Sebetulnya aku belum mau menulis lagi, soalnya toh tidak ada yang baca juga. Semua sibuk mempersiapkan Idulfitri (INGAT! Harus disambung tulis Idulfitrinya hihihi) . Tapi biarlah mumpung masih hangat di otakku, lebih baik dituangkan saja. Daripada keburu lupa. Cerita mudik di Jakarta juga masih banyak yang belum diceritakan, dan sedang ditulis…mohon maaf tertunda lama.
Tadi siang aku pergi belanja. (laporan buk!) Naik sepeda ke arah stasiun, dan di tengah perjalanan aku menemui beberapa perkembangan baru. Ada satu bangunan baru, yang tadinya sebuah rumah makan kecil, sudah dibangun menjadi rumah baru (ruko) dengan warna lumayan jreng. Kuning. Baguslah, berarti toko itu mengadakan “reformasi”.
Tapi waktu hampir mendekati stasiun dan mau menuju ke parkiran sepeda, aku kaget, karena lahan parkirnya sudah ditutup dengan pagar seng untuk konstruksi bangunan. Wahhh aku musti parkir di mana? Pantas tadi aku lihat banyak sepeda parkir di bawah tangga tempat yang sebetulnya tidak boleh parkir. Untung saja ada celah untuk memarkirkan sepedaku di depan supermarket. Ya sudah aku parkir di situ saja.
Nah, kemudian aku masuk ke supermarket itu, naik ke lantai dua dan dari situ aku pergi ke toko discount, toko murah yang menjual daging, sayur dan ikan. Setiap belanja “besar” aku pasti ke situ, karena harganya “miring” (murah kok dibilang miring ya? :D) . Dan…begitu masuk ke situ aku sedih… karena rupanya toko ikanku itu sudah tutup. Gulung tikar! Tempatnya dipakai untuk menaruh kardus-kardus berisi sayuran dari toko sebelahnya. Sedih! Di mana lagi aku bisa beli ikan yang segar dan bagus 🙁 Ahhh, mungkin toko itu terpaksa tutup karena banyak orang takut makan ikan teradiasi? Atau karena sedikit pembelinya (memang pembelinya lebih sedikit dibanding toko daging/sayur di sebelahnya). Suram deh hatiku 🙁 Padahal aku memang tidak berniat beli ikan hari ini, tapi kok tetap saja sedih.
Sesudah memilih daging dan ayam yang mau kubeli, aku mampir ke toko sayuran, membeli waluh, wortel dan jamur shiitake. Mau membeli ketimun, aku urungkan. Mahal ih… memang banyak sih, sekitar 10 buah seharga 310 yen, tapi aku tidak perlu banyak-banyak (tepatnya tidak bisa banyak-banyak karena belanjaan sudah berat). Harus tahan mata supaya bahan-bahan itu jangan malah jadi masuk tong sampah karena busuk.
Setelah selesai, aku menuju lift yang mengantarku ke lantai 2 dan menghubungkan dengan supermarket tadi. Dalam elevator itu aku dengar kata “elevator girl” itu. Setelah aku masuk lift, rupanya ada pasangan manula yang masuk sesudahku.
Si Bapak berkata: “Ayo elevator girl… tahan pintunya”
dan dijawab oleh si Ibu, “Siapa yang elevator girl?” (Sebetulnya itu juga pertanyaanku, karena aku yang pertama masuk. Masa dia bercanda denganku?)
“Omae deshou, 60 nen mae (Kamu kan, 60 tahun lalu)….
hahaha, aku jadi geli sendiri, dan membuat kau berpaling dan sambil tertawa aku bertanya,
“Deai wa erebeta no naka desuka?” dan si Ibu berkata,
“Bukan kok …” Sambil tertawa. Dan membukalah pintu elevator itu, dan aku menahannya dan mempersilakan mereka turun duluan. Kulihat si Ibu jalan sedikit tertatih dengan tongkatnya, sedangkan si bapak masih gesit berjalan dengan jarak 1 meter di belakangnya. Duh… kenapa jauh-jauh sih? Kadang aku suka gemes dengan kemesraan pasangan Jepang 😀 Mereka sama sekali tidak mesra!
Elevator Girl. Kita pasti akan bisa bertemu dengan mereka di Departemen Store terkenal. Mereka berpakaian seragam dan bertugas untuk menyambut tamu (dengan membungkuk) lalu menanyakan ingin ke lantai berapa, dan menghentikan di lantai yang dimaksud sambil membungkuk kepada (calon) pembeli itu. Mereka cantik-cantik! Padahal tugasnya hanya menekan tombol lift saja 😀 Begitulah pelayanan kelas satu dari Departemen Store terkenal. Aku tidak ingat apakah ada Elevator Girl di Indonesia, yang kuingat di Pasific Place adanya petugas laki-laki.
Aku tidak tahu seberapa populernya pekerjaan sebagai Elevator Girl ini. Apakah bisa menyaingi SPG-SPG yang kadang seksi-seksi (kalau pameran mobil dan motor tuh kan seksi-seksi loh. Eh ada nama khususnya ngga ya gadis-gadis motor show?) . Dan aku juga baru tahu bahwa ada istilah Umbrella Girl, setelah berteman dengan Mas Agustus Sani Nugroho. Dia pasti sering cuci mata tuh, dikelilingi gadis cantik pembawa payung setelah racing (tapi aku tidak khawatir karena mBak Cindy lebih cantik dan pintar!). Aku baru tahu 3 sebutan nih, apakah ada lagi Girl-Girl yang lain? Yang cantik-cantik dengan tugas yang (relatif) ringan?
Sepertinya aku pernah memotret Elevator Girl, tapi sekarang susah carinya di antara begitu banyak file foto. Tidak berani pasang foto-foto dari internet, karena perlu minta ijin. Maunya sih pasang fotonya Mas Nug dengan salah satu Umbrella Girlnya…. nanti deh kalau Mas Nug berkenan ya hehehe. Jadi posting kali ini tanpa foto. Maafken 😀