Naik Perahu

1 Okt

Pernah naik perahu? atau boat atau kapal?

Tentu aku pernah. Pernah naik ferry ke danau Toba sekian puluh tahun silam, atau waktu menyeberang dari Kumamoto ke Shimabara. Pernah naik kapal (bukan kapal pesiar) yang mengelilingi danau Ashi di kaki gunung Fuji. Pernah naik boat menuju pulau di Kepulauan Seribu. Pernah naik perahu di danau Tsutsujigaoka melihat rumpun teratai. Pernah naik boat angsa yang mesti dikayuh sendiri di danau Kichijouji/ Kolam Himonya dll. Hmmm ternyata cukup sering ya aku menaiki perahu/kapal, padahal aku itu sebetulnya takut sekali naik kapal-kapalan karena tidak bisa berenang 😀

Di Jepang ada wisata dengan menaiki perahu di sungai. Kawakudari namanya. Kawa = sungai, kudari  = menuruni. Jadi perahu memanfaatkan aliran air dari hilir ke hulu, sehingga mereka cukup memakai galah untuk mengatur arah perahu (tidak perlu mendayung). Aku pernah mengikuti wisata kawakudari yang terkenal sepanjang sungai di prefektur Yamagata: Mogamigawa 最上川の川下り. Wisata ini paling bagus waktu musim gugur, karena bisa melihat keindahan pohon-pohon yang berganti warna di kiri kanan. Waktu aku ke sana pun pada bulan November 1993. Kami berombongan sudah diprogramkan naik perahu khas sana, dengan dipandu seorang guide yang menceritakan daerah sekelilingnya. Tidak banyak foto yang tertinggal, karena memang saat itu tidak mempunyai kamera yang memadai. Tapi aku ingat menginap di hotel Koyou yang bagus dengan pemandian air panasnya besar sekali. Kalau bisa suatu waktu aku ingin menginap di sini lagi. Saat itu aku diajak seorang teman asal Korea, yang sudah kuanggap seperti ibu di Jepang.

wuih foto dari jaman kuda gigit besi :D. Pemandu perahu di Yamagata ini bercerita banyak dan menyanyi juga. Sayang karena dia berlogat daerah utara, jadi aku yang baru sampai di Jepang kurang mengerti 😀

Sebetulnya kami hampir lupa bahwa deMiyashita juga sudah melakukan kawakudari, yaitu pada tanggal 16 Agustus lalu di Sungai Nagatoro di Chichibu Saitama. Sebetulnya ini merupakan “pelarian” karena boleh dikatakan kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih jauh lagi. Sayangnya malam sebelumnya turun hujan, jadi air sungai Nagatoronya butek, keruh, seperti kopi susu deh 😀 Padahal kalau tidak hujan, airnya cukup bening loh.

Perjalanan menuju ke sana dari rumah kami sih memang tidak jauh. Begitu sampai kami langsung memarkirkan mobil kami di tempat parkir yang tersedia. Tempat parkirnya sendiri gratis, tapi untuk orang dewasa perlu membayar tiket seharga 1600 yen yang sudah termasuk biaya naik perahu dan naik bus kembali ke tempat parkir. Rute naik perahunya selama 20 menit, tapi memang kami sudah diberitahu bahwa mungkin lebih singkat waktunya karena aliran sungainya cukup deras.

http://i282.photobucket.com/albums/kk254/coutrier/Blog25/nagatoro1_zpseqf4cxrr.jpg

 

Satu perahu sekitar 20 orang, dengan dua pemandu. Kami bisa melihat juga ada beberapa perahu karet yang memang dipakai untuk rute arung jeram. Sambil melihat beberapa orang dengan sengaja terjun ke sungai pura-pura jatuh. Karena udara waktu itu cukup panas, bisa membayangkan sejuknya air sungai. Tentu saja mereka memakai jaket penyelamat sehingga tidak tenggelam. Kami pun yang hanya naik perahu saja, harus memakai jaket penyelamat untuk keamanan.

Perahunya cukup besar dan di setiap sisi diberi plastik besar yang dipakai waktu melewati arus yang deras, sehingga tidak membasahi kami tapi tetap bisa melihat ke sisi kanan dan kiri sungai. Tempat ini pasti bagus pada musim gugur dengan pohon-pohon yang berubah warna. Kalau bisa kami ingin datang lagi ketika air sungainya bening dan pohon-pohon sudah berubah warna.

Sambil mengarahkan perahunya dengan galah, pemandu menceritakan sejarah daerah sekitar. Kami melewati beberapa batu yang cukup besar, dan salah satunya berbentuk katak. Langsung teringat cerita Malin Kundang deh… mungkin versi Nagatoro dikutuk menjadi katak ya hehehe.

Pemandu di Nagatoro, menjelaskan tentang sungai dan daerah sekitar. Kanan atas batu yang berbentuk katak. Kanan bawah, perahu yang kami sudah tumpangi itu diangkut dengan truk ke “atas”.

 

Di salah satu ceruk, kami “dipaksa” melihat ke arah daratan karena sudah ada fotografer yang membidik kami. Foto ini akan dikirim ke alamat rumah, jika mau, kira-kira 2 minggu setelah hari itu. Gen tadinya tidak mau, tapi kubilang kapan lagi kami mempunyai foto berempat sekaligus. Biasanya kan pasti cuma bisa bertiga dan gantian. Memang sih cukup mahal, satu lembar ukuran 5R seharga 1500 yen.

foto yang diambil fotografer yang sudah menunggu di tepi sungai. Lumayan ada foto kami berempat lengkap.

Setelah kami mendarat di akhir rute perahu, kami naik mini bus yang akan membawa kami kembali ke lapangan parkir. Dan di perjalanan kami bisa melihat ladang anggur yang sedang berbuah. Buah anggur ini siap dipetik pada awal-pertengahan September. Aku sendiri tidak begitu suka makan anggur, sehingga biasa saja kalau diajak pergi memetik anggur. Aku lebih suka yang sudah jadi wine 😀 , apalagi kalau disruput diselang-seling dengan keju cammembert.

Sepulang dari sungai ini, kami mampir ke museum di dekatnya, siapa tahu bisa menjadi referensi untuk Riku yang memang harus menulis tentang museum. Sayangnya museumnya terlalu kecil menurut Riku, sehingga dia pergi ke museum lainnya di Tamarokuto.

Dari museum kami mencari makan siang. Daerah ini tidak mempunyai makanan asli, meskipun aku pernah lihat di TV memperkenalkan masakan daging babi atau hidangan soba. Jadi aku mencari di internet, restoran apa yang kira-kira ada di sekitar situ. Kami kemudian mendapatkan info tentang restoran PIZZA, yang dibakar di tungku api. Bukan restoran juga sih sebetulnya, lebih seperti sebuah villa sederhana yang dijadikan restoran. Dan restoran bernama Villapawa ini semua self-service. Yang mengelola cuma berdua, sepertinya sepasang suami istri. Konon (setelah di rumah kami cari info), mereka juga hanya membuka resto di musim panas saja. Dan…. tamunya BANYAK! Kami bisa melihat dari papan, kira-kira kami harus menunggu berapa lama. Waktu itu belum pukul 12, tapi kami harus menunggu 50 menit! Hmm rupanya tempat ini cukup populer.

Karena sepertinya enak, kami “tabahkan hati” untuk menunggu 50 menit. Biasanya sih, aku paling tidak suka jika harus menunggu untuk makan. Emang seenak apa sih sampai perlu menunggu lama? Tapi kali itu, aku bisa memotret halaman sekeliling rumah, dan menikmati tempat duduk yang cukup sejuk, karena dia pasang tirai embun di depan pintu masuknya. Harga pizzanya selembar juga lebih murah daripada restoran biasa di Tokyo, jadi kami yang berempat, memesan 6 jenis pizza. Di sini tidak perlu memesan minuman, dan diperbolehkan bawa minuman dari luar. Si kakek yang memasak terkejut juga waktu kami memesan 6 lembar, seakan ragu kami bisa menghabiskannya. Tapi di situ tertulis sih bisa bawa pulang, so kalau tidak habis kan bisa bawa pulang.

tungku api yang dipakai. Karena bukan restoran umum yang punya tungku besar, tamu harus sabar menunggu.

TAPI ternyata kami tidak perlu membawa pulang, karena pizza itu enak sekali! rotinya tipis dan crispy, toppingnya juga tidak macam-macam dan yang pasti TIDAK BERMINYAK. Aku sebel kalau pizza saking terlalu banyak topping jadi berminyak tangannya. Makanya kami tidak pernah pesan pizza waralaba PH atau D*M*N*. Aku mau kalau disuruh ke sini lagi untuk makan pizza… (eh ternyata musti cari info dulu dia buka atau ngga… repot yah). Rasanya puas sekali setelah menunggu lama, makanannya enak. Si kakek juga tersenyum waktu melihat kami pulang tanpa membawa bungkusan. Oh ya, karena di sini self service, kami harus membereskan meja tempat kami pakai dan menaruh piring pizzanya sendiri di luar. Kalau mau bawa pulang juga kami harus bungkus sendiri dengan kotak yang disediakan sih.

Satu hari yang mengesankan meskipun dilewati hanya di sungai dan museum 😀 Sambil menulis ini, aku masih terheran-heran, lah sungai saja bisa jadi tempat wisata di Jepang! Tentu saja arung jeram di Indonesia sudah ada, tapi wisata sungai? Ada tidak ya sungai yang bagus yang bisa dinikmati? Ataukah sungai di negara kita terus coklat airnya sehingga tidak sedap dipandang? Semoga saja di kemudian hari bisa ada wisata sungai di Indonesia ya….. Siapa tahu 10 tahun lagi sudah ada canal cruise, wisata di kali ciliwung loh. Bukan tidak mungkin kan?

Ayo Indonesia, Semangat dan berusaha ah!

 

 

6 Replies to “Naik Perahu

  1. naik perahu dayung gitu rasanya saya gak pernah. pernah nya naik speed boat ke pulau seribu.
    takut kebalik gak sih mbak kalo naik perahu dayung gitu? hehehe

  2. Di pontianak termasuk ada tuh mbak wisata sungainya. Jadi naek perahu gitu buat keliking sungai kapuas. Tapi ya itu prmandangannya belum ok menurut aku. Dan perahunya kayak warung kopi jatohnya. Gak kayak perahunya mbak em yang isinya “cuma” orang aja.

    Mudah2an bisa berbenah juga deh pontianak. Biar bisa jadi punya wisata sungai kayak di jepang ????

  3. Saya sering mb naik perahu….
    Oya, sebetulnya banyak wisata sungai di Indonesia yg airnya bersih dan bening mungkin karena kita kurang promosi saja, jd hanya di kenal di lingkungan pencinta alam saja.

    Salah satunya di kab. Bogor, ada petualangan menyusuri sungai dengan konsep ketenangan.
    Tak ada suara manusia, yg ada hanya gemericik air, kicauan burung, binatang hutan, dan desau angin.

    Tempatnya bersih dari sampah, kecuali sampah alam (daun, ranting, dahan, dan kayu yang patah karena angin atau rapuh).

    Di satu bagian sungai yg dangkal terdapat hamparan pasir dan pemandangan alam yg sangat indah……

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *