Sudah pernah baca buku “Perjalanan Ke Atap Dunia”nya Daniel Mahendra? Buat yang pernah bermimpi melanglang buana kurasa buku ini patut dibaca. Aku sendiri baru saja mendapatkan buku ini beserta tandatangan pengarangnya, meskipun aku sudah baca catatan perjalanannya ke Tibet waktu dituliskan di blognya, setahun yang lalu.
Dalam percakapanku dengan Danny, aku mengatakan, “Aku bukan backpacker, meskipun aku suka berwisata. Tapi ternyata aku TIDAK mencari keindahan suatu daerah/kota, karena jika aku bepergian aku lebih mencari orang-orang yang kukenal. Aku akan berusaha pergi ke suatu tempat yang baru jika aku kenal seseorang yang tinggal di situ. Untuk menemuinya, dan keindahan tempat di situ (wisatanya dan pertemuan dengan orang lain lagi) hanya menjadi sebuah bonus. Aku jarang bahkan tidak pernah menentukan tujuan kepergianku tanpa ada pertemuan dengan seseorang. Entah itu Amsterdam, New York, Manchester, dll semua pasti ada temanku atau saudaraku di sana. Perjalananku adalah perjalanan hati.” Aku ingin sekali pergi ke Surabaya menemui teman SMP Gatot dan teman SMA ku Nana, atau ke Tasik menemui Nana Harmanto dan BroNeo, atau ke tempat-tempat lain dimana ada temanku di sana. Sayangnya waktu yang kupunya (dan dana tentunya) tidak mendukung, sehingga perlu dibuat daftar yang cukup panjang.
Namun salah satu tujuan setiap aku mudik, berhasil aku laksanakan pada tanggal 3 Agustus yang lalu, yaitu ke Rumah Dunia. Kebetulan sekali ada acara bedah buku “Perjalanan ke Atap Dunia” karya Daniel Mahendra yang dibedah Yudi Kudaliar Febrianto yang merupakan rangkaian acara Nyenyore, program “ngabuburit” ala Rumah Dunia. Sebetulnya aku ingin mengikuti acara Kado Lebaran untuk anak-anak pada tanggal 5 nya, tapi karena aku sudah ada rencana lain, kupikir aku majukan saja rencana pergi ke Rumah Dunia nya pada tanggal 3 Agustus itu. Lagipula selama aku kenal Danny, aku belum pernah datang pada acara launching atau bedah buku karyanya (Epitaph dan Perjalanan ke Atap Dunia” ). Oleh Yudi dikatakan buku PKAD ini sebagai RACUN! Mau mengetahui sebabnya silakan baca ulasan Yudi di sini.
Aku mengikuti acara ini sampai sekitar pukul 5 (dimulai pukul 4 lewat), sambil kemudian aku bersama mbak Tias Tatanka (istri Gol A Gong) mempersiapkan es teler dan makanan kecil untuk acara berbuka. Meskipun demikian aku sempat mendengar “malu-malu”nya Danny ketika mengatakan, “PKAD ini menurut saya memberikan kebahagian yang begitu besar, karena selain dibukukan dalam jangka waktu setahun setelah perjalanan, buku PKAD juga yang memberikan seorang calon istri kepada saya”. Ya, akhirnya seorang Daniel Mahendra, mengumumkan bahwa dia akan mengakhiri masa lajangnya. Siapa calonnya? Tunggu saja press release DM karena bukan wewenangku untuk memperkenalkan siapa calonnya, yang pasti inisialnya adalah LS. 😀
Aku selalu senang melihat kegiatan Mbak Tias dan Mas Gong dalam menjalankan gempa literasi dengan berbagai kegiatan di Rumah Dunia. Kadang jika membaca kegiatan mereka berdua yang tak ada hentinya, aku merasa capek sendiri, dan berdoa semoga keduanya tetap diberikan kesehatan dan energi yang melimpah oleh Yang Mahakuasa. Kali itu aku juga sempat mengobrol dengan ibunda Mas Gong, yang kami panggil Nenek, seorang perempuan bersahaja yang melahirkan penulis novel terkenal. Dalam pembicaraan seperti begitu, aku sering harus menjelaskan kehidupanku di Jepang, yang bagi yang mendengar seakan “hebat” tapi menurutku biasa saja. Selalu ada sisi positif dan sisi negatif, di mana saja kita berada dan tinggal.
Sore yang tidak terlalu panas jika tidak bisa dikatakan sejuk, berubah menjadi malam yang pekat. Satu hal yang mungkin perlu diketahui teman-teman Rumah Dunia dibangun secara gotong royong dan sukarela sehingga tempatnya benar-benar berada dalam lingkungan pemukiman, dan tidak mempunyai listrik jalanan yang memadai. Hal itu terasa sekali waktu kami ingin berfoto bersama di depan panggung Balai Belajar Bersama yang tanpa pencahayaan. Untung aku cepat meminta supirku untuk memutar mobil dan membantu penerangan ke arah balai sehingga masih bisa membuat foto seperti ini. (Foto courtesy of Yudi Febrianto)
Karena makan malam yang berupa gojlengan akan disajikan pukul 8:30, padahal aku masih harus pulang ke Jakarta, maka aku mohon pamit. Tapi sebelum itu sempat mengikuti acara tiup lilin ulang tahun Mbak Tias yang bintangnya sama dengan suaminya yang akan berulang tahun tanggal 15 Agustus mendatang. Ah ternyata banyak sekali teman-teman akrabku yang berbintang Leo!
Tetapi karena merasa belum puas mengobrol, Koelit Ketjil (KK) mengajak ngopi bersama. Berdelapan termasuk aku dan Mas Gong beranjak menuju kedai kopi di depan kepolisian Serang. Kedai kopi yang cukup lengkap menyediakan berbagai macam kopi, bukan hanya “nama” asing dengan pilihan kopi yang kurang maknyus. Aku dan KK memilih kopi Lanang Aceh sebagai pilihan kami, sementara Mas Gong yang bukan penikmat kopi memilih Hot Chocolate. Ternyata tepat sekali pilihanku, kopi Aceh memang maknyus sekali. Setelah ngalor ngidul bicara soal pendidikan luar sekolah di Jepang sampai pada wejangan untuk calon pengantin baru, kami berjabat tangan perpisahan pukul 8:15. Akupun kembali ke Jakarta menembus jalan tol yang masih padat terutama oleh truk-truk dan kendaraan berat lainnya dalam pekatnya malam. Namun kutahu hatiku tidak pekat, karena selalu ada cahaya-cahaya harapan bagi negeriku tercinta. Cahaya yang dipancarkan sahabat-sahabat yang berusaha membangun dunia melalui literasi dan buku. Kudoakan Rumah Dunia akan tetap terus berdiri dan menjadi contoh bagi Taman Baca lainnya. Banzai!