Banjir Sampah

28 Jan

Aku tidak mau berlama-lama membahas banjir di Jakarta. Tapi memang harus diakui bahwa salah satu penyebab banjir adalah air sungai yang tidak mengalir karena sungainya dipenuhi sampah yang dibuang oleh penduduk sekitar.

Memang kebiasaan membuang sampah pada tempatnya harus dimulai dari kecil. Dan jangan menyangka bahwa sampah kecil tidak berpengaruh loh. Semua yang besar bermula dari yang kecil bukan? Dan jangan menyalahkan tidak ada tempat sampah! Kami di sini jika ada acara di sekolah misalnya, pasti membawa pulang sampah sendiri dalam kantong plastik dan buang di tempat sampah di rumah. Apa salahnya membawa sampah kita sendiri kan? Anak-anakku terbiasa mengantongi bungkus permen di kantongnya, atau memberikan bungkus itu kepadaku untuk dikumpulkan dan dibawa pulang. Di dalam mobilku pasti ada kantong plastik untuk mengumpulkan sampah.

Aku sendiri kalau ada acara kumpul-kumpul komunitas  orang Indonesia di gereja, jika membawa mobil pasti membawa pulang dua plastik besar sampah terbakar (sampah dapur dan kertas) serta sampah tidak terbakar (plastik). Untungnya aku tinggal di apartment yang mempunyai “kamar sampah” sehingga bisa menaruh semua sampah di situ. Jika aku tinggal di rumah biasa, maka aku harus memperhatikan hari-hari pengumpulan sampah terbakar dan tidak terbakar. Di daerahku sampah terbakar dikumpulkan setiap hari Selasa dan Jumat. Jadi kalau acaranya hari Sabtu, aku harus “menyimpan” sampah bau itu di rumah sampai hari Selasa pagi kan?

Aku lupa pernah menulis di TE atau tidak, tapi di Jepang jika akan membuang sampah yang berukuran lebih dari 30 cm, harus membayar. Kurasa di Eropa dan Australia juga begitu, karena aku pernah membaca tulisannya DV tentang sampah di Aussie. Sampah elektronik biasanya bisa dikumpulkan di toko elektronik, atau meminta dinas kebersihan pemda untuk mengambilnya di rumah dengan biaya antara 500-3000 yen tergantung bendanya. Kalau mau membuang sepeda? Harus membayar 1000 yen! Jadi memang aku sendiri pikir panjang dulu sebelum membeli, karena waktu membuang sampah-sampah besar itu kita harus membayar! Kecuali kalau kita jual lagi melalui auction atau ke toko loak. Tapi yang menjadi masalah biasanya transportasi/pengangkutannya. Dan aku malas mengurus sampai ke situ.

Sebetulnya aku ingin menulis tentang sampah, karena menonton berita di TV tadi pagi tentang pembersihan kolam Inokashira di Kichijouji yang biasanya kami lalui setiap minggu. Sudah beberapa hari ini pemerintah daerah membersihkan kolam yang sudah 30 tahun tidak dibersihkan. Taman Inokashira ini terkenal dengan keindahan pohon sakura dan kolam yang bisa dinikmati dengan naik perahu. Tapi memang air kolam taman ini bersih tapi tidak transparan. Banyak ikan Koi dan bebek yang berenang di sana. Kebetulan ada teman Jepangku yang anaknya sekelas dengan Riku menulis di status FB nya: “Lewat taman Inokashira dan melihat pembersihan kolam Inokashira, dan banyak ditemukan sepeda. Suami saya berkata, jangan-jangan nanti ketemu tulang belulang manusia juga hiiiii”. Katanya memang ditemukan sampai 200 sepeda yang dibuang begitu saja ke dalam kolam. Selain sepeda, ditemukan banyak dompet tanpa uang kertas, juga tas ransel berisi batu yang sepertinya hasil pencurian.

sepeda-sepeda yang ditemukan dari dalam kolam Inokashira

Mendengar hal-hal mengenai sampah begitu, aku juga menyadari bahwa meskipun Jepang yang sudah bersih dan warganya cukup taat menjalankan peraturan pembuangan sampah, masih ada juga orang-orang tidak bertanggung jawab, yang tidak patuh pada peraturan. Ya tentu karena mereka juga tidak mau membayar untuk membuang sampah. Jumlah warga seperti begitu memang tidak sampai satu persen, tapi ada. Dan pemerintah daerahlah yang terpaksa membuang sampah-sampah itu dengan biaya dari pajak penduduk. Coba bayangkan kalau orang tak bertanggung jawab itu setengah dari jumlah penduduk. Berapa biaya dan waktu yang diperlukan untuk membuang dan membersihkan suatu tempat?

Jadi harus bagaimana? Tentu masing-masing warga harus menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya sendiri. Semua bermula dari masing-masing pribadi! Dan selain itu pada saat membeli barang baru, PIKIRLAH cara bagaimana aku membuang benda ini jika tidak diperlukan lagi. Misalnya beli satu tas, pikir bagaimana atau kepada siapa akan kuberikan tas ini jika tak perlu lagi. Reduce, Reuse, Recycle. Dan untuk kami di sini, harus menyisihkan uang sampah setiap membeli barang yang besar atau elektronik.

Kan, katanya kebersihan adalah sebagian dari iman? Sudah beriman-kah kita?

10 Replies to “Banjir Sampah

  1. Wah.. Aku jadi terinspirasi nih Nechan.. Hari Minggu besok sekolahan Ajib-Fatih bakal ada acara pesta ulangtahun sekolah tersebut.. Sudah pasti sampah akan berserakan sesudah acara tersebut. Aku mau usulkan ke panitianya buat menaruh plastik kresek di masing-masing kotak makanan yang dibagikan, biar masing-masing hadirin bertanggung jawab terhadap sampahnya.. Semoga berhasil ya.. 🙂

  2. Jadi sedih memikirkan Jakarta dan Indonesia pada umumnya yang jumlah orang yang tidak peduli jauh lebih besar dari Jepang. Hasilnya banjir dan macet di mana-mana yang biayanya sampai trilyunan rupiah dan itu semua dibiayai selain dari pajak juga dari penghasilan penduduknya. Cuma bisa memulai dari diri sendiri dan dari keluarga aja saya Mba.

  3. Jadi ingat, waktu pertama ke Jepang 4 tahun lalu untuk training dan tinggal di apato, agak terkejut juga dengan peraturan hari untuk buang sampah tersebut. Tetapi, setelah dijalani malah merasa wah bagus juga ya…Jadi gak bikin merasa jijik sama sampah yang gak bercampur-campur 🙂

  4. padahal sepeda itu barang besar ya mbak. Untuk mengatasi banjir tidak hanya pemerintah yang turun tangan tapi setiap orang harus mempunyai ras tangggug jawab yang besar untuk menjaga lingkungan ya

  5. mBak EM, saya suka sekali dengan postingan ini. Mengingatkan bahwa selalu ada sisi manusia yang melancarkan maupun menghambat upaya kebersihan lingkungan. Menjadi pendorong setiap pembaca postingan ini untuk berperan secara aktif. Jadi ingat salah satu peserta kelas yang selalu mengumpulkan sampah tertinggal di akhir kelas.
    Salam

  6. Seperti biasa, mbak Imelda. posting yg inspiratif, terutama kejutan di tengah sampai akhir. baru tahu kalo membuang sampah >30 cm membayar denda. hebat ya di sana. ngarep kapan Indonesia bisa begitu.

  7. Mbak, saya berharap nemu “dompet dengan uang kertas” hihihi.. Anw, di kotaku (Malang) aja yg dataran tinggi sekarang doyan banjir lho Mbak. Sepertinya memang banjir jadi masalah global Indonesia 🙁

  8. You know what EM …
    Saya itu kepingin banget … Indonesia punya teknologi untuk mengolah sampah menjadi hal yang berguna …
    teknologi yang sederhana … yang hampir semua orang bisa …

    Semoga saja ada yaaa …

    Salam saya EM

  9. Salam kenal Imelda.
    Saya sudah selesai baca blog kamu yang ini secara maraton dari pertama sampai selesai.
    Blognya sangat bagus dan detail, juga enak dibaca karena tidak pakai singkatan, yang dibicarakan sangat menarik, banyak pujian deh.
    Kalau saya punya blog, saya akan bercerita seperti yang Imelda lakukan.

    Untuk masalah banjir, indonesia harus banyak berbenah. Banyak pr untuk semua warga dan pejabatnya. Kuncinya harus disiplin.

    Pernah perhatikan orang membangun rumah di jepang?
    Adakah yang beda dengan di indonesia?
    Ini boleh menjadi bahan tulisan Imelda juga.
    Saya tidak pernah belajar tehnik, tetapi saya lihat rumah di belanda di bangun dindingnya berlapis untuk menahan dingin. Banyak yang bisa diceritakan.

    Groetjes

  10. Thanks sudah dimention, Mel! 🙂
    Setuju, membuang sampah memang harus dibiasakan sejak kecil.

    Sampah meski di negara maju pun tetap akan selamanya menjadi masalah, tinggal persoalannya bagaimana mampu bertahan dengan solusi yang terbaik sih 🙂

Tinggalkan Balasan ke Lidya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *