Rasa itu tetap sama -3-

16 Sep

Tanggal 4 Agustus pukul 4:44 pagi hari waktu Jepang (di komputerku tetap pakai waktu Jepang, jadi kalau mau tahu WIB nya tinggal dikurangi 2 jam saja), aku masih kluthekan dengan komputerku. Wah hotel Golden Flower ini asyik bagiku karena koneksi internetnya maknyus, cepat, tentu saja jika dibandingkan dengan rumahku di Jakarta. Jadi aku mengupload semua foto kopdar dan main-main s/d tanggal 3 Agustus. Persis di angka yang cantik itu aku menuliskan sebuah pesan singkat ke nomor HP seorang yang kukasihi. Dia berulang tahun tanggal 4 Agustus. Sebetulnya aku ingin sekali bertemu dengannya. Tapi kami berdua tidak cocok jadwal dan budgetnya. Dia berada di Solo sedangkan aku di Jakarta, padahal dulu dia di Malaysia dan aku di Tokyo. Jarak sekali lagi memisahkan kami.

Dan aku sempat memperbarui status di FBku : ” Di Bandung setengah hari enaknya ngapain ya? Yang pasti No shopping, No eating, No transstudio… nah loh apa yang sisa?”, dan disahut oleh Putri Rizkia : “Braga atau Kawah Putih”. Hmmm sebetulnya sudah sering ke Braga, dan aku tidak senarsis Putri yang bisa bergaya sendirian untuk difoto! hahaha.

Jadi sampai aku check out hotel jam 12 siang, aku belum menentukan mau pergi ke mana. Tapi sebetulnya aku sudah infokan pada Danny a.k.a DM bahwa aku mau mampir ke Kopi Aroma. Dia pernah membawakan kopi Aroma untukku tahun lalu, dan aku suka sekali. Mokka Arabika! Selain itu, aku pernah melihat foto seorang teman dari Jepang yang bergaya di depan tumpukan karung! Maybe… just maybe aku juga bisa melihat pabriknya.

Jadilah kami pergi ke toko Kopi Aroma pukul 1-an. Waaah kecil tokonya. Seperti sebuah kios saja. Memasuki pintu sempit ada seseorang yang sedang berdiri di depan meja kaca berisi jenis biji kopi. Aku sempat mendengar pesannya: “Minta 2 kg Robusta”. Aku sempat keder juga, wah apakah di sini harus membeli partai besar? Sedangkan aku sendiri tidak tahu mau membeli berapa banyak.

Saat itulah seorang Engkoh berbaju coklat berbicara pada Danny, “Mas, ini loh coffee maker dari tahun 1930”. Selanjutnya kuketahui beliau bernama Widya Pratama. “Yang di dekat jendela lebih tua lagi 1920.” Aku mulai memperhatikan perkataan dia, dan melihat Danny mulai memotret peralatan antik itu. Kamera memang aku serahkan pada Danny karena aku harus menggendong Kai yang lagi angot.

“Sukanya apa? Paling enak sih Robusta, ngga bikin perut kembung. Mau minum berapa kali juga ngga apa-apa. Tapi buat laki-laki jangan kebanyakan minum robusta. Kasian bininya.” Meskipun (pura-pura) ngga ngerti aku senyum-senyum aja. “Kopi saya mah ngga bikin kembung, ngga seperti kopi lain yang enak cuma di mulut aja. Soalnya kita tahan kopi itu 8 tahun dalam karung. Harus dalam karung biar mateng. Sini ikut ke dalam….” Waaaaah pucuk dicinta alim ulama ulam tiba. Langsung aku mengikuti pak Widya ke dalam. yattaaaaa.

Karung berisi kopi yang disimpan sampai 8 tahun. Berpose bersama Pak Widya Pratama di depan gudangnya.

Pak Widya masih menjelaskan macam-macam pada Danny, sambil dia memotret dan aku hanya senyam-senyum. Tapi akhirnya dia ajak Kai bicara, dan aku bilang Kai tidak bisa bahasa Indonesia. Sambil bercerita tentang kopi, beliau juga mengatakan bahwa anak-anak harus dibiarkan melihat pekerjaan orang tuanya sejak kecil. Anak itu bisa kelihatan minatnya sejak kecil. Dan dia menambahkan bahwa anaknya sekarang 3 perempuan dan semoga bisa melanjutkan usaha yang sudah turun temurun itu. Tak disangka beliau juga berprofesi sebagai dosen.

Pengolahan kopi mulai dari pemilihan biji kopi, sampai pada penggilannya semua masih memakai alat-alat jaman baheula. Lihat saja listriknya, masih pakai kotak listrik jaman dulu. Tapi meskipun ada mesin hitung dan stapler jaman dulu, tentu saja sudah tidak dipakai lagi. Di dinding juga masih ada poster-posterAroma Kopi  jaman dulu. Ah, di luar saja atapnya masih bertuliskan Paberik Kopi.

tour de Kopi Aroma dipandu oleh bapak Widya Pratama sendiri

Akhirnya aku membeli 2 kg kopi Robusta dan Arabika dan setengahnya digiling kasar karena orang Jepang biasanya memakai filter untuk membuat kopi. Jadi khusus untukku, 1 kg kopi diubah setingannya menjadi giling kasar. 250gram seharga 15.000 (150 yen)  itu murah! Tadinya aku mau beli lebih banyak lagi, sekalian untuk oleh-oleh teman-teman di Jepang, tapi kupikir nanti bisa beli lagi sebelum kami pulang. Aku memang berencana datang lagi ke Bandung waktu Gen bergabung dengan kami….yang akhirnya tidak bisa mampir ke Kopi Aroma, dan tidak terbeli tambahan kopinya hehehe. (Musti ingat kalau mau ke Kopi Aroma ini sebelum pukul 3 siang!)

Tampak luar toko Kopi Aroma dan gedung Sate

Setelah dari Kopi Aroma, kami sempat mampir ke Gedung Sate, dan kemudian kembali ke Jakarta. Dan tentu saja, pulangnya pak supir salah lagi keluar tolnya, sampai muter-muter di daerah bekasi or mana deh aku ngga ngerti abis sudah malam sih hahaha. Yang tadinya bisa sampai jam 7 malam, jadinya sampai di kebayoran jam 9 deh. Dan aku kaget kok  rumahku banyak tamu, rupanya ada sembahyangan rutin di rumah. Ah memang rumahku di jkt itu sering “open house” 😀