Pasti Anda berpikir, “Oh pasti itu chanel TV siaran CNN atau chanel film dari televisi kabel” atau “Wah gila juga kalau Imelda mau nonton TV sampai 24 jam”. Yang pasti, biasanya saya belum tentu mau menonton TV lebih dari 1 jam.
Televisi 24 jam adalah nama sebuah acara di Nihon Terebi (chanel 4 di Jepang) yang tayangkan setiap tahun di akhir bulan Agustus, akhir pekan selama 24 jam, dan merupakan acara live. Judulnya dalam bahasa Inggris adalah 24H Television Love Save the World. Acara ini merupakan acara charity , untuk mengumpulkan sumbangan bagi kegiatan sosial. Pertama kali mengudara pada tahun 1978, setiap tahun menampilkan artis-artis terkenal yang menarik perhatian para penyumbang dari kalangan pemirsa televisi.
Acara 24HTV ini pun kembali digelar tanggal 29-30 Agustus kemarin. Dan tema tahun ini adalah “Start”. Dalam acara itu seperti biasanya ada acara marathon yang biasanya diikuti oleh seorang aktor/artis yang terkenal. Tahun ini yang akan lari dalam waktu 24 jam sejauh 126.585 atau 3 kali maraton adalah Imoto Ayako. Dia memang terkenal sebagai seorang aktris nyeleneh (dengan tanda khas, yaitu alis mata yang amat tebal) yang suka adventur, mencoba sesuatu yang baru dan berbahaya. Dia pernah mendaki kilimanjaro, pergi ke 36 negara untuk membuat acara televisi …tentu saja ini yang membuat dia juga dapat terus mendapat kontrak dari televisi dan melanjutkan karir sebagai artis TV. Tapi kali ini untuk acara 24HTV ini, dia mencoba untuk menyelesaikan 3 kali maraton dalam sehari (24 jam).
Selain acara maraton, ada acara rally tenis meja selama 8 jam 15 menit yang sudah tercatat sebagai rekor dunia. Dan akhirnya berhenti dalam rekor baru 8:29:58. Ada pula acara melintasi selat Tsugaru Kaikyo (Selat Tsugaru) yang menghubungkan pulau utama Honshu dengan Hokkaido. Tapi yang berenang adalah penyandang catat, tuna netra.
Acara ini selama 24 jam memang sarat dengan cerita dan liputan yang terus menerus membuat mata basah dan hati menjadi hangat. Banyak cerita inspiratif yang disampaikan. Seorang ibu yang mengetahui dirinya mengidap kanker waktu usia janin di kandungannya sudah 4 bulan. Dia bertekad tetap melahirkan dan membesarkan sang bayi, sampai ajalnya menjemput. Sebuah buku berisi pesan-pesan untuk anaknya ditulis, dan menginspirasi banyak anak muda yang kurang mengerti artinya hidup.
Kisah seorang gadis lulus SMA, yang sejak lahir hidup di kursi roda. Dia lahir tanpa tangan dan hanya ada 1 kaki. Sejak kecil dia dididik ibunya untuk melaksanakan semua sendiri, mulai dari pakai baju, sampai memanjat tangga. Satu hal yang membuat ibunya juga tabah menjalani cobaan membesarkan anak cacat adalah senyumannya. Memang terlihat, anak bayi cacat ini terus tersenyum dan semangat. Sayangnya waktu masuk masa puber, dia menyadari bahwa banyak kegiatan teman-temannya yang tidak bisa dia ikuti tanpa tenaga ekstra. Dia menjadi pemurung dan tidak bersemangat. Tapi begitu dia melihat latihan kelompok cheer leader, dia merasa… dia harus masuk kelompok ini. Dan guru pelatih cheer leader bertanya padanya, apa yang bisa dia banggakan? “Senyuman dan bersemangat!” Dan benar, senyuman dan semangatnya bisa menularkan anggota cheer leader yang lain dalam berlatih. Setelah lulus SMA, dia bercita-cita untuk menjadi artis suara (dubber).
Selain kisah-kisah nyata dari para penyandang cacat, ada pula acara mewawancarai 100 juta penduduk Jepang. Seorang artis atau aktor akan pergi ke suatu desa, yang ditentukan oleh permainan darts. Dan selama perjalanannya di desa itu, mereka bertemu dan mewawancari warga yang mereka temukan. Tema pertanyaan mereka adalah, “Start” apa yang telah/akan dilakukan dalam waktu dekat. Ada satu pertemuan dengan warga biasa yang cukup mengharukan. Pertemuan dengan seorang nenek berusia 94 tahun (ah jadi teringat pak watanabe).
Nenek ini adalah seorang bidan. Dia berhenti dari pekerjaannya sebagai bidan sekitar 8-9 tahun yang lalu. Dan setelah berhenti, dia menjadi murid SD dan mengambil mata pelajaran matematika saja. Bayangkan sebuah kelas berisi anak-anak usia SD (Kalau tidak salah kelas 4) dan di antara mereka ada seorang nenek berusia 80 tahun-an yang belajar bersama. Aneh bukan?
Dan mungkin ada yang bertanya, kok dia sudah bekerja sebagai bidan, kenapa harus masuk SD lagi? Ternyata si nenek melakukan hal itu, sebagai ganti kegiatan anak perempuannya. Si Nenek memang seorang bidan, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa waktu bayi perempuan yang dikandungnya meninggal setelah dilahirkan. Ya, anak perempuannya meninggal. Si nenek sengaja belajar kembali di SD sebagai pengganti anak perempuannya. “Saya membayangkan dia berkembang, dan belajar bersama dengan anak-anak seusianya”. Nostalgia masa silam tetapi berani dijalankan mengingat umurnya yang sebetulnya sudah tua sekali.
Aku tidak suka menonton TV. Tahu sebabnya? Karena aku mudah menangis dan tenggelam dalam cerita yang ditayangkan. Untuk menghindari kepala pusing, aku tidak mau menonton TV. Tapi karena penasaran dengan acara-acara yang ditampilkan, aku nonton acara ini, meskipun bolong-bolong (karena bukan di rumah sendiri). Dan memang akhirnya aku jadi sakit kepala, tetapi cukup puas karena bisa melihat… ya memang benar, Orang Jepang selalu bersemangat dan berusaha terus, tidak peduli dia itu orang normal yang sehat ataupun orang cacat yang terbatas gerakannya. “Manusia jika berusaha pasti akan bisa!”
Ah…. coba ada acara televisi semacam ini di Indonesia. Apalagi selama acara berlangsung 24 jam lebih, dikumpulkan sumbangan secara langsung atau melalui telepon/credit card. Coba seandainya sms-sms yang dikirim untuk pemilihan idol di Indonesia itu adalah sumbangan … berapa ratus juta rupiah yang bisa dikumpulkan? Kabarnya sumbangan yang terkumpul dalam acara 24 HTV tahun ini sebanyak 2.720.000.000 yen! (tahun lalu 1.083.666.922円) Dan hasil pengumpulan ini dipakai untuk beberapa kegiatan sosial/kesejahteraan, yang laporannya bisa diikuti lewat website juga.
Dan satu lagi yang aku juga kagum pada orang Jepang, yaitu kontinuitas. Mungkin orang Jepang menganggap itu atarimae, lumrah bahwa jika memulai sesuatu maka harus berusaha untuk melanjutkannya. Tapi tidak untuk Indonesia. Kadang aku malu mengakui bahwa orang Indonesia memang cepat melempem. Buat acara bagus besar-besaran. Kali pertama amat berhasil, tapi biasanya berhenti di situ, tidak ada acara kelanjutannya. (Aku tidak mau pakai contoh konkrit deh di sini…takut kena UU internet hihihi). Komitment dan kontinyualitas… mungkin hanya mimpi saja di negara kita.