Kemarin adik Jepangku, Melati san alias Mariko datang ke rumahku. Kami sudah lama tidak bertemu, mungkin sejak bulan April lalu. Kebetulan timbul masalah internal sehingga membuat kami sulit mencocokkan jadwal bertemu. Padahal sebelumnya setiap bulan minimal dia datang 2 kali ke rumahku, untuk ngobrol sambil makan masakan Indonesia yang pedas.
Nah karena kebetulan di hari libur ini (hari Penghargaan untuk Pekerja) , Gen bekerja, dan suaminya juga sedang pergi ke Osaka, maka aku undang dia untuk datang ke rumah dan ngobrol. Aku membuat soto ayam dengan sambal kemiri, dan sambil ngobrol setelah makan, aku membuat pudding untuk desert. Percakapan waktu membuat pudding ini sebetulnya yang mengilhami tulisan ini.
Untuk membuat pudding diperlukan agar-agar, dan aku selalu pakai agar-agar dari Indonesia yang merek swllow gl*be itu. Dan begitu Mariko san melihat bungkus sisanya (isinya sudah masuk panci) dia langsung berteriak,”Loh agar-agar dari Indonesia…. kangen…. boleh buat saya?”.
“Kamu mau masak agar-agar di rumah? Aku ada banyak kok nanti aku kasih.”
“Ngga saya cuma perlu ini aja, bungkusnya aja”
“Buat apa? kok bungkusnya aja… ada-ada aja kamu”
“Buat SHIORI…. pembatas buku”
Ya ampuuun, masak bungkus agar-agar dijadikan pembatas buku? Tapi dia bilang bahwa apapun yang “berbau” Indonesia dan bisa dijadikan pembatas buku, akan membuat dia seperti berada di Indonesia, dan melupakan “homesick” (padahal home nya di Jepang) nya terhadap Indonesia. Emang aneh nih Melati san, cinta banget sama Indonesia …. ono-ono wae kalau kata Bang Hery. Tapi sebetulnya bisa dimengerti sekali. Karena sebetulnya aku juga tahun-tahun pertama di Jepang mengumpulkan semua “sampah” yang membawa kenangan tentang Jepang. Sesudah 17 tahun di Jepang, lama kelamaan “sampah” itu benar-benar menjadi penghuni tempat sampah, kecuali memang bersejarah (seperti kartu mahasiswa di Jepang kan bersejarah, ngga tega buangnya hihihi)
Pembatas buku atau bahasa Jepangnya SHIORI, memang perlu ada untuk pecinta buku. Aku sering mendapat oleh-oleh shiori dari teman-teman yang berwisata ke daerah di Jepang atau dari luar negeri. Dan memang kadang aku memberikan kepada orang yang kurasa akan “menghargai” pembatas buku, atau kalau yang murah ya aku bagikan saja sebagai kenangan. Harga pembatas buku ini memang bervariasi, dari yang mahal karena berlapis emas, sampai yang murah… atau bahkan gratisan. Dan ini melimpah di Jepang… tapi kenapa di Indonesia jarang aku lihat ya? (cmiiw) Apa ini juga dipengaruhi oleh minat membaca di Indonesia yang “masih” rendah?
Di toko buku di Jepang pasti di dekat kasir ada pembatas buku gratis yang merupakan salah satu cara promosi penerbit, dan boleh diambil sebanyak-banyaknya (kayaknya bisa ditiru deh di Indonesia). Atau bahkan di dalam buku yang baru sudah ada shiorinya. Kalau buku tebal dengan hard cover bahkan sudah ada “pita” pembatas kan?
Pembatas buku memang diperlukan untuk membatasi kita sudah baca sampai dimana. Tapi memang pada kenyataannya, aku malah jarang sekali memakai pembatas buku hadiah teman-teman yang bagus-bagus itu. Lahhh? piye?
Ya abis kalo lupa bawa gimana? Dan satu lagi alasannya…. sayang kalau hilang hihihi. Jadi biasanya aku pakai kartu bus/kereta yang sudah habis isinya tapi gambarnya bagus. Kadang fotonya Riku yang hasil cetakannya gagal, bekas amplop yang sudah dibuka. Atau kalau kepepet ya tissue dari cafe/restoran, atau stroke pembayaran toko hihihi. Yang paling sadis mungkin bekas pembungkus luar permen karet pipih atau bungkus permen hihihi. Ada ngga ya yang lebih sadis dari ini? (Maunya sih pakai uang kertas 100 dollar atau 10.000 yen… apa daya yang segitu ngga lama nginep di dompet sih, kalau ilang juga langsung jatuh miskin deh hihihi) Atau ada yang seperti Mariko san pakai bungkus bekas agar-agar (atau sejenis) sebagai pembatas buku?
Kalau tidak ada yang bisa dipakai sebagai pembatas buku, biasanya aku akan hafalkan saja halaman terakhir halaman berapa. Aku jarang menandai dengan melipat ujung kertas buku. NAH yang parah, aku biasa menandai halaman-halaman tertentu yang isinya ingin kupakai sebagai quote, dan kalau tidak ada pembatas buku yang banyak atau post it susaaaah deh. Jadi buatku malah lebih perlu post it daripada pembatas buku. Dan terus terang ada satu buku yang terpaksaaaaaaaaaaaaa banget aku lipat ujungnya di beberapa halaman (dan aku sempat dimarahi seorang teman pencinta buku hiks ). Aku masih berdalih sedikit…toh ini bukuku hihihi.
Tapi yang pasti ada satu buku berharga yang penuh dengan pembatas buku yang bagus-bagus dengan kata-kata dan gambar indah (Dan penuh coretan stabilo hihihi). Dia itu sebagai panduan hidup setiap saat, meskipun akhir-akhir ini mulai jarang kubuka. Dia adalah Alkitabku!
Jadi buat kamu, perlu tidak pembatas buku? Senang tidak diberi oleh-oleh pembatas buku (atau lebih baik sih bukunya ya hahahaha, lebih mahal soalnya bukunya)? Lalu media apa yang pernah kamu pakai sebagai pembatas buku?