Setelah satu tahun mengadakan kuliah daring/online, akhirnya semester ini tiga sekolah/universitas tempatku mengajar mengadakan kuliah tatap muka. Karena sudah lama tidak pergi ke kampus, satu hari terasa sangat melelahkan. Apalagi ada satu universitas yang jaraknya HANYA 60 km dari rumah dan makan waktu 2 jam naik kereta. Daaaan… aku ke sana setiap hari Jumat (akhir minggu gitu loh :D).
Satu lagi yang membuatku sangat lelah setiap hari Jumat itu karena aku harus membawa laptop ke kampus. Tidak seperti sekolah lainnya, di universitas ini tidak tersedia laptop di ruang kelas. Ngerti sih, karena jumlah kelasnya banyak sekali, jadi tidak bisa menyediakan untuk setiap kelas. Kalau mau pakai komputer harus “ambil dan kembalikan” ke Information Center yang cukup jauh juga letaknya. Mendokusai めんどくさい merepotkan! Jadi aku terpaksa deh bawa laptop.
Kenapa perlu laptop? Karena sistem di universitas ini, memberlakukan kelas tatap muka untuk mahasiswa tingkat 1, dan kelas online untuk tingkat 2 ke atas. Jadi jam ke-2 aku harus online dari kampus dan jam ke-3 tatap muka. Tidak mungkin aku online dari rumah kemudian ke kampus yang letaknya 2 jam perjalanan, kan?
Nah, untuk mengadakan kelas online, aku ke kelas yang sudah ditentukan. Untung saja wifi di universitas ini kencang :D. Daaan, minggu lalu waktu online dari kelas, ternyata ada dua mahasiswa yang juga online dari kelas yang sama. Karena mereka ada kelas tatap muka setelah jam pelajaranku. Jadi hybrid deh. Aku sendiri tidak suka kelas hybrid karena perlu konsentrasi ke dua tempat, laptop dan kelas. Saiaku 最悪 kata orang Jepang. Menyebalkan sekali.
Jika kamu online bersamaan dari satu tempat, maka jika berbicara di Zoom, yang lain harus mematikan pelantang (mic) nya karena akan bergaung. Bahkan ada kalanya kamu harus mematikan volume suara, supaya gaungnya tidak mengganggu. Kalau aku mengadakan webinar dengan dua laptop pun demikian. Hanya satu laptop saja yang dinyalakan suaranya, yang satunya hanya berfungsi sebagai pemantau keseluruhan (baca chat, atau meyakinkan bahwa berbagi layar sudah terlihat) saja.
Ada kejadian yang menarik setelah aku mengadakan kelas online minggu lalu. Salah satu dari dua mahasiswa yang berada di kelasku, datang kepadaku dan bertanya, (aku sebut Mahasiswa ke-1 deh)
“Sensei, bagaimana caranya supaya saya bisa hafal kata-kata bahasa Indonesia. Ini tahun kedua saya (kelas menengah) tapi saya belum hafal banyak kata-kata”.
Tentu kujawab macam-macam, dan yang penting dia harus menyukai dulu baru semuanya bisa maju. Lucunya dia tidak beranjak setelah aku selesai bicara, padahal aku sudah mau makan siang dengan onigiri yang kubawa. Kelihatan sekali dia mau bicara. Jadi sambil makan, kutanya dia tinggal di mana, asalnya dari mana dan lain-lain. Rupanya dia dari Shizuoka dan kost dekat kampus. Yang menarik, temannya (yang diam saja) ternyata berasal dari SMA yang sama, masuk fakultas yang sama tapi kost berbeda tempat. Aku kemudian tanya, kamu tidak beli bento/makan siang (sembari mengusir halus sih :D). Eh dia berkata, tidak sempat beli dan malas beli. Sepertinya dia lebih mau berbicara denganku daripada pergi beli. Di situ dia berkata,
“Sensei tahu, saya kemarin malam kerja di konbini dari jam 11 malam sampai jam 6 pagi tadi. Jadi saya juga sudah malas melihat makanan yang dibeli dari konbini”
“Tapi kamu harus makan, kan?”
Kemudian temannya, rupanya membawa dua onigiri dan satu roti (yang dia beli dari konbini sih) dan menawarkan untuk makan salah satu. Si mahasiswa ke-1 kemudian mengambil satu onigiri dan makan. Dan setelah makan dia ambil dompetnya dan membayar seharga 1 onigiri.
Melihat itu, aku trenyuh juga. Dua mahasiswa yang jauh dari keluarga, harus cari makan sendiri, tapi juga tidak mau bergantung pada kebaikan orang lain. Dia bayar ke temannya, karena tahu bahwa temannya juga sama-sama kost dan perlu uang. (dan kemudian aku teringat pada anak sulungku yang seumuran dengan mereka, yang masih bisa berbahagia karena tinggal dengan orang tua). Minggu depan aku mau bawa makanan lebih ah….
Karena judulnya 3 mahasiswa, aku masih harus bercerita tentang mahasiswa ke 2 dan ke 3. Mahasiswa ke-2 ini tiba-tiba datang di kelas tatap muka jam pelajaran ke-3, hari Jumat kemarin. Waktu itu aku dan mahasiswa lainnya sedang makan siang sebelum kuliah dimulai. Aku sedang mengunyah kentang goreng waktu dia datang.
“Sensei, konnichiwa. Sensei suka kentang?”
“Ya, suka. kamu sudah makan siang?”
“Sudah, tadi beli di konbini. Onigiri dan roti.”
“Bisa kenyang? Bento yang dijual di universitas itu mengenyangkan loh. Cuma 350. Kalau beli di konbini berapa?”
“380 yen”
“Nah kan, dari pada onigiri dan roti, lebih baik makan nasi dan sayur meskipun sedikit. Tapi kalau untuk saya kebanyakan, tidak bisa habis”
Yang lucu lagi, ternyata si mahasiswa ke-2 ini BUKAN mahasiswaku. Dia mengambil bahasa Cina yang kelasnya di depan kelasku. Kebetulan dia masuk kelasku untuk bertemu temannya yang mengambil kelas bahasa Indonesia. Aneh, kan? KOK dia mau berbicara dengan aku yang BUKAN senseinya? Kelihatan sekali dia mau bicara macam-macam, jadi aku tanya dia tinggal di mana dsb. Ternyata dia tinggal di kota sebelah rumahku, jadi butuh 2 jam juga ke kampus. Enaknya aku ada kereta cepat, sedangkan dari rumahnya tidak ada. Sebagai penutup, aku berkata,
“Minggu depan kalau mau ngobrol lagi, bawa saja makananmu ke kelas ini dan kita makan sama-sama”
Dua mahasiswa baru yang … kesepian. Mereka baru saja jadi mahasiswa (tingkat satu) dan karena pandemi lebih banyak kuliah yang online dan juga bermasker. Bagaimana kamu bisa akrab atau mencari teman baru padahal kamu tidak tahu mukanya? Muri 無理, imposible apalagi orang Jepang memang sulit untuk menjadi akrab.
Cerita tentang mahasiswa yang ke-3, hanya berselang 5 menit dari mahasiswa ke-2. Tiba-tiba ada pemuda masuk ke kelasku dan berkata,
“Ah, untung keburu! Sensei ohisashiburi お久しぶり (long time no see) “
Aku heran … dan waktu melihat mukanya (yang setengah tertutup masker) langsung ingat. Dia mantan mahasiswaku yang pernah mengambil kuliahku. Langsung saya bertanya, kamu sekarang tingkat berapa?
“Sensei, saya sudah lulus kemarin. Mulai Mei saya ada training di perusahaan baru yang kantornya dekat sini. Hari ini saya pergi ke kantor itu dan mampir ke kelas sensei. Untung pas waktunya”
Jadi, dia waza waza わざわざ dengan sengaja datang untuk menyapaku hari ini. SENANG SEKALI. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mahasiswa yang masih mengingat dosennya, meskipun dia sudah lulus. Dan aku ingat, dia memang mengambil kelasku 3 tahun dan pernah hadir dalam acara RBI di kedutaan. Setelah bertukar id LINE, dia pun pulang dan aku harus memulai kuliahku. Mahasiswa ke-3 ini memang sudah mantan mahasiswa, tapi di mataku dia tetap mahasiswa. Ada apa ini, kok aku menjadi tempat curhat mahasiswa-mahasiswa ini, ya? Tapi aku senang, karena berarti aku dipercaya untuk menjadi “teman” mereka, bukan hanya sebagai guru mereka.
Sedang menunggu apakah ada mahasiswi yang akan mendekatiku? 😀
Tulisan yang panjang, tapi aku memang ingin meninggalkan cerita ini dalam TE. Terutama pada hari Pendidikan tanggal 2 Mei ini. Pendidikan penting, tapi pendidikan akhlak dan keseimbangan mental sangat perlu, terutama di masa pandemi ini.
Selamat Hari Pendidikan.