Roma. Memang itu jawabannya. Siapapun tahu peribahasa itu. Menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mencapai tujuan. Dan jika Anda pernah ke Roma, bisa melihat memang bahwa tata kota mereka benar-benar rapih (terlepas dari orangnya rapih atau tidak). Dan jika saya menyebut peribahasa ini pasti saya teringat sebuah buku karangan Idrus yang berjudul “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”. Terus terang saya baru saja punya bukunya. Belum 10 tahun di dalam genggaman saya, tapi saya sudah tahu nama Idrus sejak Sekolah Dasar. Saya selalu pikir Idrus ini pasti seorang religius… paling tidak beragama Kristen. Tapi nyatanya, judul memang hanya gabungan judul tulisan pertama dan terakhir dari bukunya. Dan isinya? Silakan baca sendiri.
Seminggu sudah lewat dari pertama kali Riku pergi berjalan ke sekolahnya tanpa aku antar. Memang banyak jalan menuju sekolahnya yang bisa dia ambil, tapi oleh pihak sekolah kami sudah diberikan peta lengkap dengan pembagian wilayah dan keterangan jalan-jalan mana yang sebaiknya diambil, dan yang sebaiknya dihindari karena rawan kecelakaan. Wilayah rumah kami berwarna kuning, dan semua murid baru yang tinggal di wilayah kuning, memakai pita kuning di tas ranselnya.
Seharusnya aku memperkenalkan Riku dengan sempai (kakak kelasnya) yang tinggal di mansion (apartemen) yang sama atau tetangga, dan meminta sempai itu untuk “menjaga” Riku dan berjalan bersamanya sampai ke sekolah. Tapi sempai yang aku kenal ternyata pindah rumah, dan tidak ada waktu untuk minta tolong orang lain. Jadi aku pikir kalau perlu akan kuantar sampai tengah jalan, dan jika bertemu teman-teman satu sekolahnya, biarkan dia berjalan dengan rombongan.
Pagi itu, selasa minggu lalu, sebelum jam 8 pagi aku melihat ke jalanan bawah, dari apartemenku di lantai 4. Waaaah ternyata banyak juga murid sekolah SD yang sama dengan Riku. Bagaimana tahunya? Meskipun mereka tidka memakai seragam. mereka memakai topi yang sama, berwarna biru muda. Hanya murid baru kelas satu yang memakai cover kuning di tas ransel mereka, bertuliskan. “Saya membawa buzzer anti kejahatan”, dan dibawahnya ada gambar sepasang murid lelaki dan perempuan yang menyeberang, “Kami mematuhi peraturan lalulintas”.
(kanan yang biru itu buzzer, dan suaranya rek kenceeeeeng banget. maksudnya keras deh hehehe)
Melihat rombongan anak-anak itu, aku pikir ini kesempatan untuk menitipkan Riku pada mereka. Jadi kami bergegas ke lantai bawah, dan kebetulan lewat dua murid lelaki di depan mansion kami. Aku langsung berkata, “Oniisan (kakak laki-laki) , bisa minta tolong, titip Riku supaya berjalan bersama ya.” Dan mereka mengangguk. Sempat kutanya mereka kelas berapa, dan jawabnya, “Kelas 3”. Ja, yoroshiku ne. Riku berjalan di belakang mereka dengan menunduk.
Aku selalu berpikir bahwa aku orang yang “tegaan”. Aku cukup keras pada Riku dan menuntut dia supaya bisa apa-apa sendiri. Tapi memang untuk urusan pergi sendiri, Riku masih belum bisa. Seberapapun aku paksa dia untuk pergi. Dan aku tidak mau paksa lebih keras karena takut jika dia malah menjadi trauma. Jadi kupandangi Riku menjauh mengikuti sempainya dengan kepala tertunduk. Kebetulan aku juga harus mengantar Kai ke penitipan, jadi kami ke tempat sepeda. Dan di situ aku merasa sedih dan terharu… aduh anakku ini apa bisa berjalan sendiri? Apa dia tidak tiba-tiba memisahkan diri dan lari pulang ke rumah kembali?
Aku putuskan untuk menyusuri jalan yang dia lalui dengan temannya itu sambil menaiki sepeda. Aku berhenti di ujung jalan yang dia lewati, hanya untuk melihat apakah dia masih bersama rombongan. Dan aku memang tidak bisa menahan air mata. Anakku sudah besar! Sudah bisa pergi sendiri, dan aku harus bersiap bahwa dia akan lebih sering memisahkan diri dari orang tuanya untuk bermain dengan teman-temannya. My baby has already grown up. He is not a baby anymore. Aku berhenti di pinggir taman depan sekolahnya. Hanya punggungnya yang terlihat dari jarak 1o meter. Entah kenapa dia menoleh ke belakang, dan melihat aku. Dan dia hanya melambai dengan melihat ke depan kembali. Huh, cool.
Sebetulnya jalan menuju ke sekolah itu sangatlah aman. Tinggal mengikuti jalan yang berambu 通学路 , dan setiap tiang listrik pasti diberi tanda hijau dengan tulisan 文 (lambang berarti sekolah). Dan setiap mau menyeberang jalan pada jam berangkat dan pulang sekolah selalu ada kakek-kakek yang berpakaian kuning, yang membantu menyeberangkan jalan dengan memakai bendera kuning. Aku selalu penasaran juga dengan kakek-kakek ini, mereka digaji siapa ya? Apakah pihak kepolisian? Sepertinya mereka adalah pensiunan yang dipekerjakan kembali. Nanti deh jika ada waktu aku akan cari tahu.
Dan pukul 11:30, Riku pulang sendiri. Menggedor pintu dan berkata, “Tadaimaaaaa (aku pulang)”. Senang sekali aku melihat dia pulang dengan ceria. Dan sambil menaruh ranselnya, dia berkata, “Aku pulang dengan Fuuka chan loh ma (teman perempuan sekelas di TK). Rupanya dia pindah di rumah baru yang depan hotel kita (Riku suka menyebut apartemen kami dnegan hotel karena bertingkat….hehehhe) ” Waaah aku kenal juga dengan ibunya, sehingga seketika aku menjadi lega. Seandainya ada apa-apa aku bisa bertanya dan minta tolong pada ibunya Fuuka chan.
Sejak itu dia bisa mencari teman siapa saja yang lewat depan rumah untuk berjalan sampai sekolah. Dan kemarin sore, pertama kalinya dia mau pergi ke toko sebelah rumah sendiri, membeli puding dan coklat. Well, sedikit demi sedikit wilayah “kekuasaan”nya meluas dan mungkin sebentar lagi aku harus menanamkan chip GPS di bawah kulitnya untuk tahu dia ada di mana, seperti yang pernah aku tulis di “Jangan Beri Anak Anda HP“. (Semoga aku jangan jadi parno ahhh)
Tapi untuk kunci aku belum memberikannya, dan hari jumat kemarin aku minta tolong Akemi san untuk datang ke rumah dan menemani dia sampai aku pulang. Jumat minggu ini? Gimana baiknya ya? Siapa mau volunter jaga Riku di rumah saya? Dikasih uang arbaito dan makan, tapi transport tidak ditanggung hehehhe (mahal euy kalo pesawat JAL)