Rendezvous

31 Okt

Aku pertama kali berkenalan dengan kata bahasa Perancis ini dari papa. Dia mengajak kami yang waktu itu masih kecil, pergi ke sebuah ice cream parlor di bilangan Blok M yang bernama “Rendez Vous” (kabarnya sekarang pindah ke Pondok Indah). Aku ingat pertama kali makan es krim potong Tutty Fruity di  situ, dan rasanya … hmm heaven (padahal belum pernah pergi ke heaven hihihi). Meskipun sekarang aku tidak bisa recall rasanya seperti apa, karena sudah makan berbagai jenis eskrim yang enak-enak. Masa itu  cuma ada Es krim Diamond, Peters, Swensens dan yang sedikit berkelas ya “Rendez Vous” itu.

Hari Rabu lalu, aku rendezvous alias kencan dengan adikku Tina, yang sudah lama juga tidak bertemu. Dia mau memperpanjang paspornya, karena masa berlakunya hampir habis.  Sebetulnya masa berlakunya habis sama-sama, tapi karena summer lalu aku ke Indonesia, aku perpanjang duluan, sebelum pergi ke Indonesia. Akibatnya tinggal dia sendiri yang harus memperpanjang paspor (lebih tepat disebut mengganti paspor, karena kita menerima paspor baru). Sebelumnya dia sudah email aku, “Mel, temenin gue dong…males nih… ntar gue traktir lunch deh”.

Gara-gara dijanjiin lunch itu ….. eh ngga kok Tin bukan itu alasannya hehehe, kebetulan hari Selasa kosong, jadi aku bisa pergi temani dia. Kami janjian bertemu di stasiun Meguro jam 10.00, sesudah aku antar Kai ke penitipan. Kemudian bersama-sama pergi ke Photo Studio yang bernama Niimiya-kan, untung membuat pas foto. Aku ngotot menyuruh dia membuat foto di situ, karena tidak mau mengulang kegagalanku, membuat foto dengan mesin otomatis yang ada di depan bidang Imigrasi KBRI Tokyo… hasilnya jelek banget (awas kalau ada yang bilang “dari sononya” hahaha). Di situ memang ada mesin otomatis, dengan harga yang relatif murah, hanya 800 yen… Tapiiiiiii hasilnya jelek banget (rugi dong cantik-cantik di foto jadi jelek…berlaku 5 tahun lagi…lama kan?).

Niimiya- Kan 新宮館 03-3441-3923 setiap hari kec minggu dan hari libur dari 9:30 AM-
Niimiya- Kan 新宮館 03-3441-3923 setiap hari kec minggu dan hari libur dari 9:30 AM-

Photo Studio Niimiya-kan ini adalah satu-satunya photo studio di Jepang yang menyediakan background berwarna merah, sebagai syarat foto paspor Republik kita tercinta. Jika tanya Photo Studio lain, pasti akan mendapat jawaban, “Merah??? Negara mana tuh? Di sini cuma ada putih dan biru muda”. Hihihi. Atau bisa juga mengambil foto biasa, kemudian diedit dengan komputer. Tapi hasilnya pasti kurang bagus juga. Karena kita tidak bisa menentukan merah yang mana.

Syarat pas photo yang lain adalah memakai baju putih berkerah. Jadi sebelumnya aku sudah wanti-wanti Tina jangan lupa memakai baju putih. Yang sulit dulu aku selalu pergi mengganti paspor pada musim dingin, sehingga tidak bisa memakai baju putih berkerah tanpa kedinginan. Sedangkan “turtle neck”, baju dengan kerah sampai menutup leher tidak diperbolehkan. Sengsara bener deh.

Kalau kepepet ya apa boleh buat, box foto di depan Imigrasi KBRI Tokyo, 800 yen
Kalau kepepet ya apa boleh buat, box foto di depan Imigrasi KBRI Tokyo, 800 yen

Setelah selesai dipotret, membayar biaya 1700 yen, kami menunggu 3 menit. Setelah itu mulai berjalan ke arah Gotanda Stasion, ke arah  KBRI.  Sembari jalan banyak juga bertemu orang Indonesia, atau orang-orang berwajah Indonesia. Dan memang daerah Meguro ini sering disebut dengan Kampung Melayu, saking banyaknya orang Indonesia dan Malaysia yang bermukim di sini.

Meskipun data lengkap, mengisi formulir juga cukup lama loh!
Meskipun data lengkap, mengisi formulir juga cukup lama loh!

Di pos penjagaan KBRI, kami menyerahkan ID card, berupa kartu asuransi atau SIM. KTP Jepang tidak bisa kami serahkan karena itu akan dipakai waktu mengisi formulir. Kemudian kami masuk ke Bidang Imigrasi KBRI, bertemu dengan Pak Darussalam, petugas bidang paspor. Pak Darus ini sudah lama sekali aku kenal, mungkin termasuk local staff yang terlama yang kukenal. Kami diberi formulir untuk di isi, dan untung aku sudah bilang pada Tina, untuk mencatat RT/RW tempat tinggal di Jakarta, karena dikatakan sedapat mungkin yang lengkap. Bagi yang tinggal di Jakarta, yang tinggal di daerah elit Menteng bukan di gang-gang  misalnya…. apa tahu RT/RW tempat tinggalnya ya? Kok aku ragu hihihi.

bukan...bukan di ITB, tapi depan Imigrasi KBRI Tokyo
bukan...bukan di ITB, tapi depan Imigrasi KBRI Tokyo. Dan berbatik (scarf) loh!!

Sambil Tina mengisi formulir, mulai deh aku iseng foto sana sini…. Dasar narsis! hihihi.

Setelah membayar 2500 yen, sebagai biaya paspor 48 halaman, kami meninggalkan KBRI. Kami harus mengambil paspor itu hari Kamis. Wah pokoknya pelayanan Imigrasi di KBRI Tokyo sekarang sudah lancar deh. Dalam waktu 3 hari paspor baru bisa selesai. Dulu? Musti tunggu minimal seminggu.

Resto Indonesia yang sudah cukup lama berdiri, Sederhana... kalau saya sih mikir dulu untuk masuk ke situ
Resto Indonesia yang sudah cukup lama berdiri, "Sederhana"... kalau saya sih mikir dulu untuk masuk ke situ

Jadilah aku dan Tina makan siang di Meguro, di sebuah restoran Yakiniku bernama Suien, tempat banyak orang Indonesia bertandang untuk makan siang. Dulu menu Lunchnya banyak dan murah. Sekarang tidak begitu banyak, yang murah hanya satu set, seharga 900 yen. Kami bernostalgia di restoran ini, karena dulu sering sekali ke sini dengan teman-teman satu gereja. Salah satunya Pak Nanang T. Puspito, ahli Gempa, temannya Pak Oemar Bakri. Sekarang semua sudah pulang ke Indonesia, atau pergi ke negara lain, tercerai berai. Tinggal kami berdua saja yang tinggal di Tokyo. Merasa sedih juga.

(set yakiniku seharga 900 yen. kanan lidah sapi, 1 piring 500 yen)

Satu yang paling aku suka dari restoran ini adalah…. tidak bau asap.  Biasanya retoran Yakiniku, tidak bisa tidak berasap. Sehingga kita harus siap untuk pulang berbau daging panggang. Tapi di restoran itu memakai sistem pengisapan asap yang terpasang di tempat panggangan. Cara untuk membuktikannya dengan merokok ke arah panggangan. Pasti asap akan lari, diisap ke dalam pangganggan.

Setelah makan siang, Tina ikut aku pulang ke rumah. Ini adalah permintaanku khusus, karena aku mau minta dia mengajarkan Riku bermain pianika. Ya, dari kami empat bersaudara, cuma Tina yang berbakat seni musik. Dia bisa bermain gitar dan piano (selain musik tentu saja bakat olahraga). Jadi ceritanya, pagi hari sebelum Riku berangkat ke SD, dia menangis tidak mau pergi. Katanya, “Aku tidak suka pelajaran musik. Aku tidak bisa bermain pianika (di Jepang namanya kenban harmonika). Apalagi kalau lagunya cepat.” Aku dan Gen berpandangan, karena kami tahu, kami juga benci pelajaran musik (kami berdua tidak bisa bermain musik). Tapi kami terpaksa menasehati, “Riku, semua harus dipelajari. Tidak suka tidak apa-apa. Tapi harus coba pelajari semua. Tidak usah jadi pandai. Mama tidak suruh kamu jadi nomor satu di bidang musik. Setiap orang kan punya bakatnya masing-masing, Mama ngertiiiiii sekali kalau kamu tidak suka musik. Mama juga tidak bisa baca not balok, tidak bisa bermain pianika. Tapi jangan hanya karena tidak bisa, semua pelajaran lain jadi korban kan?”

“Kalau gitu aku pulang saja ya waktu jam pelajaran musik?”
“Wahhh jangan, tidak bisa dan tidak boleh. Tidak bisa, karena Mama hari ini ada janji dengan Tante Titin. Tidak boleh, karena kamu harus ikut semua pelajaran. Gini aja, mama tulis di buku penghubung, minta pada sensei supaya Riku boleh duduk mendengar saja waktu pelajaran musik ya. Pasti sensei bisa mengerti”. Jadi deh aku menulis permasalahannya Riku, yang dia akui, bahwa kalau lagu yang lambat dia bisa memainkan pianika, tapi untuk lagu berirama cepat dia tidak bisa “mengejar”nya. Masalahnya hanya kurang latihan sebetulnya. Tapi aku tidak bisa melatih pianika…wong aku ngga bisa. Jadi aku tulis di buku itu, bahwa nanti setelah pulang sekolah, Riku supaya membawa pulang pianikanya dan berlatih dengan tantenya.

Dengan amanah” itulah Tina ikut pulang ke rumahku, menunggu Riku pulang sekolah, dan mengajarkan dia pianika. Padahal menurut cerita Riku, waktu jam pelajaran musik dia ikut bermain pianika, karena lagunya lagu baru (Yang akhirnya aku berkesimpulan gurunya sengaja mengganti dengan lagu baru, yang semua murid belum bisa, sehingga Riku tidak merasa ketinggalan. Memang karena Riku pernah tidak masuk selama seminggu selama sakit, jadi ketinggalan di pelajaran musik.  Duuuuh Chiaki sensei… I love you deh dong sih.

Untung saja Tina mengajarkan pianika. Ternyata ada juga peraturan cara memakai jari tangan yang benar bagaimana. Kalau aku pasti ajar asal-asalan, yang penting bunyi! hihihi.

berfoto dengan Riku yang sedang ngambek, di depan pintu penitipannya Kai
berfoto dengan Riku yang sedang ngambek, di depan pintu penitipannya Kai

Akhirnya jam 4:30 kami, Aku, Tina dan Riku bersama-sama naik bus, menjemput Kai di penitipan. Senang juga karena Kai masih mengingat Tina, dan panggil “Titin….”. Karena kami jarang bertemu, setelah itu kami “rendezvous” makan takoyaki dan es krim di gedung stasiun deh.

memperhatikan pembuatan takoyaki (octopus ball)
memperhatikan pembuatan takoyaki (octopus ball)

Terima kasih ya Titin…sudah mau mengajar anakku bermain pianika. Untuk yang satu ini aku memang angkat tangan.

Cemburu

30 Okt

Wah kalau udah berurusan dengan kata yang satu ini, hubungan dua manusia bisa runyam deh. Apalagi kalau dibiarkan, yang tadinya kecil…jadi besar besar mengembang dan meletus! Dooorr …. dan akhirnya semua tindakan yang dilakukan akan salah di mata yang cemburu. Entah dia itu perempuan atau laki-laki.

Nah, hari Rabu itu, aku a. g. a. k. cemburu… ngaku nih. Begini ceritanya.

Sudah sejak Jumat lalu, Kai tidak bisa ke “belakang”. Sembelit. Sudah upaya macam-macam tetap tidak bisa. Aku sempat bicara dengan guru di penitipannya, dan mendapat jawaban yang melegakan. “Tidak apa-apa kok bu, ada anak yang memang biasanya siklusnya 4-5 hari”. Tapi aku tahu pasti Kai juga menderita. Jadi aku putuskan kalau Hari Rabu sembelitnya tidak sembuh, aku akan ke RS. Selasa malam…menunggu…menunggu sampai pagi tidak ada tanda-tanda. Akhirnya jam 9 pagi, aku telepon ke penitipan memberitahukan bahwa kami akan terlambat, karena mau ke Rumah Sakit dulu.

Sudah bersiap-siap, kami turun ke bawah, ke tempat sepeda…. Nah saat itu Kai menangis sambil berkata, “Ma…pu pu”. Cepat-cepat deh aku naik lift ke lantai 4, kembali buka pintu dan ke WC. …. Lega deh… (sorry ya pasti ada yang bilang iiiih imelda…ginian aja diceritain hihihi)

Nah karena aku tahu Kai juga senang dan lega, aku peluk dia.
“Untung ya nak…bisa keluar.”
“Mmmmm ” (maksudnya iya)
“Yuk kita pergi…”
Shensei?” (Dia selalu berkata shen-sei bukan sensei… dan entah kenapa memang Kai suka sekali dengan penitipannya, sensei-senseinya)
“Hmmm … Kai sayang siapa? Mama atau sensei?”
“(Sambil liat aku) Shensei..”
“Hah? Kai ngga sayang mama?” Lalu dia cium aku.
Iseng aku tanya lagi, “Kai sayang siapa? Mama atau shensei?”
Lalu dia ketawa… diam
“Ayo …kai sayang siapa? Mama atau sensei?”
“Shensei”… (huh… menyebalkan sekali…. aku jadi teringat kalau pertanyaan yang sama diajukan pada Riku waktu kecil, dia PASTI menjawab Mama)
“Kaiiiiiiiiiiiiiiiiii….. Kai ngga sayang mama ya?”
Lalu dia cium aku lagi…
Gebleknya aku tanya lagi
“Kai sayang siapa? Mama atau sensei?”
“Mama…”
“Nahhhh gitu dong” Sambil aku cium-cium dia.

Betapa memang kita manusia akan bertanya terus pada pasangan kita, siapa yang dia cintai. Seakan tindakan saja tidak cukup. Cemburu. Dan jika tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, kita akan terus bertanya, bertanya, bertanya… sampai mungkin pasangan kita itu muak dan berkata, “Ya aku cinta kamu kok” (padahal karena terpaksa tuh)…. Nah udah dijawab begitu juga biasanya masih marah  tuh kalo cewek!bilangnya… ngga tulus, karena musti ditanya dulu baru bilang…. hahahaha… Susah ya jadi laki-laki. Menghadapi perempuan yang cemburuan (tapi kejadian bisa kebalikan kok, cowonya yang cemburuan)

Kembali ke Kai, aku jadi berpikir saat itu. Memang aku jarang berduaan pergi dengan Kai, istilahnya ‘date’ kencan atau rendezvous deh. Bahkan mungkin tidak pernah! Selalu ada Riku. Sedangkan dengan Riku, aku sering pergi date berdua, makan es krim lah, takoyaki lah….

Jadi aku bilang pada Kai,
“Kai… mama to isshoni tabeni ikou ne… (Kai pergi makan sama mama ya?)”
“Ikou… (mari pergi)”
Cepat-cepat aku telepon penitipan dan membatalkan pergi ke sana hari ini. Aku mau ‘date’ kencan dengan anak kedua ku.

Akhirnya kami berdua jalan ke famires (Family restoran) dekat rumah. Dan menikmati date berdua. Sambil makan dia senderan ke aku, dan sesekali aku minta dia cium pipiku. Sayangnya, dia tetap tidak mau makan sayur yang kupesan. Kai memang tidak suka sayur, lain dengan Riku yang hobby makan sayur. Susah deh…gimana ngga mau sembelit kalau gitu? Akhirnya sebelum pulang ke rumah, aku dan Kai mampir ke toko konbini (convinient store) untuk membeli jus sayur dan buah.

Hilang deh cemburuku hari itu.

(Terima kasih pada Eka yang saking kepikirannya ikut membantu aku mencari artikel tentang sembelit. di sini :

http://papadanmama.com/2009/10/bagaimana-mengatasi-anak-susah-buang-air-besar-bab/ )