Kebetulan sekali hari ini aku bisa pulang kerja bersamaan dengan Gen. Karena naik kereta cepat, kami bisa sampai di stasiun rumah kami pukul 18:15. Karena anak-anak di rumah sudah lapar, kami akhirnya memutuskan untuk membeli tonkatsu, daging goreng untuk lauk makan malam. Tadinya sih mau masak, tapi berarti butuh waktu paling cepat 30 menit lagi untuk makan malam. Nah, waktu kami turun eskalator itu, aku melihat pedagang yang memang kadang-kadang mangkal di situ. Biasanya aku tidak begitu perhatian, tapi …. dia membunyikan peluit, yang bunyinya sangat akrab di telingaku. Dulu di Nerima, setahuku bunyi itu adalah bunyi tukang tahu (mentah) keliling. To—–fu—— terdengar seperti itu. Karena penasaran aku mendengar celotehan dia (biasanya aku cuekin hehehe). Ternyata dia menjual tahu, natto (kacang kedele yang difermentasi) dan yuba (kulit tahu) mentah. Hmmm
Kami berdua sebetulnya sudah cukup jauh melewati dia, tapi karena Gen tahu bahwa istrinya sedang penasaran 😀 dia mengajak aku kembali. Paling sedikit kita beli tahu deh. Aku minta tahu sutra, dan memberikan uang seribu yen. Ternyata harganya 350 yen. Mahal! Pantas jarang ada yang mau beli. Tapi terus aku menanyakan soal Yuba. Yuba itu kalau di Indonesia memang adanya yang sudah dikeringkan. Kulit tahu yang tipis, lalu waktu mau dipakai direndam air dulu. Almarhum mama sering memasak yuba untuk membuat kimlo. Tapi di Jepang justru tidak populer Yuba kering. Adanya yuba yang mentah, dan dimakan begitu saja (sashimi). Dibubuhkan kecap asin dan wasabi kalau mau. Tapi yuba ini tidak setiap saat ada. Karena aku tahu yuba itu jarang, jadi aku minta yuba juga. Pas si tukang tahu itu memberikan uang kembalianku, 650 yen. Ternyata harga Yubanya 650 yen! Pittari, pas deh.
Lalu Gen menanyakan peluitnya seperti apa. Dia kemudian menunjukkan potongan seperti bambu, dan dia bunyikan. To—–fu—–. Aku cerita padanya bahwa aku tahu bunyi itu adalah penjual tahu bersepeda, tapi selama ini belum pernah bisa bertemu langsung dengan penjualnya. Memang katanya dulu penjual tahu naik sepeda berkeliling sambil membunyikan peluit itu. 昔ながらの豆腐 Mukashinagara no tofu. Tahu jaman baheula.
Nah sambil pulang, aku penasaran dengan kata MUKASHINAGARA. Tahu artinya, dan sering dengar, TAPI apa bedanya dengan ARUKINAGARA? 歩きながら itu artinya ‘sambil berjalan’. Bentuk -nagara memang berarti sambil, dan sering sekali dipakai. Sampai-sampai ada slogan terbaru 歩きスマホ、スマホながら Jalan sambil main HP atau main HP sambil mengerjakan yang lain. Yang pasti mukashinagara itu mestinya TIDAK SAMA dengan arukinagara, sambil berjalan itu.
Penasaran deh, apa ada arti -nagara yang lain. Tanya Gen juga tidak tahu, jadilah kami berdua cari di kamus sakti KOJIEN 広辞苑. Dan menemukan memang -nagara itu tidak selalu harus ‘sambil’, yaitu melakukan dua pekerjaan bersamaan. Ternyata bisa juga berarti そのままで ‘begitu terus’, dari dulu sampai sekarang, terus menerus. 涙ながら berairmata (menangis) terus itu bentuknya sama dengan mukashinagara. Lalu yang lain lagi adalah berarti けれども, ‘meskipun’. Seperti dalam contoh 春ながら雪ぞ降りつつ Meskipun sudah musim semi, masih bersalju. なっとく!Penasarannya terjawab deh.
Dan aku menutup tulisan hari ini, karena tadi aku menulis sambil masak. 料理しながらブログを書く. Karena masakannya sudah selesai, blognya juga harus diselesaikan. 😀