Dulu saya sering heran, mengapa orang Jepang jika memberi oleh-oleh pasti berbentuk makanan (kue). Apalagi kuenya itu cuma satu bungkus kecil (dari satu kotak). Dulu saya pikir, “pelit amat,ya?”
Tapi semakin lama saya tinggal di sini, semakin sadar bahwa:
1. Oleh-oleh itu harusnya tidak makan tempat. Dimakan, habis. Kalau barang, taruh di mana? Rumah orang Jepang kecil dan dindingnya sedikit jika kasih pajangan yang mesti digantung.
2. Jika diberi satu kotak besar, dan tidak cocok dengan selera kita, pasti dibuang. Mubazir, deh. Karena itu kemasan kue-kue Jepang cantik-cantik dan bisa dibagi satu-satu, meskipun bisa beli satu kotak besar. Biasanya kotaknya pun tertulis berisi berapa bungkus kecil 小包. Kita bisa menyesuaikan dengan jumlah orang yang ingin diberi. Misalnya satu kelas ada 10 orang, cukup membeli yang isi 10 saja. Mau buang pun hanya buang satu bungkus kecil, kan?
Coba saya tahu dari dulu, saya TIDAK AKAN memberi oleh-oleh kepada orang Jepang berupa :
1. Kerupuk udang yang belum digoreng karena orang Jepang jarang pakai minyak/ jarang menggoreng
2. Kain batik untuk baju yang belum dijahit karena ongkos jahit di sini mahal dan sulit mencari penjahit.
3. Hiasan dinding/wayang, ya karena jarang menghias dinding rumah. dsb dsb.
Memang oleh-oleh kan dari hati, tapi sayang juga kalau tidak dipakai atau merepotkan penerimanya.
Perhatian dengan barang-barang kecil tetapi membekas di hati
Kalau oleh-oleh untuk teman akrab orang Indonesia, sekarang saya sering membeli semua yang saya suka, kemudian membungkus kembali dalam kantong-kantong kecil. Kacang kiloan, emping, manisan mangga. Karena biasanya makanan kecil Indonesia itu bungkusnya besar, sekitar 100-200 gr. Saya beli alat press plastik lalu masukkan macam-macam ke kantong kecil, dan bagikan ke teman-teman.
Tapi cara ini tidak bisa saya lakukan untuk orang Jepang. Bagaimana pun juga orang Jepang sangat memperhatikan higienitas barang. Meskipun tentu saya pakai sarung tangan atau cuci alkohol dulu tangan saya. Tetap saja.
Minggu lalu, Riku pulang dari Taiwan membawa oleh-oleh pineapple cake. Yah, nastarnya Taiwan deh, mirip! Lihat deh semua dibungkus satu-satu, sehingga memudahkan membagi ke orang-orang. Meskipun kata Riku, cuma kue ini saja yang bisa dibagi-bagi. Dia hampir mau membeli teh, tapi ya sulit bagi-bagi daun teh, kan. Nah, mestinya Indonesia juga memikirkan sesuatu produk untuk oleh-oleh yang sudah dibungkus kecil-kecil begitu, ya. Masak kalah sama Taiwan?
Masak beli coklat lagi coklat lagi di bandara? hehehe.