Kapan Anda mulai membaca surat kabar? Saya sendiri sudah mulai membaca surat kabar sejak saya mulai bisa membaca. Karena dulu kami tidak mempunyai bacaan yang cocok untuk anak-anak. Paling-paling membeli majalah Bobo dan Kawanku. Baru setelah SD tahun-tahun akhir (1980-an), kami sering pergi ke pameran IKAPI untuk memborong buku cerita anak-anak. Saya ingat suatu kali kami pergi ke pameran buku dan membeli 20-an buku …yang saya lalap dalam satu hari.
Sampai mama bilang, “Mbok yo kalo baca di eman-eman, satu hari satu biar ada bacaan tiap hari kan?”.
Tapi tidak oleh papa, yang berkata, “Biar saja mumpung mau baca. Kalau sudah habis ya bisa diulang baca lagi berkali-kali kan?. Dan memang itu yang kulakukan.
Kembali ke surat kabar, memang karena saya “kekurangan” bacaan, jadi terpaksa membaca surat kabar juga. Hingga suatu hari saya menemukan kata “diperkosa” tertulis besar-besar sebagai judul di halaman tengah.
“Mama? Apa artinya diperkosa?”
“Kamu baca di mana? Koran ya? sudah tidak usah baca koran!”
Baru setelah saya cari artinya di kamus W.J.S. Poerwadarminta, saya menemukan arti “dipaksa”. Hmmm kenapa mama marah ya?
Memang surat kabar adalah konsumsi manusia dewasa. Di Indonesia, rasanya aneh juga jika ada anak-anak yang hobinya membaca surat kabar, atau menonton dunia dalam berita. Padahal di Jepang, banyak ujian masuk sekolah SMP/SMA ternama yang mengambil bahan dari surat kabar. Karena itu murid-murid yang akan juken 受験(mengikuti ujian masuk) wajib rajin membaca surat kabar dan berita TV.
Surat kabar juga merupakan “ujian bahasa” karena untuk membaca surat kabar bahasa Jepang, Anda harus tahu banyak kanji. Tidak cukup hanya kanji yang diujikan di JLPT level 4 atau 3. Di surat kabar umum, hanya kanji yang amat jarang dipakai saja yang memakai furigana (tulisan keterangan cara baca dalan hiragana) .Jadi untuk bisa mengerti satu artikel dalam surat kabar diperlukan pengetahuan kanji yang tinggi.
Kami sudah lama tidak berlangganan surat kabar. Dulu sebelum Riku lahir kami pernah berlangganan harian Asahi (Asahi Shimbun), tapi kami hentikan dengan kelahiran Riku. Karena sering kali surat kabar tersebut masih dalam keadaan terlipat masuk ke dalam tempat surat kabar bekas. Mubazir. Tidak disentuh. Karena Gen tidak ada waktu untuk membca di pagi hari, dan saya sendiri…. buat apa membaca berita dalam bahasa Jepang kalau ada beritanya di televisi, atau bisa membacanya di internet?
Padahal berlangganan surat kabar juga tidak terlalu mahal juga sih. Apalagi jika berlangganan surat kabar, di selipkan juga banyak pamflet promosi dari toko/departemen store dll. Kadang kala pamflet ini lebih banyak dan lebih tebal dari korannya sendiri. Ibu rumah tangga sangat menyukai pamflet-pamflet ini, karena bisa mengetahui ada obral “merek ini” di Toko Anu. Atau ikan hari ini murahnya di toko A, sedangkan sayur di toko B. Setelah mendapat informasi ini, pergilah ibu-ibu ini ke pasar untuk berbelanja. Tapi… saya tidak perlu, karena saya juga tidak suka belanja. Saya masih menganut paham belanja “seminggu sekali” yang saya bawa dari jakarta. Tapi ibu-ibu di sini belanja setiap hari! (Akhir-akhir ini saya juga begitu sih untuk sayuran dan ikan)
Nah, sejak Riku masuk SD, kami merasa perlu berlangganan surat kabar. Paling tidak membiasakan Riku untuk melihat huruf! Daripada dia menonton TV terus. Saya sudah siap untuk menelepon agen koran Asahi lagi, waktu Gen memberitahukan soal “Surat Kabar Khusus Murid SD”. Katanya adiknya yang bekerja sebagai wartawan, mungkin lebih baik coba langganan surat kabar khusus ini. Juga dari penerbit surat kabar Asahi.
Jadi beberapa hari menjelang akhir Mei, saya membuka internet dan memesan langganan melalui online untuk diantarkan ke rumah mulai tanggal 1 Juni. Sayangnya uang langganan tetap pakai cara lama, menagih di pintu menjelang akhir bulan. Kadang heran juga kok tidak pakai cara yang lazim yaitu dipotong otomatis dari rekening bank. Tapi bisa dimaklumi juga, karena biasanya agen koran suka membagikan hadiah-hadih dari sponsor, misalnya sabun atau tiket gratis menonton base ball dan lain-lain. (Dulu bahkan saya pernah dapat gift card seharga 5000 yen… hanya supaya pelanggan jangan berhenti atau lari ke surat kabar lain)
Jadi mulai tanggal 1 Juni kemarin, datanglah surat kabar khusus murid SD. Besarnya persis surat kabar biasa, dengan 8 halaman (2 lembar A0 — eh bener ngga ya ukuran A0— setahuku A1 dilipat empat jadi A4 jadi mustinya bener hihihi). Yang pasti membedakan dengan surat kabar biasa yaitu setiap tulisan kanji ada tulisan hiragananya di sebelahnya. Topiknya juga terpilih, topik-topik yang menambah pengetahuan umum. Juga terdapat cerita komik dengan tokoh Ninja Rantarou.
Memang masih sulit untuk Riku, tapi lumayan menghibur saya yang sudah lama tidak memegang surat kabar. Dan setelah Riku pulang sekolah bisa membaca berdua, topik yang menarik sebelum bersama-sama menjemput Kai di penitipan. (Akhir-akhir ini saya mulai dipusingkan dengan pertanyaan Riku seperti… “Mama kenapa burung hinggap di kabel listrik tidak kesetrum padahal manusia kalau pegang kabel listrik kan kesetrum”. Dan dia tanyanya pas saya lagi mengayuh sepeda. Hayooooo ada yang bisa jawab ngga? Jangan-jangan musti buka buku SD nya semua hihihihi)
Dengan kehadiran surat kabar di rumah, Riku juga ingin meniru membuat (menggambar) surat kabar sendiri…. yang akhirnya malah menjadi komik hihihi.
NB: Penjelasan sedikit mengenai huruf Jepang. Huruf Jepang ada 3 macam, yaitu hiragana, katakana dan kanji. Sekarang Riku sedang belajar hiragana sejumlah 50 buah, setelah itu katakana 50 buah. Hiragana dan katakana ini layaknya alfabet dalam tulisan kita. Aiueonya, tapi hiragana dipakai untuk umum dan katakana untuk nama atau kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kanji (karakter Cina) sendiri jumlah amat banyak. Satu kanji mewakili satu arti, dan perpaduan 2 kanji untuk arti yang lain. Jumlah kanji yang harus dikuasai murid SD sampai lulus kelas 6 sejumlah 1006 huruf.