ke kantor? Padahal dia HARUS ke kantor. Nah loh….

Gen terbangun pukul 4 pagi, dan begitu mendengar penjelasanku bahwa tidak ada transportasi, dia bilang,
“Kalau aku berangkat sekarang naik mobil masih bisa ya?
Jam 4 pagi…. tentu saja bisa 😀
“Tapi sebelum kamu pergi ambil duit dulu deh di ATM. Kalau benar sampai pemadaman, dan atau tidak berhasil Tokyo akan black out, kita sama sekali tidak ada cadangan uang loh”
Jadilah dia pergi jam 4 pagi ke convinience store terdekat. Sambil membeli cup noodles dan corned beef. Sudah tidak ada roti. Habis ludes dibeli orang-orang untuk persiapan jika ada gempa lagi. Sambil membayar belanjaan, Gen sempat bercakap-cakap dengan petugas toko,
“Kalau daerah ini mati listrik. Toko ini juga akan ditutup”
“Kenapa? Karena tidak ada pasokan barang?”
“Bukan, karena masalah security Secom (security computer) , dan semua kasir kan pakai komputer. Jadi tidak bisa menjual tanpa men-scan bar code barang. Karena itu harus ditutup”
“Wah benar juga ya, saya baru tahu”

Pengetahuan baru yang kami ketahui berkenaan dengan pemadaman listrik ini bukan hanya itu. Tapi…

1. Jika daerah kami kena pemadaman listrik berarti lampu lalu lintas juga akan mati. Dan itu akan berbahaya bagi pengendara. Di TV juga dihimbau untuk mengurangi pemakaian motor dan mobil. Kalaupun terpaksa, harus jalan pelan-pelan dan hati-hati. Untuk perempatan besar memang polisi akan mengaturnya. Jadi… polisi lebih memperhatikan lalu lintas daripada keamanan perumahan kan? Hmmm meskipun jarang terjadi kejahatan sih.

2. Selain itu ada kemungkinan tidak bisa pakai air, karena biasanya distribusi air ke apartemen-apartemen memakai pompa listrik. (Jadi aku siapkan air deh yang banyak :D). Juga tidak bisa pakai oil heater (bukan yang kerosene ya)  dan gas heater. Biar namanya oil heater dan gas heater, sedikitnya sebagai pemantiknya pakai listrik. Belum lagi mereka yang memakai kompor tercanggih kompor listrik IH, sudah pasti tidak bisa memasak. Lift? Sudah pasti tidak bisa pakai kan? Makanya aku bersyukur banget deh aku tidak “modern”, tidak punya kompor IH, rumahku bukan all electricity house, terletak di lantai 4 jadi masih bisa naik turun tangga. Coba kalau aku tinggal di apartemen lantai 20? Pemandangan bagus tapi naik turun tangga 20 tingkat? oh NoOoOOoOOOoo…… 😀

3. Kemudian kami tidak bisa memakai ETC di jalan tol. Padahal Gen harus naik tol untuk pergi ke kantor. Jika listrik mati, sistem ETC tidak berfungsi, jadi harus membayar tunai. Well, untuk itu aku bekali Gen dengan uang logam. (Dari pintu tol dekat rumah kami sampai kantornya biayanya 800 yen)

Jadi, Gen bersiap-siap juga akhirnya untuk pergi ke kantor naik mobil. Sambil aku wanti-wanti untuk berhati-hati terutama di perempatan, kalau-kalau daerah yang dilewati padam listriknya.

Setelah ragu-ragu terus sambil menonton TV, sekitar jam 6 pagi dia keluar rumah menuju ke mobil. Aku cuma bisa mengantar sambil berpikir, Kalau suami orang Indonesia pasti akan tinggal di rumah deh. Mumpung transportasi kereta berhenti, mati listrik pasti chaos, lebih baik tinggal di rumah menemani keluarga. Tapi yah… suamiku orang Jepang, dan aku juga bukan istri cengeng yang tidak bisa menghandle masalah beginian. Soalnya kalau dia pergi naik mobil, malamnya juga harus menunggu pemadaman listriknya pulih kembali baru bisa keluar kantor. Otomatis sampai rumah paling cepat jam 12 malam. Dan sampai dengan jam 12 ada banyak kemungkina yang bisa terjadi. Gempa atau ledakan reaktor nuklir atau… who knows.

Aku kembali ke komputerku, tahu-tahu bel bunyi. Gen kembali. Menurutnya memang terlalu riskan jika benar pemadaman listrik terjadi. (senyumku merekah dong)

Jadi kami menunggu giliran pemadaman sambil menonton TV memonitor perkembangan. Loh…kok…sudah jam 6:20 listrik belum mati-mati?

Jam 7.00 Spokesmannya TEPCO mengatakan bahwa ternyata suply listrik bisa mencukupi sehingga grup 1 TIDAK JADI pemadaman. Tapi untuk grup 2 yang mulai jam 9, ada KEMUNGKINAN untuk dipadamkan. Musti monitor terus.

Dan sudah bisa teman-teman duga dong… suamiku langsung berangkat deh hihihi. Padahal aku lihat di TV komuter yang kecele tidak bisa naik kereta, karena di stasiun-stasiun yang memutuskan tidak beroperasi ditutup. Berarti mereka harus mencari jalan lain untuk pergi ke kantor. Ada juga line kereta yang beroperasi tapi jumlahnya sedikit. Dan tidak semua orang mencari informasi kereta sebelum berangkat. Pokoknya chaos deh.

Tapi waktu kutanya Gen setelah dia pulang, berapa orang yang datang ke kantor? Dijawab: cuma satu orang yang libur. Semua datang. Waaaaaah hebat orang Jepang. Dedikasinya itu loh. Kalau perlu jalan kaki, dijabani juga. Tapi memang tempat tinggal kami jauh dari kantornya Gen. 1 jam naik mobil, atau 1,5 jam naik bus dan kereta. Dengan keadaan ini aku juga bilang pada Gen, “Kita pindah ke dekat kantor kamu saja deh…. (berarti tidak menjadi penduduk Tokyo sih….)”

Jadi Daerah Kanto, Tokyo dan prefektur sekitar yang listriknya dipasok TEPCO, dibagi menjadi 5 grup. Dan sampai pada grup ke 4 pemadaman tidak perlu dilakukan. Yang kena hanya grup 5 dari jam 6 sore sampai 8 malam. Rupanya menjelang malam kebutuhan listrik meningkat drastis, sehingga perlu dipadamkan. Itupun tidak semua. Hanya daerah tetangganya Tokyo. Tokyo sendiri tidak kena.

Dengan keruwetan pengumuman akan memadamkan, tapi tidak jadi. Lalu ada pengumuman press lagi, “Kemungkinan besar dilaksanakan”, membuat konsumen bingung. Ini kok plin plan sih? Jadi ngga sih? Belum lagi akibat yang terjadi pada transportasi Tokyo. Kasihan deh spokesmannya Tepco dicecar begitu. Tapi menurutku memang pemadaman listrik baru pertama kali diadakan di Tokyo. Jadi mereka bingung bagaimana “mempertanggung jawabkan” pada konsumen. Tidak bisa main On Off begitu saja seperti perusahaan listrik di sebuah negara yang tidak bisa saya sebutkan namanya 😀 Dan mereka kan juga hitung-hitungan kalau memang cukup, buat apa dipadamkan…..

Padahal aku rasa sesekali Tokyo juga harus mengalami pemadaman listrik. Buat belajar! Belajar dan ikut tepaselira pada daerah bencana. Daerah bencana dan pengungsian itu daerah yang jauuuuh lebih dingin dari Tokyo, dan mereka GELAP GULITA. Tiga jam mati listrik tidak membuat daging di freezer busuk kok. Apalagi kalau dapat giliran pagi, terang benderang dan suhu udara juga amat hangat. Hampir 19 derajat.

Yang juga membuat aku sebal, begitu jam (rencana) pemadaman grup 1 yaitu jam 10 lewat, apartemen di atasku itu langsung membersihkan rumah pakai vacuum cleaner. Hoiiiiii, aku saja berusaha menghemat listrik dengan menyalakan TV dan kulkas saja kok kamu pakai vacuum cleaner sih. Kalau mesin cuci aku lebih bisa mengerti karena memang jika punya anak, cucian itu perlu bertumpuk. Ada saja deh yang harus dicuci. (Dan di hari kedua rencana pemadaman listrik pagi haripun aku mendengar suara vacuum cleaner… wah ini orang tak bisa hidup tanpa vacuum cleaner ya? Aku jarang sekali pakai vacuum cleaner, biasanya pakai sapu atau pel, karena toh lantainya lantai vinyl….. hihih ngedumel soal vacuum cleaner deh)

Pada hari kedua (15 Maret) pun akhirnya kami tidak mendapatkan giliran pemadaman listrik. Rencananya listrik grupku (grup 1) dimatikan pukul 15:20-19:00, tapi sampai pukul 18:00 saat aku tulis posting ini masih nyala.

Aku juga masih sempat pergi ke dokter gigi sesuai appointment, jam 12 siang. Sambil gigiku dikerjai, aku berpikir, di Jepang mau mati listrik saja diberitahukan sebelumnya, jadi semua bisa susun rencana. Bisa persiapkan macam-macam. Kalau janji aku pas waktu pemadaman, pasti sudah ditelepon dan dibatalkan. Nah, kalau di Indonesia yang katanya pemadaman selalu mendadak itu bagaimana ya? Dokter giginya lagi ngebor lalu pet…. mati lampu. hihihi.

Dan waktu kutanyakan di twitter, ternyata ibu drg Nungki Prameswari berkata: “pernah mba, akhirnya pake mikromotor dg baterai. Tapi bornya jalannya pelan2, bisa juga lgs ditumpat sementara, hehehe”

Bagaimana pengalaman teman-teman yang paling menyebalkan tentang pemadaman listrik nih? (Jangan Boleh ngedumel di sini ya hahaha)

 

NB:

Memang banyak berita yang tersebar di Indonesia. Intinya JANGAN PANIK. Radiasi yang sampai ke Tokyo masih bisa ditolerir tubuh manusia, dan tidak menimbulkan dampak bagi kesehatan. Aku akan tetap tinggal di sini dengan suami, anak-anak dan mertua. Jarak PLTN dan Tokyo itu 250-300 km.

Bisa baca di sini penjelasan yang lebih ilmiah:

Perkembangan Kondisi PLTN Fukushima Jepang Pasca Gempa 11 Maret 2011

Semua Ada Hikmahnya

14 Mar

Saat menulis blog ini 3:42 pagi. Aku terbangun sekitar jam 2, karena ada mobil dari TEPCO (Perusahaan Listrik Tokyo) mengumumkan begini :
“Maaf mengganggu tidur Anda, daerah ini akan diadakan pemadaman listrik mulai pukul 6:15 pagi”…. Hmmm ternyata daerahku mendapat giliran pemadaman listrik yang pertama.

Untuk menghindari blackout, PM Kan Naoto meminta agar TEPCO mengadakan pemadaman listrik bergilir. Suatu tindakan yang bijaksana menurutku. Sekaligus juga kita bisa merasakan betapa listrik itu penting. Daerah bencana saja sampai sekarang masih banyak yang belum ada listrik.

Sebelum tidur jam 11 tadi malam, aku sempat mendapat email dari ezweb. Berita dari Ryoko dan Taku, adik iparku yang tinggal di Sendai. Kabarnya, “kami bertiga baik-baik saja dan berada di apartemen, tanpa luka. Listrik baru jalan hari ini , makanan dan minuman ada persediaan. Telepon permanen (rumah), internet dan TV belum bisa, jadi hanya bisa HP saja.”

Puji Tuhan! Sejak aku menerima email darinya setelah gempa yang menyatakan mereka baik-baik saja, aku memang memikirkan bagaimana mereka melewatkan hari dalam gelap di apartemen mereka di lantai 6. Aku terus berdoa semoga mereka, terutama anaknya tidak panik karena masih terus terjadi gempa berskala 7SR di sana. Tuhan memberikan kekuatan bagi mereka.

Sabtu malam, sebelum Gen pulang, Riku menghampiriku. Dia bertanya,
“Mama kenapa sih ada gempa segala?”
Ah, aku tahu anakku sedang mengalami aftershock trauma. Aku memang sering melihat dia menangis tanpa suara, apalagi kalau aku pasang televisi. Well, siapa tidak panik melihat berita tsunami yang begitu dahsyat seperti itu? Jumlah orang meninggal, atau suara tangisan korban yang selamat. Tayangan video dari warga persis sebelum tsunami datang dll. Tapi kami perlu mengetahui perkembangan berita dan informasi dari NHK untuk bersiap-siap sehingga harus memasang televisi terus.

“Mama juga tidak tahu kenapa ada gempa” Aku tahu dia bukan menanyakan proses terjadinya gempa tapi mengapa Tuhan memberikan musibah kepada manusia. Pertanyaan yang penting dan harus dijawab dengan serius. Sambil aku peluk dia aku menjelaskan,

“Kita, manusia tidak bisa tahu apa yang akan terjadi, gempa, tsunami, tanah longsor. Bahkan kita tidak tahu kapan kita mati. Kita tidak tahu apa rencana Tuhan.”
“Kita hidup pun diberikan oleh Tuhan. Tuhan yang Maha Kuasa untuk menentukan Riku lahir dari papa dan mama. Riku adalah hadiah dari Tuhan. Nah untuk itu kita harus bersyukur dan berterima kasih terus pada Tuhan lewat berdoa. ”
“Riku waktu gempa ada di rumah dengan mama dan Kai. Berarti Tuhan melindungi Riku. Bayangkan jika Riku sendiri. Karena itu kita juga harus berdoa untuk memohon perlindungan Tuhan. Caranya ya dengan berdoa”
“Kalau Riku mau sesuatu kan pasti minta ya? Misalnya mama punya coklat, tapi kalau Riku tidak minta, mama mungkin tidak kasih. Dengan Riku minta, mama tahu Riku ingin kan? Karena itu kita juga berdoa untuk minta pada Tuhan untuk melindungi kita. Berdoa itu untuk bersyukur dan memohon.”

Dan Riku berkata, “Mama besok kita pergi ke gereja ya. Papa juga”
“OK. Kita juga harus berterima kasih pada Tuhan karena sudah melindungi Om Taku sekeluarga ya”

Demikianlah hari Minggu, 13 Maret, kami berempat pergi ke Kichijoji. Waktu keluar rumah, Riku sempat berkata, “Kok semuanya biasa saja ya ma? Seakan tidak pernah ada gempa”

Memang waktu hari Sabtu aku sempat melihat ke luar rumah, sedikit sekali orang keluar rumah atau mobil yang lewat. Tapi hari Minggu ini cukup banyak. Tapi waktu kami naik bus, memang penumpangnya sangat sedikit.

Sesampai di gereja, pastor juga mengatakan yang sama, “Kalau kamu bertanya mengapa semua itu terjadi? Saya akan jawab tidak tahu. Tapi semuanya itu mungkin penting ada dalam kehidupan kita untuk bisa BANGKIT kembali. Memulai hidup yang baru, yang mungkin lain dari sebelumnya”

Setelah gereja, aku sempat bertemu dengan Pastor Epen yang akan pindah ke Yogyakarta bulan April nanti. Karena kami belum makan siang, sekitar pukul 2 kami akhirnya mampir ke toko sate Iseya.

Toko Sate Iseya

Toko ini sudah berdiri lebih dari 80 tahun, tapi bangunan lamanya terbakar beberapa tahun yang lalu sehingga sekarang sudah bersih dan baru. Tadinya? Ya bangunan kayu tua dengan arsitektur Jepang asli. Dulu sebelum Riku lahir, kami sering pergi ke sini. Tapi karena tempat ini adalah tempat minum-minum, sulit untuk membawa anak-anak makan ke sini, sehingga sudah cukup lama kami tidak makan di sini. Rasanya seperti bernostalgia kembali.

Menu di situ sate ala Jepang, dengan tare (saus) kecap manis atau hanya garam saja. Tapi daripada sate, aku malah paling suka siomai dan jagung bakarnya! Duh kalau makan jagung bakar rasanya seperti berada di Puncak/ Puncak Pass. Berasa di rumah :D.

siomay dan jagung bakar.... yummy...

Tapi aku lihat Riku makan sedikit sekali, dia mengantuk sepertinya, sehingga aku peluk dia dan biarkan dia tidur di pelukanku. Badannya sudah besar, sehingga cukup berat juga menahan badannya supaya jangan terjatuh. Akhirnya aku minta Kai cepat-cepat makan supaya kita bisa cepat pulang. Tapi sebelum pulang aku belikan mereka berdua es krim. Ah aku tahu mereka, sedikitnya Riku, stress setelah mengalami gempa kemarin. Riku bahkan terus bertanya, “Kalau di sekolah gempa bagaimana?”
“Wah jangan kemana-mana. Ikuti perintah guru. Nanti mama yang ke sana, karena SD kamu jadi pusat pengungsian. Jangan takut ya Riku”

Sesampai di rumah, Gen dan anak-anak pergi mengambil air di supermarket dekat rumah. Sambil aku minta mereka melihat kondisi toko. Ternyata banyak sekali yang mengantri di kasir, semua membeli bahan makanan. Padahal waktu di Kichijoji, aku sempat membeli daging dan ikan, tidak begitu banyak orang loh. Tapi memang beras, susu dan telur tidak ada. Habis! Tapi kupikir tanpa telur dan susu bisa ah! Jangan cari kalau ngga ada.  Semoga persediaan makanan rumahku cukup deh. Berserah pada Tuhan.

Dan malam harinya kami makan sederhana. Nasi dengan lauk sashimi Ikan Terbang Tobiuou + misoshiro. Kebetulan aku lihat di pasar Kichijoji tadi, dan harganya murah hanya 300 yen. Karena murah mereka tidka mau membersihkan dan memotongnya menjadi sashimi. Kupikir aku mau coba potong sendiri deh. Ternyata …. untuk ikan terbang ini dagingnya lembut seperti tenggiri, sehingga sulit untuk dipotong sashimi (tidak bisa rapih). Tapi ah, bentuk tidak penting deh, yang penting bisa makan saja hehehe.

Ikan Terbang... mungkin banyak di perairan Makassar ya?

Karena harus hemat listrik, maka hari ini aku tidak bisa bw atau membalas komentar teman-teman. Mohon doanya terus supaya kami, Tokyo, dapat mengatasi masalah-masalah yang sedang timbul dan akan timbul.  (selesai 5:33)

Tetap Bersyukur dan Berdoa

12 Mar

Sudah baca postingan aku yang terakhir? “Tulisan ke 888 – Perang atau Damai“? Tulisan itu sebetulnya  sudah aku selesaikan pukul 2 pagi kemarin, tapi karena mau menempelkan foto yang relevan, dan membuat jarak dengan posting sebelumnya, maka aku pending. Dan aku publish tulisan itu pukul 14.44 (tertulis di dashboard)

Persis sesudah aku menekan tombol enter, aku merasa aneh.. getaran. Aku memang merasa bahwa aku bisa merasakan getaran gempa beberapa detik lebih cepat dari orang lain. Lebih peka. “KITA (datang)” Dan aku panggil, “Rikuuuuu”, karena dia ada di kamar belajar, sambil aku meraih Kai yang ada di dekat televisi. Panggilan pertama, Riku tidak langsung datang. Baru aku teriak, “Jishin! (gempa)”. Pertama memang kecil dan kami bertiga masuk ke bawah meja makan. Biasanya sih gempa itu akan cepat berhenti, tapi kali ini tidak. Lama dan bertambah besar. Barang-barang terdengar  mulai jatuh, dan aku hanya bisa berkata, “Wah besar…. Tuhan! Tuhan! Tolong…” Aku mulai berpikir, bagaimana jika bangunan apartemenku rubuh dan kami terkubur hidup-hidup. Kalau memang harus mati ya tidak apa-apa, tapi aku tidak ingin membuat orang tuaku khawatir. Jadi aku mau menulis email.

Aku baru ingat bahwa HP ku ada di kamar belajar. Paginya aku pakai untuk menelepon penitipannya Kai untuk membatalkan menitipkan Kai hari ini. Hari sebelumnya juga aku batalkan karena…. aku alergi parah. Muka dan mata gatal, merah dan mata berair. Belum lagi bersin-bersin. Aku ingin istirahat di rumah tanpa harus keluar menyambut serbuk bunga yang beterbangan.

Ya, jadi HP tidak ada di tanganku. Tapi…. ada laptopku di atas meja makan. Jadi aku meraih ke atas, mengambil komputer dan mencoba apakah internet jalan. Horreee jalan! Aku langsung buka Twitter, menulis “gempa….” Lalu membuka FB dan menulis, “tuhan…. semoga gempa ini tidak bertambah besar”. Saat itu yang kupikir adalah menyampaikan situasi kami kepada saudara di Indonesia. Seandainya aku harus mati pun, aku ingin menulis, “Maafkan aku”.

Mendapatkan dan memberikan informasi adalah yang terpenting dalam keadaan genting begitu. Dan dengan aku menulis di FB aku mengetahui dari dr. Yordan bahwa pusat gempa di Miyagi dengan kekuatan 7,9 SR (akhirnya yang benar adalah 8,8 SR). Aduh….

Karena goncangan mulai reda aku cepat-cepat ambil HP dan menyalakan TV. Kembali lagi ke bawah meja, sambil monitor TV dan FB. Dan aku melihat, belum sejam berlalu tsunami sudah melanda daerah perairan di Miyagi. Mobil dan bangunan bertingkat seakan mainan lego yang terbawa air. Dan aku mencari keberadaan saudara/teman-teman yang berada di Tokyo sekitarnya.

Dari FB aku tahu bahwa Whita sedang bekerja dan bisa menulis status, berarti OK. Aku juga bisa berhubungan dengan Nesta melalui FB yang sendirian di rumah. Tak lama aku mendapat email dari adik iparku di Sendai, yang menjadi pusat gempa kali ini. Dia, suami dan anaknya bersama ada di mansionnya (lantai 6). Aku lega karena biasanya suaminya jarang ada di rumah. Tapi karena dia wartawan, dia terpaksa harus pergi ke kantornya. Yang aneh, email dari adik iparku ini masuk ke email gmail, tapi tidak di email HP. Padahal dia kirim ke email HP. Aku memang mengatur supaya semua email HP diteruskan ke email di gmail. Dan untung sekali. Rupanya semua jalur telepon dan email semua provider HP mengalami kemacetan. Email yang seharusnya aku terima berbarengan dengan gmail itu baru sampai jam 3 pagi 🙁 Karenanya aku bersyukur sekali BAHWA AKU BERADA DI RUMAH DAN MEMPUNYAI JARINGAN INTERNET.  Jaringan internet rumah yang FTTH (Fiber To The Home) tidak terpengaruh.

Aku juga senang begitu mendapat berita dari ibunya Gen bahwa dia tidak apa-apa. Tinggal belum ada kabar dari Gen sampai dengan pukul 4:15 sore. Yang aku juga khawatir sangat adalah keberadaan Ekawati Sudjono di Tsukuba. Ternyata asramanya porak poranda dan karena listrik padam mereka harus mengungsi ke Hall Universitas. Tapi yang sampai saat ini aku belum tahu keberadaannya adalah Fety yang berada di Chiba. Semoga dia baik-baik saja. (Persis aku publish tulisan ini aku mengetahui bahwa Fety selamat. Dia baru bisa OL sore ini krn mengungsi ke tempat teman)

Sesudah gempa dahsyat yang pertama ada beberapa kali gempa susulan yang cukup besar 3-4 kali, kemudian melemah dan melemah dengan span waktu yang lebih lama juga. Tapi ada berapa gempa besar yang terjadi di daerah lain yang dapat dideteksi beberapa saat sebelum terjadi, sehingga di siaran TV atau HP akan ada suara alarm peringatan. Ada sekitar 5 kali yang cukup membuat aku deg-degan. Tapi ternyata justru yang ada peringatannya itu tidak terasa kuat di Tokyo. Dan kalau melihat daftarnya bisa diketahui bahwa gempa-gempa itu tidak hanya berpusat di satu titik, tapi di beberapa daerah yang tersebar, termasuk Nagano dan Tochigi.

Selama itu aku dan anak-anak berada di bawah meja makan, tempat yang masih aman dalam rumah. Serasa piknik waktu aku membuat onigiri. Tidak bisa masak karena anak-anak masih takut aku jauh-jauh dari mereka, dan aku juga takut memakai gas. Tapi aku sungguh bersyukur bahwa Riku pulang cepat, karena biasanya dia pulang jam 3, ini dia sudah di rumah jam 2:30. Seandainya dia dalam perjalanan pulang waktu gempa besar itu terjadi…. tak bisa kubayangkan.

Anak-anak tidur di bawah meja karena masih khawatir akan gempa susulan

Karena masih takut gempa susulan, anak-anak tidur di bawah meja terus malam harinya. Gen sampai di rumah pukul 12:30, masuk dengan pucat dan dingin. Dia menyetir mobil selama 7 jam lewat jalan biasa (jalan tol ditutup) dan mengantar beberapa temannya (menurunkan di stasiun yang jalur keretanya jalan yaitu Tokorozawa). Dari Tokorozawa yang biasanya cukup setengah jam, makan waktu 2 jam karena macet.

Tapi Gen masih beruntung ada mobil, karena puluhan ribu  orang yang bekerja di dalam kota Tokyo tidak bisa pulang ke rumahnya, karena kereta berhenti. Mereka terpaksa menginap di kantor atau tempat-tempat umum. Pemerintah Tokyo membuka gedung/SMA milik pemda dan membagikan selimut serta makanan untuk mereka yang terpaksa mengungsi itu. Dan aku juga bersyukur adikku Tina yang bekerja di Shinjuku, kemarin itu ambil cuti, sehingga tidak perlu berada terus di dalam kantor dengan rasa khawatir. Mereka yang tidak tahan untuk berada di kantor karena alasan misalnya kantornya berada di bangunan tua jadi khawatir, atau alasan-alasan lainnya, berjalan kaki sampai rumah. Termasuk papanya Gen yang berkantor di Tokyo berjalan kaki dan makan waktu  5 jam untuk sampai di rumahnya di Yokohama. Jaraknya sekitar 20 km.

Tapi pagi ini Gen terpaksa harus pergi ke kantor karena ada pelaksanaan ujian masuk universitas. Dia berangkat pukul 6:30 naik kereta. Tinggallah aku dengan anak-anak lagi di rumah. Tapi syukurlah gempa susulan sudah semakin lemah. Dan berkat saling komentar di FB dengan ibu-ibu yang tinggal di Tokyo, aku masak nasi dan lauk cepat-cepat untuk mengantisipasi jika terjadi pemadaman listrik.

Banyak yang bertanya, “Tidak mengungsi?”. Biasanya sih tidak, jika pemda tidak menghimbau untuk mengungsi. Lebih baik berlindung di bawah meja daripada keluar rumah dan tertimpa keramik/kaca/pagar yang rubuh atau jatuh. Lebih baik lagi memakai helm terus. Seandainya mengungsi kami akan pergi ke SD terdekat. Di sana ada suply makanan, selimut dan air bersih. Semua informasi bisa didapatkan lewat TV atau radio. Jika diumumkan darurat dan harus mengungsi juga lewat TV. Kami harus mengikuti petugas yang akan mengiring kami untuk berlindung ke mana.

Ada sebuah puisi yang dibuat Bang Irwan Djamaluddin, sempaiku (senior) di FSUI:

teringat aku beberapa belasan tahun yang lalu

orang yang tak mengenal saling tak ambil tahu

gempa bumi datang tak memberi tahu

kansai goncang langit menjadi kelabu

sebelumnya tak saling ambil tahu

kemudian semuanya bahu membahu

saling bantu membatu

tak ada yang gerutu

suasana sendu bertambah pilu

 

kaum kerabat dan handai taulan semua

bimbang dan ragu bertanya-tanya

orang tua berlinang air mata

menunggu kabar  anak-anaknya

yang sedang di negeri sakura

apakah terjebak dalam petaka

 

kini aku terenyuh dalam lara

meninggalkan negeri yang-ku suka

gempa dan tsunami bertandang ke sana

terbilang banyak kenalan kawan disana

sampai kini belum ada kabar berita

semoga semua senantiasa dalam lindunganNYa.

warga dunia menunduk-kan kepala

 

Dusun Jaban Sleman Jogja, 11-2011

Mari kita berdoa untuk semua teman kita baik WNI maupun orang Jepang yang menjadi korban gempa dan tsunami ini. Untuk mereka yang masih dalam pengungsian dalam dingin dan gelap karena tidak ada listrik (termasuk juga adik iparku).  Aku yakin doa kita semua akan menjadi kekuatan bagi mereka. Sama seperti doa teman-teman dan saudara-saudara  semua melalui pesan di FB, Twitter, pesan di TE atau email, sms bahkan telepon langsung (Nenny terima kasih banyak….). Sungguh, aku tak bisa menahan haru akan kebaikan teman-teman semua. Karena doa teman-teman aku bisa kuat juga menghadapi situasi yang tidak menentu ini. Meskipun lewat koneksi internet, aku merasa aku digandeng, didukung dan didorong untuk bisa melewati semuanya. Thank you and I love you all.

*****************

Saat ini kami mendapat peringatan

1. untuk memakai payung/jas hujan jika turun hujan. Kilang minyak Cosmo Oil yang di Chiba terbakar, dan diprediksi jika turun hujan akan menjadi hujan kimia. Bahan kimia ini berbahaya untuk tubuh kita. Ternyata soal hujan asam ini hoax.

2. Karena PLTN Fukushima kemungkinan bocor mengakibatkan suply listrik akan terganggu. Diharapkan mempersiapkan senter untuk penerangan karena mungkin akan diadakan pemadaman bergilir dan usahakan penghematan listrik. (Perkembangan terakhir Minggu 8:08 ; Yang meledak adalah lapisan luar dr reaktor nuklir di Fukushima, sehingga tidak berbahaya. Thank God. Tapi mulai tgl 14 selama seminggu akan ada pemadaman bergilir selama 1-2 jam. ***dan orang Indonesia akan menjawab …Oh gpp kok kalau di Indonesia sudah sering dan lebih lama hehehe***)

Kata pakar gempa, kami mungkin akan merasakan gempa-gempa susulan selama sebulan. Untuk pemulihan daerah korban gempa juga akan makan waktu yang lama. Tapi kami percaya dengan usaha dan doa kami akan bisa mengatasi semuanya.

Tulisan ke 888 – Perang atau Damai

11 Mar

Angka yang bagus bukan? Aku selalu senang angka 8, apalagi berderet begitu. Dan untuk posting di angka keramat ini, aku ingin menuliskan pengalamanku kemarin malam, Kamis 10 Maret 2011.

Kamis sore, aku membuat kue coklat atas permintaan Kai. Mumpung ada whipping cream, aku siapkan kue dan whipping cream itu dan membiarkan anak-anak berkreasi dan makan kue itu tentu saja. Jadi jam 7 an mereka masih kenyang, dan aku mulai menanak nasi. Malam ini Gen tidak makan di rumah karena ada acara di kantor. Pasti pulang laat lagi.

Pukul 8 aku suruh Riku matikan TV, Riku buat PR dan Kai bermain mencari gambar yang sama. Saat itulah Riku berkata,

“Ma, tadi di sekolah ada pelajaran Memikirkan Perdamaian. Heiwa wo kangaeru hi 平和を考える日”

“Oh ya. Lalu bagaimana?”

“Ya kami menonton film tentang perang  dan mendengar cerita dari lansia. Katanya dulu waktu perang, meskipun ada toko, tidak ada isinya sama sekali. Jadi tidak bisa beli apa-apa”

“Ya namanya perang. Pasti sulit makanan. Meskipun mungkin ada uang, tidak ada barang/makanan. Makanya mama selalu marah kalau kalian buang makanan atau mata gede (istilah mamaku kalau mengatakan rakus)”

“Tapi kan Riku tidak pernah buang makanan. Riku selalu habiskan makanan siang di sekolah kok.”

“Iya. Harus begitu. Pokoknya mama ngga suka orang yang buang makanan. Mama selalu berusaha mendaur-ulang makanan yang sisa, karena mama tidak mau buang makanan.”

…… sambil aku mencuci piring…..

Somo-somo (Pada dasarnya) …. kenapa sih harus berperang? Apa yang bagus dari berperang?”

(Great Riku. Bagus anakku, kamu sudah berpikir begitu saja sudah bagus…)

“Ya memang tidak ada gunanya berperang. Begini Riku. Anggap saja berperang = bertengkar/berkelahi. Riku ingin kartu/barang orang lain. Ingin sekali memilikinya, sehingga Riku berkelahi, memukul orang itu dan mengambil kartunya. Memaksa orang itu memberikan. Nah perang juga sama, suatu negara menginginkan tanah negara lain yang subur dan kaya. Lalu mereka berperang….”

“Jadi yang salah pemerintah kan?”

“Ya…..” Dan saat itu aku merasa sudah waktunya Riku mengetahui soal buyutnya. “Riku, opanya mama. Papanya opa Jakarta, pernah ditawan menjadi tahanan perang di Kyushu. Waktu Nagasaki dibom atom, opa buyut kamu itu ada di Kyushu dalam pabrik pembuatan kapal sebagai romusha. Karena  itu opa tidak suka Jepang. Pasti dong karena dia dipaksa bekerja. ”

Wajah Riku berubah…”Kasihan opa…”

“Jadi opa juga tidak begitu suka waktu mama masuk Sastra Jepang. Kok mempelajari musuh. Apalagi Mama ke Jepang, dan menikah dengan orang Jepang 🙂 . Tapi waktu bertemu dengan papa Gen, Opa mengatakan, “Semua orang baik. ” dan merestui pernikahan kami.”

(Aku tidak menjelaskan lebih detil lagi bahwa sebetulnya papanya oma juga ditahan sebagai romusha juga di Jepang —aku lupa nama tempatnya— di tambang timah, dan pulang dalam keadaan sakit. Opa Mutter tidak pernah bercerita apa-apa tentang pengalamannya di Jepang. Beliau juga meninggal tahun 1981 dalam usia 81, waktu aku masih SMP. Kalau Opa Coutrier banyak bercerita tentang pengalamannya sampai usianya 88 dan meninggal tahun 2000.  Gen sempat bertemu dengan Opa Coutrier Agustus 1999, dan mendapatkan berkatnya)

opa, tante-tante dan keluarga miyashita sebelum kami nikah

“Iya semua orang baik. Orang-orang terpaksa berperang karena pemerintahnya mau berperang. Padahal mereka tidak mau berperang. Yang tidak baik pemerintahnya kan Mama…”

“Makanya mama tidak suka orang bertengkar, berkelahi, pukul-pukulan… semua itu awal dari rusaknya perdamaian.”

Dan malam itu kami bertiga makan nasi kepal onigiri, hanya nasi putih dengan garam lalu dibalut rumput laut. Sederhana tapi nikmat.

Dan sebelum tidur aku minta Riku untuk berdoa.

“Mama aja, Riku ngga bisa”
“Loh kok ngga bisa. Doa apa saja”
“Tapi aku tidak bisa berkata yang bagus”
“Tuhan tidak cari yang bagus, tapi yang dari hati. Nanti mama bantu…”

Dan anakku ini berdoa, ” Kamisama (Tuhan), hari ini Kai seharian dia di rumah, semoga dia besok mau pergi ke penitipan sesuai janjinya. Lalu mama, seharian mama bekerja di rumah, semoga mama besok bisa istirahat. Kamisama (Tuhan) hari ini Riku belajar tentang perang. Perang itu tidak bagus. Tolong papa juga supaya bisa pulang dengan selamat sampai di rumah. Amin”

Doa dari anakku membuatku terharu, dan mengatakan…

“Riku tahu Nagasaki kan? Kena bom atom. Ratusan ribu orang mati. Kotanya hancur. Tapi ada satu gereja di tengah kota yang tidak hancur. Tuhan ada. Mama dan Papa ingin sekali ke sana suatu waktu. Tuhan ada di mana-mana nak”

Lalu Kai berkata, “Tuhannya Kai? Ada di Jakarta? Eh? Ada di Tokyo. ”

Lalu kujawab. “Tuhan ada di dalam hati kamu,  Kai dan Riku dan mama. Sehingga kita selalu bawa Tuhan ke mana-mana. Kalau takut berdoa saja. Pasti Tuhan tolong”

Dan kulihat Riku di samping kiriku sudah terlelap. Satu hari yang indah untuk Riku…dan untukku.

Di depan Atomic Bomb Dome, pada tahun peringatan 50 th Bom Atom di Hiroshima

 

(Waktu kuceritakan percakapanku dengan Riku pada Gen, dia mengatakan…”Ah Riku sudah besar ya. Dalam badan yang kecil dia sudah punya hati yang besar. Aku iri, aku ingin bisa bercakap-cakap seperti itu dengan anakku”)

 Diterbitkan pada tanggal: 11 Mar 2011 @ 14.44 persis 2 menit sebelum Gempa bumi Tohoku terjadi 🙁

 

Cuci Mata dengan Hotdog

10 Mar

Waduh masa segitunya Imelda cuci mata dengan hotdog?

Jadi begini, sudah hampir 5 hari belakangan ini aku selalu mencuci mata setiap pagi dan sore hari.  Ini mencuci mata beneran bukan “cuci mata” di mall :D. Pernah dengar boorwater kan? Nah aku memakai obat cuci mata seperti boorwater tapi bukan. Loh kok?

Ya caranya sama seperti memakai boorwater, yaitu dengan memakai wadah plastik seperti takaran kalau mau minum obat, tapi ujungnya melengkung supaya pas bisa ditempelkan ke mata. Kedip-kedipkan mata dan obat cuci itu akan membersihkan seluruh kotoran yang ada di permukaan mata. Kemudian aku ulangi untuk mata yang satunya lagi. Pernah kan cuci mata begitu?

Aku katakan bukan boorwater, karena sebetulnya boorwater yang merupakan bahasa belanda itu, mengandung 3% boorzuur, asam boric. Dan banyak polemik bahwa jika memakai boorwater maka mata akan kering. Well, kalau keseringan mungkin saja. Apa saja kalau terlalu kan memang tidak baik.

Obat cuci mataku yang aku beli di apotik Jepang ini rupanya tidak mengandung asam boric atau Housan ホウ酸. Tapi mengandung Asam Aminocaproic, Ipsilon Amino Kapuron san イプシロンアミノカプロン酸. Waktu aku cari apa fungsinya di internet ternyata untuk menghentikan perdarahan. Well, tepat untukku. Karena aku mencuci mata ini juga disebabkan mataku mengalami perdarahan dalam 😀 . Meraaaah deh pokoknya. Mengerikan! Dan ini disebabkan oleh alergi serbuk bunga/ pollen/ Kafun 花粉.

Pokoknya tahun ini aku menderita sekali mata dan wajahku gatal sekali. Kalau hanya bersin-bersin aku bisa tahan karena memang dari sononya alergi housedust, tapi untuk mata dan wajah…. benar-benar menderita.  Terutama dua hari terakhir ini. Kemarin aku terpaksa berhenti beberapa kali waktu naik sepeda, untuk bersin dan mengelap airmata yang keluar. Masker dan kacamata tidak menyelesaikan masalah. (Mungkin aku perlu pakai gogle ….kacamata renang kemana-mana yah 😀 )

Kalau boorwater dari bahasa Belanda, Hotdog dari bahasa apa awalnya?

Tadi pagi aku membuat hotdog untuk sarapan Riku. Lalu Riku bertanya pada papanya, “Pa, kenapa namanya hotdog ya?”. Papanya bilang ya mungkin karena panas ya? Apanya? dog nya? hihihi (Untung aku ngga bilang seperti anunya dog ….. hahaha…. hayooooo ngaku yang pikir ngeres!)

Karena sebetulnya memang yang panas adalah anunya dog. Tepatnya badannya dog. 😀 yang merefer ke sosisnya. Seperti diketahui sosis sudah dikenal di Eropa sejak abad pertengahan. Pada akhir abad 17, Johann Georghehner membuat sosis yang dikenal dengan nama Frankfruter, sesuai nama kota di Jerman. Dalam waktu yang bersamaan ada juga sosis yang diberi nama Wiener, sesuai dengan sebutan Wina dalam bahasa Jerman. Tapi karena sosis ini bentuknya seperti anjing pemburu beruang maka disebut sebagai dachshund sausage. Kemudian orang Jerman yang berada di New York menjual sosis itu dengan nama dachshund sausage yang diberi mustard dan sauerkraut. Oleh Arnold Feuchtwanger, sosis itu kemudian dimasukkan dalam bun (roti) dan menyebar ke seluruh Amerika.

Tapi nama Hotdog ini dipopulerkan oleh penulis komik sport bernama Thomas (Tad) A. Dorgan sekitar tahun 1901. Waktu dia menonton pertandingan di suatu hari yang dingin mendengar penjual sosis itu berteriak : “dachshund sausage makanlah selagi panas(hot)!” Karena dia tidak tahu lafal dachshund maka dia menulis di komiknya HOT DOG!. Tapi yang pasti aku tidak mau makan hot dog yang ini :D. Lucu sih, tapi….

picture taken from wienerology.com

Boorwater dan Hotdog yang kita kenal ternyata berawal dari Eropa ya.