Last Supper @ Sunset Cafe

23 Apr

Beberapa hari terakhir ini saya memang memasang status di YM dan GTalk saya dengan “Last Supper” dan “Sunset Cafe”.  Sampai Mbak Noengki menyapa saya dan berkata, “Duh enaknya yang online di Cafe“. Padahal itu tidak benar, karena sebetulnya Sunset Cafe tidak ada di kenyataan (Baru-baru ini saya googling ternyata ada yang baru buka di cafe di pulau Bali, padahal sebelumnya — well 10 tahun yang lalu belum ada. Sampai pernah saya dan teman Suto san bilang kita buat di Jakarta yuuuk ). Dan bagi pendengar setia “Gita Indonesia” di InterFM 76,1 masih ingat tentunya lagu ini. “Sunset Cafe” oleh Rita Effendy, karena lagu ini salah satu lagu kesayangan yang sering saya putar.

Bias jingga senja menjelang
senandung ombak berkumandang
matahari turut terbenam
mengiringi angan kita

Secangkir cappucino panas
berbagi mimpi menembus batas
sekumpul nyiur tersenyum
mendengar janji kita

Reff.
Di Sunset Cafe kita bersama
di Sunset Cafe kita berdua
di Sunset Cafe kita bercinta
memandang lautan lepas
khayalan kita seakan jadi nyata…
di Sunset Cafe

Kecupan hangat pipi kiri
terasa menggetarkan hati
redup lilin-lilin menyala
melihat gairah kita

Cinta bersemi di Sunset Cafe
angan melambung di Sunset Cafe
hasrat membara di Sunset Cafe
cinta yang indah ini
terukir di Sunset Cafe

Irama yang enak didengar dan sambil membayangnya Tasogare, Twilight, Senja ….. saya hirup cappucino panas. Hmmmm…..

Lalu apa hubungannya dengan “Last Supper”. Kalau saya tulis 2 minggu yang lalu tentu semua tahu yang saya bicarakan adalah perjamuan terakhir Yesus bersama 11 orang muridnya. Dan topik “Last Supper” ini muncul kembali hari Senin yang lalu, tanggal 20 April.

Hari itu, saya sempat pergi “date” untuk lunch, dan menikmati makanan Perancis-Jepang di sebuah restoran di Kichijoji. Kaisen Shokudo, sebuah restoran yang kadang kami datangi untuk menjamu tamu atau merayakan pesta dengan jumlah orang yang sedikit. Hanya 14 tamu yang biasanya bisa masuk, sehingga harus menelepon dulu sebelumnya untuk memesan tempat. Makanan juga dipesan sebelumnya, pilih course dengan menu main dish saja yang berbeda, dan harganya tergantung mau half course atau full course. Kalau siang ada lunch course.


Mungkin untuk laki-laki, makan “seuprit” begini tidak akan kenyang, tapi bagi wanita lumayan, karena dishesnya disajikan satu per satu, dan harus sediakan waktu minimum 1 jam untuk menikmati obrolan, makanan dan …. wine kalau mau. Oh ya satu lagi…di sini bisa menikmati indahnya piring-piring keramik yang mereka pakai. Keramik Jepang memang lain dengan keramik eropa, white porcelain. Keramik Jepang lebih menonjolkan tanah liat, bentuk asimetris, dan warna-warna “bumi”. Saya suka keramik Jepang, ingin coba membuat, tapi belum ada waktu. Ibu mertua saya kadang membuatkan saya piring keramik sesuai pesanan bentuk dan warna yang saya sukai.

Nah, waktu makan appetizer yang di foto kanan atas, dalam gelas itu, ada mouse sayuran dan di atasnya adalah roti bakar dengan “UNI” di atasnya. Uni ini artinya bukan kakak perempuan untuk bahasa Minang,  tapi bahasa Jepangnya untuk Sea Urchin (Bulu Babi). Orang Indonesia tidak makan bulu babi, padahal itu merupakan makanan mewah bagi orang Jepang. Saya ingat salah satu murid saya pernah naik perahu di Laut Makassar, membawa pisau dan shoyu, kecap asin Jepang (kikkoman) . Ambil bulu babi, dan buka kulitnya yang seperti rambutan berduri hitam itu, dan …. nyammmm… makan isinya dengan kecap asin yang dibawanya. Mungkin bentuknya tidak menarik, tapi rasanya? …… Heaven…. katanya (dan kata saya, kata Riku dan kata Ayu-san).


Ya, Teman date saya adalah Ayu san, yang pernah saya tulis di posting ” Perbedaan Usia“. Hari itu saya mau merayakan “She becoming a salarywoman”. Dia sudah berstatus pegawai sekarang , sudah shakaijin (harafiahnya : manusia masyarakat… yang bergaji dan bisa mengabdi masyarakat). Shakaijin adalah suatu status bahwa kamu bukan mahasiswa, dan bukan pengangguran. Dan di Jepang, Bulan April adalah titik awal untuk menjadi shakaijin, dengan upacara-upacara penerimaan pegawai baru di setiap kantor. (Untuk menceritakan shakaijin dan upacara penerimaan pegawai baru ini perlu posting tersendiri).

Tema pembicaraan kami saat itulah, tentang “Last Supper”, Perjamuan Terakhir, Saigo no Bansan 最後の晩餐. Yang juga menjadi judul prgram TV di Jepang, yang isinya “Makanan apa yang kamu ingin makan di hari terakhir kamu hidup?”. Bagi Ayu, dia paling suka UNI, jadi pada saat terakhir itu dia ingin makan UNI. dan dia bertanya, “Kalau Imelda Sensei? ”

Well, terus terang saya tidak tahu. Sedih juga kalau tidak tahu makanan apa yang kamu sukai, yang kamu ingin makan sebagai makanan terakhir di dunia ini. Saat ini kalau ditanya, saya benar-benar tidak tahu. Saya suka macam-macam, tapi kalau disuruh menyebutkan satu dari macam-macam itu? Saya tidak tahu jawabannya.

“OK”,  kata Ayu. “Kalau begitu,tidak usah makanan, tapi tempat terakhir yang sensei inginkan sebagai tempat terakhir waktu meninggal?”. Nah… kalau itu saya bisa jawab! Ya, saya ingin berada di suatu tempat, yang bisa memandang ke matahari tenggelam, tasogare, senja ….. Menikmati karya Tuhan yang amazing. Dan bersamaan dengan tenggelamnya matahari itu, saya ingin hidup saya berakhir. Warna tasogare, twilight adalah warna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu saya namakan blog saya ini Twilight… Twilight Express.

“Well, kalau begitu di beach? Sunset at the beach?”

“No, Aku tidak begitu suka pantai…. tapi aku suka danau. Pantai kesannya panas, beta-beta suru…. (peliket). Kecuali mungkin pantai waktu musim dingin ya? Tapi saya suka sekali danau. Magis…. tranquil… melenakan. Mungkin seperti foto ini.


So, teman-teman? Jika Anda ditanya, apa yang ingin Anda santap di hari terakhir Anda, apa jawab Anda? Atau di mana Anda ingin berada sebagai tempat terakhir Anda hidup di dunia ini?