Hunting Room

19 Sep

Hunting Room bukan haunted room, atau yang pasti aku tidak mau hunting haunted room kecuali aku anggotanya ghostbuster hehehe.

Ya sebetulnya waktu aku mudik ke Jakarta kemarin itu, aku sempat hunting room, mencari apartmen/rumah kost. Bukan untuk saya tapi untuk sahabat blogger Ria a.k.a Jumria Rahman yang baru pindah dari Duri ke Jakarta.

Ria datang persis tanggal 17 Agustus. Aku sebetulnya ingin menjemputnya di bandara, tapi ternyata tidak keburu. Adikku juga mendarat sekitar jam yang sama dari Tokyo. Dan karena kami ingin membuat surprise untuk adikku yang berulang tahun, aku lari ke toko kue. Karena sudah mulai masuk liburan Lebaran, stock kue juga tinggal sedikit, tapi memang kuenya Helen’s itu uenak sekali. Cocok deh manisnya untuk keluargaku yang tidak suka manis.

Kopdar terpendek dengan Ria: 5 menit, cuma sempat berfoto di depan rumah 😀

Pas aku sedang berbelanja di Helens, Ria meneleponku bahwa dia sudah berada di depan rumahku dalam taxi. Dia ingin bertemu dulu sebelum pulang ke Bekasi, jadi langsung dari bandara ke rumahku. Benar-benar hanya say hello, berpelukan, berfoto dan bye-bye… karena adikku pas akan sampai di rumah juga. Ria pulang, aku masuk ke dalam rumah dan mempersiapkan kue ultah. Heboh rasanya. Tapi aku senang sekali bisa bertemu Ria meski sebentar, setelah dua tahun tidak bertemu. Dan, aku katakan kalau tanggal 18 aku masih belum ada janji apa-apa, sehingga bisa menemaninya mencari kost di daerah kemang, tempat kerjanya.

Jadilah tanggal 18 Agustus itu, aku dijemput Ria naik taxi. Kebetulan aku pun tidak ada supir/mobil, jadi tak apalah kami naik taxi. Lucu juga karena kami berdua itu sebetulnya kan harus naik turun mobil, mencari rumah kost, tapi naik taxi. Jadi setiap kali kami turun, taxinya menunggu kami. TAPI hebatnya Jakarta waktu liburan menjelang lebaran itu SEPIIIIII sekali. Bayangkan kami naik taxi dengan rute Bekasi – kebayoran -kemang keliling-keliling sampai pejaten, balik lagi kemang -kebayoran – dan berhenti di Senayan City, selama 2 jam hanya bayar 200.ooo rupiah! O o o murahnya, dan surganya Jakarta saat itu.

yang segini 7 jt an… memang daerah mahal sih ya 🙂

Kami melihat 6 tempat, mulai dari yang sudah Ria cari sebelumnya di internet. Sebuah kos dengan kamar yang bagus di lantai 2, living room + kamar + kamar mandi berikut dapur sebulannya 7 juta saja… duh, mahal yah. Lalu di lantai satunya kami ditawarkan kamar yang 5 juta. Pending dulu. Kami menyusuri jalan kemang dan melihat papan nama terima kost. Turun lagi dan melihat kamar yang cukup gelap, tidak jelek-jelek amat dengan harga 3,5 jta. Cuma kok gelap ya kesannya. Yang paling lucu dari melihat kamar-kamar dengan nama apartemen, kami juga mencoba cari dengan papan namanya “terima kost”. Aduh harganya sama 3 juta tapi bobrok sekali. Mana si Ria sempat melongok ke dalam sebuah kamar yang pintunya terbuka, dan berpenghuni lelaki telanjang dada dan hanya mengenakan kolor… kyaaaaa…. mengerikan :D. Gongnya kami melihat sebuah apartemen yang biasanya dihuni oleh expatriat asing. Harganya? Cuma 10 juta. tapi memang bagus sekali dalamnya. Terang dan modern. Aku juga mau tinggal di situ, tapi…. kok harganya mahal begitu ya. Kalau kantor yang bayarin sih OK.

nah ini standar untuk expatriate, jelas gajinya musti setara dengan gajinya orang asing dong hehehe

Jadi hari itu kami menyelesaikan hunting room dengan melihat 6 kamar, dan kesimpulannya Ria masih akan mencari lagi meskipun aku sudah tidak bisa temani dia sesudahnya. Otomatis hari Raya Ria juga tidak bisa mencari karena kena flu juga. Lagipula tanggal 19nya Gen sudah datang, jadi aku tidak bisa lagi mondar-mandir ke mana-mana. Dan sampai aku kembali ke Tokyo, aku tidak bisa menemani Ria pindahan ke kostnya yang sudah dia temukan sendiri. Karena aku belum pernah nge-kost di Jakarta, aku tidak tahu kondisi kost-kostan di Jakarta. Jadi hunting room bersama Ria waktu itu merupakan pengalaman yang menarik. Tentu saja asal ada uang, kita bisa mendapatkan kamar yang bagus. Tapi ada banyak faktor juga yang mesti dipikirkan, keamanan, penerangan, transportasi, cucian termasuk tidak, internet, dsb dsb. Susah ya pindahan itu 😀 (apalagi aku di apartemen di Tokyo ini sudah 13 tahun! Malas pindah-pindah)

sambil mengantar anak-anak ke lollipop, kodar dengan Nunu…. sehingga kami menamakan pertemuan ini dgn kopdar anak makassar 😀

Tapi personal touch #6 ku dengan Ria boleh dikatakan terjadi berkali-kali, dan semuanya juga karena Ria yang datang ke rumah. “MBak aku anterin pesanan palm suikernya ya… ” Atau sesudah kami mengantar anak-anak bermain di Lollipop Sency, Ria dan adiknya Uchi sempat mampir ke rumah, dan itu benar-benar merupakan chit-chat yang menarik, karena mengikut sertakan papa. Perlu diketahui Ria (dan Uchi) adalah putri Makasar, satu tanah kelahiran dengan papa. Dan Uchi masih kental sekali logat makassarnya sehingga lucu sekali kami mendengar dia berbicara dengan papa. Mereka berdua bercakap-cakap dengan logat Makassar. Senang loh melihat teman-temanku bisa akrab dengan papa.

Dan sampai hari terakhir sebelum aku naik pesawat, Ria masih menyempatkan datang untuk say good bye dan mengantarkan pisang ijo buatan ibunya. Ah memang kami berdua orang sibuk. Tapi kami selalu berusaha mencari celah untuk bisa saling berkomunikasi, syukur-syukur bisa bertemu muka. Sekali lagi aku mengingatkan diriku sendiri, bahwa silaturahmi itu bukan dari lamanya waktu kita bersama, atau seringnya kita bertemu, tapi dari kwalitas dan makna pertemuan itu sendiri. Ria buatku sudah seperti adik sendiri apalagi sejak kami tahu bahwa kami keturunan satu nenek moyang yang sama, dari Galesong. So Ria, welcome to Djekardah, enjoy my hometown, enjoy juga kemacetannya ya hehehe. Sampai ketemu lagi tahun depan.

Sesaat sebelum kami kembali ke Jepang. Terima kasih untuk pisang ijo….dan personal touchnya ya Ri **hugs**

Lembab

30 Jul

Semenjak tinggal di Tokyo, aku mengetahui bahwa kadar kelembaban udara itu jauuuh lebih penting daripada suhu udara.  Pada musim dingin memang otomatis kelembaban turun, seamikin rendah kadar kelembaban udara menjadi kering dan…dingin. Belum lagi kemungkinan terjadi kebakaran yang amat tinggi jika kelembaban itu rendah. Biasanya kelembaban musim dingin berkisar 20-30 derajat.

Pada musim panas, kelembaban akan tinggi dan ini yang menyebabkan kita hidup dalam sauna. Uap-uap air bergentayangan di udara, membuat kita juga susah nafas (aku benci sauna!). Dan di Hongkong ini kelembabannya bisa mencapai 100 persen. Tahunya bagaimana? Tentu saja ada pengukur kelembaban, dan yang pasti Kimiyo, adikku itu punya alat dehumidifier, alat yang menyerap kandungan uap air di udara, dan biasanya dalam waktu setengah hari saja penampungan airnya penuh dan harus dibuang.

jemur di apartemen

Karena apartemen Kim tidak memperbolehkan menjemur baju di jendela luar, maka baju akan dijemur di dalam kamar yang terkena sinar matahari langsung dan setiap malam dipasang alat pengering udara dan AC. Memang di Jepang pun apartemen mewah mengharapkan baju-baju dikeringkan bukan secara alami, tapi memakai mesi pengering baju. Akibatnya apartemen Kim yang memang sudah bagus karena mewah itu juga sedap dipandang karena tidak ada baju-baju melambai-lambai di jendela. Lain sekali dengan kebanyakan apartemen di Hongkong. Pemandangan jemuran baju seakan sudah harus kita terima sebagai bagian dari paket wisata.

pemandangan yang tidak bisa ditutupi demi pariwisata

Satu hal juga yang membuat aku bengong di Hongkong, adalah begitu padatnya kota dengan bangunan apartemen yang kecil tapi tinggi sekali. Aku rasa minimum 20 tingkat tuh. Laksana batang pencil yang ditancapkan pada tanah.  Hongkong amat tidak cocok untukku, yang phobia ketinggian. Meskipun aku tahu pemandangan pada malam hari dari ketinggian itu bagus sekali. Hongkong by night! Tapi… itu kalau tidak terhalang bangunan lain yang juga sama tingginya hehehe.

Malam pertama kami tiba di Hongkong, kami tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk mencari restoran di dalam kota. Kim memang mengajak aku pergi makan ke luar, tapi itu berarti kami harus pergi naik bus lagi. Wah aku tidak yakin Kai bisa tahan tidak tidur dalam perjalanan. Dan aku tidak mau menggendong Kai selama perjalanan. Sayang badan(ku).

Restoran apartemen yang menyediakan berbagai menu. Ada mbak Jawa di kanan belakang

Delivery saja! pikirku. Tapi ternyata Kim punya alternatif lebih bagus, yaitu pergi ke restoran dalam apartemennya. What? Dalam apartemen itu ada restoran? Dan ternyata memang ada restoran, ada kolam renang, ada ruang bermain anak-anak, ada perpustakaan dan sarana-sarana lain bagaikan hotel. Dan Riku-pun jatuh hati!

library, katanya Kim, boleh pinjam seenaknya, tanpa ada batas waktu pengembalian. Wah itu namanya gudang buku, bukan perpustakaan

“Mama, aku mau tinggal seperti di apartemen ini…”
“Ngga bisa Riku, selain mahal, Papa Gen tidak suka”
Meskipun pekerjaannya berhubungan dengan perhotelan a.k.a hospitality, Gen paling tidak suka tinggal di hotel atau apartemen mirip hotel. Kalau untuk menginap sampai maksimum 1 minggu sih OK, tapi untuk hidup bertahun-tahun? No way.
“Bayangkan bentuk bangunan yang sama semua, pintunya sama. Apa kamu tidak takut salah mengetuk pintu? Kita bagaikan robot yang masuk kerangkeng yang bertuliskan nomor di atasnya. Belum lagi masalah sosialisasi antar penghuni apartemen. Ribet” Begitu katanya, waktu aku memberitahukannya bahwa ada sebuah kompleks mansion (apartemen) dengan 1000 unit kamar yang dibangun di kota sebelah kami. Kami memang sedang memikirkan pindah rumah, tapi tidak mau ke tempat yang seperti “hotel” yang disukai Riku.

Jadilah kami pergi ke restoran dalam apartemen yang benar-benar penuh! Ternyata banyak penghuni yang juga malas masak! Dan jumlah mereka tidak tanggung-tanggung deh. Setiap table paling sedikit 8 orang,  bapak-ibu, opa-oma, anak-anak + baby sitter….. dan sssttt baby sitter itu berbahasa Jawa.

Kimiyo cerita bahwa banyak baby sitter yang berbahasa Indonesia yang tinggal bersama majikan mereka di apartemen itu. Dan begitu mereka mengetahui Kimiyo berbahasa Indonesia, mereka langsung akrab, dan kadang-kadang memberikan perhatian khusus untuk Ao, anak Kimiyo di taman, sementara Kim nya ngobrol ngalor-ngidul dengan temannya yang lain. Bahasa memang memberikan sentuhan keakraban yang lain dibandingkan dengan jika kita tidak tahu bahasanya.

foto bersama di lobby tower

Tak disangka setelah kembali dari restoran, Masa-san, suami Kim kembali dari kantor dan akhirnya kami melewatkan acara “kekeluargaan” dalam apartemen, termasuk membuat pertunjukan musik dari musician cilik. Yang satu menabuh drum, yang satu gitar, dan ukulele. Keakraban seperti ini akan selalu kami rindukan.

Di Jepang Ada Pencuri?

22 Okt

Yah pasti ada deh…. Akhir-akhir ini saya baca banyak teman blogger yang menulis tentang kondisi perumahannya. Ada soal pagar, keamanan, banjir dsb.  Saya akan bercerita sedikit tentang rumah saya di Tokyo.

Waktu pertama datang ke Jepang, saya tinggal bersama keluarga Jepang yang kaya. Rumahnya terletak di Meguro distric, dekat dengan kota anak muda Shibuya (kira-kira 15 menit) dan Harajuku (20 menit). Konsekuensinya tentu saja harga eceran di sekitar perumahan itu agak mahal.

Setelah 4 tahun saya tinggal di situ, dan nenek yang selalu menghalangi saya untuk pindah itu meninggal, saya pindah ke apartemen atau tepatnya mansion. OK saya jelaskan apa bedanya apartemen dan Mansion di Jepang. Apartemen itu mungkin lebih seperti rumah kos-kosan di Indonesia. Paling tinggi berlantai 3, bentuknya sederhana dan biasanya terbuat dari kayu. Sedangkan mansion bentuknya lebih berupa gedung tinggi di atas 4 tingkat dan terbuat dari beton. Mansion yang lama biasanya tidak ber-lift. Nah kalau yang disebut apartemen di Jakarta itu lebih dekat ke mansion atau yang mewah ke condominium (biasanya di Tokyo bertingkat 20-an dan terletak di daerah pusat kota sehingga mahal sekali). Nah sesudah 4 tahun itu saya pindah ke mansion lama yang letaknya sekitar 2 menit berjalan kaki dari rumah awal. Menempati sebuah pojok di lantai 4, dengan 2 kamar tidur, dapur, living (2LDK) . Saya memilih mansion ini karena Tina adik saya akan datang ke Tokyo dan menemani saya tinggal bersama. Karena mansion itu manison tua jadi tidak ada lift, olahraga terus setiap hari naik turun tangga 4 lantai. Belum lagi kalau ada yang ketinggalan.

Kemudian 9 tahun yang lalu, karena saya akan menikah, saya pindah ke mansion yang sekarang yang masih di dalam Tokyo tapi lebih ke utara. Maksudnya supaya perjalanan Gen dan saya, tidak terlalu jauh. Gen menjauhi pusat kota, sedangkan saya kerjanya lebih banyak di dalam kota. (Yang enak Gen bisa duduk di kereta karena arus balik, sedangkan saya …harus berjuang dalam rush hour).

Pojok yang saya tempati ini terletak di lantai 4 dari 5 tingkat, dan persis terletak di samping lift. Saya suka mansion ini karena serba putih dengan teras yang lebar dan memanjang untuk 3 kamar (3LDK). Saya kurang suka interior berwarna coklat karena gelap kesannya. Dindingnya juga banyak dan luas, sehingga seluruh dinding saya pasang rak buku sampai langit-langit (susyah kalau dua-duanya suka buku + CD kerjaan saya) Jadi hiasan dinding saya adalah buku, jangan harap ada hiasan lain…. palingan frame foto.

Nah kejadiannya tanggal 10 Januari 2002. Mulai sekitar tgl 20 Desember 2001 sampai 6 januari 2002, saya berwisata (sendiri tanpa Gen) ke Munchen. Ceritanya saya dan Tina akan bergabung dnegan papa dan mama melewatkan natal di Munchen, tempat Novi (adik saya no 2) +suami dan 1 anak tinggal di Munchen untuk bekerja waktu itu. Dari Munchen, kami ke Amsterdam untuk reuni dengan keluarga di sana (menikmati pemakaian EURO yang pertama) lalu tanggal 6 Januari saya kembali ke Tokyo. Nah tanggal 10 januari itu saya harus mengajar seharian sampai malam. Tiba-tiba sebelum saya pulang, petugas administrasi di sekolah bahasa menyapa saya dan berkata, “Suami Anda menelepon”. Hmmm ada apa? Begitu saya telepon Gen, yang dia tanya hanya satu,

“Kamu bawa laptop kamu hari ini?”

“TIdak…”

” Hmmm ok… yah… laptop itu tidak ada….”

“What do you mean with tidak ada?”

“Ya dicuri… sudah kamu pulang saja cepat-cepat”.

Langsung terbang pulang, dan waktu saya sampai di rumah, saya menjumpai rumah saya berantakan… bener-bener berantakan. Polisi sudah tidak ada, karena Gen sudah menyelesaikan laporan dsb. Well, kalau sering nonton film action pasti tahu deh kondisi rumah yang dibongkar oleh penjahat untuk mencari sesuatu. Tapak kaki bersepatu (huh seballlll, padahal di Jepang kalau masuk rumah HARUS copot sepatu), kertas-kertas buku semua di jungkirbalikkan, semua laci tertarik dan dia buang isinya, semua amplop dirobekin dipikir mungkin ada uangnya…. padahal tidak ada…. edannya lagi kasur di kamar tidur diacak-acak… tas yang berisi satu set sendok garpu yang saya beli di Jerman dibongkar… dia pikir tas itu isi uang mungkin. …. pokoknya heboh…dan saya hanya bisa bengong… speechless kalau mau niru katanya om nh18.

So, apa saja yang diambil? laptop, 2 celengan (yang cukup banyak isinya…. abis khusus koin 500 yen), perhiasan (anehnya dia tahu yang mana yang emas , mana yang bukan… dia pilih booooo), walkman dan rupanya barang itu dia masukkan ke dalam satu tas handbag milik Gen.  Ya sudah apa boleh buat, kita laporkan dan minta ganti asuransi saja. Tiba-tiba Gen bilang, “Sh*t”… kenapa? Rupanya rokok Malboro 2 sloss yang saya beli di Duty Free sebagai oleh-oleh untuk dia, diambil juga oleh si pencuri… Saya bilang, alahhhh gitu aja… kan cuman tabacco…

But saya kena juga ketika keesokan harinya saya mau mencari dus-dus coklat yang saya beli dari Belanda untuk hadiah pada murid-murid… loh kok tidak ada? Ternyata sodara-sodara, ROKOK dan Coklat  itu diambil oleh si pencuri… SEBAAAAAAAAAAAL sekali… rasanya waktu itu mau nangis aja. Masak sih kamu ambil juga yang harganya cuman segitu itu… hiks kesaaaal. Dan Gen dengan kalemnya bilang,”So, you know my feeling kan? waktu tau rokok saya diambil? ” Huh… Mengerti sekali. Gomennasai.

Dan ternyata tanggal 10 Januari itu di mansion saya yang terdiri dari 25 pojok, ada 2 pojok lagi yang kemasukan pencuri dan ada 20-an rumah di sekitar mansion kami juga yang menjadi korban. Jadi, pencurinya memang berkelompok, masing-masing punya targetnya. Dan diperkirakan bukan orang Jepang (Kalau orang Jepang tidak bisa menilai value emas, permata katanya… dan caranya either lebih vulgar atau lebih rapi) Dan saya menganggap gang penjahat ini seakan mengejek polisi. Karena tanggal 10-1 kalau dibaca secara Jepang akan terbalik 1-10 , yang mana 110 adalah dial khusus untuk polisi. APES deh emang.

Tapi dari musibah ini, saya bisa mengambil hikmah yaitu belajar mengenai asuransi Jepang. Ya, ternyata computer laptop, walkman…semua alat listrik portable tidak dicover oleh asuransi. Nangis deh. Mana Gen orangnya jujur sekali, jadi semua harganya dilaporkan dengan benar, tanpa ditambah-tambah… hiks. Yang diganti hanya uang tunai maksimum 200.000 yen (meskipun yang diambil lebih dari itu), lalu 80% dari harga perhiasan. Setelah kejadian itu saya banyak mendapat nasehat dari teman-teman untuk melebihi laporan kerugian perhiasan daripada melaporkan kehilangan uang tunai… (semoga petugas asuransi ngga baca ya hihihi… dan saya tidak tahu apakah taktik ini bisa dipakai di Indonesia atau tidak). But bagi saya sudah terlaporkan, sehingga saya harus bisa menerima bahwa komputer saya hilang, dan lumayan merugi. (Komputer hilang ya sudah…. tapi data-datanya??? untung saya secara rutin selalu backup data komputer saya).

So, siapa bilang Tokyo aman? ada juga kejadian kok pencurian di sini. Terutama untuk rumah yang sering ditinggal pemiliknya. Biasanya penjahat akan mengintai kebiasaan pemilik rumah, sehingga dia tahu kapan waktu paling aman untuk masuk dan beroperasi. Kejahatan ini disebut AKISU (pengintip rumah kosong) Hmmm untung waktu itu saya kerja, kalau tidak? mungkin sudah dibunuh ya? Karena itu saya menanggapi kejadian itu sebagai “buang sial” di tahun 2002. (kalau mau  lebih berpikir mistis lagi, waktu itu saya berusia 33 tahun. 33 tahun adalah tahun sial untuk wanita di Jepang. ) Dan Riku lahir Feb 2003….