Semenjak saya mulai tinggal di Jepang 17 tahun yang lalu, boleh dikatakan hidupku jauh dari “suasana” Indonesia. Terutama di tahun-tahun awal. Memang sengaja juga dengan maksud untuk mengasah kemampuan bahasa Jepang dan mengurangi homesick. Aku biasakan makan tanpa sambal, karena banyak orang Indonesia yang membawa sambal kemana-mana dan menambahkannya di segala jenis masakan. Melebur dalam kebiasaan dan kebudayaan setempat adalah cara yang paling ampuh untuk mengurangi homesick. Itu menurutku. (Dan itu juga yang menyebabkan aku tidak pindah ke asrama internasional… keukeuh ngekost di rumah orang Jepang)
Tahun 1996, lulus program master, mulai bekerja di radio, membuatku harus menghubungi Indonesia atau orang Indonesia untuk mengetahui kejadian yang berlangsung di Indonesia. Di awal-awal ada Richard Susilo, ex reporter Media Indonesia (beliau juga yang menawarkan aku bekerja di InterFM 76.1 Mhz) , yang memasokku dengan berita Indonesia. Lama-lama aku mulai belajar internet dan mencari sendiri langsung dari sumbernya.
Baru 2-3 tahun terakhir aku menghubungi teman-teman ex SD, SMP dan SMA lewat beberapa “pentolan”, tapi memang kuakui bahwa FaceBook yang mewabah itu mempermudah pencarian teman-teman lama. Dulu yang mudah terkumpul adalah teman dari jenjang SMA dan Universitas, karena masih “baru”, tapi sekarang bahkan aku sudah menemukan banyak teman SD (dan TK karena kebetulan dekat hihihi).
Nah, jadi waktu temanku waktu SD dan SMP bernama Vivian menghubungiku lewat FB akan ke Tokyo, senangnya aku. Tapi …. ada waktu untuk ketemu ngga ya? Jadi aku pakai taktik seperti waktu aku ketemuan dengan Mas Nug dan Mbak Cindy, yaitu menemui di hotelnya pada hari kedatangan sekitar jam 12-an, supaya bisa cepat pulang juga dan berada di rumah waktu Riku pulang sekolah.
Vivian menghubungiku di FB dan bertanya mau dibawakan apa. Langsung aku bilang, “Aku akan senang sekali kalau kamu bawakan aku kopi luwak atau sekoteng” hihihi. Ya aku kan ngga bisa minta dibawain cabe keriting. Soalnya dia itu bekerja dengan designer Stephanus Hamy, yang akan mengadakan fashion show di Tokyo. Masak bawa cabe keriting di sela-sela baju keren-kerennya hihihi.
Jadilah kemarin aku pergi ke Ritz Carlton Midtown Tokyo, tempat mereka menginap dan malam tgl 20 mengadakan fashion show… Ini juga pertama kali aku pergi ke hotel itu yang terletak di Roppongi, daerah elit tempat gaijin, foreigner berlalu-lalang, dan so pasti muahalllll.
Begitu Vivian mengabarkan lewat email bahwa dia sudah naik bus dari Narita, itu juga pertanda aku harus berangkat dari rumah. Perjalanannya kira-kira sama deh. Karena aku masih harus naik bus, kereta dan bus lagi. Tepat pukul 12:15 aku sampai di lantai lobby hotel Ritz Carlton, yaitu lantai 45 (duh lobby aja kok tinggi banget sih hihihi). Ternyata mereka sudah cek in, dan aku dihubungkan dengan in house phone. Disuruh langsung ke kamar boss Hamy deh.
Well untung aku ngga kampungan banget, jadi masih bisa behave liat kamar segede itu. Ya jelas aja tarif semalam di situ kan juga ngga main-main. Yang aku suka kamar mandinya. Aku pasti harus melihat kamar mandi hotel-hotel berbintang begitu dan memotretnya…. Soalnya kamar mandi yang keren sulit deh dimiliki di Jepang dan di Indonesia!
Duh ini cerita kok jadi ngalor ngidul gini ya… hihihi. Yang pasti karena waktuku tidak banyak, aku cuma sempat ajak Vivi jalan-jalan ke bawah, tadinya mau ngopi, tapi kita lebih sibuk berfoto-foto ria. Hmmm blogger ngga blogger kayaknya semua suka berfoto deh. Dan yang menyenangkan “The Hotelman” menawarkan memotret kami di depan pintu masuk khusus hotel yang elegan itu. Sayangnya aku tidak ada keberanian untuk meminta dia memotret kami di depan mobil khusus mereka, BENTLEY! (Sorry ya Vi… hihihi) (Masalahnya aku juga ribet ngomong sama The Hotelman nya pakai bahasa Inggris… kalau pakai bahasa Jepang lebih mudah kali ya hihihih)
Alhasil kita ngider-ngider di Galeria sampai Ritz, sampai sekitar jam 1:30 lalu aku antar kembali Vivi ke kamarnya Boss. Itu juga pakai acara “nyasar” akibat lingkungan hotel yang begitu besar, dan liftnya berbeda dari lantai satu ke lobby, dan lobby ke guests roomnya.
Memang cuma 2 jam kami, aku dan Vivi bertemu, setelah kurang lebih 30 tahun tak bertemu, tapi itu hanya merupakan awal saja a.k.a pembuka, karena saya yakin masih akan banyak pertemuan reuni yang lain, baik di Tokyo maupun di Jakarta. Karena sesungguhnya aku sudah kenal dengan desainer Stephanus Hamy ini 5-6 tahun yang lalu waktu mengadakan fashion show di kediaman Dubes Indonesia untuk Jepang. Siapa nyana, temanku bekerja untuk Mas Hamy ini….. what a small world!
Jam 2:00 aku berlari pulang, terpaksa naik taxi menuju stasiun Shibuya, supaya bisa sampai di rumah jam 3. Karena menurut jadwal Riku pulang jam 3 siang. Ehhh ternyata sekitar jam 2:20 pas aku naik kereta di Shibuya, ada telepon dari kepolisian … nomor belakangnya 110 lagi, wah ini pos polisi dekat rumahku. Pasti dari Riku lagi. Entah kenapa rupanya dia pulang cepat, lalu karena tidak ada aku di rumah, dia ke pos polisi untuk pinjam telepon. Aku bujuk dia untuk pulang ke rumah dan menonton TV, karena aku akan butuh waktu 30 menit lagi. Dan begitu aku turun kereta di Kichijoji, yang semestinya aku naik bus, aku ambil taxi, dengan maksud supaya aku bisa bicara dengan Riku terus di telepon, seandainya dia takut. Duh sempat sport jantung juga, tapi untuk waktu aku telepon, dia sudah enjoy menonton TV di rumah dan berpesan, “Mama cepet pulang, dan bawakan hadiah”… Aku jawab, “Kalau mama bawa hadiah, pulangnya lebih lama lagi… jadi ngga usah ya..”
Dan aku menuliskan kejadian kemarin sambil menghirup kopi luwak yang terkenal itu. Yang lucunya banyak orang Indonesia tidak tahu, apa itu kopi luwak. Padahal kopi luwak adalah kopi yang termahal di dunia, you know! Kabarnya di Amerika 1 kgnya seharga $660, dan di Jepang 100 gramnya seharga 8000 yen (800.000 rupiah!) . Sementara pecinta kopi di luar negeri menahan air liur untuk bisa merasakan kopi luwak, sahabatku si Ria, terang-terangan OGAH minum kopi luwak hihihi. Ngga tega katanya. Memang sih kopi luwak itu melalui proses yang tidak biasa. Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) akan memakan biji kopi pilihan, dan melalui asam lambung luwak, biji kopi diproses dan dikeluarkan dalam bentuk biji utuh. Nah memang melihat biji utuh yang baru keluar dari Luwak ini agak gimana gitu, tapi biji ini kan dicuci, dan dikeringkan dan digiling lagi. Aku sih seandainya disuruh kumpulin sendiri juga mau, bahkan jika disuruh minum kopi disamping si Luwak ok juga hahaha. Dasar Imelda pemakan (peminum) segala…
(gambar dari wikipedia. Aku menuliskan proses kopi luwak, karena kemarin seorang chatter bertanya padaku apa yang menyebabkan dinamakan kopi luwak. Katanya dia tidak belajar tentang Kopi Luwak di SD…. karena aku ingat sekali aku belajar tentang kopi Luwak di SD. Hmmm murid SD sekarang belajar apa ya?)