Kertas

17 Jul

Sebetulnya sebelum melihat pameran wayang beber di Museum kertas yang aku sudah tulis di postingan BEBER sebelum ini, kami berkesempatan mengikuti praktek membuat kertas berupa kartu pos. Buru-buru karena kesempatan mencoba hampir ditutup. Kami ikut antri di lantai basement Museum Kertas tempat kegiatan ini dilaksanakan.

Menyimak penjelasan bahan-bahan kertas

Di meja pertama, aku dan Riku mendapat penjelasan bagaimana kertas itu dibuat. Dan waktu itu diperlihatkan bahwa kami akan memakai bekas kemasan susu segar. Kemasan susu itu sebetulnya mempunyai tiga lapisan, jika dua lapisan yang paling luar dikuliti, maka dapat kita lihat kertas yang berserat. Kertas ini dapat direndam air, dan menjadi bubur kertas (karenanya untuk bisa dimasuki susu diberi lapisan kertas tahan air).  Nah karena semua sudah dipersiapkan petugas, kami tinggal mengikuti urutannya saja. Lebih afdol memang kalau melihat fotonya ya.

Memilih saringan bermotif

Kami diminta memilih sebuah saringan kawat bermotif. Motif ini akan menjadi motif bayangan di dalam kertas. Seperti motif bayangan di uang kertas deh. Riku memilih Doraemon, sedangkan aku memilih burung bangau. Burung bangau adalah burung pembawa keberuntungan bagi orang Jepang, dan bisa dipakai kapan saja, tidak perlu melihat musimnya. Sulit memang tinggal di Jepang, apa-apa harus memikirkan musim. Misalnya ya jangan mengirim gunung bersalju di musim panas…. something like that deh. Harus timely gitchuuu.

saringan bermotif dan potongan kertas sebagai pemanis kartu pos

Setelah memilih saringan kawat halus bermotif itu, kami boleh memilih dua guntingan kertas bermotif, atau daun maple. Kertas/daun ini nanti akan “tertanam” dalam kertas putihnya dan mempercantik kartu posnya. Memang daun maple bagus sih ya, cocok dibuat motif. Sebetulnya bisa sih kalau mau memasukkan motif yang lain, tapi adanya cuma itu. Jadi aku dan Riku memilih daun maple beda ukuran.

Nah dengan tambahan motif itu, kami pindah ke meja dengan bak berisi air, dan di sebelahnya bak bubur kertas. Kami masukkan saringan bermotif itu dalam bak, dan sambil merendamnya kami masukkan bubur kertas separuh dan motif daun di tempat yang tidak menutupi motif burung bangau tadi. Jika burung bangaunya di kanan bawah, maka motif daun maple tadi ditekan di bagian atas.

Mengangkat saringan dengan hati-hati agar motif tidak berpindah tempat

Kemudian  kami angkat saringan tadi, yang terbawa adalah bubur kertas+ motif, seperti adonan pudding. Kemudian saringan yang masih mengandung banyak air itu diperas airnya, dengan cara ditekan, dipress dengan alat khusus. Sehingga seluruh kandungan air bisa keluar.

Menekan adonan kertas supaya kandungan air bisa keluar semua dengan alat khusus

Dan terakhirnya tinggal mengeringkan kertas itu memakai seterika. Finishing touch nya cap tempat perangko dan 7 kotak nomor kode pos Jepang.

Menyeterika kartu pos yang masih lembab

Seluruh prosesnya amat cepat (tidak sampai 10 menit) dan menarik, sehingga rasanya kok ingin mempunyai alat itu, dan membuat kartu pos sendiri. Mengirim kartu pos buatan sendiri pasti lain dari yang lain ya. Apalagi kalau ditambah tulisan made in imelda (bukan made in bali Madenya orang Bali loh hihihi). Dan memang toko museum dijual juga kit beserta keterangan untuk pembuatan kertas dari bekas kemasan susu, tapi harganya cukup mahal (menurut aku sih, sekitar 1200 yen).

Dengan kartu pos hasil buatan sendiri

Memang kertas dari kemasan susu ini tidak bisa kena hujan, karena dia nanti akan kembali lagi menjadi bubur kertas. Tapi justru itulah letak prinsip daur ulangnya. Kertas itu bisa didaur-ulang tanpa batas, dan dengan waktu yang cepat. Jadi daripada menggunakan plastik lebih baik menggunakan kertas kan?

Persentasi bahan pembuatan kertas. 61% dari kertas bekas.

Dalam museum memang menjelaskan bahwa konsumsi kertas di Jepang 61% adalah dari kertas bekas yang diolah kembali, 19% dari hutan, 14 % dari kayu tak laik pakai atau limbah kayu (semisal bangunan) dan 6% pulp impor. Kalau dilihat persentasinya, kita bisa tahu bahwa memang Jepang sudah menjalakan eco-paper. Aku tidak tahu bagaimana dengan Indonesia. Mungkin perlu ada penelitian lebih lanjut. Karena Jepang bisa mengolah 61% kertas dari kertas bekas berkat sistem pembuangan sampah yang teratur dari warga, yaitu warga sendiri rajin memilah sampah menurut jenisnya.

Uh si imelda pake nanya-nanya segala. ternyata yang kerja volunter di sini, dulunya pejabat dan orang penting di pabrik kertas loh.

Namun sayangnya konsumsi kertas di dunia terbesar dipegang oleh Amerika, dan Jepang mungkin hanya nomor 4 atau 5 saja (dihitung per kepala). Padahal seakan-akan Jepang banyak memakai kertas. Aku sempat menanyakan hal itu pada petugas di sana. Memang Jepang masih banyak memakai plastik, meskipun plastikpun akhirnya didaur-ulang juga. Aku tidak tanya sih, mana yang lebih murah ongkosnya, daur ulang kertas atau daur ulang plastik. Tapi menurut perkiraanku (mungkin saja salah) daur ulang plastik lebih mahal, karena tidak setiap jenis plastik bisa diolah kembali.

Museum Kertas ini sudah berdiri selama 60 tahun sejak 1950 menempati bekas pabrik Kertas Ouji dan berfungsi untuk menyimpan dokumen mengenai kertas baik kertas buatan Jepang maupun buatan Eropa. Pabrik Kertas Ouji sendiri merupakan pabrik kertas pertama di Jepang (dan ke 6 di dunia) dan didirikan tahun 1873. Pada tahun 1998 Museum Kertas menempati bangunan baru yang sekarang yaitu di dalam Taman Asukayama, bersama  2 museum yang lain.

di depan museum kertas

Paper Museum:

1-1-3 Ouji Kita-ku Tokyo, 114-0002

http://www.papermuseum.jp

HTM: Dewasa 300Yen, pelajar 100Yen

ssst jangan tanya saya soal pabrik kertas di Indonesia ya. Yang pasti beberapa saat yang lalu saya menerima artikel lewat milis, bahwa pabrik kertas leces terganggu operasinya karena tidak ada pasokan gas, karena berhutang sampai 41 milyar rupiah. Saya juga suka heran tentang kertas daur ulang di Jepang, kok hasilnya bisa putih. Soalnya kalau di Indonesia kan kertas daur ulangnya coklat tuh dan kasar. Di sini sampai tidak tahu bahwa itu kertas daur ulang. Dan seperti yang pernah aku tulis (lupa di postingan mana) orang TETAP akan membeli kertas daur ulang meskipun harganya sedikit lebih mahal dari kertas baru. Kata Gen itu sebagai prestige, bahwa perusahaannya ramah lingkungan. Wew…. Kalau kertas daur ulang  tetap dipakai masyarakat, tentu saja akan maju dan diproduksi terus.

Beber

14 Jul

Tahu “beber”? “wayang beber”? Kalau kata kerja “membeberkan” pasti tahu dong ya? Nah kali ini aku mau membeberkan sebuah fakta yang membuat kita sebagai orang Indonesia agak malu, hmmm paling tidak aku deh yang merasa malu.

Mengapa? Karena aku bisa melihat dan mengerti sedikit tentang Wayang Beber justru di Jepang ini. Dan itu pun karena diajak Gen untuk melihat pameran “beber” di museum Kertas, yang terletak di Kita-ku (bisa dibaca pengantarnya di cerita sebelumnya, Taman Asukayama). Dia baca di homepage Museum Kertas itu bahwa dari tanggal 19 Juni s/d tgl 4 Juli lalu itu ada pameran khusus yang bertajuk “Keindahan Kertas Kulit Pohon Asia” アジアの樹皮紙の美。

Dia bilang begini, “Di situ dipamerkan replika wayang beber yang berusia ratusan tahun. Katanya sering dipamerkan ke seluruh dunia, dan belum tentu bisa datang lagi ke Jepang, Yang pertama dan yang terakhir”…. Hmmm aku juga belum pernah melihat wayang beber, dan aku tidak yakin bisa melihatnya di Indonesia jika pulang  kampung. Karena itu kami sepakat untuk menghabiskan hari Minggu itu kami di Museum Kertas dan Taman Asukayama. Paling tidak Riku bisa bercerita bahwa dia pernah melihat sekilas kebudayaan negara ibunya.

Pameran wayang beber ini dilaksanakan di sebuah ruangan khusus untuk pameran temporer dalam Museum Kertas. Di lantai 4. Begitu masuk ke sudut itu, kami langsung bisa melihat gambar ini. Sss….t sebetulnya kami tidak boleh memotret di situ. Hanya ada satu foto jadinya 😀

Selain gambar wayang beber juga terdapat bermacam keterangan pembuatan dan pameran alat pemukul kertas daluwang

Di sebelah replika wayang beber yang dipajang itu tertulis proses dan cerita mengenai beber ini dalam bahasa Jepang. Dan untuk lebih mengerti lebih jelas lagi maksud pameran ini, kami disuguhkan dua video di ruangan tengah. Video itu mengenai pembuatan baju dari serat kulit yang disebut Fuya di Sulawesi Tengah. Yang membuat kami heran ternyata kulit pohon itu yang tadinya lebarnya tidak seberapa bisa ditumpuk kemudian  disambung dengan cara dipukul-pukul sehingga menjadi selembar “kain kertas” yang besar.

Video yang kedua tentang wayang beber yang hampir punah. Karena sudah tidak ada lagi pembuatan wayang beber dengan memakai teknologi jaman baheula itu , padahal kertas yang terbuat dari serat yang diberi nama Daluwang itu amat kuat dan tipis.

Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik Mahabharata maupun Ramayana.

Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamentik yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta diberi tokoh tokoh tambahan yang tidak ada pada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India) diantaranya adalah Semar dan anak-anaknya serta Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang. Perlu diketahui juga bahwa Wayang Beber pertama dan masih asli sampai sekarang masih bisa dilihat. Wayang Beber yang asli ini bisa dilihat di Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara.Selain di Pacitan juga sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dan masing dimainkan ada di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul. (wikipedia)

Gambar wayang beber yang dipajang, dan menjadi pamflet pameran di Museum Kertas

Nah, dalam video itu kami ketahui bahwa ada seorang Jepang yang bernama Prof. Sakamoto yang akan memulai proyek menggali kembali penyelamatan wayang beber untuk  mengganti kertas wayang beber yang hampir punah itu. Untuk itu di daerah Bandung ada seorang pengrajin (aku tidak mencatat siapa namanya) yang membantu meneliti pembuatan kertas daluwang ini. Proyek ini dibiayai oleh pemerintah Jepang, sedang berjalan dan cukup memakan waktu lama.

Memang meskipun kertas Daluwang ini kuat, tentu saja tidak bisa bertahan melawan usia. Wayang beber yang ada tetap dipertunjukkan sehingga pedalang juga sangat berhati-hati memakainya (sampai robek-robek tuh). Hanya saja waktu kami menonton di video itu, pertunjukan wayang beber masih memakai penerangan dari api/tungku. Duuuh kalau sampai lembaran wayang itu tersambar api bagaimana ya….semoga jangan ada kejadian….

Dasar Museum Kertas... jadi tempat duduknya juga dari kertas tuh (kardus). Berempat menyimak pembuatan daluwang/fuya dari video.

Satu kali lagi mataku terbuka akan kebudayaan Indonesia yang hampir punah ini. Memang aku tidak mengerti wayang, tapi merasa ikut senang jika kekayaan budaya yang ada tetap dipelihara dan dijaga (dasar penyuka sejarah…) . Meskipun malu kenapa harus orang asing (orang Jepang) yang melakukan penyelamatan itu, aku bisa mengerti juga bahwa orang Indonesia meskipun mempunyai kesadaran akan kekayaan budaya, masih terantuk pada masalah waktu dan dana, sementara pemerintah yang diharapkan bisa menjaga keutuhan negara kita ini juga masih sibuk dengan urusan lain.