I Love Yokohama

4 Jul

Entah apa yang membuatku memilih kota Yokohama sebagai tempat melanjutkan kuliahku. Padahal aku tidak tahu apa-apa tentang Yokohama. Seperti yang kutulis di sini, aku memilih Yokohama National University (YNU) daripada Tokyo University hanya karena suasana waktu pameran pendidikan saat itu begitu mendukung. Belum lagi dosen-dosennya ramah dan letaknya tidak jauh dari Tokyo. Jika biasanya orang-orang tinggal di pinggir kota Tokyo dan bersekolah di pusat kota, aku malah terbalik. Aku tinggal di pusat kota dan kuliah di Yokohama, yang terletak kira-kira 1 jam menjauhi pusat kota. Dan salah satu ciri khasnya Yokohama itu adalah suatu kota yang mempunyai laut tapi berbukit juga. Kampusku ada di atas bukit, jauh dari laut, tapi kalau mau pulang ke tempat kost Tokyo bisa mampir di pantainya, daerah Sakuragicho dan Minato Mirai. Mungkin bisa disamakan dengan Semarang. Dan… tidak disarankan bersepeda di Yokohama, tanjakan melulu 😀

Dvd yang kubeli, dengan sampul khusus karena edisi yokohama

Hari Minggu lalu aku sakit kepala (sejak Sabtu sampai kemarin aku sakit kepala yang sangat mengganggu) sehingga aku bolos ke gereja. Santai di rumah, lebih banyak tidur sih, sampai aku tidak memasak apalagi beberes rumah. Kasihan deh 3boys masak telur dan bacon sendiri dan makan siang seadanya. Untung ada nasi yang sudah jadi. Nah waktu aku terbangun, Gen memutar DVD yang aku belikan untuknya berjudul Kokurikosaka kara コクリク坂から atau bahasa Inggrisnya “From Up On Poppy Hill”. Sebuah karya Studio Ghibli yang sudah diputar di bioskop-bioskop setahun yang lalu. Memang hampir setiap summer Ghibli mengeluarkan film animation baru untuk mengisi liburan anak-anak. Tapi deMiyashita tidak pernah menonton karya Ghibli di bioskop, selalu lewat DVD, karena biasanya memang kami suka sehingga mau melihat berkali-kali. Tahun lalu kami menonton Arrietty tapi itu DVD rental. Maklum DVD Ghibli sudah pasti harganya 4000-an dan tidak akan bisa lebih murah dari 3600 yen untuk DVD bekas. Mahal! Tapi khusus kali ini aku beli karena…… menceritakan tentang Yokohama (Gen lahir di Yokohama).

sampul DVD edisi umum

Waktu aku mau membeli di amazon, aku sempat membaca review dari beberapa pembeli. Ada yang memberi bintang 5 tapi ada yang hanya 1… wah. Katanya filmnya tidak asyik dan mengecewakan. Membaca itu aku tidak berharap macam-macam dari film ini deh. Tapi aku memang memilih DVD khusus terbitan untuk Yokohama, di dalamnya ada DVD khusus yang memuat sejarah Yokohama. Siang itu aku memang tidak melihat dari awal, tapi aku merasa cukup bagus kok. Mungkin karena aku menikmati gambar-gambar khas Ghibli ditambah aku suka sejarah ya.

Ceritanya menceritakan kehidupan pelajar SMA berlatar kondisi Jepang tahun 1963, setahun sebelum pelaksanaan Tokyo Olimpic 1964. Seorang pelajar SMA putri bernama Komatsuzaki Umi (Umi artinya laut), tapi oleh teman-temannya dia dipanggil MER (dari bahasa Perancis La Mer = laut). Dia tinggal di sebuah rumah besar di atas bukit menghadap ke laut, dan mempunyai kebiasaan memasang bendera untuk pelaut. Setelah film selesai kami mengetahui bahwa bendera itu melambangkan “keselamatan di laut”. Bapak Mer ini seorang pelaut yang sudah meninggal waktu perang Korea, sedangkan ibunya seorang dosen universitas (di cerita aslinya : manga si ibu adalah kameraman) yang sedang pergi ke Amerika sehingga Mer tinggal bersama neneknya. Mer mempunyai adik perempuan yang bernama Sora (artinya Langit) dan adik laki-laki bernama Riku (berarti daratan).

Mer, alias Umi, tokoh dalam film ini

Mer bersekolah di SMA Konan, dan kerap membantu Kazama Shun, kepala ekskul Surat Kabar Sekolah. Dalam cerita ini diketengahkan kehidupan pelajar SMA pada masa itu, termasuk juga kegiatan melawan pihak sekolah yang akan menghancurkan bangunan tua sekolah yang biasanya dipakai untuk pusat kegiatan pelajar. Pelajar berusaha supaya bangunan itu tidak dihancurkan, dengan jalan membersihkan dan memperbaikinya. Pelajar putri dan putra bahu membahu me’renovasi’ bangunan tersebut.

Sementara itu Mer dan Shun yang memang mempunyai hubungan khusus, melakukan kegiatan sekolah bersama. Tapi suatu saat Shun secara sepihak memutuskan ‘hubungan’ mereka dan berubah menjadi dingin. Shun menjadi berubah begitu sejak  melihat selembar foto tua di rumah Mer yang menggambarkan tiga orang lelaki bersahabat. Rupanya Shun juga mempunyai foto yang sama di rumahnya, dan dia kemudian curiga bahwa bapak Mer adalah juga bapaknya. Dia mencari informasi sampai ke kelurahan dan menemukan kenyataan bahwa memang benar dia terdaftar sebagai anak dari bapaknya Mer. Tidak mungkin dia mencintai adiknya sendiri kan?

pelajar yang tampil dalam film. Seragam yang dipakai masih dipakai terus sampai sekarang di beberapa sekolah. Keren kan? Seragam perempuan bernama “Serafuku”, sera dari Sailor atau pelaut. Seragam pelaut ini memang keren ya!

Film ini memang tidak menggambar klimaks yang happy end, meskipun bangunan tua yang dipertahankan para pelajar bisa tetap dipakai pelajar untuk kegiatannya karena komisaris sekolah terkesan dengan perubahan bangunan yang dilaksanakan pelajar. Sementara Shun akhirnya juga mengetahui bahwa dirinya ternyata “diangkat anak” oleh bapaknya Mer, karena ibunya meninggal waktu perang, dan itu tentu diketahui ibunya Mer. Akhir cerita dibiarkan mengambang, dengan pemandangan laut dan pelabuhan yokohama. Ya memang kisah kehidupan manusia tidak bisa semuanya diceritakan dalam satu film. Mungkin ini adalah ciri khas Ghibli yang kerap tidak menampilkan akhir cerita dan membiarkan penonton menebaknya.

Film ini sendiri disutradarai oleh Miyazaki Goro, anak dari Miyazaki Hayao, dan merupakan karyanya yang ke dua setelah Gedo Senki (Earthsea). Goro diharapkan menjadi penerus ayahnya dalam bidang animasi, tapi dia sendiri mengatakan bahwa ayahnya terlalu hebat, sehingga untuk bisa menjadi penggantinya amatlah sulit. Film Kokurikosaka kara ini berhasil mendapatkan “Japan’s Academy Award” yang ke 35.

Gedo Senki, yang juga disutradarai Miyazaki Goro. Kami belum menontonnya.

Selain kembali ke tahun 60-an, yang menarik memang suasana kota Yokohama saat itu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana Yokohama tahun 1963, tapi ada beberapa adegan yang menampilkan kondisi saat itu yang masih bisa kukenali dari kehidupanku di Yokohama waktu aku kuliah di sana. Film ini tentunya cocok diperlihatkan untuk kakek nenek yang tinggal di Yokohama untuk bernostalgia, dan mungkin juga mengingat kembali cerita asmara mereka. Yang ditekankan film ini memang “mengingat cinta pertamamu”, cinta masa SMA. Dan mungkin bagi keluarga kami juga ada rasa tersendiri karena kesamaan nama-nama yang disebut dalam film itu. Namaku Imelda, dan sering dipanggil “mel” oleh saudara-saudaraku dan Gen. Juga ada nama Riku yang muncul dalam film itu. Dan dalam salah satu adegan ada Gen yang menjadi supir kendaraan seperti bajaj 😀 Tinggal mencari nama Kai dalam film tersebut hahaha. Tema film tentang laut juga dirasakan cocok sekali untuk musim panas! Bukankah musim panas berarti berlibur ke laut? Ahhh…. tidak sabar menunggu liburan musim panas!

 

“Adik”

26 Jul

Aku sengaja menuliskan “adik” dalam tanda petik, memang untuk merujuk seseorang yang usianya lebih muda dari kita, tidak ada hubungan darah tapi keakrabannya bagaikan saudara sekandung. Memang “adik ketemu gede” tapi bukan sebagai kelakar untuk menutupi hubungan khusus dengan lawan jenis (sering kan tuh jika bertemu pasangan, ditanya cewek itu siapa? Lalu dijawab “Adik”…. adik ketemu gede) dan memang bisanya kita bertemu “adik” (atau “kakak”) ini pada saat kita sudah dewasa. Aku sendiri mempunyai beberapa orang yang kuanggap “adik” (dan dia menganggap aku “kakak”) , baik di ruang nyata maupun di dunia maya.

Aku bertemu dia di Jepang, tahun April 1993, di ruang seminar professor MS di Yokohama National University. Aku sebagai mahasiswa peneliti yang waktu itu tugasku bukan hanya meneliti kehidupan kampus tapi juga beradaptasi pada kehidupan di Jepang, sebelum melangkah menjadi mahasiswa Universitas. Ini merupakan “syarat” tidak tertulis untuk mereka yang ingin belajar S2 ke Jepang, harus melalui tahapan “kenkyusei” (Mahasiswa Peneliti). Tugasku waktu itu hanya mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan professor pembimbingku, mengikuti “seminar” khusus dengan dosen pembimbing sambil mempersiapkan ujian masuk S2, mengikuti pelajaran tambahan bahasa Jepang (yang akhirnya oleh guru-guru bahasa di YNU dianggap aku tidak perlu mengikutinya karena sudah cukup. “Kamu lebih baik langsung ikut kuliah lain, jangan buang waktu di sini”)

Pihak universitas waktu menyediakan program Tutoring bagi mahasiswa asing, MS sensei kemudian menunjuk Kimiyo dan Kayoko, mahasiswa tingkat 3 tahun itu untuk menjadi mentorku. Meskipun sebetulnya tidak diperlukan karena aku sudah bisa bahasa Jepang, tapi aku merasa beruntung karena dengan “penugasan” inilah aku bisa akrab dengan Kimiyo. 

Karena aku sudah bisa bahasa Jepang, sang dosen menugaskan Kimiyo untuk “berbuat apa saja laksana mentor”, jadi jam pertemuan mentoring kami biasanya kami pakai untuk berwisata bersama. Bukannya belajar, malahan main! hehehe (dan ini dengan persetujuan sensei loh) Kami menjelajah daerah wisata kamakura bersama, masak bersama, karaoke bersama (lagu favorit kami “Natsu no owari no Harmony — Harmoni di akhir musim panas), merayakan hari Natal bersama di kamar kost ku yang sempit, dll. pokoknya isinya main mulu deh.

meeting sebelum menjadi MC untuk acara natal. Kimiyo bahasa Jepang, aku bahasa Indonesia, dan sambil main-main di akhir acara, tukar bahasa.

Bulan Februari 1994, kedua mentorku itu akhirnya ikut bersama ku pulang kampung, untuk berwisata di Jakarta. Ini adalah kedatangan Kimiyo yang pertama ke Jakarta dan mungkin  boleh dikatakan merupakan “titik awal” jalan hidup Kimiyo sehingga menjadi seperti sekarang ini. Aku mengajaknya ke MONAS. Kami naik puncak Monas bersama, (menaiki lift pesing nan pengap), dan kami juga mengunjungi musium perjuangan di bawah pelataran monas. Museum yang rada gelap, penuh diorama-diorama perjalanan bangsa Indonesia. Dan di satu diorama itu, Kimiyo terhenti…dan …terkejut! Sebuah diorama yang menggambarkan kekejaman serdadu Jepang terhadap masyarakat Indonesia di bawah pendudukan Jepang.

Kimiyo dengan alm. opa Beul (meletus) saudaraku yang pernah menjadi romusha di Nagasaki. Mengakhiri pertemuan yang diawali dengan rasa tidak suka, dengan pernyataan opa, "Ternyata ada juga orang Jepang muda yang baik dan berkemauan keras mempelajari sejarah Indonesia-Jepang"

Loh? ada apa ini? kenapa bisa begitu? kenapa negaraku berbuat seperti ini terhadap negaranya Imelda? — mungkin begitu pertanyaan Kimiyo dalam hati. Memang aku tak bisa menyalahkan angkatan Kimiyo /generasi muda Jepang yang sama sekali tidak tahu bahwa negaranya pernah menjajah Indonesia (Kimiyo memang sudah tahu tentang pendudukan Jepang, tapi tidak menyangka se”biadab” itu). Kebanyakan generasi muda Jepang hanya tahu Jepang menjajah Korea dan Cina (Manchuria), tapi tidak menjajah Indonesia. Kemudian aku jelaskan… memang Indonesia pernah mengalami penjajahan Jepang selama 3 tahun, meskipun banyak yang ramah pada orang Jepang sekarang, belum tentu generasi yang lebih tua dapat “menerima” orang Jepang dengan ramah.

Asal pembaca TE tahu, memang dalam buku sejarah di Jepang, tidak ada yang menuliskan bahwa “Indonesia merdeka dari Jepang tanggal 17 Agustus 1945”. Yang ada “Indonesia merdeka dari sekutu tahun 1948”.

Berawal dari “shock”akan ketidaktahuan sejarah Indonesia-Jepang inilah, Kimiyo kemudian mengambil tema penulisan skripsinya waktu itu, “Pendudukan Jepang yang tertulis dalam buku pelajaran sejarah Indonesia”. Dia ingin mengetahui bagaimana orang Indonesia bisa “menerima” kehadiran orang Jepang dengan “ramah” saat itu padahal sudah mengalami perlakuan kejam dari serdadu Jepang. Kimiyo mengadakan penelitian terhadap buku-buku pelajaran sejarah Jepang dan Indonesia (dia mempunyai sertifikat menjadi guru SD Jepang – wajib dimiliki oleh semua yang mau mengajar di SD, yang macam sertifikasi guru di Indonesia deh.)

Kampai persaudaraan, melewati musim panas bersama, di kampung asal Kimiyo, Hachinohe. Kimiyo-Imelda-Tina

MS sensei membimbing skripsinya dan secara tidak langsung gantian “menugaskan” aku membantu Kimiyo untuk menulis skripsinya. Terutama untuk dokumen berbahasa Indonesia. Skripsi Kimiyo selesai Maret 1995, dan mulailah Kimiyo melangkah sebagai “manusia masyarakat” Shakaijin 社会人, seorang dewasa yang patut bekerja sebagai anggota masyarakat. Tapi saat itu dalam kepala Kimiyo hanya ada satu keputusan, “Aku harus belajar bahasa Indonesia di Indonesia”. Memang Kimiyo lulus dari Yokohama National University, tapi hubungan kami, Imelda dan Kimiyo, tidak berhenti saat itu, malah hubungan sebagai “adik-kakak” dimulai saat itu.

Kimiyo di depan rumah Jkt jaman BIPA

Kimiyo berangkat ke Jakarta sebagai mahasiswa BIPA -UI (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing -UI), dan tinggal indekost di rumahku di Jakarta. Imelda di Jepang, Kimiyo di Jakarta! Aku berkutat dengan dokumen sejarah di Tokyo-Yokohama, sedangkan Kimiyo berkutat dengan buku-buku bahasa Indonesia di Jakarta. Dia juga menjadi guru bahasa Jepang adik “real”ku Tina yang waktu itu mempersiapkan diri  mengambil S2 arsitektur di Jepang.

Give and Take…. selalu begitu dalam kehidupan ini. Tidak ada orang yang bisa hidup sendiri. Dan dalam setiap perjalanan hidup kita, kita pasti akan bertemu dengan seseorang yang bisa mengubah “arah” kehidupan yang mungkin awalnya sudah kita rencanakan. Bisa saja berlangsung sesuai rencana, tapi bisa juga “melenceng” arahnya. Tapi, kita harus tetap yakini, bahwa “perjalanan” hidup kita PASTI akan menuju kehidupan yang LEBIH BAIK.

Aku ingin berterima kasih pada ibunda Kimiyo (tentu juga papanya) yang mau dan memberikan ijin Kimiyo untuk melanjutkan belajar bahasa Indonesia ke Jakarta. Sebagai seorang ibu pasti tidak ingin tinggal berjauhan dengan anak perempuannya. Memang aku tahu bahwa beliau sudah melepas Kimiyo belajar ke Yokohama (mereka berasal dari Hachinohe, utara Jepang), tapi bagaimanapun juga melepas kepergian seorang anak perempuan ke negara lain butuh “keberanian” dan kepasrahan bahwa jalan hidup anaknya akan berubah. Segala kemungkinan bisa terjadi, seperti aku yang akhirnya menikah dengan orang Jepang, seorang ibu harus bisa menerima bahwa memberikan ijin anak perempuannya itu = merelakan anaknya tidak “kembali” lagi a.k.a hidup berjauhan.
Well bukannya semua orang memang melakukan “perjalanan hidup”nya sendiri? Dan memang aku tahu meskipun sejak Kimiyo menyelesaikan SMA nya, kemudian melanjutkan kuliah di daerah lain, kemudian ke Indonesia, waktu yang dilewatkan bersama ibu-anak itu sedikit, tapi banyak pengalaman batin yang terjadi, yang mungkin (aku rasa sih pasti) memperdalam hubungan ibu dan anak. Semoga ibunda Kimiyo, yang meninggal Maret lalu, terus melindungi kami semua yang masih tinggal di dunia ini.Terutama Kimiyo dengan suami dan anaknya, yang sekarang malahan tinggal di suatu tempat yang tidak diduga-duga. Hongkong!

Tulisan ini aku buat untuk mengenang persahabatan dan persaudaraan seorang Imelda dengan Kimiyo Kaneko (yang sering mengaku sebagai Kimiyo Coutrier) selama 17 tahun. Terlalu banyak pengalaman dan cerita yang terjadi selama 17 tahun perjalanan hidup kita bersama Kim, yang tidak bisa aku tuangkan semua di sini, tapi masih akan ada banyak tahun yang akan kita lewati bersama, meskipun kita berlainan kota bahkan berlainan negara. Dua puluh tahun lagi? lebih? ya… tentu sampai mati. Dan semoga persaudaraan kita, bisa berlanjut sampai ke anak-cucu kita ya.

Imelda dan Kimiyo. Merayakan persaudaraan selama 17 tahun, dan seterusnya.

Happy Birthday to…

14 Jan

(cymbidium dan cyclamen —- bahasa bunga untuk tanggal 14 Januari )

—————————————-

Sebuah episode bulan April tahun 1994, di ruang mahasiswa pasca sarjana Yokohama National University.

Kami baru saja masuk program master Ilmu Pendidikan Sekolah di YNU, dan sebelum mengadakan kompa – kangeikai (penyambutan junior baru) dengan minum-minum di restoran, maka seorang mahasiswa yang bernama Miyashita Gen (cara baca Jepang) atau GM (bukan George Michael loh atau Gajah Mada) menawarkan diri untuk membuat profil penghuni “Ruang Mahasiswa S2” Room 519 (kalo ngga salah…lupa-lupa ingat). Dia tidak sama “seminar(spesialisasi)”nya dengan saya. Saya sejarah pendidikan, sedangkan dia filsafat pendidikan. Kami hanya bertemu di Ruang Mahasiswa itu saja, atau jika kami mengambil mata kuliah yang sama.

Kami diminta menuliskan nama, alamat, tgl lahir, hobby dsb dsb dalam selembar kertas, dan dia akan menjadikan buklet kecil yang wajib dibawa waktu kompa itu (halah kalo dipikir maksa banget supaya semua bisa akrab).

Nah, waktu buklet sudah selesai dan kami menerima bagian kami masing-masing, saya baca sekilas profil teman-teman baru saya ini. Dan disitu saya kaget waktu membaca profil si GM ini:

Nama :Gen Miyashita

asal : Yokohama

tanggal lahir : 14 Januari 1970…..

what! sama persis tanggal dan bulannya dengan saya?(Saya lebih tua 2 tahun)

Dan saya bilang,”Gen? kita ulang tahunnya sama?”

Dia cuma senyum-senyum saja…..

Meskipun akhirnya saya juga merasa dia punya perhatian khusus pada saya. Karena dia kadang-kadang suka bertanya, “Saya mau minum kopi, ada yang mau? Sekalian saya buatkan….” pertama ditujukan kepada semua mahasiswa yang ada di ruangan itu. Tapi lama-lama, “Mel, kamu mau kopi?”

Well, yang pasti tidak ada banyak  pria Jepang yang mau membuatkan kopi atau apa saja untuk seorang wanita. Yang ada kebalikannya. Dan itu juga merupakan salah satu yang menarik darinya (Hmmm cuman akhir-akhir ini kok sudah jarang tanya… “Ma, mau kopi?” hehhehe)

Dan kemudian memasuki bulan Juni dia tanya ke saya, “Kamu sudah pernah nonton Gion Festival? Mau ngga pergi sama-sama?” (Gion Festival adalah salah satu dari 3 festival akbar di Jepang yang dilakukan di Kyoto dalam bulan Juli selama satu bulan penuh)

“Belum pernah sih… tapi ngga deh kalau musti ke Kyoto” (weleh dia mau ajak aku ke luar kota… apa dia ngga tahu di Indonesia laki-laki ngajak perempuan single pergi bersama, ke luar kota itu tabu? Atau si perempuan sudah pasti ngga mau? kalau kita pergi bersama, terus nginepnya gimana —meskipun pisah kamar mungkin — tapi … well aku oldefo ngga pernah pergi berduaan sama cowo apalagi ke luar kota…dst dst)

Jadi ajakan dia yang pertama gagal. Baru kemudian berselang berapa lama dia bilang, “Aku ada karcis untuk menonton lukisan di Museum Ueno… mau pergi sama-sama?”

Menonton pameran lukisan? Well aku tidak pernah dengar ada orang kencan ke pameran lukisan (di Indonesia), dan saya juga belum pernah ke pameran lukisan … so….. jadilah kita pergi berdua untuk kencan pertama kalinya. Dan dengan demikian juga membuka mataku pada mahakarya lukisan orang-orang terkenal di dunia.

Dan akhirnya si GM itu menjadi pacar saya (sekarang mantan pacar)

Dan kami berdua merayakan ulang tahun bersama sejak 1995 (sudah 14 tahun ya Gen).

But bukan kami berdua saja yang berulang tahun sama…. Karena Gen anak kembar, maka Saya, Gen dan Taku merayakan ulang tahun tanggal 14 januari bersama. Dan karena Taku ingin mengajak istrinya dalam kebahagian kami bertiga, maka dia mencatat pernikahannya dengan Ryoko pada tanggal 14 januari 2000 (Happy 9th Anniversary Brother and Sister) .

Dan kami juga merayakan ulang tahun bersama seorang pastor SJ , Bambang Rudiyanto, SJ.

Dan dalam mengajar di banyak tempat saya mengetahui ada 2 (mantan) murid saya yang juga berulang tahun di tanggal 14 Januari.

SO….

HAPPY BIRTHDAY TO US…..

and saya mengucapkan terima kasih pada Yoga untuk postingnya yang ini. Buat my sister Jeunglala yang berhasil menguras airmataku dengan postingannya yang ini. Juga Bu Enny dan teman-teman lain yang mengirimkan sms khusus tengah malam. Buat Melati san yang bahkan sudah mengantarkan buket bunga mawar langsung ke rumah saya kemarin siang. Arigatou. Juga semua teman yang telah menulis pesan di FB, MP dll. Selamat ulang tahun pernikahan juga untuk Yessy.

Bday 2007 foto diambil Riku (4th)...pagi-pagi masih kepet...liat kuenya aja deh buatan aku tuh... tahun ini malas buat kue hehhe..
Bday 2007 foto diambil Riku (4th)...pagi-pagi masih kepet hihihi ...liat kuenya aja deh buatan aku tuh... tahun ini malas buat kue

Pameran Pendidikan Jepang 2008

30 Agu

Wah saya terkejut waktu membaca bahwa tanggal 31 Agustus ini akan diadakan Pameran Pendidikan Jepang 2008. Kenapa? Karena saya tidak mendengar beritanya, atau selentingannya, atau bau-baunya sedikitpun. Apa mungkin karena saya tidak baca koran Indonesia lagi ya? Anyway saya berharap akan banyak datang pengunjung ke pameran pendidikan tersebut. Dan semoga, pengunjung tidak disambut dengan board NARUTO di pintu gerbang (entah kenapa saya muak melihat Naruto dimana-mana. hey…. Jepang bukan Naruto saja!!!) Pelajari dong di belakang Naruto nya.

Saya punya kisah tersendiri dengan Pameran Pendidikan Jepang ini. Di tahun 1992, juga diadakan Pameran Pendidikan Jepang tapi bukan di tempat bergengsi seperti sekarang. Tempatnya di Universitas Dharma Persada yang di samping Komdak itu (dulunya). Universitas yang kecil, ruangan kelas kecil, pamerannya dihadiri paling oleh 20-an universitas Jepang. Berpanas-panas karena tidak ada AC waktu itu. Diselenggarakan selama 2 hari kalau tidak salah. Dan pengunjungnya sedikit (bisa bayangkan mungkin class meeting sekolah lebih banyak pengunjungnya), mungkin juga karena pamor Jepang di tahun itu belum semarak sekarang ini.

Tapi Pameran Pendidikan Jepang 1992 itu (mustinya sih sekitar Februari 1992) yang mengubah jalan hidup saya menjadi seperti sekarang ini. Dengan membawa beberapa berkas seperti transkip nilai, sertifikat ujian bahasa Jepang dll dalam sebuah map, saya datangi pameran itu. Sebelum pameran memang saya sudah mengadakan korespondensi dengan seorang dosen di Tokyo (Rikkyo Univ) tapi karena universitas swasta mahal, saya pikir saya bisa cari universitas lain yang lebih murah dan mempunyai bidang yang ingin saya perdalam.

Adalah papa yang menggerakkan saya untuk mengumpulkan informasi mengenai melanjutkkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Karena pada tahun 1989-1990, Papa dipindahtugaskan ke London, untuk menjadi kepala perwakilan Pertamina wilayah Eropa yang berpusat di sana. Dan waktu itu saya sedang mencari tema skripsi, sehingga waktu berkunjung ke sana, saya sempatkan datang ke University of London, tepatnya ke SOAS (School of Oriental and African Studies) dan ke toko bukunya dan menemukan buku yang bisa menjadi sumber pustaka utama penulisan skripsi saya. Karangan R.P. Dore “Education in Tokugawa Japan” (masih ada tuh harganya 32 pound…. mahal euy). Dan ternyata setelah saya mencari informasi, juga papa mencari informasi ke teman-temannya di London… diketahui bahwa SOAS adalah sekolah yang terkenal jika Anda mau mempelajari Asia dan Africa. Mungkin aneh ya kok mau mendalami Jepang tapi di negara lain. In some cases, bahkan lebih baik mendalami pengetahuan ttg suatu negara bukan di negaranya. Contohnya saja, jika Anda mau mendalami sejarah kebudayaan Jawa, belajarlah ke Leiden University, karena sumber dokumen mereka mungkin jauh lebih banyak daripada di Jawa nya sendiri (Dan ada memang teman saya dari sastra Jawa yang ambil master di Leiden). Juga saya pernah disarankan oleh Prof Kurasawa untuk mengambil PhD di Cornell Universiy….. she said go internasional… selain dari kenyataan bahwa mengambil PhD untuk bidang humaniora di Jepang itu amat sangat sulit.

Jadi papa menganjurkan saya supaya cepat menulis skripsi, dan mendaftar saja ke SOAS, mempersiapkan diri untuk TOEFL dsb. Dan dengan tinggal bersama keluarga di London tentu akan lebih murah daripada saya pergi sendiri ke Jepang. But rencana memang tinggal rencana karena tidak lama kemudian Papa harus kembali ke Indonesia sebelum waktu tugasnya selesai, bukan karena tidak becus menjalankan tugasnya di London, tapi karena dia dipanggil oleh Bapak Emil Salim untuk menjadi wakilnya di Bapedal, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang akan dibentuk. Dalam segi promosi, memang papa langsung menjadi eselon satu, dan sebagai orang dari Pertamina yang dipinjamkan istilahnya, pengangkatan ini juga merupakan suatu blessing in disguise karena dalam 2 tahun lagi papa harus pensiun. Padahal dengan pengangkatan ini, seakan menjadi perpanjangan pensiun. Papa selalu berkata, “Bersyukurlah atas apa yang ada” (karena itu saya setuju ungkapan Pak Oemar “seize the day”)

So, dengan kepulangan papa ke Jakarta, mimpi saya untuk tinggal di London, menimba ilmu di kampus terkenal University of London, menikmati dinginnya dan muramnya London di taman-taman kecil yang ada di sekitar rumah, membayangkan kehidupan Sherlock Holmes, Shakespeare, or Agatha Christie, menikmati british garden dengan tea time nya, menyusuri Hyde Park dan sesekali berbaring di atas rerumputan yang menghampar di sana ditemani squirel yang berlarian ke sana kemari, sambil menunggu disapa polisi London dengan seragamnya yang kakko ii (keren) itu… hmmm I love London. Meskipun it is indeed the most expensive city in the world.

But Papa bilang, cari saja univesitas di Jepang kalau kamu mau melanjutkan ke S2nya. Padahal kalau dipikir-pikir, waktu itu aku sebetulnya tidak begitu ngotot untuk pergi ambil master. Aku bisa kok langsung bekerja, dan Asmara Mariko san, my best friend di UI sudah menyambut saya untuk bekerja bersama-sama di bussiness centre nya (dan saya enjoy bekerja selama 3 bulan di sana). Sambil saya mengajar privat bahasa Indonesia kepada orang Jepang expatriate yang bekerja di Indonesia. Kalau bukan karena papa yang menyuruh mencari informasi itu, dan mendorong saya untuk sekolah terus, mungkin saya juga tidak akan melangkahkan kaki ke Pameran Pendidikan Jepang 1992 itu.

Hhhhh, ngalor-ngidul ke sana kemari dan akhirnya sampai ke topik masalah. Gomennasai…..

Memasuki kelas tempat diadakan pameran pendidikan, berderet bangku yang bertuliskan nama Universitas yang ada di Jepang. Waktu itu tentu saja hadir perwakilan dari Tokyo University, Yokohama University, Chiba University, universitas negeri di daerah-daerah Jepang, dan beberapa universitas swasta. Dosen/perwakilan tiap universitas tidak semuanya didampingi penerjemah. Kelihatannya satu penerjemah dipakai untuk beberapa universitas. Jadi kalau perlu baru memanggil dia. Sejak awal saya sudah mencoret Tokyo University dari daftar saya. Why? Imelda ngga mau masuk the best university in Japan? Yes, aku tidak mau. Aneh kan? Yup aneh… karena saya tidak mau menjadi nerd, kutu buku…. itu saja alasannya heheheh. And  I want to be number one, dan saya tahu kemampuan saya, saya tidka akan bisa bersaing di sana. Saya akan mati-matian untuk suatu goal yang belum tentu ada. Program Master hanya 2 tahun. Saya tidka mau menjadikan 2 tahun itu penuh penderitaan. I want to enjoy life also.

So saya hampiri booth Yokohama National University. Seakan Tuhan membimbing saya ke situ. Karena sebelumnya saya datangi booth sekolah bahasa Jepang dan ditolak (“Anda sudah bisa berbahasa Jepang, kenapa mau belajar lagi dengan kami…. pelajarilah yang lain…” “Hai, wakarimashita!”, dan disarankan ke YNU itu. ) Dua orang lelaki setengah baya menyambut saya, dan dengan memakai bahasa Jepang saya memperkenalkan diri, dan mengatakan bahwa saya ingin melanjutkan pendidikan di bidang sejarah pendidikan sesuai tema skripsi saya Terakoya, dan atau bahasa Jepang. Watanabe sensei dari kantor administrasinya dan Sato sensei, professor bahasa dan sejarah Jerman itu melayani saya dan langsung Sato sensei berkata, “Kami tidak ada program studi sejarah, tapi kami terkenal dengan fakultas pendidikannya. (dan memang benar YNU terkenal dengan Fakultas pendidikannya). tinggal sekarang kamu mau meneliti dari sejarahnya atau pendidikannya.”  Ok terus terang saya tidka mau dari sejarahnya. Saya tidak mau jadi ahli sejarah, but untuk pendidikan saya juga tidak ada latar belakang yang kuat. Tapi pendidikan itu amat berguna di kemudian hari. So saya putuskan untuk mulai dari bawah belajar pendidikan sambil meneliti sejarah pendidikan Jepang. Sato sensei langsung mencari dosen mana yang kira-kira bisa menjadi dosen pembimbing saya jika saya belajar ke sana. (FYI, belajar di jepang = belajar pada seorang dosen, jadi harus mencari dosennya dulu yang kira-kira bisa dan mau menerima kita+ usulan penelitian kita…. dna mencari dosen pembimbing itu yang sulit). Dan dengan seenak perut (maaf ya sensei) dia bilang…. yah kita suruh si S.M.  ini membimbing Imelda. Dia kan thesisnya tentang sejarah pendidikan Manchuria, dan dia punya mata kuliah sejarah pendidikan Jepang… dia yang paling cocok untuk Imelda.

OK Imelda, saya pikir bahasa Jepang kamu sudah cukup, dan saya bisa kenalkan  kamu dengan si SM ini, Kapan kamu bisa datang? Untuk masuk program Master kamu harus jadi mahasiswa pendengar/peneliti (Kenkyuusei) dulu minimal 6 bulan (biasanya 1 tahun).  Untuk menjadi mahasiswa di April 1992 ini tidak bisa karena pendaftarannya baru saja ditutup. Tapi kami minta fotocopy berkas untuk kami bawa supaya bisa dipersiapkan kamu masuk bulan September 1992.

Oi..oi..oi… saya harus bicarakan dulu dnegan papa. Berapa biaya segala…. Saya tidak bisa putuskan saya mendaftar ke YNU saat ini juga. “OK… kan pameran masih ada sampai besok, bicarakan dulu kalau memang berminat, bawa saja berkasnya besok ke sini lagi”……… aku terdiam…. begini cepatkah prosesnya? sambil aku lihat disekelilingku, booth universitas lain yang kurang pengunjung, sementara booth Tokyo University yang dipenuhi mahasiswa… tapi muka dosen yang menyambutnya amat sangat tidak ramah. Muka-muka dosen lainnya yang terlihat bosan dan kepanasan, dan seakan terus menerus melihat jam … kapan berakhirnya sih pameran ini. Saya pulang ke rumah masih dalam keadaan “bengong”. Dan menceritakan hasil pameran kepada papa, dan keputusannya…. daftarkan saja, siapkan berkas untuk diberikan besok. Tapi kata papa, kamu pergi shitami (survey) bulan April-Mei selama 3 bulan dengan visa turis, untuk lihat-lihat Tokyo dan cari informasi, dan kalau perlu belajar bahasa Jepang lagi. Nanti saya minta info dari Hatakeyama san (teman papa).

So…. dengan kilat, saya serahkan berkas keesokan harinya, sambil persiapkan survey bulan Aprilnya, dan bulan Septembernya saya sudah di Jepang memulai hidup yang baru. Speedy…. what a preparation.

Jadi bagi saya Pameran Pendidikan Jepang ini sangat berarti, karena dia yang membuka jalan ku menuju masa depan. Karena itu waktu tahun 2004 almamaterku Yokohama National University bermaksud untukmengikuti pameran pendidikan Jepang di Jakarta, saya menawarkan diri untuk menjadi penerjemahnya dan mengatur liburan saya ke jakarta  bertepatan dengan waktu pelaksanaan Pameran tersebut.

Di Tahun 2004 itu juga didorong oleh keinginan pihak universitas untuk membuat network bagi alumni YNU, saya mengumpulkan alumni YNU dan mengadakan reuni yang pertama serta memikirkan apa dan bagaimana kita bisa membantu almamater kita dalam melaksanakan kegiatan2 terutama karena mulai tahun 2005, universitas negeri di seluruh Jepang di swastanisasi. Jadi mereka harus “menghidupi” diri sendiri dan tidka mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Jadi pihak Universitas juga yang harus mempromosikan diri dan mencari calon mahasiswa sebanyak-banyaknya termasuk dari luar negeri.

Jadi di malam pertama sesudah pameran, hanya ada 7 orang yang berhasil berkumpul. Namun ini menjadi awal reuni ke dua, setahun sesudahnya (8 maret 2005) yang dihadiri 20 an orang dan terakhir tahun berapa ya (soalnya kalau bukan saya yang nanya2 atau pas datang ke jkt, pada ngga ngumpul sih…)

Semoga saja ikatan alumni YNU ini bisa terus exist dan bisa membantu almamater kita, tempat kita menimba ilmu di negeri matahari terbit.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Berikut undangan dari Japan Foundation untuk Pameran Pendidikan Jepang 2008:

APAKAH ingin coba membuat Origami (melipat kertas khas Jepang), menulis
Shuji (menulis indah huruf Jepang), bermain Igo atau ingin tanya tentang
program-program The Japan Foundation, Jakarta ?

Tidak usah susah-susah…

DATANG saja ke booth THE JAPAN FOUNDATION, Jakarta
di “Pameran Pendidikan Jepang” oleh JASSO yang diselenggarakan pada,
Hari/Tanggal : Minggu, 31 AGUSTUS 2008
Jam : 11.00 s.d 17.00 wib
di : Jakarta Convention Center (JCC)
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
**** Pengunjung tidak perlu tanda masuk dan tidak dipungut biaya.