Akhirnya dia datang!

3 Feb

Yang pasti Riku sudah lama menunggu-nunggu kedatangannya. Ingin sekali Riku memeluknya, menggenggamnya, dan bermain dengannya. Terbayang dirinya yang lembut menawan, putih seputih kapas. Memang “dia” agak dingin tapi kehadirannya membuat hangat di hati… paling tidak untuk Riku.

Ya, Riku sudah lama menantikan salju. Tapi siang hari Senin lalu (1 Februari) hanya hujan yang turun. Aku tahu dari ramalan cuaca, tapi aku pikir baru senja hari, jadi aku tidak mengecek apakah Riku sudah membawa payung atau tidak. Padahal sejak pukul 1 siang, hujan yang dingin membasahi bumi. Sekitar jam 2:30 kulihat keluar, hujannya tetap deras… Wah pasti Riku pulang kebasahan dan kedinginan. Jadi sekitar jam 2:45 aku membawa payung Riku dan menuju sekolahnya untuk menjemput dia. Tahu-tahu di tengah perjalanan aku melihat sosok Riku memakai payung transparan berjalan terseok-seok karena membawa tas lain, sementara tangan satunya memegang payung. Rupanya bapak pembantu penyeberang jalan yang baik itu memberikan payungnya pada Riku, begitu dia melihat Riku tidak pakai payung. Ahhh kebaikan bapak itu memang terpancar dari mukanya.

Karena toh aku sudah membawakan payung Riku, jadi kami mengembalikan payung si Bapak sambil mengucapkan terima kasih, baru pulang ke rumah. Aku masih harus bersiap-siap untuk mengajar malam ini. Ya, mulai hari ini setiap senin malam sebanyak 5 kali, aku harus menggantikan guru bahasa Indonesia di Kursus Orientasi Bahasa Indonesia (KOI) , sebuah kursus yang diselenggarakan oleh KBRI bekerjasama dengan Japinda (Japan Indonesia Association) yang diadakan di Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Karena tidak ada yang menjaga anak-anak di rumah, maka anak-anak aku bawa ke SRIT itu dan aku biarkan mereka bermain selama aku mengajar 2 jam di situ.

Untuk itu aku perlu mobil, karena sulit membawa anak-anak dan barang naik kereta dan bus sampai ke Meguro. Dan sebetulnya ini merupakan kali pertama aku menyetir mobil yang baru kami beli. Temanku menanggapi kerisauan aku mengatakan, “Kan menyetir mobil apa saja sama saja”. Ya memang, tapi tidak bisa dipandang enteng jika mobil sebelumnya adalah buatan eropa dan manual, sementara mobil yang sekarang buatan Jepang dan otomatis. Stang sign yang terbalik letaknya (kiri menjadi kanan) juga stang lampu dan wiper. Karena itu aku ingin pelan-pelan saja perginya supaya terbiasa (jangan menimbulkan kecelakaan), sehingga aku memutuskan berangkat jam 4 sore.

Dalam hujan aku menjemput Kai di penitipan, dan langsung menuju ke arah Meguro. Untung jalanan tidak begitu ramai dan kami bisa sampai jam 5 di SRIT. Sementara di luar hujan deras, aku menitipkan Kai pada Mbak Ayu dan mengajar mulai pukul 6:30. Dasar Kai manja jadi kira-kira pukul setengah 8 dia menangis dan terpaksa aku mengajar sambil menggendong dia. Kai seperti koala banget saat itu, diem nempel di dadaku.

Nah, giliran sudah selesai ngajar, jam 8:40 malam lihat ke luar mulai terlihat salju turun. Salju pertama di Tokyo pada tahun 2010. Aku sempat mencatat tahun 2008 pada tanggal 3 Februari juga turun salju, jadi salju di Tokyo turun setelah 2 tahun tanpa salju. Melihat salju mulai deras aku cepat-cepat menyuruh anak-anak naik mobil, karena aku ingin sampai rumah cepat, sebelum salju menumpuk. Terus terang aku takut menyetir dalam hujan salju karena belum pernah. Setahuku di daerah bersalju seperti di Niigata, ban mobil harus diberi rantai supaya pakem mencengkeram jalanan bersalju. Kalau tidak pakai rantai akan mudah slip.

Memang karena Meguro di dalam kota, masih hangat dan salju tidak menumpuk, tapi menjauh sedikit butiran salju semakin banyak dan deras, dan anehnya kecepatan mobil juga otomatis tidak bisa lebih dari 60 km/jam. Aku selalu senang menguntit mobil besar, karena berarti salju juga “terbawa” oleh mobil besar itu, dan aku tidak perlu “membuka” jalan. Tapi 3-4 km mendekati rumahku, mobil semakin sedikit, jalanan semakin putih sehingga aku mengurangi kecepatan dan sedapat mungkin mengerem dari jauh.

Waktu kami sampai di rumah, Gen sudah pulang dan menyambut kami dengan lega. Aku hanya sempat mengirim sms bahwa kami di tengah jalan waktu lampu merah yang cukup lama. Pesan sponsor: Jangan pernah menelepon atau menulis sms sambil menyetir. Apalahi menyetir sesudah minum minuman keras. Bahaya! DON’T DO THAT.

Pemandangan dari teras rumah kami di pagi hari pukul 6:26.... Membuat ingin kemulan terus.

Well karena sudah jam 10 malam tidak sempat bermain salju dan mau memotretpun tidak bagus hasilnya. Jadi aku sempatkan memotret pemandangan fajar, pagi hari …sudah siang sih pukul 6:26 dari apartemen kami. Atap putih semua. Dan mobil semua tertutup salju. Menurut televisi, Tokyo ditutupi salju setinggi 1 cm, tapi karena daerahku adalah desa dalam Tokyo, sepertinya sekitar 5 cm deh.

Untung saja saljunya berhenti turun waktu kami bangun tanggal 2 pagi. Aku sempat bermimpi menerima telepon yang mengatakan bahwa sekolah ditutup karena hujan salju hehehhe. Jadi tanggal 2 pagi Riku dengan gembiranya pergi ke sekolah, sementara papanya manyun karena harus pergi naik bus. Berbahaya menyetir dalam keadaan tertutup salju soalnya. Dan aku juga akhirnya membatalkan penitipan Kai untuk kemarin.

Deretan mobil di parkiran kami yang tertutup salju. Supaya tidak patah, batang wiper lebih baik diberdirikan.

Salju memang indah, dan merupakan pengalaman yang mendebarkan bagi orang Indonesia…. Tapi jika sudah banyak dan sering seperti teman-teman di daerah utara Jepang, menjadi muak setiap musim dingin tiba. Apalagi kalau salju itu sudah bertumpuk sampai setinggi langit-langit. Terpaksa harus keluar rumah dari lantai dua deh. Tadi pagi saja aku sempat sebal karena tanganku membeku waktu membersihkan kaca mobil dari salju yang sudah membeku. Akhirnya aku berdua Gen membasahi seluruh kaca dengan air hangat, sehingga Gen bisa berangkat ke kantor naik mobil lagi. Kalau jalanan sih sudah bersih dari salju dan sudah bisa lewati lagi.

Lihat betapa tingginya salju menutupi kuil. Berdiri di depan adalah kakek buyut keluarga Miyashita, harus menyerok salju dari atap supaya tidak rubuh.

Mau lihat salju? Bukalah lemari pendingan “freezer” dan di kotaknya ada seperti serutan es? Ya seperti itulah salju meskipun waktu turun memang halus. Menurut ahlinya, butiran salju (disebut kristal) yang turun itu mempunyai banyak bentuk partikel tapi yang pasti bentuk dasarnya adalah segi enam.

Kristal salju, semuanya pasti segi enam. Foto diambil dari wikipedia Jepang.

Kopdar Fesbuker

4 Nov

Hihihi, biasanya kalau kopdar pasti chatters atau bloggers atau insan radio/TV ya? Semuanya akrab lewat jaringan udara, jaringan televisi, atau jaringan internet. Jadi sebetulnya anggota segala macam SNS (Social Networking Site) macam fesbukers, plurkers, twitters, kalau bertemu di real namanya juga kopdar dong ya?

Hari Jumat yang lalu aku libur mengajar, karena di Universitas sedang persiapan Festival Universitas (semacam bazaar). Jadi  aku bisa bertemu Whita, yang juga tinggal di Tokyo. Kami berkenalan lewat TE (tapi Whita tidak punya blog sendiri, sehingga tidak masuk kategori blogger) kemudian menjadi teman di Fesbuk.  Nah, waktu aku menulis bahwa aku sedang di KBRI bersama adik saya memperpanjang pasport, dia mengatakan…. tahu begitu kan bisa pergi sama-sama. Kebetulan aku bermaksud akan mengambil paspor adik yang sudah jadi pada hari Jumat, sehingga aku menghubungi dia. “Ayo sama-sama ke KBRI besok!”

Kami bertemu di Stasiun Meguro pukul 10 lewat. Langsung saling mengenali, selain sudah tahu muka lewat foto, satu “identitas” yang langsung tertangkap adalah…kami berdua memakai scarf batik! (Hidup Batik Indonesia! ayooo jangan melempem  pake batiknya. Tapi terus terang aku cuma punya scarfs)

selalu berfoto di mana saja, termasuk waktu nunggu di Imigrasi KBRI
selalu berfoto di mana saja, termasuk waktu nunggu di Imigrasi KBRI

Perjalanan rute kami sama dengan waktu aku mengantar adik, ke foto studio, lalu ke KBRI. Itu mah sudah tidak usah diceritakan lagi. Tapi aku ingin ceritakan acara kami sesudah itu. LUNCH! (ngga jauh-jauh dari makanan hihihi).

“Mau makan apa? ”
“Apa saja”
Cuma kali ini aku yang tidak punya banyak waktu karena aku harus berada di rumah jam 2:30 siang, karena Riku pulang jam segitu. Jadi kami memilih pergi ke restoran Sushi “berputar”, Kaiten Sushi. Tentu saja kami memilih resto ini karena cepat, enak, dan bisa makan sedikit. Sama sistemnya seperti restoran Padang, hanya membayar apa yang dimakan saja.

Begitu masuk restoran kami dipersilahkan duduk di salah satu pojok sebuah counter yang besar. Di depan kami terdapat ban berjalan yang mengantarkan piring-piring kecil berisi berbagai macam sushi, nasi kepal dengan potongan ikan mentah, setengah matang (aburi) dan matang (seperti udang rebus). Kami tinggal mengambil piring yang kami mau dan makan. Tapi waktu mengambil piring, biasanya kami melihat corak/warna piringnya, dan melihat ke dinding resto yang memasang jens piring beserta harganya. Harganya bermacam-macam dari 160 yen, 200-an, 300-an, 400-an dan termahal 500-an.

Ikan Buntal Goreng
Ikan Buntal Goreng

Ada beberapa yang “aneh” yang kami makan (baru makan pertama kali)  termasuk di antaranya Ikan Buntal Goreng (Ikan Fugu yang beracun itu loh), pernah saya tulis di sini. Sambil makan kami sibuk memotret dan mengirim ke handphone masing-masing.

Nah, yang menarik adalah waktu akan membayar. Biasanya di resto sushi berputar yang lain, kami menumpukkan piring sesuai dengan warnanya, misalnya merah (160-an) , hijau (200-an) dst. Si petugas resto akan mencatat warna masing-masing serta menjumlahkannya dalam kertas, dan kami bawa kertas itu ke kasir untuk membayar.

pakai alat scanner yang ditaruh di atas tumpukan piring
pakai alat scanner yang ditaruh di atas tumpukan piring

Tapi ternyata, resto sushi yang ini amat  canggih . Kita cukup menumpuk piringnya tak beraturan. Si pelayan membawa alat scanner sebesar remote control, lalu diarahkan ke atas piring teratas. Pit pit… lalu kami diberi sebuah alat mirip kalkulator kecil tanpa angka/tombol apa-apa. Wahhh bukan kertas pula! Jadi ingat beeper (yang berfungsi memanggil jika makanan sudah jadi) yang ditulis oleh Pak Oemar di sini.

Tertulis Piring ini tidak boleh dimasukkan microwave
Tertulis "Piring ini tidak boleh dimasukkan microwave"

Alat itu rupanya merekam harga yang tercantum di chips di piring yang kita makan. Begitu kita menyerahkannya pada kasir. Alat itu didekatkan pada suatu reader, dan keluar harga yang kita mesti bayar di display mesin kassa. Canggih! Tanpa kertas…

Membawa alat kecil seperti kalkulator ke kasir (plus uang tentu saja hihihi)
Membawa alat kecil seperti kalkulator ke kasir (plus uang tentu saja hihihi)

Kami berdua terheran-heran …sempat aku tanya sih tentang cara kerja alat pembaca chips di piring itu. Tapi karena restoran itu mulai sibuk dengan tamu-tamu yang mau lunch, terpaksa aku tidak bisa memotret alat reader itu dengan detil.

scanner yang dipakai di kantong belakang pelayan
scanner yang dipakai di kantong belakang pelayan

Akhirnya kami menutup cara kopdar hari itu dengan minum kopi di Tully’s Coffee (saingannya Starbuck) dengan saran aku Hazelnut Cappucino… yummy. Waktu masih kerja sebagai DJ di Radio, ada gerai Tully’s dekat studio, sehingga hampir setiap aku rekaman, pasti mampir situ. Adicted banget sampai beli Hazelnut siropnya untuk dicampur setiap minum kopi. Jadi gemuk deh…kan gula itu hihihi.

Kami berpisah di peron Yamanote line, dengan janji akan buat pesta bakso di rumah. Nanti cari waktu ya Whit…atau natalan juga bisa…cihuy.. (kayaknya masih lama deh tuh hihihi)