Hari ke 20 – Toko Merah

13 Mar

Hari ke 20- tanggal 6 Maret 2009, Hari ke dua di Yogyakarta. Pagi aku sarapan pagi berdua Riku di hotel butik Rumah Mertua. Makanannya lumayan lah, meski tidak bisa dibilang enak banget. Aku minta mobil untuk datang jam 9 sebenarnya, tapi jam 8:30 Riku minta diperbolehkan berenang. Ya sudah kapan lagi, asal dia bisa sendiri. Jadi aku temani dia di samping kolam renang. Baru setelah jam 9, kita bersiap-siap untuk pergi.

Karena kemarin malam sudah terlalu capek, aku juga tidak terpikir untuk membuat foto-foto hotel Rumah Mertua ini. Kami menempati kamar terujung, nomor 11. Setiap kamar mempunyai beranda sendiri-sendiri. Tempat tidur nya biasa saja, kerasnya cukup untuk punggungku yang sering bermasalah (dan tidak bunyi hihihi). Tapi lukisan abstrak di atas tempat tidur membuat Riku takut.

Kemarin sempat terlintas untuk pergi ke Candi Prambanan. Tapi saya tahu, pasti candi itu tidak menarik untuk Riku. Lagipula aku ingin pergi ke rumah Uda Vizon untuk briefeng acara keesokan harinya. Dan kemarin malam juga sudah diinformasikan Uda mengenai Toko Merah, yaitu toko alat tulis grosiran, tidak begitu jauh dari tempat kami menginap ini. Jadi aku langsung minta Pak Edi mengantar aku ke sana.
Ternyata waktu sampai di Toko Merah itu, Riku tertidur di mobil. Jadi aku keluar sendiri dan masuk ke dalam toko. Waduh …jadi ingat toko Itoya di Ginza yang penuh dengan alat tulis. Memang beda kelasnya, karena di Itoya harganya juga beragam dari yang murah sampai yang mahal. Kalau di Toko Merah, yah buatan dalam negeri semua gitchu. Tapi emang kenapa dengan buatan dalam negeri? Selama masih berfungsi dan bisa dipakai, apa salahnya. Jadi deh aku mengelilingi toko itu untuk melihat apa saja yang tersedia. Aku sudah tahu bahwa aku harus membeli buku tulis, karena ternyata buku tulis yang kami pesan melalui Lala tidak ada.

Tapi melihat toko sebesar ini, khayalan aku jadi berkembang untuk membuat acara bermain bersama bocah kweni. Jadi selain buku tulis, aku juga membeli karton manila, alat menggambar untuk 10 kelompok dll. Karena di situ juga dijual makanan kecil, jadi sekaligus saja buat bungkusan snack seperti acara ulang tahunan. Yang lucunya meskipun grosir, toko ini ternyata tidak punya stock kue-kue kecil dengan jumlah lebih dari 60 buah. Jadi terpaksa deh ambil jenis apa saja yang jumlahnya cukup.

Tidak sadar aku sudah 2 jam di dalam toko. Maklumlah untuk membeli satu jenis barang yang berada dalam satu kelompok dengan satu penanggung jawab (petugas toko) itu perlu waktu paling sedikit 10 menit…. hitungnya, tulis bon nya, lalu dihitung lagi…duuuuh lelet banget deh. Untuk pembayaran juga dengan sistem unik. Bayar dulu, kemudian bon dikasih ke petugas sampingnya untuk mengecek, menghitung lagi, kemudian membungkusnya. (Belum ngantri bayarnya dan antri ambil barangnya) Untung aku lagi sabar saat itu jadi aku tahan-tahanin aja. Aku memang suka heran, kenapa sih orang Indonesia ngga bisa kerja cepat, yang cekatan gitu kenapa ya? Mungkin banyak yang akan bilang, “ya itu kan Yogya bu… “tapi menurut aku bukan soal Yogya atau Jakarta nya, di Jakarta juga sama kok hehehehe. Jangan alasan panas deh, kan dalam toko ber-AC? Makanya orang (baca: saya) akan lebih senang berbelanja  di supermarket, karena kita dapat memanage waktu kita sendiri tanpa harus tergantung orang lain. Paling-paling yang butuh waktu itu saat antri bayarnya.

Sudah hampir jam 1, perut sudah keroncongan, padahal untuk ke tempat Uda juga butuh waktu yang tidak sedikit. Tidak ada waktu untuk makan di restoran juga. Jadi saya tanya pada Pak Edi, apa yang bisa dibungkus bawa dan makannya nanti saja di rumah Uda…. untuk menghemat waktu. Jadilah kami ke Wijilan, sebuah tempat (jalanan) yang katanya merupakan pusatnya gudeg. Tokonya berderet-deret. Yah aku sih ngga tau mana yang enak, jadi sembarang saja (sambil menyerahkan pemilihan Toko pada pak Edi). Cepat-cepat minta dibungkus, lalu langsung tancap ke Desa Kweni, Bantul.

Sesampai di rumah Uda, langsung deh tanpa ba bi bu… (pake kenalan dulu sebentar sih sama istrinya Uda, Mbak Icha) langsung makan deh. Sambil makan ngomongin rencana susunan acara (multitasking deh), dan sesudah makan sambil mengisi snack ke dalam plastik-plastik, masih membicarakan soal acara untuk besok.

Nah, setelah selesai kerja bungkus-bungkusnya datanglah anak Uda Satira dan Della jadi kelinci percobaan untuk suit Jepang, lagu dan origami…. Aku pikir saat itu, kalau anak-anaknya cuman sedikit sih ngga jadi masalah ya. Tapi kalau banyak, sebanyak 60 orang gimana aturnya? well, que sera sera aja deh, Pasti bisa.

Sekitar jam 4 aku pamit dari rumah Uda, dan pulang ke Rumah Mertua, untuk membereskan barang, dan cek in di Vila Hannis. Aku sengaja menambah hari penyewaan di Vila Hanis, karena waktu cek in esok hari yang terasa terburu-buru, dan aku pikir kamar di Rumah Mertua bisa dipakai untuk mereka yang datang lebih cepat.

Vila Hani’s memang romantis di malam hari…. lihat saja pencahayaannya. Tempat tidur berkelambu, cocok untuk honeymooners. Lalu kamar mandi setengah terbuka… (jadi ingat postingnya mas NH18 tentang kamar mandi terbuka). Kalau ini sih memang berupa pancuran saja, laksana mandi di air terjun deh. Sayang juga coba mereka buat bath tub (di Rumah Mertua juga hanya shower), pasti bisa lebih romantis lagi. Apalagi kalau pakai Jacuzzi wah wah wah deh (maunya loe aja mel hihihi). Soalnya orang Jepang kan suka berendam. Pasti deh laku orang Jepang nginap ke situ.

Hanya satu kekurangan yang saya agak sesalkan ….yaitu mereka punya koneksi internet Speedy, tapi entah kenapa tidak bisa dipakai. Tidak terbaca ,meskipun sudah diusahakan pakai password dan lain-lain. Ya sudah terpaksa aku angkat tangan untuk internet. Tapi… aku perlu tahu apa ada peserta tambahan yang ikut dan mendaftar lewat email, sehingga aku dipinjami komputer di dapurnya Villa Hanis. Ya cukuplah kalau hanya untuk email. Kalau untuk membuka website hmmm tunggu dulu. Butuh kesabaran yang amat sangat.

Jadi teringat, aku mengirimkan file kerjaan kemarin dengan “lari” ke Malioboro Mall. Di sana satu mall disediakan hotspot sehingga kita duduk di toko manapun bisa memakai fasilitas hotspot. Satu yang saya tidak coba adalah, apakah hotspot itu juga terdapat di areal parkir. Kalau ya, maka cukup duduk dalam mobil untuk browsing bukan? Saya mau deh kerja jadi supir kalau begitu, nunggu majikan sambil nge-net hehehe.

Malam ini kami makan di Cak Koting, rumah (tenda) makan yang menjual ayam/bebek/burung dara gorng/bakar. Letaknya di depan bioskop xXxX (ngga tau ..lupa). Saya diberitahu Yoga mengenai rumah makan  ini. Lumayan….

Hari ke 19 – Keraton dan Borobudur

12 Mar

Hari ke 19 – Tanggal 5 Maret mulailah perjalananku ke Yogyakarta. Pukul 6:30 pagi taksi yang akan mengantarku ke bandara sudah tiba. Satu koper berisi alat-alat tulis dan pakaian masuk ke dalam bagasi taxi. Sebelum pergi kita berdoa bersama supaya perjalanan lancar dan Kai yang ditinggalkan tetap sehat. Aku sempat masuk ke kamar lagi terakhir kali, melihat Kai masih tidur, dan tidak bisa memeluk dia. Ah… aku jadi sedih meninggalkan dia sendiri. Tapi aku juga tidak mau melihat dia menangis pada waktu aku berangkat, sehingga aku biarkan dia tetap tidur di bed, sambil berkata lirih, “Mama pergi dulu ya sayang….” (mewek lagi deh)

Opa ikut mengantar kami dengan taxi sampai bandara narita eh cengkareng dan kemudian pulangnya naik limousine. Kami langsung cek in, dan masih punya waktu sekitar 2 jam sebelum boarding pesawat. Aku mencari gerai Starbuck untuk mengakses internet sambil minum kopi. Riku terpaksa ikut bengong bersama aku, tapi untung aku membawa buku dan bolpen sehingga dia bisa menggambar-gambar. Aku sendiri sebetulnya masih mempunyai pekerjaan editing majalah Nipponia tahap ke tiga. Jadi sambil aku kerjakan editing terus melihat ke arah jam. Mereka minta kalau bisa sebelum tengah hari. Apa bisa selesai ya?

Sebetulnya tepat sebelum aku boarding, pekerjaan itu selesai. Tapi bermasalah dengan attach ke email. Terpaksa aku boarding dengan meninggalkan pekerjaan belum selesai.

Terbiasa duduk di lorong, membuat aku agak panik waktu kutahu bahwa aku harus di bagian tengah dan Riku di bagian jendela. Untung saja perjalanan Jakarta Jogjakarta hanya ditempuh dalam 45 menit. Gile cepet amat ya? Jadi aku memanfaatkan waktu 45 menit itu dengan menutup mata dan zZZzZzz. Memang boleh dibilang aku tidak tidur semalam, mempersiapkan koper (yang tidak beres beres heheheh) . Ngga deh, ngaku bahwa aku tidak tidur karena chatting dengan seorang sahabat hati.

Sampai di Bandara Adisutjipto, tidak begitu panas. Turun tangga pesawat. Nah seperti ini tidak ada di Jepang, jadi tentu saja harus jepret!!! cissss aku suruh Riku berdiri di samping pesawat. Kemudian masuk ke ruang kedatangan untuk mengambil bagasi. Begitu keluar bandara, aku menemukan pak Edi membawa papan nama bertuliskan IMELDA MIYASHITA (eh lupa, miyashita atau coutrier ya? masa bodo deh yang penting namaku hihihi). Pak Edi ini yang akan mengantar-antar aku selama dua hari pertama di Yogya. Aku pesan melalui Alma dari indo.com untuk akomodasi dan transportasi.

Mobilnya Avanza masih baru berapa hari keluar euy…masih kinclong! warnanya juga aku suka Wine Red. (uh kok jadi laporan soal mobil sih?). Pokoknya aku dan Riku serasa jadi Raja dan Ratu sehari, diantar dengan supir pribadi. Sebuah kemewahan yang tidak bisa kita rasakan di Jepang (Kalo di Indonesia sih mah biasaaaaa mel!). Lah aku tiap harinya di Jepang naik sepeda, ya gembira dong kalau bisa naik mobil, bersupir lagi hihihi. Ah pokoknya aku nikmati setiap detik perjalanan ini.

Begitu masuk mobil, aku tanya pak Edi, sebaiknya pergi ke mana dulu. Karena tujuan aku hanya dua, Keraton Yogya dan Borobudur. Jadi tolong diatur aja menurut kemudahan jalannya. Pak Edi menyarankan agar aku pergi ke Keraton dulu, karena Keraton tutup jam dua siang. Nah! bagus kan kalau kita menanyakan pada yang lebih expert.

Sementara itu aku menghubungi mbak Retno dengan terburu-buru. Nomor HP mbak Retno terhapus waktu ada eror pada O2 ku sehingga begitu aku dapat nomornya lagi dari temanku yang lain pagi ini, aku cepat-cepat menghubungi dia. Mbak Retno adalah orang yang HARUS kutemui dalam perjalanan ke Yogya ini. Karena dia adalah saksi pernikahanku di Tokyo 9 tahun yang lalu. Aku mau memperkenalkan dia pada Riku.

Jadi aku janjian bertemu Mbak Retno di Keraton, karena kebetulan rumah mbak Retno katanya cuma 2 menit jalan dari Keraton. wow! Memang kelihatannya keluarganya temasuk orang dekat istana deh (aku ngga pernah nanya-nanya soal latar belakang orang, jadi ngga tau …entah ya aku paling anti bertanya soal status atau latar belakang, kecuali kalau ybs cerita)

Kami sampai di Keraton dan memasuki pelataran pintu masuk, dengan dikerubuti penjaja cindera mata. Agak sulit juga aku menolak mereka, tapi kali ini aku berhasil. (Ada rambu yang masuk ke penglihatanku…. sepeda motor harap dituntun…. hmmm dituntun ya bahasa Indonesia yang benarnya?) Aku langsung menuju loket dan membeli karcis masuk. Dan seorang ibu mengantar kami masuk ke dalam keraton sambil menjelaskan isi keraton. Semacam guide lah. Ibu itu juga yang membantu mengambil foto kami berdua di beberapa tempat dalam keraton.

Kunjungan ke keraton ini merupakan kunjungan yang ke tiga untukku, tapi yang pertama untuk Riku. Namanya juga anak-anak, jadi tidak begitu antusias dengan barang-barang atau cerita bersejarah, sehingga cukup melihat sambil lalu saja. Yang pasti waktu aku cerita soal lukisan yang matanya bisa mengikuti pandangan mata kita (lukisan Hamengkubuono ke 8 atau 9) , Riku bilang tidak takut hehehe. Dia tidak merasa takut berada di dalam keraton, tidak ada setan katanya hihihi. Tapi yang dia paling senang adalah waktu dia boleh membunyikan kentongan yang ada di dalam keraton. Si ibu juga berbaik hati menunjukkan caranya.

Mendekati pintu keluar, Mbak Retno telepon dan memberitahukan bahwa dia sebentar lagi sampai di Keraton. Kami langsung naik ke mobil, dan mencari tempat makan siang. Kemudian kami diajak ke Restoran Bale Raos. Kabarnya Rumah Makan ini menyediakan makanan khas keraton untuk para sultan dan abdi dalem. Rumah makan ini masih di lingkungan keraton dan bersebelahan dengan Sarinah pusat kerajinan tangan batik. Di Restoran Bale Raos ini, Saya memesan masakan bebek masak jamur, Bebek Suwir-suwir , lalu masakan Paru dan bir jawa. Menyesal juga pesan bir jawa, karena memang non alkohol tapi boleh dikatakan ini bukan bir tapi minuman jamu manis heheheh (Pan aku pengennya minum bir hehehhe). Mungkin disebut bir hanya karena mengeluarkan buih jika di kocok/aduk.

Makanan di restoran ini cukup enak. Cuma yang kemudian saya perhatikan, kenapa di Yogyakarta banyak sekali masakan bebek ya? Setesai makan, kami mengantar Mbak Retno pulang sampai ke rumahnya, dan kemudian langsung menuju Borobudur. Cuaca memang tidak bersahabat, tapi aku berbekal payung lipat dan aku rasa tidak akan deras hujannya.

Sambil melangkah menuju tempat penjualan karcis masuk, dan kemudian masuk ke pelataran kompleks Borobudur, aku baru ingat perkataan Wita, “Onechan…jauh loh jalannya”… heheheh bener jauh euy. Untung Riku penuh semangat berjalan sendiri. Kalau sampai dia minta gendong susah deh. Aku juga ngga mau minta jasa pemandu, yang katanya bisa sekaligus memanggul Riku.  Mana mulai hujan rintik-rintik, meskipun aku bertahan tidak memakai payung.

Well sedikitnya Riku berhasil memanjat Borobudur sampai setengahnya sendiri, tanpa dibantu. Aku sebetulnya lebih takut daripada dia, karena aku ada phobia. Tapi aku akan berusaha ikut dia setinggi apa dia bisa. Sebetulnya kalau misalnya datang lebih pagi, tidak dalam keadaan hujan (licin) mungkin kami akan sanggup sampai puncaknya. Tapi berhubung sudah mendekati waktu tutup maka tiba-tiba dari arah atas, turun beberapa pengunjung. Ini yang membuat Riku ragu untuk terus memanjat sampai atas. Lalu aku bilang, “Nanti Riku naik sampai atas dengan papa saja ya? Kan Papa juga belum pernah ke sini”. OK deh… kami meninggalkan PR di kaki Borobudur.

Kami turun ke arah pintu keluar dalam hujan, dan sempat beristirahat di toko-toko yang mau tidak mau kami lewati supaya bisa keluar. Bagaikan labirin toko, aku sebetulnya tidak suka dengan kondisi ini. Tapi apa boleh buat, ini juga taktik untuk memajukan penghasilan di sektor pariwisata kan. Aku sih terus terang malas membeli kerajinan tangan lagi…. masalahnya di Jepang tidak ada tempat untuk menaruhnya.

Akhirnya kami sampai di pelataran parkir dan aku menuju tempat janji bertemu dnegan Pak Edi. Tapi memang tidak ada mobilnya. Di situ Riku mulai panik.

“Mama, kok mobilnya tidak ada?”
“Aduh bagaimana kita pulang?”
“Loh Riku…kenapa nangis…kan Riku sama mama, Tidak sendirian. Kalau mama tidak ada nah boleh Riku nangis. Percaya dong sama Mama. Kan mama ada uang, kalaupun seandainya mobilnya tidak ada, kan mama bisa minta mobil lain.”

tapi Riku tetap menangis, sampai akhirnya aku ajak dia berjalan ke arah parkiran. Dan akhirnya ketemu. Kami hanya terpaut satu blok saja. Dan Riku masih terisak….

“Mama kita pulang ke Jakarta saja yuuk… Mama ngga kangen sama Kai ya?”
“Mama kangen sama Kai, tapi kan mama juga mau pergi berdua sama Riku saja. Empat hari loh, Riku berdua mama saja, tanpa ada Kai. Enjoy aja”

Entah dia sudah capai, atau dia juga sedang PMS (ups…bukan PMS tapi sensi deh heheheh). Dan anakku yang satu ini memang sangat perasa. Akhirnya dalam mobil aku peluk dia, dan kami menatap jalanan pulang ke arah hotel yang dibasahi air hujan.

Kami menuju ke Jalan Palagan, untuk mencari hotel Rumah Mertua tempat kami menginap 2 malam pertama. Ternyata Hotel Mertua dan Villa Hani’s terdapat di jalan yang sama yaitu di jalan Palagan. Tapi lebih mudah mencari Vila Hani’s daripada Rumah Mertua, karena letaknya di bagian dalam dan dikelilingi perumahan.

Setelah Check in di Rumah Mertua, aku menunggu kehadiran dua temanku yang akan datang bertemu. Setiawan yang teman sejurusan Sastra Jepang beserta istri bertemu kembali setelah tidak bertemu hampir 20 tahun. Dan tidak lama Uda Vizon datang juga untuk membicarakan detil acara tanggal 7 nanti. Kami berempat beserta Riku pergi makan malam di Peleg Golek, tidak jauh dari hotel, rumah makan sea food yang lumayan enak. Karena sudah terlalu capek, Riku tertidur dalam mobil, dan terpaksa digendong Uda karena aku tidak kuat.

Hari yang melelahkan tetapi memberikan kesan yang mendalam di hati.