Bermacam-macam komentar teman-teman waktu saya tulis kalimat itu di status FB saya. Ya CLBK, atau rasa lapar, rasa nano-nano, rasa strawbery/durian bahkan ada yang bilang sambil bercanda, “terima kasih kalau memang masih dijaga” hahaha.
Well, sebetulnya saya menulis kalimat itu ingin menunjukkan rasa prihatin akan hilangnya “Rasa” tradisional kuliner Indonesia.
Begitu banyak kue dan masakan tradisional yang terancam punah. Bukan saja pemasaknya tidak ada, tapi juga anak-anak mudanya tidak ada yang pernah tahu keberadaan kue dan masakan-masakan ini. Karena tidak tahu, jadi tidak membeli atau memesan. Dan sebagian orang Indonesia malas untuk mencoba jenis masakan baru, takut tidak sesuai dengan lidah… lain dengan saya, kalau bisa saya mau coba semua jenis masakan. Soal nantinya masuk ke repertoire saya atau tidak, itu urusan belakang.
Bapak saya lahir dan besar di Makassar. Jadi kami biasa untuk makan kuliner dari Makassar. Dan saya beruntung pernah mencoba makan beberapa kue makassar yang jarang dijual di toko alias harus dipesan sebelumnya.
Nah waktu saya membaca blognya Ria yang menceritakan ibunya terima pesanan masakan makassar, saya langsung menghubungi Ria, menanyakan kesanggupan ibunya membuatkan kue-kue itu. Karena kebetulan saya akan pulang kampung, dan alangkah senangnya jika pas ulang tahun papa saya bisa bernostalgia dengan kue-kue langka dari Makassar.
Secara keseluruhan kue-kue Makassar ini memang MANIS, dan kolesterolnya tinggi. Abis bahannya cuma telur dan gula saja sih…. dan banyak jumlahnya, sehingga bisa dipastikan juga mahal harganya.
1. Cucuru Bayao
Kata papa saya Bayao adalah telur, karena itu bentuknya bundar seperti telur, dan memang yang paling mahal dibanding kue-kue lain. Waktu saya pesan ini, mamanya Ria bertanya,”Mbak sudah pernah makan? Karena banyak bilang itu bau amis telur”. Well, saya sudah pernah makan, dan tidak setiap tahun bisa makan, so saya mau coba biar sedikit.
2. Putri Hijau atau Putih Hijau
Entah yang benar namanya apa, tapi kue ini kesukaan mama saya. Dan memang benar, rasanya segar meskipun manis, dan langsung menjadi Favorit di antara 4 kue yang saya pesan.
3. Biji nangka
Katanya bahannya terbuat dari kentang, kemudian diluluri gula cair. Manis dan berat. Saya tidak tahu kenapa namanya Biji Nangka, mungkin karena bentuk saja ya.
4. Sarikaya
Berwarna coklat, dan katanya merupakan pelengkap kue-kue manis ini.
Empat jenis kue ini berhasil membangkitkan kenangan lama kami sekeluarga. Dan untuk makanan utamanya saya pesan Cotto Makassar dengan burasa (ketupat/lontong khas Makassar). Dan rasanya… top markotop deh. Salut untuk mamanya Ria.
Sejak saya datang ke Jakarta memang saya langsung nostalgia dengan masakan makassar karena kebetulan mama dan papa baru kembali dari makassar. Ada Nyuknyang (Bakso) Makassar yang membuat teman saya Lia yang sebetulnya tidak nge-fans bakso jadi suka. Lalu ada Otak-otak khas Makassar dengan saus sambalnya yang seru. Kemudian tante saya membuatkan Pisang Ijo (varian lain dari Es Pallubutung). Pokoknya yummy deh.
Dan nostalgia masakan Makassar ini bisa memeriahkan acara temu keluarga dalam rangka ulang tahun papa tersayang, PL Coutrier yang ke 71, tanggal 29 Juli lalu. Happy Birthday ya Papa…. Enam bersaudara (kurang satu yang di Belanda) bisa reuni dan membuat foto bersama “de Coutriers”. Saya juga senang sekali bisa bertemu dengan Om Lody, kakak mama yang tertua melengkapi foto “de Mutters”.
“Tradisi” dan “Silaturahmi” memang perlu dan harus dijaga … dan harus dibudayakan kepada generasi yang lebih muda.
Entah apakah itu bisa hanya dengan menunjukkan dan mengajarkan sejarah bangsa sendiri atau tidak? Tentunya butuh akar yang kuat dan proses yang lama, tapi paling sedikit aku berusaha memberitahukan pada anak-anakku, inilah Indonesia, negara ibumu.
Hari Jumat, akhir pekan dan Senin, memang saya hindari untuk keluar rumah. Terlalu banyak orang yang berseliweran di mana saja di kota Jakarta ini. Jumat karena hari pendek, pasti macet. Demikian pula dengan akhir pekan. Dan Senin, entah kenapa di negara manapun biasanya museum libur. Yang pasti di Belanda dan di Indonesia museum libur. Kalau Jepang tidak pasti, tapi jika mau ke dokter gigi di Tokyo, katanya lebih baik menghindari hari Kamis. Alasannya? Setiap kamis ada pertemuan dokter gigi yang diadakan serikat dokter gigi Jepang hehehe.
Jadi Selasa, 28 Juli, kami pergi ke Museum Fatahilah, Cafe Batavia dan Museum Wayang. Tentu tulisan ini akan menjadi panjang dan penuh foto-foto, sehingga silakan diskip bagi yang tidak berminat.
Pukul 9:30 kami bertiga berangkat dari rumah naik taxi (sambil aku berdoa, moga-moga Kai tidak rewel). Sengaja aku cepat-cepat keluar rumah sebelum three in one berakhir, takut terjebak macet. Yang lucunya supir taxi BB yang mengantar kami ini, tidak tahu MUSEUM FATAHILAH itu di mana. Duh pak, itu loh yang di kota, bukan di Menteng. Masak dia bilang, “Bu itu Museum Sunda Kelapa? yang di Menteng?” Lagian, Sunda Kelapa masak di Menteng sih. Ada emang Mesjid Sunda Kelapa di sana. Tapi bukan MUSEUM pak…. hihihi. “Pokoknya ke arah Stasiun kota aja pak, nanti di sana nyari!” (Kalau tidak tahu Stasiun Kota mah kebangeten… aku aja pernah nyetir ke sana kok! Daerah termacet dan memerlukan energi berlipatganda jika mau menyetir ke sana hihihi. Tapi kalau belum lewat daerah ini belum bisa mengatakan diri sebagai penyetir ulung)
Melewati jalan Medan Merdeka, ada Mahkamah Konstitusi, dan ada demo di sana. Untung tidak gede-gedean sehingga membuat jalanan macet. Setelah tanya sana sini, akhirnya kami sampai juga di samping Museum Fatahilah. Waktu kami turun terasa sinar matahari mulai menyengat, sehingga cepat-cepat berfoto di depan museum dan masuk ke dalamnya. Kalau melihat foto-foto tampak muka museum, seakan kita tidak berada di Indonesia ya….
Apalagi kalau malam, pasti keren sekali. Ah, kapan kalau anak-anak sudah besar aku ingin ke sini malam hari deh. Pelataran depan museum tampah bersih, meskipun banyak pedagang asongan menawarkan jualannya. Seperti biasa, Riku ingin dibelikan balon berbentuk (dasar masih anak-anak), lalu aku bilang, “Ya, nanti kalau sudah mau pulang.” (Dan ternyata waktu kami akan pulang, si pedagang sudah tidak ada …horeee…. hihihi)
Saya cukup kaget dengan karcis tanda masuk seharga Rp. 2000,- untuk dewasa dan anak/pelajar Rp.600,-. Memang seharusnya murah, tapi hebat juga dengan harga segini, kebersihannya memang patut diacung jempol, seperti kata bu Enny di komentar postingan sebelum ini. Aku tidak tahu apakah ada subsidi pemerintah, atau saking banyaknya orang datang perhari maka biaya perawatannya bisa tertutup. Tapi yang pasti waktu kami pergi kemarin itu memang sepi, karena hari biasa.
Masuk ke ruangan pameran Jakarta di masa modern, kami dapat melihat kios bakso, warung, dan… becak. Mungkin 10 tahun mendatang bajaj juga akan dipajang di sini ya? hehehe. Waktu kami di sini, datang 4-5 murid SMA laki-laki dan mereka berpose di depan becak (pake acara naik becak segala), akhirnya aku tawarkan memotret mereka. Dan sebagai imbalannya, salah satu murid itu memotret kami.
Melihat satu per satu peninggalan sejarah di Jakarta, saya tidak bisa menjelaskan pada Riku, karena memang akan menjadi sulit. Cukuplah dia melihat saja dulu. Hanya satu komentarnya yang lucu waktu melihat jejak kaki di batu tulis, “Mama, itu pasti jejak kakinya monyet ya… abis gede gitu”… Hmmm
Setelah selesai sayap kanan bawah, kami menuju ke lantai dua, tempat kamar-kamar dengan setting meja dan lemari jaman belanda. Anehnya Riku dan Kai, sama-sama merengek ingin cepat-cepat pergi dari situ. “Kowai…. (takut). Oh ya, Kai sudah bisa bicara Kowai, waktu dia harus menuruni tangga jalan turun di PIM (Pondok Indah Mall, dekat Gramedia) … karena cepat, dia langsung berkata, “kowai” sehingga saya menggendong dia dan turun dengan eskalator itu. Memang menakutkan karena cepat. Aku tidak akan heran jika ada anak yang terjepit kakinya di sini.
Jadi kami cepat-cepat turun dari lantai dua, menuju ke halaman belakang museum, dan melihat penjara yang berada di bawah bangunan. Ihhh ngebayangi tinggi penjara yang sedikit lebih tinggi dariku (paling cuma 180 cm tuh) dan begitu sempit…. di sini juga Riku dan Kai ketakutan, jadi cepat-cepat keluar deh.
Halaman belakang museum memang sejuk sebab di bagian kirinya ditumbuhi pohon-pohon. Terlihat murid-murid SMA sedang mendengarkan penjelasan mengenai meriam Jagur yang menjadi simbol museum ini. Persis di bawah tangga terdapat patung Hermes, dan aku cukup tercengang mendengar penjelasan Riku mengenai Dewa Yunani ini… darimana dia tahu ya? (Pasti televisi!)
Karena anak-anak sudah mulai bosan dan capek, akhirnya kamu tidak memasuki sayap kiri museum, dan langsung menuju ke Cafe Batavia. Waktu kami datang, serombongan turis asing baru saja keluar, sehingga cafe itu KOSONG! Memang baru jam 11-an belum waktu makan siang. Lalu kami ditawari duduk di lantai 2. Apa keistimewaan di lantai 2? “Bisa melihat pemandangan ke arah Museum bu!”… Oh Ok… jadi kami pergi ke lantai dua, dan memilih meja dekat jendela. Kan, katanya bagus pemandangannya hehehhe.
Well, aku memang sudah memasukkan Cafe Batavia dalam list kunjungan liburan kali ini, karena membaca postingan ibu Enny di sini. Tapi aku lupa jenis makanan yang dipesan ibu… aku cuma ingat bubur ayam, tapi lupa soal ayam mabok. Jadi aku cuma pesan bubur ayam, ceker ayam dan harkau karena Riku suka (tapi harkaunya kulitnya keras, ngga aku sarankan deh hihihi …. sorry cukup cerewet soal dim sum). Dan minumannya speciality Cafe Batavia, yaitu Batavia Juice dan Fatahilah Juice (Rasanya agak kecut sehingga Riku dan Kai tidak begitu suka).
Untung juga aku pesan bubur, karena Kai mau makan banyak, bahkan jamur yang dipotong agak besar, dia ambil dan makan. Padahal aku sudah was was kalau dia tersedak. Untung OK OK aja.
Cukup lama kami di Cafe ini, santai sambil makan dan istirahat. Akhirnya saya yang harus menghabiskan makanan yang dipesan karena Riku makan sedikit. Tapi mau makan es krim sebagai dessert. Sebetulnya ada judul dessert yang menarik perhatian saya yaitu sebuah platter desert untuk 6 persons…harganya? 225.000 saja. Waktu aku tanya waiternya dia bilang, bu, itu sih bisa buat 10 orang, karena ada 16 scoop es krim, semua rasa yang kita punya di situ. Wahhh musti ajak 10 orang untuk ke sini lagi nih hehehe.
Akhirnya saya memesan paduan es krim yang namanya ada Amazonia, yaitu paduan es krim pistachio, coklat dan hazelnut (kalau tidak salah)… hmmm es krim ini katanya buatan cafe itu sendiri, tapi masalahnya saya cerewet (kritis kata mas trainer) soal rasa, jadi … mungkin saya tidak akan memesan es krim lagi karena ada yang lebih enak (kris dan nana pasti tahu deh kesukaan saya hehehe). Hampir semua dessert di sini harganya Rp. 60.000,-.
Inginnya sih berlama-lama, sambil baca buku dan tidur ayam di Cafe yang buka 24 jam ini. Tapi karena Kai sudah mulai geratak sana sini, juga memanggil manggil “Mbak… mbak….” (lucu deh, setiap dia lihat waiter perempuan dipanggilin mbak … awas kalo kamu gede jadi penggoda wanita ya! hihihi). Jadi karena kebetulan si mbak menoleh waktu dipanggil oleh Kai, sekalian aja aku minta bill nya.
Keluar dari Cafe Batavia, kami menuju ke Museum Wayang. Di sini juga karcis masuknya Rp. 2000,- untuk dewasa, dan Rp 500 untuk anak-anak. Sayang hari biasa sehingga tidak ada pertunjukan wayang, padahal Riku ingin sekali menonton wayang. Nanti deh nak, kalau bisa kita nonton yang di Jepang aja, supaya bisa ngerti ceritanya juga. Biasanya Nihon Wayang Kyokai mengadakan pertunjukan wayang secara berkala.
Melihat wayang-wayang sekilas, Riku dan Kai mulai ketakutan melihat wayang golek besar, dan ondel-ondel. Jadi kami cuma sempat berfoto di halaman antara gedung depan dan gedung belakang, dan setelah saya baca ternyata di situ adalah kuburannya petinggi-petinggi VOC, saudara/kenalan/temannya si Jan Pieter Zoen Coen. Museum Wayang ini konon merupakan gereja…
Akhirnya aku melawan rute, balik saja lagi ke pintu masuk, dan pulang. Di dalam taxi kami melihat penjual asongan mulai menjual bendera-bendera kecil. Ya, sebentar lagi RI akan memperingati kemerdekaannya, dan biasanya Jakarta penuh dengan hiasan merah-putih ya. Dan tepat hari itu aku harus meninggalkan kampung halaman dan back to reality. For the time being… just enjoy!!!
Ada tiga pilihan yang aku ajukan pada Riku di hari pertama sampai di Jakarta. Dan aku tahu dia bingung untuk memilihnya. Tiga pilihan itu adalah, “Kebun Binatang, Sea World, dan Museum”. Lalu dia bilang, besok Kebun Binatang, besoknya lagi Sea World dan terakhir Museum.
Jadi deh tanggal 23 Juli, Kamis, kami pergi ke Sea World di Ancol. Naik taxi dari kebayoran sampai Ancol, wuih mayan juga 80.000 rupiah. Mustinya sewa mobil mungkin lebih menguntungkan ya? Tapi yang pasti tidak bisa naik taxi sejauh itu seharga 1000 yen di Tokyo (hih dibandingin, jelas beda atuh!) . So, satu lagi kenikmatan berlibur di Indonesia adalah naik taxi….. murah! hehehe.
Karena naik tol, lumayan lancar, kita bisa sampai langsung masuk area Ancol tanpa hambatan. Langsung berfoto deh di depan rumah-rumah yang katanya wita berharga milyaran itu. Eh tapi biarpun aku misalnya punya duit segitu, ngga pengen ah punya rumah di situ, abis katanya banjir kalau air pasang. Dan satu lagi, bau amis hihihi.
Menuju ke Sea World, kami melewati Hotel Horison dan lapangan golfnya. Sekarang namanya sudah menjadi Mercure. Udah bobrok banget keliatan dari luar. Yang saya tidak periksa, apakah masih ada restoran Nelayan di situ. Inget pernah makan di situ dengan teman-teman les bahasa Jepang JF, bersama satu-satunya guru bahasa Jepang yang cakep, MS sensei (eh ternyata denger sas-sus yang ngga enak juga ttg dia).
Well, sepiiiiiii banget. Ya iya lah hari Kamis, hari biasa. Tapi…katanya anak-anak akan digiring ke Dufan, Ancol. Kok sepi gini ya?
Sampai di Sea World, beli karcis masuk. Wah anak usia 2 tahun ke atas harus bayar sama dengan dewasa, Rp 40.000,- saja. Beda banget ya sama HTM nya Ragunan (memang fasilitasnya juga lain sih). Waktu masuk kami disambut mbak-mbak yang tugasnya ngecapin tangan, mungkin supaya bisa masuk lagi kali ya. Lalu bisa melihat relief di sebelah kanan pintu masuk, yang diterangi cahaya lampu.
Memang memasuki ruangan mata harus dibiasakan melihat dalam keremangan. Asyik juga buat pacaran nih hihihi. Dan akuarium pertama yang kami lihat adalah akurium yang berisi ikan Arwana raksasa dari Amazon. Benar-benar besar! Aku ngebayangnya kalau dibakar bisa untuk makan berapa orang ya tuh hihihi (Sejak kapan ikan arwana dimakan sih? hihihihi). Riku sudah tahu arwana dan juga dugong (pesut).
Selain ikan dan binatang laut yang berada dalam akuariumnya, ada pula kolam terbuka yang memungkinkan pengunjung menyentuh binatang-binatang laut seperti ikan pari, hiu, juga kura-kura.Selain itu kami juga bisa melewati terowongan di bawah kolam. Terowongan semacam ini membuat kita dapat melihat bagian bawah ikan pari dan ikan-ikan lain yang biasanya kita lihat permukaan samping/atas saja.
Kebetulan pada jam 12 siang diadakan acara pemberian makan terhadap ikan-ikan di akurium, sehingga kami bisa melihat penyelam membawa ikan-ikan kecil, santapan penghuni akuarium utama. Penyu laut yang berada di akuarium utama ini juga besar dan menarik perhatian.
Setelah itu, aku dan kai santai mengelilingi akurium kecil-kecil, sementara Riku dengan Wita bermain di tempat ikan untuk terapi tangan. Jadi kita memasukkan tangan ke dalam akuarium terbuka, dan ikan-ikan kecil itu akan datang dan menggigit kulit-kulit mati kita. Memang geli sih, tapi terbayang juga, jika kita terdampar di laut berhari-hari memang kita bisa mati perlahan dimakan ikan-ikan kecil itu hiiiii. Buat Kai, kolam ikan kecil ini surga karena dia bisa kecipak kecipuk di air sehingga menakuti ikan-ikan itu untuk mendekat. (Kai memang suka air, asal…rambutnya tidak dibasahi hihihi)
Yang terakhir kami menonton pemberian makanan kepada ikan piranha, yang habis melahap santapan siangnya dalam hitungan detik (39 detik)… Hmmm kalau sampai ada orang jatuh ke kolam itu, berapa detik ya? Huh, mikirnya kok serem-serem aja sih si imelda ini. amit-amit deh.
Secara keseluruhan memang Sea World ini menghibur. Tapi saya merasa beruntung sekali datang di hari biasa, jika tidak, dan jika pengunjung membludak, saya tidak bisa membayangkan bagaimana caranya mereka atur sirkulasi pengunjung di tempat yang tertutup dan gelap begitu. Bagi pengunjung sea world juga mendapat potongan harga jika mau pergi ke arena stuntman, Police academy. Tapi waktu saya lihat jam pertunjukannya, jam 14:30, terlalu sore bagi kami…jadi kami tidak jadi pergi ke sana (untung juga sih, aku ngeri dengan yang begitu-begitu, dan mungkin Gen juga tidak setuju mengajak Riku ke sana)
Next place? Museum Fatahilah dan Museum Wayang. Tapi kapan ya?
Hari Rabu lalu, tanggal 22 Juli, saya mengajak anak-anak ke Kebun Binatang Ragunan. Karena terus terang saja, saya belum pernah ke sana, setelah sekian lama saya berkampung halaman di Jakarta (sejak lahir sih). Dan pernah melihat foto adik saya di sana, kelihatannya kok bagus, jadi… pergilah kami ke sana. Wita ikut bersama kami untuk bantuin saya menjaga Kai tadinya, tapi akhirnya malah menjadi temannya Riku. Kai sama sekali tidak mau dengan orang lain selain mama. Manja!
Dari rumah kami naik taxi ke Ragunan pukul sepuluh lewat. Hmmm jalanan cukup macet. Belum sampai di Ragunan, saya sudah merencanakan untuk mampir ke PIM atau Citos pulangnya, untuk makan siang. Ngga mau lah makan di Ragunan, nanti menunya sama dengan singa atau monyet kan berabe hihihi.
Begitu sampai di pintu gerbang, kami disuruh masuk lewat lapangan parkir. Membeli tiket (dewasa Rp. 4000,- dan anak-anak Rp.3000,-) dan masuk deh… Kai mulai berjalan sendiri, karena tadinya minta digendong terus. Riku berjalan duluan dengan Wita. Kami langsung menuju ke kolam yang berisi burung pelikan. Kai senang sekali melihat burung-burung pelikan begitu banyak.
Dari situ kami berjalan melewati tempat rusa, burung onta dan menuju ke tempat naik kereta. Katanya kereta ini akan berkeliling di dalam areal kebun binatang, dan supaya saya bisa tahu seberapa jauh kami harus berjalan, juga letak binatang-binatang, maka kami naik kereta tersebut.
OK saya tidak boleh mengeluh dengan pelayanan di Indonesia. Biar bagaimanapun standar Jepang terlalu tinggi untuk diterapkan di Indonesia. Dengan membayar 5000 rupiah per orang, kami naik kereta itu, dan…sama sekali tidak ada keterangan, di kiri ada apa, di kanan ada apa…. hanya …yah keliling begitu saja. Saya harus mencari plang tanda penunjuk binatang-binatang apa ada di mana. Dan…. plang itu juga tidak bisa dijadikan patokan yang baik, karena ternyata banyak binatang tidak bisa kami temukan di arah yang ditunjukkan.
Saya juga heran sih, kok tidak ada denah keseluruhan kebun binatang, sehingga kita bisa tahu kita ada di mana. OK deh mahal mungkin untuk membagikan pamflet-pamflet berisi denah/peta kepada setiap pengunjung seperti di Jepang. Tapi bisa dong bikin papan denah di pintu masuk misalnya…. (Eh tapi mungkin ini menunjukkan bahwa orang Indonesia ngga bisa baca peta ya? Dan peta itu selalu kira-kira aja? Peta itu tidak penting di Indonesia mel… kamu itu mengharapkan yang tidak-tidak ajah)
Kami melihat ular (Riku dan Kai tidak suka, idem sama mamanya), gajah (nah kalau ini banyak deh, ada mungkin 5 ekor), kijang dan mencari macan putih yang ternyata begitu jauh, dekat pintu Barat. Dalam perjalanan menuju ke macan putih itu, kami melihat buaya dan unta. Sebetulnya saya sudah malas untuk mencari macan putih, tapi Riku bersikeras ingin melihat singa dan harimau. Jadi terpaksa deh “dijabanin“. Untuk itu kami juga melewati pusat primata Schmutzer, dan terpaksa tidak kami masuki karena Riku ngotot cari macan. Yah tapi sudah jauh-jauh jalan, begitu sampai di tempat macan putih itu, ternyata si macam lagi bobo…. kuciwa deh.
Karena sudah dekat dengan pintu keluar, ya kami pulang lewat pintu Barat itu. But, ternyata susah sekali nyari taxi di sini. Sempet kepikiran juga untuk naik angkot sampai jalan gede sih…. tapi sabar menunggu aja deh. Dan akhirnya dapat. Karena pikir Citos membosankan, kami ke PIM saja, makan siang di bakmi GM …. asyik ngobatin kangen. Mampir gramedia, kemudian pulang. Kai teler jadi sempat tertidur di dalam taxi…. lucu deh.
OK, saya memang sudah ditanya oleh Windy, teman saya, kok tidak ke Safari saja? Riku sendiri sudah 3 kali ke Taman Safari, dan kalau pergi ke Taman Safari kan tidak bisa naik taxi (mabok bayarnya), lagipula saya memang mau tahu gimana sih Ragunan itu. Jadi kesimpulan saya ke kebun binatang Jakarta itu adalah, tempatnya terlalu luas dengan sedikit binatang. Waktu kami ke sana memang hari biasa, sepi pengunjung, tapi even that, saya bisa melihat beberapa keluarga yang “piknik” menggelar tiker dan makan siang di rerumputan kosong. Hmmm ruangan seperti itu memang menggoda orang untuk piknik sih. Tapi, pengunjung kan maunya lihat binatang di kebun binatang, bukan orang? hehehe. Saya juga tidak boleh mengeluh soal kebersihan, karena ya… biasa kan di Indonesia? Itu saja sudah lumayan sekali kok hehehe. (Cuma terus terang saya ngga bakal coba naik sepeda air atau berdayung di danau yang kecoklatan dan penuh daun-daun jijay begitu. Kalo nyemplung hiiiii)
Well, setidaknya hari itu saya sudah menjadi warga DKI yang baik dengan mengunjungi tempat wisata standar sebuah kota.
atau lebih tepatnya, “menumbuhkan kemampuan berpikir secara ilmiah pada anak-anak Indonesia”. Ini adalah sebuah tujuan mulia, yang saya dukung sepenuhnya, meskipun waktu itu saya satu-satunya anggota yang bukan berasal dari ilmu eksakta. Hanya sayangnya “keinginan” yang pernah menjadi tujuan sebuah organisasi di Jepang (saya rasa tidak etis juga menyebutkan namanya di sini), yang anggotanya terdiri dari alumni universitas Jepang kandas di tengah jalan. Alasannya, masing-masing sibuk dengan kegiatan dan pekerjaannya — termasuk saya. Saya akui karena waktu kegiatan itu dicanangkan tahun 2003 itu, saya baru saja melahirkan Riku. Dan setelah itu sempat beberapa kali ikut kegiatan organisasi ini, dan akhirnya sekarang statusnya “mati suri”. Baru berhasil ikut serta sebagai fasilitator kerjasama SMA Jepang – Indonesia, dan ikut dalam kegiatan Pasca Tsunami. Padahal waktu itu targetnya tahun 2010, kami ingin membuat sesuatu tindakan nyata di Indonesia. Sayang… sungguh sayang…. karena sebetulnya banyak ide-ide brilian yang bisa diwujudkan.
Kreatifitas haruslah diajarkan dan dilatih. Jarang ada orang yang lahir langsung kreatif. Manusia kreatif biasanya ditempa oleh alam dan kehidupannya dan didukung oleh otak yang encer. Tapi kreatifitas ini amat penting jika kita mau menghasilkan generasi “pencipta” bukan hanya “pemakai”. Monozukuri istilah di Jepang, membuat barang, inventor. Bahkan di Jepang ada Universitas untuk mendidik para inovator itu, Monozukuri Daigaku, yang mereka terjemahkan menjadi University of Technologist.
Kreatifitas itu juga sebetulnya bukan melulu sebuah bentuk barang, yang bisa terlihat. Ide, gagasan dari sebuah pemikiran juga memerlukan kreatifitas. Bahkan menurut saya setiap segmen kehidupan, membutuhkan kreatifitas. Seorang ibu yang kreatif akan bisa menghasilkan sebuah menu baru dari makanan sisa. Bisa menggunakan kembali barang-barang yang sudah tidak dipakai sehingga bisa dipakai untuk tujuan lain. Kalau saja setiap ibu rumah tangga bisa kreatif, misalnya seperti Bintang di postingannya yang ini, duhh kampanye Cinta Lingkungan tidak perlu terlalu digembar-gemborkan. Karena secara tidak langsung, seharusnya kreatifitas akan mendukung perlindungan lingkungan hidup.
Banyak sebetulnya yang bisa dicoba oleh orang tua untuk mengajarkan anak-anak untuk kreatif. Daripada membelikan gameboy, lebih baik membelikan lego misalnya. Atau mengajak anak-anak pergi ke planetarium, atau museum. Namun memang saya akui, sarana-sarana yang bersifat mendidik di Indonesia masih kurang, karena lebih banyak mall yang didirikan daripada sebuah “perpustakaan” misalnya. Saya amat sangat iri dengan anak-anak Jepang yang memang kreatifitasnya ditunjang oleh pemerintah. (Jangan pikirkan alasan kurang dana dulu deh, meskipun memang dana itu penting)
Setelah mengikuti pendidikan dasar bagi Riku di kelas 1 SD selama 4 bulan, saya menemukan beberapa hal menarik. Yaitu penggunaan kertas origami, untuk melipat berbagai bentuk, dan penggunaan lilin/malam nendo yang cukup sering. Dengan dua media yang murah ini, anak-anak dilatih kreatifitasnya tanpa batas. Origami juga dibiarkan anak-anak membuat bentuk apa saja yang mereka inginkan. Well, awal-awal saya selalu menggerutu, dan berkata “Buang kertas saja…” Tapi apa sih yang tidak pakai modal? Kreatifitas juga perlu modal meskipun tidak perlu mahal-mahal. Jadi setiap Riku minta kertas origami atau kertas untuk menggambar, selalu saya kabulkan.
Lilin/malam juga fantastis. Sudah lihat kan hasil eskrim yang ibu-ibu buat untuk acara bazaar anak-anak SD? Bermacam bentuk bisa dibuat, tak terhingga. Dan anak-anak dibiarkan membentuk imajinasinya. Dan kualitas lilin/malam itu benar-benar mengagumkan. Tangan tidak menjadi merah jika kita bermain dengan lilin merah. Saya cuma bisa iri hati pada anak-anak Jepang.
Sehari sebelum keberangkatan kami ke Jakarta tanggal 20 Juli lalu, Hari minggunya, Gen mengajak Riku untuk pergi ke planetarium dekat rumah. Saya sempat membatalkan kegiatan saya packing, dan berusaha siap-siap berniat pergi dengan Kai juga, tapi Gen memberitahukan terlambat sekali. Dalam waktu 15 menit menyiapkan anak dan diri sendiri, belum mengurus tutup-tutup rumah segala… impossible. Jadi saya biarkan Gen dan Riku pergi berdua, diiringi tangisan Kai, yang begitu menyayat hati karena kakaknya pergi tanpa dia.
Gen dan Riku pergi ke Tamarokuto Science Center, yang terletak kira-kira 15 menit bermobil dari rumah kami. Mereka mengejar tayangan film mengenai planetarium yang diputar mulai pukul 10:30 selama 50 menit. Tempat tersebut mempunyai panggilan kesayangan, “Science Egg”, karena bentuknya seperti telur raksasa. Dan saya bisa bayangkan betapa asyiknya jika tanggal 22 kemarin menikmati gerhana matahari di “Science Egg” ini. Jika mau memang harus mendaftar, karena pasti banyak anak-anak akan datang karena persis liburan musim panas.
Saya tidak tahu persis apa saja yang mereka lihat di dalam planetarium itu. Karena setelah mereka kembali, saya masih sibuk membereskan rumah, packing barang, belanja dan akhirnya lupa mendengarkan cerita mereka. Tapi yang pasti saya kaget menemukan foto-foto Riku membuat bentuk bangunan dari tumpukan kayu seperti lego.
Rupanya di dalam planetarium tersebut ada sebuah hall, yang bisa dipakai untuk event tertentu. Dan hari itu ada event dari perusahaan KAPLA. balok kayu terkenal buatan Perancis yang ditemukan oleh seorang belanda kolektor/dealer benda bersejarah dan antik bernama Tom van der Bruggen. Kata Kapla itu sendiri berasal dari kata Kabouter Plankjes (Plang/papan kecil)
Melihat Riku menyusun Kapla seperti di foto, saya lalu teringat bahwa setiap musim panas di Jepang ada lomba menyusun domino. Domino Taoshi ドミノ倒し, merubuhkan domino yang telah diatur sedemikian rupa sehingga waktu domino itu jatuh membuat gambar yang bagus. Untuk anak SD, pertandingan begini diadakan untuk tingkat seluruh Jepang, dan tidak mudah loh untuk menciptakan kekompakan dalam regu, kesabaran memasang domino karena setiap kali jatuh berarti harus ulang semua, dan kreatifitas menciptakan bentuk-bentuk unik. Tapi yang paling penting memang kerjasama. Kadang saya ikut menangis melihat usaha-usaha anak-anak itu yang terekam dalam tayangan televisi. Bagaimana mereka berusaha dan menghasilkan tangis gembira maupun tangis sedih karena kalah.
Saya memang tidak tinggal di Indonesia, sehingga tidak tahu sampai sejauh mana kegiatan anak-anak di Indonesia dalam mengembangkan kreatifitasnya. Semoga saja masih banyak orang yang mau bersama-sama memikirkan anak-anak Indonesia terutama di Hari Anak Indonesia, hari ini. Saya tetap optimis (harus) bahwa anak-anak Indonesia bisa menjadi inovator yang bukan hanya bisa mengangkat nama bangsa Indonesia tapi juga mengajak teman-temannya memajukan bangsa kita ini.
Hmmm apa yang akan kamu jawab jika ditanya apa tujuan hidupmu? Tentu macam-macam ya. Dan rasanya juga tidak salah jika kita menjawab, “Tujuanku supaya bisa masuk surga”. Nah, itu pun yang dikatakan Riku pada papanya. “Papa, aku mau masuk surga 天国に行きたい”. Seharusnya kami, sebagai orang tua bangga dong. Tapi sayangnya itu disebutkan persis sebelum kami naik pesawat terbang menuju Jakarta.
“Riku jangan bicara begitu lagi ya. Papa ngga mau kamu bilang begitu”. Bingunglah dia… tapi aku bilang, “Riku… kita kan mau naik pesawat, jadi kalau kamu bilang seperti itu, seakan-akan kita sudah mau mati, dengan pesawat jatuh atau kecelakaan. Papa kan tinggal sendiri di Tokyo, jadi pasti sedih deh. Dan kalau kita pikir negatif, nanti kejadian negatif juga. Jadi sekarang pikir yang bagus-bagus aja ya…..”
Ya, sebuah jawaban yang bagus, tapi belum tentu tepat disebutkan pada saat tersebut.
Hari Senin tanggal 20 Juli lalu, langit cerah sekali. Untuk pertama kali aku naik pesawat tanpa membawa kereta dorong. Lupa bawa! Dan aku pikir biarlah, toh Kai sudah bisa berjalan, dan kalau dia capek aku bisa gendong dia. Aku bersyukur Kai beratnya hanya 13 kg, lain dengan Riku waktu seumuran dia sampai 17 kg…. Dan untuk pertama kali juga aku merasakan “berat” dalam segi ekonomi kalau punya anak banyak dan tinggal di luar negeri. Karena mulai kali ini Kai, yang sudah berulang tahun ke 2 tanggal 16 Juli lalu, harus membayar 75% harga tiket. Sampai dengan usia 2 tahun, hanya 10% jika naik JAL. Hmmm sayang sekali Riku dan Kai tidak bisa jadi pilot JAL, karena gigi sudah ada yang berlubang … hiks.. Kalau bisa jadi pilot JAL kan, aku terjamin naik JAL gratis setiap pulkam hihihi. (Itukah tujuan hidupku? bisa pulkam sesering mungkin heheheh)
Baru kali ini juga aku naik pesawat JAL yang langsung ke jakarta tapi berangkat jam 2 siang. Dulu selalu jam 11 pagi, jadi kami selalu berangkat jam 5-6 pagi dari rumah. Kali ini kami bisa agak santai, karena toh hari libur. Jadi kami keluar rumah jam 8 pagi. Santai jalan-jalan di Narita… kami mendapati Narita begitu kosong dengan penumpang. Hmmm dampak resesi juga nih.
Tapi waktu cek in, aku harus puas dengan pilihan tempat duduk yang sudah aku reserve waktu membeli tiket online, tidak bisa dipindah lagi, karena katanya pesawat penuh. Padahal waktu aku masuk pesawat..sepertinya kok ngga banyak-banyak amat penumpangnya. Tapi aku lupa, sebelum ini aku naik A380 SQ, sebuah pesawat yang memang kapasitasnya banyak.
Sesudah makan siang, kami menunggu waktu boarding, dan saat itu kami dikejutkan lagi oleh Riku. Tiba-tiba dia mengeluarkan mainan pedang-pedangan dari tas ranselnya. Gen langsung bilang, “Aduh Riku kamu ngga boleh bawa ini ke pesawat”… Dan aku bilang untung itu plastik, tapi Riku bisa dibawa oleh polisi ke kamar khusus sendirian, tanpa mama untuk diperiksa loh.
Mendengar itu dia jadi keder juga, lalu dia datangi aku dan berbisik, “Mama periksa deh isi tas aku”… Ya ampun ternyata isi tas ransel hijau kesayangannya (Tas dari mbak Tuti tuh) berisi mainan dan boneka kesukaan dia dan KAI. Aku sempat terharu melihat perhatian dia bagi adiknya. Tapi… begitu aduk-aduk isinya, kaget dengan menemukan pistol mainan.. Aduh aduh aduh… Riku nanti kamu bisa dianggap pembajak ….. Langsung deh pedang-pedangan dan pistol-pistolannya pindah ke tasnya Gen. Gen masih bercanda, “Asal nanti papa ngga ditahan polisi aja waktu pulang kalau ada pemeriksaan” hahahaha….
Karena gate penerbangan jauh, aku pelan-pelan jalan bersama kai dan riku ke gate dan menunggu cukup lama untuk boarding. Dan ternyata perjalanan 7 jam kalau dimulai pukul 11 dan dimulai pukul 2 siang itu amat berbeda. Dan kali ini aku juga tidak bisa mendengar announce bahasa Indonesia dan memperdengarkan kepada Kai suara mamanya. Perjalanan kali ini terasa melelahkan karena kami baru sampai di jkarta pukul 8 malam, yaitu 10 malam waktu jepang. Belum lagi Kai juga sering rewel, karena tidak bisa jalan-jalan, terkungkung di kursi saja.
Well, liburan musim panas di jakarta sudah dimulai, dan aku juga menanti-nantikan apa yang akan Riku tuliskan untuk karangan liburan musim panasnya. Yang pasti aku akan enjoy liburan kali ini bersama anak-anak dan keluarga di jakarta saja. Untuk kopdar? tentu saja boleh ketemuan tapi di jakarta saja ya…. just email me.
Hari ini adalah hari libur di Jepang. Hari Laut. Hari Laut ini baru tahun 1996 ditetapkan sebagai hari Laut, setelah sebelumnya dari tahun 1941 hanyalah hari Peringatan Laut (tidak libur). Mungkin ada yang menganggap aneh atau …”duh orang Jepang ngga ada kerjaan amat sih, Hari libur kok hari laut?”, tapi sebagai negara kepulauan, bukankah laut amat penting. Kita juga masih menyanyikan, “nenek moyangku orang pelaut…gemar mengarung luas samudra”, tapi pernahkah kita, orang Indonesia, memikirkan tentang laut kita?
Mengapa Menteri Murata Shogo menetapkan tanggal 20 Juli sebagai hari laut? (dulunya selalu 20 Juli, tapi sejak diberlakukan Happy Monday, tahun 2002, tanggalnya berubah-ubah.) Tanggal 20 Juli 1876 adalah hari melabuhnya Kaisar Meiji di Pelabuhan Yokohama setelah melakukan kunjungan kerja ke daerah utara Jepang. Pada waktu itu, Kaisar tidak menggunakan kapal perang tetapi kapal pengamat mercu suar yang bernama Meiji Maru. (FYI: kapal Jepang selalu berakhiran Maru). Setelah itu Kapal Meiji Maru berubah fungsi menjadi kapal pelatihan.
Sebetulnya ingin sekali kami sekeluarga pergi ke pelabuhan Yokohama, selain hari Laut, juga tahun ini Yokohama memperingati 150 tahun dibuka menjadi pelabuhan internasional. Banyak sekali kegiatan setahun ini, tapi kami belum sempat berjalan-jalan di Yokohama. Padahal yokohama adalah kampung halaman Gen, dan kota tenpat saya menimba ilmu di Jepang. Saya pribadi sangat mencintai Yokohama, meskipun belum pernah tinggal di Yokohama. Suatu kota pelabuhan tapi berbukit-bukit, modern tapi eksotik.
Ya, memang hari ini adalah hari laut, tapi maaf saya tidak bisa “melaut”, hanya mau “mengudara” supaya bisa sampai ke kampung kota halaman saya sesungguhnya, Jakarta. Sejak hari ini, saya, Riku dan Kai mudik, dan semoga masih bisa terus menulis selama berada di kota kelahiran saya. Dan…. saya juga menanti-nantikan siapa yang akan menjadi komentator ke 7777 di Twilight Express. Jika dia berada di jakarta, maka mari kopdar. Jika tidak, silakan mengajukan permohonan ingin kenang-kenangan apa dari saya, dan akan saya kirimkan. Well, who’ll get the LUCKY Seven? Good Luck and ITTEKIMASU (I’m going)…..
Belut? Hewan yang berbentuk seperti ular itu? Memang saya tahu bahwa orang Indonesia juga makan lele, yang biasanya dimasak sebagai pecel lele. Kalau belut saya kurang tahu. Belut dalam bahasa Jepang = Unagi, sedangkan Lele = dojo. Terus terang, pecel lele Indonesia pertama kali aku makan 3 tahun yang lalu. Di sebuah warung di daerah blok M sana, malam-malam diantar adik tersayang, Andy. (Masih ingat bro, abis itu kita pesan ragi tempe pada tukang warung itu)
Padahal dulu, ada seseorang yang pernah akrab dengan saya., sukaaaaa sekali makan pecel lele, dan dia bilang ….”Wah kalo aku sih bisa tuh makan sampe 3-4 ekor” (Herannya…aku ngga pernah diajak makan hihihi). Dan pernah ada orang Indonesia bertanya pada saya, “Kamu bisa makan unagi berapa ekor?”… weks..
Yang pasti belut atau bahasa Jepangnya Unagi itu tidak sekecil belut/lele Indonesia (baca belut di Jepang itu jauuuuh lebih besar), jadi tidak pernah kita bertanya, “Kamu bisa makan berapa ekor?”. Selain itu unagi Jepang amat mahal. Jika kita mau makan Unaju, nasi dengan unagi yang dimasukkan dalam kotak yang enak, maka kita harus menyiapkan minimum 2000 yen. Dan itupun mungkin hanya mendapat sepotong kecil saja. Well, unagi di Jepang memang mahal. Kalau mau murah? beli unagi di pasar swalayan yang berasal dari Cina. Ada rasa ada harga!
Hari ini merupakan hari doyounoushi, suatu perhitungan kedudukan bumi dengan matahari yang sekitar 117-135 derajat, jatuh pada musim panas. Untuk menghadapi hari-hari panas, supaya tetap kuat dan tidak natsu bate, badan lemah/sakit, maka disarankan untuk makan UNAGI yang bergizi tinggi. Diperkirakan kebiasaan ini baru karena baru tahun 1822, kebiasaan makan unagi itu tercatat dalam karya sastra.
Menurut karya sastra tersebut, pada hari doyouno ushi, disarankan untuk makan makanan yang berawal huruf “u”. Pada saat itu perdagangan unagi lesu, dan dengan menuliskan “hari ini doyouno ushi, makanlah unagi!”, pemasaran unagi dapat menggeliat kembali. Padahal sebetulnya makanan berhuruf awal u, bukan hanya unagi, tapi ada udon (mie putih tebal) dan udo (sejenis batang untuk sayur). Selanjutnya kepopuleran makan unagi pada doyouni ushi ini berlanjut yang sebetulnya lebih berdasarkan komersialism (seperti coklat valentine) daripada latar sejarahnya.
Unagi di Jepang yang terkenal dengan cara masak kabayaki. Yaitu unagi yang dibelah dua menurut panjangnya itu, dioleskan dengan saus kecap racikan(Kabayaki no tare : sake 2 sdm, kecap asin shoyu 5 sdm, mirin 4 sdm, gula pasir 2 sdm, air jahe 1 sdt), kemudian dibakar, dan proses itu diulang berkali-kali. Rasa manis yang merata dan warna coklat berkilap itu memang bisa menggugah selera makan orang-orang dalam musim panas.
Jumat, tanggal 17 Juli kemarin adalah hari terakhir bagi Riku dan Kai sebelum liburan musim panas. Beberapa hari sebelumnya sudah dibagikan tugas-tugas, pengumuman-pengumuman, juga membawa pulang perlengkapan sekolah seperti gunting, malam, kertas origami, selotip…. sampai satu pot bunga asagao (morning glory). Dan sampai sore ini PR matematika untuk liburan musim panas 90% sudah dia kerjakan hihihi (atas kehendak dia sendiri loh, aku tidak suruh!). Yang masih harus dikerjakan adalah membuat nikki atau catatan harian, berupa gambar dan tulisan. Gambar tidak masalah untuk Riku, tinggal menulisnya saja.Dan saya yakin Riku bisa menulis banyak cerita selama libur musim panas ini.
Demikian pula les inggrisnya Riku, sudah memberikan PR yang lumayan banyak untuk libur musim panas. Di sana-sini terdengar ibu-ibu mengeluh dengan liburan musim panas yang s/d tanggal 24 Agustus itu, karena berarti harus “melayani” anak-anaknya di rumah atau pergi berlibur ke luar kota/negeri. Padahal di sekolah PTA juga menyediakan berbagai kegiatan selama musim panas seperti Radio Taiso (Senam Kesegaran Jasmani) setiap pagi, dan membuka kolam renang sekolah untuk bebas digunakan semua murid. Belum lagi kegiatan wilayah dengan acara festival musim panas, dengan tarian BON ODORI nya.
Kai sebetulnya tidak libur selama musim panas. Tapi memang tanggal 17 kemarin itu juga hari terakhir Kai saya titipkan di penitipan himawari. Seluruh isi lokernya seperti handuk, baju, dan celemek makan harus dibawa pulang, dan sebagai tambahan Kai menerima kartu ulang tahun dari guru-guru di kelas Usagi (kelas Kelinci – untuk anak 1-2 tahun). Padahal acara ulang tahun untuk bulan Juli baru tanggal 23 nanti.
Lalu saya? Saya sendiri juga mengirim nilai untuk semester ganjil ke universitas… dan sudah siap untuk berlibur! Baru mulai ngajar lagi tgl 25 September …. yippie….
Siang ini, adik saya Tina juga datang berkunjung dan membawakan kue bergambar Anpanman (+kado) untuk Kai. Karena baru bangun tidur, Kai agak “bengong” waktu dinyanyikan “Happy Birthday” lagi. Tapi matanya langsung melek ketika mendapat kado dari tante Titin dan tante Kiyoko berupa mobil pemadam kebakaran.
Well, mulai hari ini Natsu Yasumi….Summer Vacation… dan semoga saya bisa tetap menulis di TE secara kontinyu.
FYI: Semester di sekolah Jepang adalah 1 April – 20-an Juli, kemudian liburan musim panas dan semester 2 mulai tgl 25 Agustus sampai 20-an Maret. Sayang sekali liburan sekolah Indonesia dan Jepang berlainan ya….