tulisan ini merupakan sambungan dari From the bottom of the sea, postingan sebelum ini.
Ya, setelah kami keluar dari Umi Hotaru, kami menuju ke Kisarazu. Sebetulnya tujuan kami awalnya adalah untuk ke DOITSU MURA (Deutsch Village – Perkampungan Jerman), karena kami melihat di website bahwa di situ ada iluminasi, hiasan lampu-lampu sampai dengan tanggal 14 Februari. Hmmm pikirnya biar sekalian makan malam di situ sambil menikmati lampu-lampu yang kelihatannya menarik.
Tapi berhubung waktu itu sudah atau masih jam 2, rasanya sayang membuang waktu (dan uang) di Perkampungan Jerman itu. Biasanya memang Jerman terkenal dengan susis dan birnya kan. Yang pasti Gen tidak bisa minum bir karena menyetir (kecuali aku ganti menyetir dan dia minum… tapi… kan aku juga mau nge-bir hihihi).
So, ganti haluan. Gen tanya apa aku tahu Nokogiri Yama, Gunung Nokogiri. Di situ ada patung Buddha besar. Memang aku belum pernah menuliskan di TE (masih pending terus) tapi aku sudah pernah pergi ke Great Buddha di Kamakura. Jadi ingin juga melakukan “perbandingan” dengan patung Buddha di Kamakura itu. Jadi, kami merubah tujuan di car navigator kami dengan Nokogiri Yama. Lagipula tempat yang kami tuju ini juga dekat dengan pelabuhan ferry, jika kami mau pulang ke Tokyo naik ferry.
Kami sampai di stasiun cable car sekitar pukul 3 lewat. Dan oleh petugasnya disarankan untuk tidak naik cable car, karena cable car selesai beroperasi pukul 4. Mungkin dia melihat kami bersama dua anak kecil, jadi tidak mungkin jalan jauh. Tapi dia bilang bahwa jika kita pergi sedikit lagi, akan sampai di lapangan parkir Kuil Jepang, Nihondera yang gratis. Di situ tutup jam 5, jadi masih cukup waktu. Paling tidak melihat patung Buddhanya (karena ternyata banyak sekali tempat yang bisa dilihat di sini)
Jadi kami menyusuri jalan pantai yang berkelok-kelok dan menyajikan pemandangan sangat indah. Sayang tidak ada tempat berhenti untuk memotret, lagipula tanpa filter rasanya sinarnya terlalu terang. So, kami langsung menuju parkir Nihondera.
Waktu kami memasuki wilayah Nihondera itu, kami disambut dengan bunga suiren, dan bunga plum berwarna pink yang menyebarkan harumnya ke mana-mana. Well di sini memang lebih hangat daripada tempat lain, sehingga terasa musim semi sudah datang di sini.
Dan aku mulai deg-degan melihat tangga yang cukup banyak. Aku memang tidak prepare untuk naik tangga apalagi mendaki gunung. Lihat saja pakaianku di postingan sebelumnya, pakai rok lebar dengan sepatu pantofel, dan coat/dawn jacket. Tapi aku pikir coba! berusaha! Setelah menaiki tangga yang SEDIKIT (karena setelahnya berkali-kali lipat jumlahnya), aku boleh tertawa senang melihat pemandangan yang terhampar di depan mataku.
THE GREAT BUDDHA, terpahat di lereng gunung. Memang lebih besar dari patung Buddha di Kamakura yang hanya setinggi 13 meter saja.
Waktu itu tidak ada orang di situ, karena memang sudah sore. Keagungan Sang Buddha yang sedang bersila itu memang menimbulkan aura khusus ke daerah sekitar. Belum lagi di sebelah kiri ada sebuah tempat khusus untuk meletakkan patung permintaan, berwarna putih dan merah.
Sementara aku masih memotret dan menikmati suasana khas di situ, rupanya Gen mencari informasi lain. Dia sebetulnya ingin melihat sesuatu yang bernama Hyakusyaku Kannonsama, bukan Great Buddha yang sudah terlihat di depan kami ini. Katanya Kannonsama itu yang terkenal. Dan dari tempat kami berdiri butuh waktu 20 menit mendaki.
MENDAKI? aduuuh… aku paling takut mendaki gunung. Takut! Aku takut ketinggian. Tapi tanpa mendaki aku tidak bisa melihat yang dimaksud Gen. Padahal sudah tinggal 20 menit lagi. Jadi teringat waktu mendaki bukit untuk melihat kawah gunung di Kusatsu. Well, waktu itu juga 20 menit, dan aku bisa (tapi waktu itu pakai sepatu kets, sekarang sepatu pantofel).
Akhirnya aku bilang, ayo kita coba. Karena sebetulnya mau dikatakan mendaki juga medannya tidak seperti orang Indonesia mendaki gunung ala hiking yang jalannya berlumpur dan berumput. Semua jalan mendaki ke atas berupa tangga batu…. yang curam. Jadi masih bisa lah pakai pantofel, asal aku berhati-hati waktu menginjak jangan selip.
YOSH!!! (teriakan semangat dalam bahasa Jepang) Aku mulai mendaki…dan terbata-bata! Takut benar. Karena ada beberapa tempat yang begitu terjal, dan tanpa ada sesuatu yang bisa dipegang. SEANDAINYA ada pegangan, aku pasti bisa lancar. Bukan capeknya tapi takutnya, yang harus aku kalahkan. Dan terus terang tangga ini mungkin ada seribu (hihihi) alias panjaaaaaaaang banget. Rasanya kok tidak sampai-sampai. Tentu saja, karena sebetulnya kami menaiki lereng di sebelah patung Great Buddha tadi, dan lebih tinggi lagi. Aku harus berusaha sendiri, karena Riku jalan sendiri, dan Gen menggendong Kai.
Tapi lama-lama aku mulai ketakutan, sampai akhirnya Gen menurunkan Kai di sebuah tempat istirahat, dan menyuruh Riku menemani Kai, kemudian turun “menjemput” aku. Well, hanya dengan berpegangan tangan saja, aku bisa naik lancar (sambil diteriaki anak-anakku… Mama gambare — ayo mama…)
Dan yang membuat aku merasa HARUS bisa, adalah pemandangan ini:
Ya, Kai yang sekecil itu tanpa takut-takut manjat tangga sendirian. Dan akhirnya ditemani Riku di sampingnya memang. Tapi si cilik itu sambil mendaki dengan tangan dan kaki berhasil sampai di atas. Well, kalau perlu aku juga pakai tangan deh untuk bisa manjat.
Akhirnya kami bisa sampai di puncak gunung yang bernama Jigoku Nozoki (Tempat Mengintai Neraka). Well seandainya tempatku berpijak adalah surga, dan di bawah adalah neraka, aku bisa bayangkan ngerinya jika jatuh hihihi. Bahkan Gen saja mewanti-wanti Riku dan Kai jangan dekat-dekat pagar pembatas.
Ternyata kami berada di atas Kannonsama yang akan kami tuju. Jadi kami harus menuruni tangga lagi menuju tempat Kannonsama. Dan memang yang menyebalkan tadi wkatu kami naik sempat mendengar seorang bapak yang berkata, “Kenapa naik tangga yang ini. Ini 30 menit dan curam, kalau tangga yang satunya cuma 10 menit dan landai”. Huh, masak musti kembali lagi untuk mencari tangga yang landai? Untung dia berkata, “Gambare, sebentar lagi sampai kok”.
Akhirnya kami sampai ke tempat Hyakushaku Kannonsama. Waaaaahhhhhh hilang rasanya segala capek dan takut yang tadi ada. INDAH! Aku bisa mengerti mengapa orang sedunia marah-marah waktu peninggal Buddha of Bamyan di Afghanistan dirusak Taliban. Ini yang mungkin tidak ada seperberapa keindahan warisan dunia Unesco saja bisa membuat merinding. Apalagi Bamyan.
Sebuah patung Kannon dipahat di lereng yang puncaknya adalah tempat Mengintip Neraka tadi. Besar sekali, sesuai namanya setinggi hyakushaku. 1 shaku = 0.33 meter jadi 100×0.33 = 33 meter. Bahasa Inggrisnya Kannon adalah Kwanyin. Dan karena terletak di celah bukit, kesannya memang lebih dingin dan lembab. Memang masih baru usianya, baru 44 tahun, belum terlalu lama kan? Tapi tetap saja suasananya membuat ingin berlama-lama di situ, tapi karena pelataran parkir dan kompleks kuil Nihondera akan ditutup jam 5, kami harus bergegas pulang. Tentu saja setelah berfoto di situ. (Dan batere Canon G9 kami dut di situ, untung ada kamera HP, dan kamera lama cadangan Canon G6).
(Foto kanan di atas adalah Tempat Mengintip Neraka sedangkan patung Kannonsama di sebelah kanan bawah)
Perjalanan pulang lebih cepat (tentu saja) tapi hal ini lebih disebabkan karena banyak pegangan yang bisa aku pakai selama menurun. Karena biasanya tangga turun sebetulnya lebih menakutkan daripada tangga naik. Dan waktu menuruni lembah itu lutut kita akan menahan berat badan, sehingga sampai pada suatu waktu dimana lutut kita akan bergetar. Nah, di sini ada pepatah yang mengatakan “Hisa ga warau” (Lututnya tertawa… ya bergetar/gemetaran mirip dengan tertawa kan). Jadi waktu tiba-tiba Riku mengatakan “Hisa ga warau”, kami benar-benar tertawa karena memang begitulah keadaan kami.
Kami sampai di pelataran parkir lewat dari jam lima dan tinggal tiga mobil yang berada di situ. Kami menuju jalan pulang dan mampir di tempat pemberangkatan ferry di Kanaya. Di sini kami menangkap matahari senja perlahan tenggelam di kejauhan, dan Nokogiri yama yang telah kami tinggalkan di sebelah kiri kami.
Pikir-pikir ternyata naik ferry jauuuh lebih mahal daripada naik jalan tol lewat AquaLine. Bedanya ada 5000 yen, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang melalui jalan yang sama, dan naik ferrynya lain kali saja. Untung saja, karena pemandangan di Umi hotaru pada malam hari juga indah.
Well, kami sampai di rumah pukul 8 malam dengan kaki sakit, tapi puas bisa berjalan-jalan satu hari. Benar-benar perjalanan kami hari ini (Sabtu, 23 Januari 2010) bisa diberi judul From the bottom of the sea, to the top of the Mountain.