KTP

10 Okt

Setiap Warga Negara Indonesia pasti mempunyai Kartu Tanda Penduduk atau KTP. Pertanyaannya apakah orang Jepang punya KTP? Jawabnya : Tidak. Mereka tidak mempunyai kartu identitas yang wajib dibawa-bawa ke mana-mana, tapi jika perlu keterangan, mereka bisa meminta salinan semacam kartu keluarga yang bisa diminta di kantor kelurahan atau kantor layanan masyarakat terdekat rumahnya. Untuk mendapatkan salinan ini, cukup menuliskan nama, alamat dan tanggal lahir. Dan bayarannya sudah pasti, hanya 300 yen per lembar (pakai kwitansi tentu saja). Dan memang seharusnya asalkan tahu nama, alamat dan tanggal lahir, jika sudah memakai sistem komputer (apalagi e-KTP semestinya tinggal di-scan saja) pasti akan mudah saja membuat salinan kartu keluarga (atau surat lainnya seperti surat pendapatan/pajak).

Untuk pengganti kartu identitas, biasanya orang Jepang memakai kartu asuransi hokensho 保険証 atau SIM Unten menkyousho 運転免許証

Sebetulnya orang Jepang mempunyai NIK seperti orang Indonesia, tapi ada beberapa pemda yang menolak pelaksanaan nomor induk kependudukan itu, sehingga sistem input berdasarkan NIK masih jarang digunakan.

Kebetulan hari Jumat lalu, aku membaca sebuah sharing tulisan yang berjudul “Keterangan agama akan dihapus dari KTP“,  yang  tentu saja menghadirkan polemik perlu tidaknya penghapusan/pencantuman agama dalam KTP. Kebetulan persis hari itu, aku mengajar kelas menengah di universitas S mengenai agama. Maklum orang Jepang amat antipati terhadap kata “agama” karena banyaknya agama yang melenceng dan membawa masalah dalam masyarakat. Sebut saja Aum Shinrikyo yang bertanggung jawab atas peristiwa penyebaran gas maut Sarin di kereta api hampir 20 tahun lalu. Jadi aku menjelaskan pengetahuan dasar tentang agama di Indonesia, termasuk pentingnya orang Jepang mempelajari kebiasaan-kebiasaan orang luar negeri ( menurut orang Jepang tentunya) yang beragama jika mau menyambut turis asing ke Jepang menghadapi Olimpiade yang akan diadakan di Tokyo nanti. Tentu saja supaya Jepang bisa menjadi tuan rumah yang baik.

Dan menambahkan pentingnya agama, aku memberi contoh bahwa di dalam penulisan KTP sebagai kartu identitas tertulislah kolom agama, selain nama, alamat, pekerjaan dan status marital. Jika aku memancang dari sudut pemikiran orang luar negeri, memang rasanya kolom agama, pekerjaan dan status marital itu tidak perlu. Aku teringat waktu mengisi permohonan visa ke Jerman atau Australia aku lupa tepatnya, tapi disitu ada pilihan : never …. dan aku pikir loh kok aku yang masih single begini mengisi never ya, wong aku mau nikah tapi belum kok hehehe 😀 Padahal maksudnya selama ini belum pernah menikah.

Tapi kolom-kolom ini kalau dilihat dari sudut kependudukan ya mungkin memang perlu. Contohnya jika di KTP tertulis agamanya apa, maka jika terjadi kecelakaan atau pembunuhan bisa langsung diketahui bagaimana caranya dia akan dimakamkan. Di situ aku pun menerangkan bahwa umat Islam melakukan pemakaman dalam tidak boleh lebih dari 24 jam, sedangkan jika agama Kristen masih bisa menunggu sampai 3 hari.

Dalam menerangkan tentang agama ini, aku sendiri merasa bersyukur pernah belajar tentang agama-agama di Indonesia. Sehingga sedikit banyak aku bisa menjelaskan pula kepada murid-muridku mengenai agama yang belum mereka kenal. Senang juga mendengar bahwa di sekitar universitas W, sudah banyak tempat yang menjual bekal (bento) yang halal. Dulu waktu aku mahasiswa (20 tahun lalu) mana ada tuh makanan halal dijual di universitas. Jamannya sudah beda sih 😀