Begitu kami keluar dari pesawat ANA (23-08-2013) yang kami tumpangi dari Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, kami disambut dengan udara panas. Langsung keluar dari mulut kami, “Aduh panas!”. Memang kami seakan mengejar matahari ke tempat yang jauh lebih panas dari Jakarta. Padahal saat itu temperatur BELUM 35 derajat 😀
Untung proses imigrasi dan bagasi lancar sehingga dalam waktu 30 menit dari mendarat, kami sudah bisa mendorong koper-koper kami ke luar pintu kedatangan. Gen juga sudah menunggu di depan pintu, dan aku tahu pasti dia tidak tidur semalam supaya tidak terlambat. Supaya sampai Narita jam 7 pagi memang harus berangkat jam 5 – 5:30 dari rumah kami.
Anak-anak langsung menghambur ke papanya dan memang kelihatan sekali beda Kai sebelum pergi dengan sesudahnya. Dia tambah tinggi dan berisi! Lalu kami pergi ke counter “Kucing Hitam” Deliveryuntuk mengirim sebagian koper kami karena tidak masuk ke mobil. Untung si kuroneko bisa menjanjikan koper kami sampai di rumah sekitar pukul 6 sore.
Begitu masuk mobil, kami pasang AC keras-keras. Panas! dan Ngantuk. Aku otomatis tidak tidur selama di pesawat karena mengerjakan terjemahan dengan laptopku. Oh ya aku juga baru tahu loh, bahwa ada colokan listrik di dalam pesawat! Letaknya di bawah kursi dan bisa menerima colokan bentuk apa saja (bundar, pipih, tiga lubang dsb). Universal!!…. HEBAT! Aku sudah sering juga sih membuka laptop di dalam pesawat tapi karena sebentar, biasanya pakai cadangan batere saja. Karena laptop batereku hanya 3 jam, aku tanya pada petugas ground, dan diberitahu letak colokannya. Yatta! (ih udik banget si Imelda ini, masa baru tahu ya hehehehe). Fantastic!
Jadi aku ingin tidur selama perjalanan pulang nih…rencananya. Tapi anak-anak dan Gen ingin melanjutkan proyek kami “Mengunjungi 100 Castle Terkenal Jepang”, dan salah satunya ada di Sakura (nama daerah) di Chiba. Jadilah Gen menyetir ke arah Sakurajo (Sakura Castle). Tapi karena tempat itu hanya merupakan “bekas situs” tidak ada bangunannya, aku menunggu di dalam mobil (tepatnya tidur) sambil mereka turun dan berfoto.
Yang menyenangkan adalah setelah dari Sakurajo itu, Gen mampir ke sebuah kebun Himawari (Bunga Matahari) yang konon terkenal. Tapi ternyata hanya sisa satu dua batang bunga matahari saja. Semua sudah habis, dan tersisa hamparan padi yang mulai menguning serta sebuah Kincir Angin besar seperti di Belanda saja.
Memang puncaknya keindahan bunga Matahari selalu pas aku mudik ke Jakarta sehingga tidak pas waktunya. Tapi berdiri di tengah-tengah jalan aspal satu mobil dan memandang hamparan padi itu sangat menyegarkan hati. Aku selalu suka tempat yang luas dan alami seperti ini.
Kami memang sempat sarapan di sebuah Parking Area. Tempat yang selalu kami mampiri sepulang dari Jakarta. Kai selalu memesan zaru soba (mie Jepang yang dingin) dan kami biasanya memesan MOS Burger. Nah sepulang dari Taman Himawari di Chiba itu, perjalanan masih jauh ke Tokyo, dan masih macet. Jadi aku bilang pada Gen agar tidak memaksakan diri nyetir pulang dalam keadaan ngantuk. Jadi deh kami mampir ke sebuah Parking Area lagi, dan tidur berempat di dalam mobil 😀 Lumayan loh satu jam-an tidur membuat segar kembali. Dan kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, setelah mampir makan siang sushi.
“Aduh kecilnya rumah kita”… itu yang diucapkan anak-anak begitu sampai di apartemen kami. Ya di Jakarta enak bisa lari-lari dalam rumah saking besarnya, kalau di sini mau jalan dalam rumah saja bertabrakan 😀 Tapi biarpun kecil, ini rumah kami dan kami sudah terbiasa hidup di sini. Dan malam itu kami makan malam nasi + rendang, rasa tanah air….
Meskipun pada dasarnya aku orang “rumahan” a.k.a. domestik yang malas bepergian kalau tidak ada tujuan, tapi aku suka pada perjalanan – traveling – tabi. Karena perjalanan tidak harus berarti berwisata saja, tapi mengamati, dan itu hobiku…. mengamati semua yang ada dalam sebuah perpindahan ke suatu tempat maupun yang lebih abstrak, perjalanan hati…(cihuyyy)
Perjalanan d’ miyashita kadang terencana, lebih banyak nariyuki (seenaknya saja, tanpa rencana, what will be will be), tapi ada juga yang perlu perencanaan lebih matang dan jauh hari terutama karena memang begitulah sifat orang Jepang. Kalau bisa sebulan sebelumnya. Meskipun aku tahu, kadang (baca sering) berhubungan dengan orang Indonesia harus siap untuk bisa merubah segalanya, bahkan menerima jika terjadi pembatalan.
Dan meskipun aku sebetulnya tidak suka terlambat, sejak mempunyai anak aku “tahu diri” dan lebih bisa menerima keterlambatan. Anything could happen with children. Ya tiba-tiba mau boker atau muntah sebelum berangkat, atau bajunya ketumpahan air minum sehingga harus ganti baju lagi, and so on, and so on. Seorang ibu harus menyiapkan seluruh perlengkapan anak-anak, dan dirinya, dan …suaminya…hiks. (Kalau sudah begini rasanya ingin satu hari 36 jam atau tangan sepuluh, atau ada time stopper hihihi)
Sabtu, 24 Juli akhirnya kami berangkat jam 6:45 dari rumah menuju bandara Narita. Rencana awal jam 5 berangkat (dan time limit jam 7 sudah harus berangkat karena butuh waktu 2 jam untuk ke Narita), apa daya semua ngga bisa dibangunin termasuk sang supir. Dan benar, kami terjebak macet sampai di daerah Chiba. Di jalanan yang merayap seperti kura-kura itu, aku cuma bisa merem, dan berdoa semoga tidak terlambat.
“Jam take off nya jam 11 pas ya mel?”
“Ya. ”
“Kalau terlambat gimana?”
“Ngga tau, ngga pernah telat sih” (padahal pernah tuh seperti yang aku tulis di Late Passenger hehehe. Tapi itu kan bersama orang penting!)
“Tenang aja, what will be will be”, sambil dalam hati aku pikir kalaupun harus mengubah jadwal perjalanan kali ini, aku siap deh.
Dan begitu waktu menunjukkan pukul 9 pagi (waktu mulai cek in) kami sudah tinggal 20 km lagi dari bandara dan lancar. Baru kali ini aku senang Gen bisa ngebut seperti itu. Turunkan koper menuju ke cek in counter sementara Gen parkir mobil. Dan antri cukup lama sehingga kami cuma punya waktu 45 menit sebelum boarding. Wah, mau makan pagi dengan santai juga ngga bisa, karena aku biasakan masuk gate untuk pemeriksaan imigrasi etc minimum 30 menit sebelum boarding. Tapi lapar! Jadi aku suruh Gen membeli McD cepat-cepat sementara aku menulis kartu imigrasi. Makan sambil berdiri di counter! (Orang Jepang sih biasa makan soba –mie Jepang– sambil berdiri. Kalau orang Indonesia mana bisa hihihi. )
Dalam perjalanan mudik kali ini aku memakai maskapai Cathay Pasific. Karena kedua maskapai yang biasa kupakai JAL dan SQ muahaaal sekali. Biasanya memang semahal apapun aku usahalan pakai kedua armada ini, karena membawa bayi itu sulit, sehingga lebih suka direct flight. Tapi karena anak-anak sudah mulai besar, aku tidak perlu memikirkan Riku lagi, bahkan Riku sudah bisa banyak membantu aku. Lagi pula Kai juga sudah lancar jalan, kecuali kalau lagi rewel saja aku perlu menggendong dia. So, aku putuskan mencoba maskapai CX ini yang jauuh lebih murah dari yang biasa kupakai.
Selain dari murahnya tiket (ada juga yang lebih murah, tapi lewat Korea atau Cina… nanti kalau anak-anak lebih besar lagi), aku mempunyai tujuan khusus, yaitu berkunjung ke kota “Adikku”, Hongkong.
Dari dulu aku ingin mampir Hongkong, tapi selalu tidak mendapat ijin dari Big Boss di Jakarta alias papaku! “Bahaya, anak perempuan jalan ke Hongkong!” (padahal si Tina udah pernah tuh ke sana … emang lain sih Tina bisa beladiri Kempo, aku bela diri cuma bisa pakai teriakan hihihi)
So, setelah perjalanan 4,5 jam kami sampai di Hongkong pukul 2:30 siang. Pengurusan imigrasi yang cukup cepat (duuuuh coba deh kalo imigrasi masuk Indonesia…lama!) , mengambil koper dan keluar terminal. Aku harus menghabiskan waktu di Bandara Hongkong sampai pukul 5 sore, karena sang tuan rumah Kimiyo baru pulang sampai apartemennya pukul 5:30 sore. Aku mencari penitipan koper di bandara untuk menitipkan dua koper (kami membawa 3 koper) yang tidak diperlukan di Hongkong. Dan baru kali itu aku sadar, bahwa aku tidak prepare informasi berapa banyak uang yang harus aku tukar ke Hongkong Dollar. Meskipun hampir semua toko menerima credit card, aku tetap butuh uang tunai untuk ongkos perjalanan naik taxi, atau bus, atau makan/ minum. Aku cukup bingung menghitung harga barang dengan HK dollar, meskipun akhirnya aku tahu bahwa 1 HK dollar kira-kira 11-12 yen.
Sambil menunggu di lobby yang luas, anak-anak bermain dan kami bertiga minum Chocholate Cream dari Starbuck yang ada di depan kami. Harga minuman itu 32 HK$ berarti sama dengan 350 yen- an. Sama lah dengan di Jepang, dan….aku jarang sekali membeli kopi di gerai ini di Tokyo. Sayang duitnya, karena dengan harga segitu kami bisa membeli satu bento nasi makan siang yang cukup mengenyangkan. Starbuck gituan hanya cocok untuk mereka yang single! hahaha (Kalau sudah jadi ibu RT mode-on peliiiiit banget deh gue!)
Aku sempat connect internet dengan fasilitas wi-fi free di HongKong airport. Memang di tempat seperti begini yang paling mudah dibuka adalah YM, twitter, FB , TE? sampai mabok nungguin juga tidak terbuka hihihi. Well apapun deh asal bisa membuang waktu sambil menunggu jam 5. Dan satu yang aku amati, bandara Hongkong ini memang sudah canggih. Banyak sarana yang sudah memakai otomatisasi seperti WC dan pintu taxi, dan berbahasa Jepang! (pasti untuk menarik wisatawan Jepang tuh). Berasa di Narita deh (bahkan kesannya bandara Hong Kong lebih luas dan terang). Jadi aku bisa mengerti kenapa Ria mengatakan dia suka di Hongkong.
Nah, teng jam 5 kami menuju ke pangkalan taxi. Ternyata di sini setiap daerah dikuasai oleh taxi tertentu.Waktu aku sebutkan alamat rumah Kimiyo, aku disuruh naik taksi berwarna merah. Jadi kami menuju pangkalan taksi merah itu, dan mendapat taksi nomor satu…. Dan disitu aku kaget! terkaget-kaget! U know what? Si supir Taksi ini mirip sekali mukanya dengan Mas NH18 hihihi…. Loh kok mas ada di sini? Untung aku ngga tanya dalam bahasa Indonesia hehehehe. Si Uncle ini membantu kami menaikkan koper dan aku tunjukkan alamat yang kami tuju. Doooooh dia ngga ngerti bahasa Inggris sama sekali. Mampus deh gue (mas NH versi Hongkong ini perlu ditraining kayaknya deh :D)
Ternyata menurut si Mas NH palsu (tentu saja dalam bahasa sono), daerah yang kami mau tuju ada dua, satu di pulau terpisah dr Hongkong, dan satu di Hongkongnya. Biarpun aku sudah sebut di Hongkongnya dia tetap ngga mudeng, sampai dia menyodorkan HPnya dan menyuruh aku telepon Kimiyo! Oiiii emang si Kimiyo bisa bahasa sini? Tapi sepertinya dia bisa mengerti penjelasan Kimiyo, dan kami diantar ke apartemen Kimiyo dengan selamat. Empat puluh menit dari bandara dan biayanya 340 HK$ (argo awal di sini 18$).
Oh ya, sebelum lupa…. Kanji di Hongkong ini mirip dengan kanji kuno Jepang, jadi ada beberapa yang aku bisa baca, dan yang lucu TAKUSI (taxi) dalam tulisan di sini dibaca secara jepang menjadi Tekisi 的士.
Sampailah kami di apartemen Kimiyo, dan mata kami terbelalak karena apartemen ini termasuk apartemen eksklusif dan bagus. Seperti Hotel! Kata Riku. Well, dengan menjejakkan kaki di apartemen Kimiyo ini, kami memulai perjalanan kami di Hongkong.
Tanggal 14 Februari 2009, Kami berangkat dari rumah pukul 6 pagi, dan jam 8 lewat sudah sampai di Narita. Perjalanan lancar meskipun angin memang kencang bertiup. Berhenti di Parking Area Makuhari untuk istirahat dan ke WC. Selama perjalanan aku tidur karena otomatis aku cuma tidur 1 jam (rencananya tidur dari jam 2 sampai jam 4, eee si Kai nangis minta susu, ya terpaksa deh bangun dan bikin susu).
Begitu sampai, parkir mobil, langsung cek in. Petugas ground SQ yang ramah melayani kita, dan tak lupa saya minta assistance MAAS waktu tukar pesawat di Singapore. Setelah selesai, kita masih punya waktu cukup banyak untuk makan pagi. Riku maunya makan Mc Donald (sebetulnya tujuan dia bukan Mc D nya tapi mainannya) jadi terpaksa kota cari Mac Donald deh. Duh padahal aku benci menu sarapan Mac D ini. Bayangin rotinya diganti dengan muffin, udah gitu biarpun isinya daging/ telur, muffinnya pakai madu (honey) huh, masak makan daging dengan “kue” sih. Tapi karena aku tahu aku bakal ngga bisa santai makan di pesawat, terpaksa telan deh.
Tiba waktu boarding, karena waktunya cukup banyak aku santai aja masuk ke pemeriksaan luggage. Yah, kena deh lama di sini. Kan sekarang harus lapor kalau bawa cairan di tas kabin. Ya aku cuma lapor susunya Kai aja. Ternyata semua CREAM juga musti dilaporkan. Jadi itu lipstick, minyak wangi, hand cream, obat salepnya Kai, BALSAM, pokoknya semua yang dari cream harus dilaporkan juga. Beuh makan waktu lama tuh diperiksa satu-satu. Akibatnya tidak bisa kasih dadah sama papa gen sebelum kita menghilang ke imigrasi check. Karena waktunya juga tidak banyak, kita langsung jalan ke boarding gate. Dan jauuuh banget menuju gate nomor 65. Untung Riku ngga ngomel-ngomel disuruh jalan jauh gitu. Tapi begitu sampai dia minta minum. Yang aku rasa menyebalkan juga, adalah menemukan kenyataan bahwa di tempat duduk yang disediakan khusus untuk PRIORITY PASSENGER, yaitu orang tua, hamil dan membawa bayi, sudah diduduki oleh BAPAK-BAPAK muda yang TIDAK mengerti bahasa Inggris dan tidak bisa baca LAMBANG priority seat. Dengan santainya bapak-bapak itu duduk di tempat khusus dan cerita-cerita dengan suara keras pakai bahasa Indonesia. DUH MALU-MALUIN deh. Please dong deh kalau bepergian jaga etiket seperti ini, dan jangan memalukan negara.
Tak lama sebelum waktu boarding untuk umum tiba, ground staff yang tadi melayani kami waktu cek in, menghampiri kami dan membantu kami masuk sampai pesawat. Baby car dilipat dan dititipkan di depan pintu pesawat (dan ini nantinya membuat kita menunggu lama). aku dan riku mendapat tempat duduk di bagian aisle, dan seorang bapak Filipina duduk di window (akhirnya Mr Lim memnta dia untuk pindah kursi supaya space yang kita pakai bisa lebih luas). Purser Mr Lim, menghampiri kami dan memperlihatkan magic dengan uang logam di depan Riku. Riku kesenangan deh. Mr Lim ini kelihatannya suka anak-anak, sehingga dia sering menyuruh pramugari atau datang sendiri, memberikan kue appel pie, atau coklat, atau mainan lain. Memang 7 jam perjalanan amat melelahkan bagi anak-anak (Dan bagi seorang Ibu yang membawa bayi/anak-anak hehehe). Untung saja Kai sempat tertidur 1,5 jam di dalam baby bed yang sudah disediakan. Jadi aku juga sempat tidur selama dia tidur. Menjelang tiba di Singapore, rasanya kepala aku sudah mau pecah, dan stress ngurusin dua anak yang pecicilan. Belum lagi kalau mereka berantem. Kai mau main mainan yang dipegang Riku, kalau tidak dikasih nangis dan teriak-teriak. Aku suruh kasih, Rikunya bilang mama cuma sayang Kai…. susah deh….. Belum lagi pengumuman mendarat pukul 17:45, padahal aku baca di boarding pass untuk pesawat dari Singapore- Jakarta itu boarding timenya 17:45. NAH LOH… gimana nih. (Mr Lim bilang Dont worry, ngga usah pikir biar si MAAS aja yang pikir hihihi, thank you very much Mr Lim… you re such a kind person)
Kenyataannya kita turun dari pesawat sudah jam 18:00. Dijemput dengan uncle dari SQ (wah aku ingat dulu dia juga nih yang jemput…) tapi kali ini si uncle cuman jemput aku saja. Dan aku membuat kesalahan yang sama, yaitu tidak minta pemakaian mobil golf di Narita. (Ternyata untuk pakai mobil ini perlu special request, karena banyak yang mau pakai, jadi harus diatur waktunya). Ya sudah aku udah menenangkan diri aja, kalau tidak bisa naik pesawat yang ini, ya minta pesawat berikutnya aja. Tenang aja deh. Then aku tanya si uncle, apa aku harus give up untuk pesawat ini. Dia bilang ngga perlu, masih bisa kok. Ternya pesawat itu take off jam 18:45, pintu akan ditutup 10 menit sebelumnya, jadi jam 18:35 harus di situ, masih ada waktu 30 menit… Dont worry…. dari terminal 3 ke terminal 2 cukup 20 menit saja kok. Wah… OK kalau aku harus lari, ya lari deh hehehhe. Yang jadi masalah Riku, pasti dia ngga kuat jalan 20 menit. Untung saja, si uncle mengijinkan Riku duduk di troley dan dia dorong troley dengan bawaan yang lain, sedangkan aku dorong Kai dalam baby carnya. Dasar aku sudah orang Jepang, jadi wkatu 20 menit jalannya orang Melayu, bisa aku tempuh hanya 10 menit hahaha. Tenang deh si uncle juga, meskipun dia ngos-ngosan ikutin aku.
Perjalanan dari Singapore ke Jakarta ditempuh dalam 1 jam 10 menit, jadi aku juga menolak meal yang disediakan, dan memberi makan Kai dan Riku saja. Untung si Kai lumayan makan banyak dan juga tidak begitu rewel selama di perjalanan. Waktu persiapan mendarat dan dari atas sudah bisa terlihat pemandangan malam kota Jakarta dengan lampu-lampunya, Riku sempat berkata,” KIREI…. bagusss”. Yang sangat melegakan aku, waktu aku diberitahu stewardessnya bahwa ada assisten dari MAAS lagi yang akan menjemput kita waktu mendarat di Jakarta. Padahal aku ngga minta di Narita. Enaknya kalau ada MAAS ini, semua urusan pasport mereka juga bantu (cari tempat khusus yang langsung dilayani dsb). Apalagi waktu urus visa on arrival juga KOSONG, ngga ada orang asing lain yang antri. smooth deh semuanya. Waktu keluar gate, langsung bertemu opa, oma dan om Chris yang sudah menunggu. Senang melihat Oma sudah berjalan tanpa penyangga, bahkan cukup cepat (meskipun kadang jalan dengan menyeret kaki kanannya). Yang kasihan opa dan oma sedih karena Kai langsung menangis waktu mau dicium heheheh. Kai sudah mengantuk soalnya, karena di Tokyo sudah jam 9 malam Opa, Oma…..
Sampai di rumah ngga tau lagi jam berapa, karena aku juga ketiduran di mobil saking capeknya. Yang pasti kita disambut dengan GELAP, rupanya dapat giliran pemadaman listrik oleh PLN. Pengalaman pertama lagi bagi riku masuk ke rumah yang diterangi oleh lilin saja. Untung dia ngga ketakutan hihihi. Dan untung tidak lama lagi, listriknya menyala. Well, vacation, liburan selama sebulan dimulai malam ini. Home sweet home.
Sebuah kalimat terakhir yang masih aku hafal “Terima kasih atas pilihan Anda terbang bersama Japan Airline”. Serentetan salam dan pengumuman yang harus aku bacakan dan direkam dan sudah diputar bertahun-tahun. Aku sendiri tidak berharap untuk bisa mendengarnya kali ini, tapi ternyata masih juga diputar meski dengan volume yang lirih sekali. Sambil aku kasih tahu Riku, “Itu suara mama loh”. Ternyata masih dipakai.
Jam 5:45 pagi Gen jemput Tina dan Koko untuk kemudian langsung ke Narita, sedangkan aku dan anak-anak naik mobilnya mertua langsung ke Narita juga. Untung aku hanya membawa satu koper kecil, karena dua koper yang besar sudah menunggu di Narita (bahkan mungkin di pesawat) dan tinggal kita ambil di Cengkareng Tebura puran (hands free plan), layanan dari ABC+JAL. Proses check in lancar, meskipun aku lihat ada antrian panjang di beberapa counter JAL. Bandara saat itu boleh dikatakan sepiii sekali. Mengherankan juga. Apa akibat kenaikan harga avtur (bensin pesawat) menjadikan orang-orang Jepang memilih untuk berlibur di daerah yang dekat-dekat saja. Or ini juga menandakan resesi juga sedang terjadi di Jepang. Entahlah aku bukan ahli ekonomi, dan tidak pernah berminat memperdalam ekonomi. Mungkin kalau mau belajar lagi aku lebih memilih Hukum daripada bidang ilmu lainnya. Wahhh kok melantur sampai hukum ya? Pesawat JAL yang kami tumpangi ini juga tidak penuh, tidak sampai separuhnya.
KKami menempati tempat duduk pertama setelah Bussiness Class, sebelah kiri dan ada bashinet, baby bed nya untuk Kai. Aku pesan child meal and baby meal. Yang mengherankan, makanan child mealnya lebih enak dan lebih cool dari yang untuk dewasa. Pudingnya puding caramel sedangkan di meal dewasa puding manggo. Saladnya Fruit Cocktail…. Duuh kan aku suka puding caramel…akhirnya tukeran deh sama Riku. Aku sambil suapin Riku karena Kai bobo, dan Riku kalau sambil menonton pasti tidak akan makan. Dia lebih pilih nonton daripada makan. Riku enjoy banget karena setiap tempat duduk ada video/game nya. Dia main terus, juga nonton Disney Channel.
Ada satu kejadian dengan Riku sehubungan dengan WC. Waktu pertama kali ke WC, dia pergi ke WC bersama aku. Kedua kalinya dia pergi sendiri dan berhasil. Good. Kemudian yang ketiga kalinya, di minta pergi sendiri lagi dan aku sedang kasih makan Kai yang sudah terbangun dari tidurnya. Sayup-sayup aku dengar suara teriakan anak-anak dua kali. Anak siapa tuh? pikirku. Ehhh tau-taunya Riku muncul dan dia bilang
“Mama tadi aku pergi ke WC yang lain, trus….. aku …. ngga bisa buka……(dia mulai nangis)… aku teriak dan pramugarinya buka…..”
Aduuuh anakku….
“OOOhhh pantesan tadi mama dengar anak teriak, itu Riku ya?”
Aku peluk dia dengan sebelah tangan. Dan aku bilang,
“Riku pintar deh….Riku kan teriak jadi orang orang bisa tau dan bisa bukakan pintu untuk Riku. Memang harus begitu. Bagus Riku. Nanti kalau mau ke WC lagi, nanti Riku liat deh ada tombol yang bergambar orang dan berwarna oranye. Tekan itu saja, nanti pasti ada orang yang tolong. Tapi teriak itu sudah bagus.”
Aku takut dia trauma dan tahan pipisnya tidak mau ke WC bisa berabe. Jadi waktu dia mau ke WC lagi aku antar dia dan kasih tunjuk tombol yang aku maksudkan. Sesudah itu dia bisa pergi sendiri lagi.
Terkunci di WC, suatu kondisi yang pasti tidak mau kita alami. Tapi aku ingat Mama pernah mengalaminya di bandara Yogyakarta. Sampai terpaksa petugas naik dari atas dan masuk ke dalam bilik, untuk membuka pintu dari dalam. Untung masih sempat naik pesawat. Aku sendiri belum pernah mengalami, tapi mungkin karena dulu ikut pramuka, aku selalu memeriksa kondisi wc/kamar yang aku masuki untuk mengantisipasi kemungkinan terkunci dsb. Prepared, tapi melelahkan karena syarafnya tegang terus deh. Kadang tidak enak juga menjadi orang yang “selalu siap”
Tujuh jam perjalanan memang melelahkan. Untuk sendiri saja capek, apalagi jika membawa bayi/anak balita. Belum lagi kalau nangis terus. Untung aku bisa konsentrasi ke Kai saja, karena Riku bisa main video game sendiri. Tapi waktu landing, Riku sempat muntah, dan aku dengan satu tangan harus cari kantong plastik, dan akhirnya pakai selimut untuk bantu Riku. Rasanya ingin punya 10 tangan supaya bisa melakukan semuanya sekaligus. Ini aku sudah terlatih deh untuk melakukan dua pekerjaan yang berbeda dengan satu tangan. Sulit memang menjadi seorang ibu. Untuk urusan barang kali ini tidak menjadi masalah karena Tina bantu aku untuk angkat barang. Tapi kalau misalnya tidak ada Tina? duhhh bagaimana nanti pulangnya ya? Que sera-sera deh.
Akhirnya setelah 7 setengah jam, kita landing dengan selamat di bandara Soekarno Hatta. Satu hal yang membuat aku senang dengan bandara Indonesia adalah dengan adanya sistem porter. Kalau di Jepang tidak ada sistem porter. Semua orang harus bertanggung jawab mengangkat kopernya sendiri dari luggage belt ke trolley. Dan aku harus mengalami mengangkat koper sendiri dalam keadaan hamil dan waktu menggendong bayi. Tidak ada orang Jepang yang membantu. This is what I called DINGIN. Nobody cares. Kalau ada porter, biarpun mahal aku akan bayar. Tapi tidak ada. Di sini bisa dirasakan bahwa uang tidaklah menyelesaikan segalanya (eh bisa deng kalau saya bayarin tiket seseorang khusus untuk angkat-angkat koper…ayo siapa mau? tapi duitnya ngga ada tuh).
Setelah bertemu orangtua, Chris dan Andy, kita muat koper di dua mobil dan go home deh. Satu hal yang membuat aku sedih juga waktu melewati bundaran Senayan, yaitu berubahnya pemandangan akibat adanya Senayan City. Where is my old town?
(lucu deh si riku dan kai lagi bobo….ada suatu saat riku sebelah dalam dan Kai sebelah luar, sesudah 2-3 jam kedudukan berubah….kok bisa?)