Musim dingin tahun ini rupanya memang dingin sekali. Kemarin aku mendengar dari muridku bahwa ada temannya dari Sapporo mengatakan bahwa Tokyo dingin! Padahal semestinya Sapporo jauuuh lebih dingin dari Tokyo, karena letaknya lebih di utara Jepang. Tapi aku mesti bersyukur bahwa Tokyo tidak seperti tempat-tempat di daerah pesisir Laut Jepang yang bersalju sampai 2, 5 meter! Atau kalau membaca status teman-temanku di Belanda yang menggerutu karena di sana minus 6 derajat saja.
Karena dingin dan kering, virus influenza mudah menjalar ke mana-mana. Dan akibatnya tadi waktu pulang sekolah, Riku menyerahkan surat pemberitahuan bahwa kelas dia, kelas 3-2 ditutup mulai besok sampai hari Minggu 学級閉鎖. Dikarantinakan karena ada 5 murid yang positif mengidap influenza. Tindakan pengliburan kelas ini biasa dilakukan pihak sekolah untuk mencegah mewabahnya penyakit menular kepada seluruh warga. Bahkan jika banyak kelas yang diliburkan, bisa jadi satu sekolah akan diliburkan 学校閉鎖.
Aduuuh langsung terbayang aku harus mengurus dua anak yang kerjanya bertengkar, menonton film terus (berarti aku tidak bisa konsentrasi menulis) dan menyiapkan makan untuk mereka. Bayangin 4 hari! huhuhuhu. Nah…. masalah pertama sudah timbul tadi sore. Aku mau pergi ke supermarket untuk mengambil air minum, tapi tidak dibolehi oleh Riku! Untung aku sudah prepare bahan masakan daging-dagingan untuk 4 hari-an, dan masih bisa beli online.
Ya, terus terang, anak-anakku sekarang menjadi penakut! Padahal sebelumnya sudah bisa aku tinggal sendiri, tapi sekarang tidak bisa! Mulai sekitar 10 hari lalu, ketika di berita televisi mulai disiarkan : “Gempa bumi dasyat tepat di bawah Tokyo akan terjadi dalam EMPAT tahun ini dengan kemungkinan 70%”… Hiiii ngeri. Tadinya kemungkinan 70% itu dalam jangka waktu 30 tahun, sekarang menciut jadi 4 tahun. Jelas anak-anak yang mendengar ini jadi ngeri. Mereka sama sekali tidak mau tidur sendiri, atau kalau mereka sedang di kamar makan, dan tiba-tiba sadar aku tidak ada, akan berteriak, “Mamaaaaa…” Dan tentu saja aku harus langsung menjawab. Pernah aku mau mandi, tidak bisa karena Kai terus ngintil (ngikut) aku. Kalau dalam keadaan biasa, aku sering mandi bersama anak-anak, tapi kalau sedang kedatangan “tamu bulanan” tentu saja tidak bisa. Terpaksa aku tidak mandi!
Prediksi gempa akan terjadi dalam 4 tahun juga membuat kami was-was. Aku langsung memeriksa persediaan nasi jadi untuk darurat, air mineral, alumunium sheet untuk menghangatkan badan, lampu senter dan persediaan batere, kairo, dll. Dan ini juga alasan kami untuk tetap tidur bersama, berempat dalam satu kamar. Setidaknya sampai 4 tahun ke depan.
Yah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dalam 4 tahun ke depan. Yang pasti untuk 4 hari ke depan, aku harus lebih kuat dari biasanya 😀 Sepertinya TE tahun ini akan dipenuhi angka 4 deh hehehe.
“Papa, tadi aku pergi keluar pakai masker seperti papa loh. Ukurannya kecil”
“Tapi mama ngga pake masa…. Ngga boleh kan ya?” Sambil melirik aku.
dan aku buang muka menahan tertawa… duuuuh Tukang Ngadu loe!
Udah tukang Ngadu, cerewet lagi….
dalam mobil….
Kalau santai, jalan lurus aku sering biarkan tangan kanan saja yang memegang setir. Menurut peraturan (ntah peraturan dari mana) setir harus dipegang dengan dua tangan, untuk menghindari hal-hal yang bisa terjadi mendadak. Dan….
“Mama, ayo tangan kiri pegang dong…” Dan Si Cerewet mengambil tangan kiriku untuk meletakkan di setir. Dia bisa berbuat begitu karena dia duduk di kursi penumpang sebelahku.
“Iya… maaf. Ngga boleh ya begini”
“Iya…kan bahaya….”
diam….
“Ah aku suka sekali hari ini bisa kencan sama mama, di mobil”
dan memang dia hanya boleh duduk di depan, kalau cuma pergi berdua denganku. Di Jepang, anak-anak tidak boleh duduk di depan, apalagi tanpa child seat sampai dengan usia 6 tahun. Ada child seat yang tidak boleh dipasang di tempat duduk depan, terutama bagi bayi. (Takutnya balon ABS akan membuat bayi mati tidak bisa bernafas). Tapi karena child seat kami sudah untuk usia 4 th-an, jadi aku berani menaruh di tempat duduk depan.
Hari Senin lalu, Gen sakit sehingga tidak ke kantor. Dengan alasan menjaga papanya, Riku tidak ikut pergi ke Meguro seperti biasanya kalau aku mengajar. Tapi Kai, “Aku mau ikut mama…” Jadi aku pergi berdua dengan Kai.
Selasa pagi, Gen harus ke kantor karena ada ujian masuk. Untung saja sudah tidak demam, jadi cukup berbekal masker dan obat. Jam 10-an pagi aku ditelepon gurunya Riku yang mengatakan bahwa Riku menggigil dan waktu diukur suhu badannya ada 37,6 derajat (batas demam itu 37,5). “OK bu, saya akan jemput dia sekarang juga”. Sebelumnya aku sudah telepon penitipan Kai membatalkan hari ini karena dia bilang perutnya sakit. Jadi aku ajak Kai menjemput Riku. Karena dia ingin pakai masker, aku mengeluarkan masker kecil khusus untuk anak usia 1-6 tahun. Bangga banget deh 😀
Sampai di rumah Riku tidak mau ke dokter. Dan aku pikir asal dia mau tidur dan istirahat biar saja, besok baru ke dokter. Memang pediatric di RS dekat rumah kami hanya ada pagi hari. Jadi boleh dibilang satu hari selasa itu Riku tidur terus. BUT… aku mulai merasa badanku aneh. Pegal-pegal meskipun tidak demam. Tapi menggigil… nah loh! Pasti aku kena juga. Jadi aku cepat-cepat mengirim email ke murid-muridku yang rencananya tgl 3 akan datang ke rumahku untuk pembatalan. Dan aku ikut tidur di samping Riku. Memeluk Riku yang panas sementara badanku sendiri menggigil. huh.
Rabu, 2 Feb, Gen ijin bolos kantor untuk mengantar anak istrinya ke dokter. Masing-masing dengan keluhan dan diagnosa yang berbeda. Tapi aku senang dokter pediatric yang memeriksa kami adalah Dokter Saito, yang juga merupakan dokter kepala di RS itu. (Ih imelda itu kadang suka ngga percaya kepintaran dokter-dokter sih, abis kadang diagnosanya ngga meyakinkan gitu sih. Kalau dokter Saito ini hebring, tanpa ragu deh).
Riku menjalani test influenza, dan langsung ketahuan hasilnya Influenza tipe A, dan kemungkinan besar influenza jenis baru yaitu H1N1 (80% penderita influenza adalah influenza baru ini).
Kai demamnya tidak pernah melewati 38 derajat, dengan keluhan perut sakit, muntah karena batuk dan pilek. Jika demamnya bertambah, maka bisa dipastikan influenza juga, kalau tidak mungkin cuma Noro Virus (flu perut).
Imelda demamnya saat itu juga tidak melewati 38 derajat, keluhan muntah karena batuk, dan pensendian sakit. Mungkin sesudah ini akan naik demamnya, maka kemungkinan besar influenza. Sementara karena batukku memang parah dan sering muntah, aku divonis microplasma. Tapi dokter secara sambil lalu menyebutkan jika aku demam tinggi bisa minum obat tamiflu yang diberikan pada Riku. (obat untuk anak-anak gratis, tapi aku harus bayar….. hihihi, baik banget kau dokter)
Jadi deh rumah Nerima seperti rumah sakit, setelah dari dokter aku tidur terus karena tulang sakit, dan seperti perkiraan dokter demamku juga naik sampai 39. Riku sendiri sudah turun demamnya hari kamis kemarin, dan Kai masih batuk. Gimana mau sembuh si Kai, dia tidak mau minum obat puyernya sih (dan aku terlalu lemah untuk memperhatikan apakah anak-anak sudah minum obat atau belum….). Tapi selain batuk, dia genkiiiiii (sehat) sekali…..
Untung saja Gen meliburkan diri, sehingga paling sedikit anak-anak terjamin makannya (meskipun dapur penuh piring dan panci kotor). Karena Gen bekerja di universitas, dia juga tidak boleh kerja sebelum anggota keluarga yang terkena influenza itu sembuh. Kelas Riku juga ditutup gakkyu heisa 学級閉鎖 sejak tanggal 3 kemarin karena lebih dari 7 anak kena influenza.
Wah, sudah Jumat, Imlek juga sudah lewat. Aku menuliskan tulisan yang tertunda-tunda ini sambil makan pagi untuk minum obat. Masih sakit tulangnya, masih sakit kepalanya, jadi tidak bisa berlama-lama di depan komputer. Maaf belum bisa blogwalking. Selamat Imlek untuk yang merayakan. Selamat hari Jumat untuk yang merayakan. Selamat berakhir pekan untuk yang berakhir pekan. Salam dari deMiyashita yang sedang sakit.
Pagi hari Riku mengeluh kaki dan tangannya sakit. Aku ukur suhu badannya tidak demam, hanya 36,5. Ah pasti dia cuma mau bolos. Tapi, kemarin dia juga mengeluh kakinya sakit, sampai dia manja minta aku antar dia ke sekolah. Meskipun terlambatpun dia maunya pergi sama aku. Akhirnya kami sampai di sekolah pukul 8:30 persis anak-anak sudah menyiapkan pelajaran pertama, tapi guru belum ada karena selalu ada “pengarahn pagi” setiap pagi.
Karena kemarin dia juga mengeluh begitu, dan menurutnya hari ini yang sakit lutut, tangan (siku) dan dagu, juga tenggorokan. Hmmm, mengingat kondisi sekolahnya yang sedang banyak murid sakit influenza, dan sakit di pergelangan merupakan tanda-tanda influenza, maka aku dan Gen putuskan supaya Riku tidak ke sekolah. Aku pergi mengantar buku penghubung (berisi sebab kenapa tidak masuk) ke sekolah dan Kai ke penitipan, sedangkan Gen mengantar Riku ke dokter.
Rupanya pas dia sampai di RS dan diukur demamnya ternyata sudah 38,1 derajat. Wah! Oleh dokter dia langsung mengikuti test influenza. Hasilnya negatif, jadi bukan influenza. Tapi, jika besok masih demam, maka harus ke RS lagi untuk ditest lagi.
Yang mengejutkan waktu ambil obat di apotik, di pintu apotik tertulis, pasien atau keluarganya yang positif atau dicurigai mengidap influenza, jika mau mengambil obat influenza tidak boleh masuk ke dalam apotik, harus lewat pintu belakang, mengebel dan petugas akan ambil resepnya di luar. Tentu hal ini untuk mencegah penyebaran influenza terhadap pasien lain. Apalagi virus H1N1 ini menjadi “mematikan” pada pasien penyakit lain. Ada berita bahwa ada anak kecil berusia 4 tahun meninggal, karena virus ini bertambah ganas karena dia menderita pnemonia. Juga ada yang meninggal karena virus ini mencapai otak. Duhhhh… Kelihatan memang seperti paranoid, sampai di setiap sudut ada alkohol gratis segala, tapi memang kalau sudah terinfeksi, akan sulit ditanggulangi.
Jadi hari ini aku merawat Riku yang berada di rumah. Karena bosan tidur terus, aku sempat memberi ijin dia untuk menonton TV selama 1 jam di sore hari. Sesudah itu aku ajak tidur lagi, karena dia tidak mau ditinggal kalau aku jemput Kai di penitipan. Aku bohongi dia bahwa aku ngantuk mau tidur, dan kalau sudah bangun akan pergi sama-sama jemput Kai. Begitu dia tertidur, aku langsung cepat-cepat naik sepeda dan menjemput Kai, membeli es krim (di sini es krim boleh diberikan pada anak demam dengan tujuan menurunkan panas) dan pulang. Untung saja Riku masih tidur. Sedangkan si Kai panggil-panggil “Kakak…kakak”… “Sssshhh kakak bobo!” “Bobo?” dengan lirih Kai ikut berbisik. Duhhh gemes!
Dan…. waktu aku ajak Riku dan Kai tidur malam harinya, pertanyaan itu keluar dari mulut Riku.
“Mama… Riku akan jadi kakek juga ya?”
“Iya dong Riku…semua manusia kan jadi tua. Mama juga jadi nenek, Riku juga jadi kakek.”
“Jadi Riku juga akan mati dong?”
“Iya …kan manusia pasti akan mati” ia mulai menangis.
“Loh kenapa Riku?”
“Ya kalau mati kan ngga bisa main lagi, ngga bisa pergi-pergi lagi. ”
“Yah…namanya manusia…. memang harus mati. Kecuali benda, kalau benda tidak mati. Manusia, hewan, tumbuhan semua mati”
“Kalau begitu buat apa aku hidup? Aku lebih baik jadi benda saja”
“Kalau Riku jadi benda, Riku tidak bisa punya pikiran seperti tadi (hmmm susah nih). Riku tidak bisa bertemu dengan papa, mama. Karena Riku tidak bernafas, tidak bisa makan, tidak minum….”
“Manusia diberi kehidupan oleh Tuhan. Diberi nyawa. Karena itu kita harus bersyukur pada Tuhan. Memang dengan “hidup” itu kita merasakan senang, tapi juga susah. Merasakan sehat tapi juga sakit. Nah seperti Riku sekarang, Riku sakit kan? Dan saat sakit, ingin segera sembuh, dan merasa ingin sehat. Jadi bersyukur pada “rasa sehat” itu. Kalau Riku tidak sakit. Riku tidak bisa menghargai sehat itu gimana. ”
Sambil aku bercakap-cakap begitu dengan Riku, Kai ganggu terus. Ganggunya dengan tidur di atas Riku…mau manja. Terpaksa aku angkat dia, karena Riku sulit bernafas. Lalu aku tanya “Kai sayang Riku?” Duhhh si Kai langsung mencium pipi Riku…. how sweet.
“Riku tuh Kai aja sayang Riku. Mama juga sayang Riku. Mama melihat Riku begini, demam dan lemas begini. Rasanya mama mau minta penyakitnya Riku supaya masuk ke badan mama aja.”
“Kenapa? ”
“Biar mama aja yang sakit, dan Riku bisa sehat, nonton TV, makan yang enak….” Dia menangis terisak-isak…
“Loh kenapa?”
“Kok mama yang musti sakit?”
“Riku…. mama dan papa sayang Riku. Orang tua sayang anak-anaknya. Dan sedih kalau anak-anaknya sakit. Papa dan mama akan berusaha supaya Riku dan Kai jangan sakit, biar papa dan mama saja yang sakit.”
Aku juga tidak bisa menahan air mata, karena melihat Kai mengelus-elus kepala Riku yang sedang menangis. Memang dari sejak bayi Kai selalu ikut menangis kalau Riku menangis. Uhhh… bahagianya mempunyai dua anak yang mau saling mengasihi. Dan Kai juga melihat mataku yang berair, lalu berkata sambil memegang pipiku yang basah, “Mama… me (mata)”
“Iya Kai… ini namida (air mata)”
Sambil aku ganti popoknya Kai, aku lanjutin lagi deh kotbahku 🙂
“Riku dulu juga waktu kecil begini. Riku kan lihat waktu Kai lahir…. Kecil, tidak bisa apa-apa. Sekrang? jadi nakal begini. Riku juga sama. Mama tahu dulu Riku waktu lihat Kai lahir, Riku tidak suka sama Kai kan?”
Dia mengangguk.
“Karena Riku pikir mama dan papa akan lebih sayang sama Kai. Tapi ngga kan? Mama papa tetap sayang Riku. Malah sekarang Kai juga sayang Riku kan? Riku musti senang punya papa, mama, dan Kai. ”
Sambil aku belai kepala Riku, “Manusia itu lahir, jadi besar, SD, SMP, SMA, Universitas…. menikah, punya anak….jadi tua…lalu mati. Memang sudah begitu. Riku ingat juga kan film Lion King. Simba yang kecil …bapaknya mati…. trus Simba kecil jadi Raja trus punya anak namanya Simba juga. Namanya Circle of Life… memang harus berputar…” Uh mulai sulit menjelaskan tapi aku lihat dia mulai mengantuk. Dan Kai juga ingin dibuatkan susu.
Sekembalinya dari membuat susu, kudapati Riku sudah tidur. Kai menunggu susu, dan minum sambil tiduran. Aku berbaring di sebelah Kai, sambil pura-pura tidur. Karena aku lhat mata Kai juga mulai merem-melek. Tiba-tiba Kai berbalik menghadap aku, dengan muka tengadah, mata merem. Duuuh lucu sekali. Tanpa sadar aku tersenyum lebar, berpikir dia sudah tertidur. Tahu-tahunya dia melihat aku tersenyum, dan ikut tersenyum….dan akhirnya kami berdua tertawa terbahak-bahak sambil berpandangan. Duuuh kapan tidurnya dong. Aku mulai pura-pura tidur lagi, dan akhirnya si Kai tertidur lelap.
Banyak air mata tumpah malam ini, tapi aku melewati malam yang sangat membahagiakan…. bisa berbincang dengan ke dua anakku. Semoga demam Riku turun….ataupun kalau besok masih demam, semoga bukan influenza, hanya masuk angin biasa.
Memang akhir-akhir ini di Jepang ada berita tentang sekolah yang ditutup, terutama SD, karena tidak ada muridnya. Ini merupakan imbas dari jumlah anak atau kelahiran di Jepang yang semakin sedikit, sehingga terpaksa untuk daerah tertentu yang jumlah murid usia SD nya tidak ada/sedikit sekolah ditutup atau dihentikan.
Tapi kali ini yang ingin saya bahas bukan penutupan sekolah secara permanen, tetapi hanya sesaat (temporary) dan merupakan keadaan darurat sehingga terpaksa ditutup. Istilahnya memang “Penutupan Sekolah” 学校閉鎖 gakkou heisa. Tapi mungkin untuk orang Indonesia bisa dipakai istilah “Meliburkan satu sekolah”. Dan mungkin di Indonesia tidak ada kebijakan ini, yang ada mungkin karena terpaksa, seperti yang terjadi di daerah yang menjadi korban bencana.
Di Jepang kebijakan penutupan sekolah ini ada dan terpaksa diambil sebagai tindakan untuk mencegah penyebaran penyakit atau wabah yang kemungkinan akan meluas melalui kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Dua tahun yang lalu saya pernah mengalaminya di universitas akibat penyakit hashika (measles) yang melanda mahasiswa universitas. Konon angkatan tersebut waktu kecil tidak mendapatkan vaksin hashika, sehingga tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit hashika. Measles pada orang dewasa ini dikhawatirkan bisa tersebar melalui kegiatan pembelajaran, sehingga banyak/ hampir semua universitas meliburkan kegiatan kuliah selama 2 minggu.
Nah, dengan adanya influenza jenis baru, yaitu virus H1N1 atau yang disebut juga dengan flu babi, sudah banyak sekolah yang menutup/meliburkan sekolahnya terutama di daerah Kansai ( daerah sekitar Osaka, Kobe, Kyoto) Jepang barat. Dan hari ini (tanggal 19 Oktober) aku tercenung waktu menerima selebaran pemberitahuan dari sekolahnya Riku bahwa kelas 5, seluruh kelas dan kelas 6-1 ditutup/diliburkan sampai dengan tanggal 23 Oktober nanti. Meliburkan kelas lima keseluruhan disebut dengan Gakunen heisa 学年閉鎖 dan satu kelas 6 saja disebut dengan gakkyuu heisa 学級閉鎖. Memang tidak dikatakan akibat virus jenis baru ini, tapi memang di 3 kelas 5 sudah ada 8 orang terkena influenza dan demam seperti influenza diderita oleh 14 orang. Untuk kelas 6-1 ada 2 orang yang terkena influenza dan 5 orang demam.
Akhirnya….sampai juga di sekolah/daerah kami. Semoga penutupan kelas ini tidak menyebar atau memburuk dengan harus meliburkan satu sekolah 学校閉鎖. Akibat penutupan kelas ini, kegiatan sore hari di sekolah juga dibekukan, sehingga otomatis anak-anak langsung pulang, dan menghabiskan waktu di rumah saja. Waaaah aku pikir, kalau sampai Riku musti libur…bagaimana nih dengan kerjaanku. Semoga ngga deh (Sambil membayangkan ibu-ibu murid kelas 5 dan 6-1 yang harus ‘melayani” anaknya di rumah sampai Jumat …duh…)
Padahal persis hari ini (tanggal 19 Oktober), di seluruh Jepang diadakan penyuntikan vaksin anti virus H1N1 yang diproduksi Jepang. Memang jumlahnya masih terbatas (1 juta orang), sehingga yang saya dengar dari berita, vaksin terutama diperuntukan bagi pekerja medis (dokter dan perawat), ibu hamil yang berisiko tinggi karena virus ini berbahaya untuk janin, dan anak-anak usia sekolah dasar. (Sudah ada korban beberapa orang anak karena virus ini jika komplikasi dengan penyakit lain akan menjadi penyakit yang parah dan sulit disembuhkan). Menurut kabar balita dan usia SD s/d kelas 3 akan menerima vaksin itu pada bulan Desember mendatang. Dalam tahun ini diperkirakan bisa diproduksi vaksin untuk 100 juta orang.
Kalau dipikir sistem yang cepat tanggap seperti ini memang merupakan ciri khas Jepang, yang selalu bisa memprediksi suatu masalah dan mengambil keputusan yang mungkin juga agak terlambat, tapi cukuplah untuk mencegah penyebaran sehingga tidak menjadi masalah akut. Yang pasti kami memang harus lebih menjaga kesehatan karena menjelang musim dingin, ketahanan tubuh berkurang dan kemungkinan terjangkit influenza cukup besar. Saya juga sekarang rajin sekali menggunakan alkohol yang disediakan di setiap sudut kampus tempat mengajar, sebagai salah satu pencegahan penularan penyakit.
Well, mencegah memang selalu lebih baik daripada mengobati.