Tetangga

30 Sep

Dulu, waktu masih tinggal di Nerima, aku cukup mengenal tetangga kiri dan kananku. Yang kanan, cuma tahu bahwa mereka punya dua anak perempuan. Kami jarang bicara. Yang kiri, aku tahu mereka dari suatu aliran agama yang sangat saya hindari di Jepang, setelah mendengar dari sahabat yang “terpaksa” masuk ke agama itu karena menikah. Bukan, bukan agama Y. Tapi suatu agama lain, yang berprinsip “sama rasa sama rata” dan mewajibkan “umat”nya untuk memberikan seluruh kekayaannya untuk kepentingan agama. Tentu si Ibu gigih mengajakku ikut acara-acara mereka, tapi bisa saja aku tolak karena memang aku bekerja. Selain soal agama, kami baik-baik saja dan sering saling mengirimkan buah tangan.

Aku sudah tinggal di Sayama sini, hampir 2 tahun. Waktu pindah, tentu kami “aisatsu” memperkenalkan diri kepada tetangga kami. Karena rumah kami paling pojok, ujung jalan bentuk L , aku mempunyai tetangga di depan rumah kami ada dua kiri dan kanan. Keduanya cukup saling tahu saja, meskipun tetangga depan kiri itu agak aneh menurutku. Mungkin kebanyakan uang sehingga dalam dua tahun kami di sini sudah ada 2-3 kali dia memperbaiki tembok pagarnya. Mending kalau berubah model. Tidak! Sama saja modelnya, tembok batu yang mulus :D. Waktu dia membongkar tembok batu yang mulus itu, aku tidak bisa mengajar secara online karena ribut!

Nah, kami tidak punya tetangga kiri, karena parkiran, tapi ada tetangga kanan. Sebut saja Bapak KW. Rumah dia satu-satunya yang hampir menempel pagar kami. Jadi kalau aku buka pintu rumah, pasti terdengar karena begitu dekat. Untung saja Bapak KW sudah tidak peka pendengarannya, sehingga dia mungkin tidak pernah terganggu teriakanku pada Kai di lantai dua setiap pagi. “Kai bangun!” 😀

Bapak KW ini sudah berusia 86 tahun (lupa juga tepatnya, tapi pasti lebih dari 80 tahun). Dia hidup sendirian. Kalau teman-teman berpikir dia itu “loyo”, wih ngga deh. Dia itu masih sehat, jalan tegap, daaaaan… Dia pernah keluar rumah berjalan di depan rumahnya dengan baju training tanpa kaus kaki pada musim dingin. Ampun deh.. aku saja kedinginan melihatnya.

Awal pindah, pernah aku bertemu dengannya waktu hendak ke stasiun. Tiba-tiba saja, “Miyashita san..” Maklum karena baru pindah, belum kenal siapa-siapa. Waktu itu aku jalan dengan Kai, dan dia menyapa mengajak bicara. Untung waktu itu kami tidak buru-buru sehingga masih bisa bertukar sapa.

Kadang aku bertemu di depan supermarket, lalu biasanya aku sapa, “Okaimono? (Berbelanja?). Dan dia akan berkata, “Iya, sekaligus olahraga”. Padahal aku pernah bertemu dengannya di sebuah supermarket yang jauh, yang jalan kaki butuh waktu 20 menit! Tanjakan lagi. Hebat deh. Aku so pasti dong, naik sepeda yang assist lagi. Duh! Tapi urusan belanja memang aku tidak bisa tanpa sepeda, karena kalau belanja pasti untuk 1 minggu sekalian. Berat booo.

Terakhir aku bertemu dia sekitar bulan April, saat aku berbelanja pakai masker. Eh, dia bisa kenali aku (ya iyalah, siapa lagi yang badannya besar pakai batik hihihi. Masih kutanya, “Sehatkah?” Dan dia menjawab, “Sehat. Kalian juga sehat-sehat ya!” Dia memang selalu menyapaku, setiap melihatku. Kadang dia laporan kalau melihat anakku sedang jalan, tapi tidak mau menegur, karena takut mengganggu.

Aku mengganggap dia tetangga yang kawaii, yang menarik. Ingin rasanya aku mengetuk pintu rumahnya, dan tanya “Apa kabar?” Tapi … sungkan, karena tidak ada kebiasaan begitu di sini. Dan memang aku pun jarang keluar rumah, kecuali ke supermarket, kan?

Jadi, kemarin ada yang mengebel rumahku. Rupanya keponakan Bapak KW. Dia minta izin untuk parkir di depan rumahku. Katanya, “Bapak KW kan sudah pikun, jadi kami mau melihat kondisinya. Mungkin perlu bawa ke RS”…. aku jadi sedih. Kukatakan, “Silakan parkir saja. Dan sampaikan salamku ya. Kemarin malam aku masih lihat lampu di kamar tamunya menyala. Semoga dia baik-baik saja.”

Dan…. semalam….. lampu kamar tamunya tidak menyala. Gelap. Dingin. Dan aku sedih. Mungkin dia dibawa ke RS Khusus lansia. Rumah Jompo. Meskipun aku tahu itu yang terbaik untuk dia, daripada tinggal sendiri dan berbahaya. Tapi tetap sedih. Sayang aku tidak bisa mendengar sapaannya lagi, “Miyashita san….” Semoga Bapak KW sehat-sehat saja ya.

NB: Hari ini keponakan si Bapak KW datang lagi, dan ternyata benar Bapak KW kena stroke dan tidak bisa digerakkan setengah badannya sehingga kemarin masuk RS. Keponakan datang untuk membersihkan rumah bapak KW. Sedih rasanya 🙁

Kemewahan

8 Sep

Dalam bahasa Jepangnya adalah Zeitaku 贅沢, tapi kemudian berubah menjadi investasi. Persis sebelum Tokyo belum ditutup dan dinyatakan dalam situasi darurat pada bulan Maret, tepatnya tanggal 24 Februari 2020, kami mendapatkan kemewahan yang kalau kami kenang lagi, semua memang sudah tepat pada waktunya.

Riku ulang tahun tanggal 25 Februari, tapi itu hari kerja. Tanggal 24 Februarinya Senin, tapi hari libur di Jepang. Jadi kami katakan pada Riku bahwa lebih baik rayakan sebelumnya saja. Tapi hari itu sebetulnya dia harus arbaito, kebetulan ada permintaan untuk menjadi figuran dalam iklan Indonesia, yang diambil di Akihabara.

Berempat menuju Akihabara.

Jadilah kami berempat pergi ke Akihabara naik kereta, sambil menunggu Riku “kerja” selama 1-2 jam, kami berpisah dan jalan-jalan di Akihabara. Tujuan kami adalah mencari komputer yang cocok untuk Kai. Kai lulus SD dan akan masuk SMP. Sama seperti kakaknya waktu lulus SD, kami ingin membelikan dia laptop.

Awalnya dia tidak mau. Tahu alasannya? Dia mau MERAKIT sendiri! hahaha. Jaman now, merakit sendiri. Yang ada jatuhnya lebih mahal. Dan yang pasti makan tempat dong. Eh, tapi ada loh paket rakitan sendiri, sudah dipilihkan oleh orang tokonya motherboard, casting, display, keyboard dsb. Tapi tanya-tanya pada tante Titin, disarankan untuk pelajari lama dulu, atau beli notebook saja.

Yang membantu Riku pilih-pilih juga mahasiswa, jadi dia beritahu hints banyak.

Setelah naik turun cari yang cocok buat dia (Dia maunya sih yang bisa untuk gaming…. no no no deh), akhirnya kami belikan DELL. Terus terang aku belum pernah pakai Dell, dulu pernah beli IBM, Fujitsu, NEC, HP, dan terakhir lenovo sampai 5 biji (untuk beberapa orang loh). Keburu cinta sama lenovo sih hehehe. Kata orang tokonya specnya bagus karena harganya miring. Rupanya seminggu sebelumnya ada Dell Fair. Karena anaknya suka, ya kami belikan. Langsung bawa pulang.

Janji untuk bertemu Riku lagi di kedai teh. Aku dan Kai menunggu di kedai teh itu, sambil pesan es untuk Kai dan teh untukku. Nah es itu didalam cone, tapi ditaruh dalam gelas. Nah si pelayannya waktu akan menyerahkan ke aku, akunya belum siap, sehingga esnya jatuh. Kasihan! Karena aku juga sebetulnya bersalah di situ. Eh diganti es nya dengan yang baru. Padahal aku sudah bilang tidak usah. Pelayanan di Jepang sih memang begitu.

Ginza pada hari libur menjadi CFD Car Free Day

Begitu Riku selesai, kami lalu naik subway menuju Ginza. Karena memang aku ingin mengajak nostalgia mengenang mama, di restoran Shabu-shabu yang ada di Ginza. Dulu setiap mama dan papa datang, pasti makan di sini. Jadi ceritanya pesta ultahnya dirayakan dengan shabu-shabu. Mantap deh.

Setelah selesai makan, kami masih mau jalan-jalan sekitar Ginza, mencari kertas washi. Lalu tiba-tiba aku bilang bahwa mama terakhir ke Ginza karena mau perbaiki iPhone. Nah, Riku langsung bilang bahwa dia mau lihat-lihat. Dia memang sudah mengeluh iPadnya lelet dan memorynya sedikit. Lagipula iPad itu adalah turunan dari Ibu Mertua yang aku tahu sekali kapasitasnya jauh dari memadai, karena dulu Ibu Mertua hanya perlu untuk main game 😀

Jadilah kami ke gerai apple dan penuh orang dong. Sambil melihat-lihat, ternyata iPad sudah canggih sekali sekarang. Hampir tidak ada bedanya dengan komputer deh. Apalagi Riku sedang persiapan ujian masuk universitas, jadi perlu banyak belajar dan mencatat. Hampir setiap hari perlu ke bimbel juga. Daaan, dia juga bilang, “Ma, dulu aku kelas 6 SD dibelikan komputer tapi kan harganya cuma sepertiganya Kai yang sekarang”… Well, dia butuh dan akhirnya aku belikan dia iPad yang terbaru, yang memadai sehingga dia bisa pakai sampai lulus universitas. Kalau selama universitas dia mau ganti, silakan kerja sambilan untuk beli sendiri hehehe.

Setelah itu kami langsung pulang deh, tidak ada waktu lagi jalan-jalan. Kami pulang ke rumah dengan komputer dan iPad baru dan tentu saja begitu sampai rumah mereka langsung ke kamar masing-masing untuk set up peralatan baru mereka.

Atas: Si Bungsu belajar programming sama tante Titin. Bawah: Kalau bosan belajar di kamarnya, Riku sering turun dan belajar di meja makan bersama aku.

Daaaan, aku merasa kemewahan dalam sehari itu amat sangat tepat waktu. Karena kemudian Tokyo dinyatakan kondisi darurat dan kami semua harus belajar/bekerja dari rumah. Masing-masing sudah punya perangkat sendiri, sehingga tidak perlu bergantian pakai komputer mama/papa. Kondisi ini yang tidak dipunyai oleh banyak keluarga Jepang lain, sehingga tidak mungkin untuk belajar daring (online) untuk SD, SMP di Jepang. Jadi selama itu SD dan SMP TIDAK belajar online. Tugas dan PR diambil di sekolah, bahkan ada daerah yang gurunya antar ke rumah. SMA Riku swasta sehingga terus online, sampai bulan Juni, waktu sekolah dimulai kembali. Kai? Untuk SD/SMP nya Kai memang tidak ada kelas online, tapi sejak Februari Kai masuk bimbel, dan bimbel ini ONLINE seminggu 2 kali. Aku merasa beruntung sekali sempat memasukkan Kai ke bimbel itu. Karena tidak semua bimbel menyediakan pembelajaran daring. Memang semuanya sudah tepat pada waktunya.

Ketika Bang Kopid Belum Datang

6 Sep

Akhir-akhir ini aku merasakan keinginan yang kuat untuk menulis. Jadi mumpung mau menulis, langsung buka blog ini.

Akhir Januari tahun 2020. Waktu itu belum ramai soal pandemi. Tiba-tiba aku dan adikku memutuskan untuk pergi ke Indonesia untuk keperluan yang urgent. Memang sebelumnya kami mengetahui juga bahwa papa masuk RS sampai dua kali. Tapi bukan (hanya) papa yang menyebabkan kami memutuskan untuk langsung berangkat keesokan harinya, tentu dengan membeli tiket yang amat sangat mahal. Tapi, kami merasa perlu. Keluarga yang utama.

Banyak yang berubah di Jakarta. Termasuk seringnya menemui ondel-ondel ribut seperti ini.

Aku sangat beruntung mempunyai suami yang bilang, “Pergi aja, jangan pikir uang!”, dan anak-anak yang mengerti bahwa mereka harus mandiri selama 10 hari aku tidak di Jepang. Yang aku khawatirkan cuma si bungsu, karena dia selalu sulit bangun pagi untuk ke sekolah. Tapi ternyata bisa juga kok. Secara rutin dia setiap pagi mengirimkan message “Ittekimasu (Saya pergi ke sekolah dulu)”. Lega rasanya.

Kadang kami tidak sempat ke restoran dan makan malam di Hotel, dengan minta dibelikan masakan yang kami inginkan. Sate RSPP, Martabak manis is a must.

Pertama kali juga memakai lounge untuk bisnis class sebelum terbang, dan cukup norak melihat semua fasilitas yang disediakan, termasuk makanannya. Eh ada juga sake Jepangnya yang sampai 5/6 jenis. Padahal pagi hari tuh, jadi benar-benar cuma satu sruput untuk rasa saja dan mencatat namanya. Kalau enak kan bisa beli sendiri.

Putu Made di Sency. Sepertinya setiap aku ke Jakarta pasti ke sini deh 😀

Tidak ada yang tahu kami ke Jakarta. Dan kami juga pikir tidak ada waktu sama sekali bertemu teman-teman karena tujuan kami ke Jakarta bukan untuk berlibur. Selama 10 hari itu, kami cuma di hotel, RS dan restoran 😀 Kami selalu menyempatkan mencari restoran baru yang katanya enak untuk kami nilai.

Kami juga sempat ke Seribu Rasa. Pertama kali bagiku. Lumayanlah.

Aku selalu menginap di Hotel GM kalau pulang ke Jakarta. Kenyamanannya tidak tergantikan. Dan kali itu pun aku terkejut ketika seorang doorman, menyapa namaku, “Ibu Imelda, kok sudah lama tidak ke sini?” . Lohhh, aku tidak pakai name tag loh, kok dia bisa tahu, atau dia bisa ingat? Aku tidak pernah kasih segepok uang tip kok untuk dia. Hospitalitynya di sini memang top.

Karena bingung cari restoran padahal sudah malam dan capek, akhirnya ke Pasific Place dan makan di Tesate. Restoran Indonesia semua kan yang aku pergi 😀

Ada dua orang yang sering aku tanyakan restoran apa yang layak dicoba. Adik angkatku di Jumria dan teman SMA ku Tipri. Kebanyakan pilihan mereka itu cocok untukku. Kali ini aku sempat mencoba gerai Kopi Toby’s di PIM sampai dua kali. Kali pertama mungkin karena lapar sekali, terasa enak sekali. Kali ke dua, beda rasanya heheheh. Tapi kopinya enak kok. Konon Toby’s ini dari Aussie sih.

Sempat makan sate padang juga sih, tapi kurang enak 🙁

Tentu kami juga tidak lupa mengunjungi mama di Oasis Lestari. Dan pulang dari situ, kami mengunjungi saudara yang tinggal di Alsut. Pertama kali ke rumah dia.

Lupa mencatat nama restoran ini, ternyata di Kemang Village bukan di Citos. Nona Manis namanya. Enak juga.

Sepuluh hari yang terasa pendek tapi melelahkan juga. Tapi kami lega karena tujuan kami ke Jakarta berakhir dengan baik. Bisa menengok papa juga dan menyelesaikan beberapa tugas termasuk makan hehehe.

Malam sebelum kembali ke Jepang. Sempat bertemu Sanchan yang membawakan tongkat untuk papa dan Susi yang kebetulan menginap di hotel yang sama denganku

Siapa sangka waktu itu bahwa mulai bulan Maret, dunia akan dilanda pandemi yang membuat kami tidak bisa bebas untuk mudik ke Jakarta lagi. Biasanya aku pulang setiap Agustus, tetapi kali ini tidak bisa pulang. Sedih tapi apa boleh buat ya? Aku bersyukur membuat keputusan tepat untuk pulang akhir Januari itu. Semoga bisa segera ke Jakarta lagi deh. Bang Kopid, cepet pergi dong! 😀