Ketika Bang Kopid Belum Datang

6 Sep

Akhir-akhir ini aku merasakan keinginan yang kuat untuk menulis. Jadi mumpung mau menulis, langsung buka blog ini.

Akhir Januari tahun 2020. Waktu itu belum ramai soal pandemi. Tiba-tiba aku dan adikku memutuskan untuk pergi ke Indonesia untuk keperluan yang urgent. Memang sebelumnya kami mengetahui juga bahwa papa masuk RS sampai dua kali. Tapi bukan (hanya) papa yang menyebabkan kami memutuskan untuk langsung berangkat keesokan harinya, tentu dengan membeli tiket yang amat sangat mahal. Tapi, kami merasa perlu. Keluarga yang utama.

Banyak yang berubah di Jakarta. Termasuk seringnya menemui ondel-ondel ribut seperti ini.

Aku sangat beruntung mempunyai suami yang bilang, “Pergi aja, jangan pikir uang!”, dan anak-anak yang mengerti bahwa mereka harus mandiri selama 10 hari aku tidak di Jepang. Yang aku khawatirkan cuma si bungsu, karena dia selalu sulit bangun pagi untuk ke sekolah. Tapi ternyata bisa juga kok. Secara rutin dia setiap pagi mengirimkan message “Ittekimasu (Saya pergi ke sekolah dulu)”. Lega rasanya.

Kadang kami tidak sempat ke restoran dan makan malam di Hotel, dengan minta dibelikan masakan yang kami inginkan. Sate RSPP, Martabak manis is a must.

Pertama kali juga memakai lounge untuk bisnis class sebelum terbang, dan cukup norak melihat semua fasilitas yang disediakan, termasuk makanannya. Eh ada juga sake Jepangnya yang sampai 5/6 jenis. Padahal pagi hari tuh, jadi benar-benar cuma satu sruput untuk rasa saja dan mencatat namanya. Kalau enak kan bisa beli sendiri.

Putu Made di Sency. Sepertinya setiap aku ke Jakarta pasti ke sini deh 😀

Tidak ada yang tahu kami ke Jakarta. Dan kami juga pikir tidak ada waktu sama sekali bertemu teman-teman karena tujuan kami ke Jakarta bukan untuk berlibur. Selama 10 hari itu, kami cuma di hotel, RS dan restoran 😀 Kami selalu menyempatkan mencari restoran baru yang katanya enak untuk kami nilai.

Kami juga sempat ke Seribu Rasa. Pertama kali bagiku. Lumayanlah.

Aku selalu menginap di Hotel GM kalau pulang ke Jakarta. Kenyamanannya tidak tergantikan. Dan kali itu pun aku terkejut ketika seorang doorman, menyapa namaku, “Ibu Imelda, kok sudah lama tidak ke sini?” . Lohhh, aku tidak pakai name tag loh, kok dia bisa tahu, atau dia bisa ingat? Aku tidak pernah kasih segepok uang tip kok untuk dia. Hospitalitynya di sini memang top.

Karena bingung cari restoran padahal sudah malam dan capek, akhirnya ke Pasific Place dan makan di Tesate. Restoran Indonesia semua kan yang aku pergi 😀

Ada dua orang yang sering aku tanyakan restoran apa yang layak dicoba. Adik angkatku di Jumria dan teman SMA ku Tipri. Kebanyakan pilihan mereka itu cocok untukku. Kali ini aku sempat mencoba gerai Kopi Toby’s di PIM sampai dua kali. Kali pertama mungkin karena lapar sekali, terasa enak sekali. Kali ke dua, beda rasanya heheheh. Tapi kopinya enak kok. Konon Toby’s ini dari Aussie sih.

Sempat makan sate padang juga sih, tapi kurang enak 🙁

Tentu kami juga tidak lupa mengunjungi mama di Oasis Lestari. Dan pulang dari situ, kami mengunjungi saudara yang tinggal di Alsut. Pertama kali ke rumah dia.

Lupa mencatat nama restoran ini, ternyata di Kemang Village bukan di Citos. Nona Manis namanya. Enak juga.

Sepuluh hari yang terasa pendek tapi melelahkan juga. Tapi kami lega karena tujuan kami ke Jakarta berakhir dengan baik. Bisa menengok papa juga dan menyelesaikan beberapa tugas termasuk makan hehehe.

Malam sebelum kembali ke Jepang. Sempat bertemu Sanchan yang membawakan tongkat untuk papa dan Susi yang kebetulan menginap di hotel yang sama denganku

Siapa sangka waktu itu bahwa mulai bulan Maret, dunia akan dilanda pandemi yang membuat kami tidak bisa bebas untuk mudik ke Jakarta lagi. Biasanya aku pulang setiap Agustus, tetapi kali ini tidak bisa pulang. Sedih tapi apa boleh buat ya? Aku bersyukur membuat keputusan tepat untuk pulang akhir Januari itu. Semoga bisa segera ke Jakarta lagi deh. Bang Kopid, cepet pergi dong! 😀