Patah Hati :D

29 Mei

Beberapa hari yang lalu, Gen memberikan sebuah artikel surat kabar. “Baca deh!”…. Waktu membaca judulnya aku sudah tertawa, tapi baru sempat baca tadi pagi. Well memang ini adalah masalah ibu-ibu yang punya anak laki-laki 🙂

Judulnya, 息子に「失恋」母の傷心] awalnya karena baca sekilas kusangka artinya “Perasaan Ibu Jika Putranya Patah Hati” eh ternyata yang patah hati justru ibunya hahaha, patah hati terhadap sang putra 😀

Banyak ibu-ibu yang sudah mengalami bahwa semakin putranya beranjak dewasa, jarak akan menjadi jauh. Yang selama masih SD masih bisa dicium-cium, atau bisa mandi dan tidur bersama, lama-kelamaan tidak bisa lagi.  Apalagi kalau sang putra menampik pembicaran dengan “Mama mau tahu aja” atau “cerewet”. “Uzai ウザイ” (cerewet) atau “Kimoi キモイ” (memuakkan) adalah kata-kata hinaan jaman sekarang (slang) yang juga disebutkan kepada sang ibu. Sakit hati mendengarnya.

Rupanya ibu-ibu Jepang yang mempunyai anak lelaki, secara tidak sadar dalam kesibukannya sebagai seorang ibu, mulai “jatuh cinta” pada anak lelakinya. Setelah menikah 10 tahun lebih dan menjadi ibu rumah tangga 100% , mereka mulai bekerja part time dan mempunyai hobi sendiri. Tapi suaminya yang sibuk setiap hari membuat sang ibu kesepian. Ini menyebabkan “perhatian” beralih kepada anak lelakinya dan mencurahkan seluruh kasih sayang kepada anaknya. Sang ibu sering mengajak anak lelakinya untuk “kencan” makan berdua atau jalan-jalan di taman.  Meskipun sang ibu berusaha “menyamakan” pengetahuan dengan anaknya dengan membaca juga buku yang dibaca anaknya, atau berusaha mendengarkan musik yang disukai anaknya, tetap saja ada batasnya. Usia, pergaulan, komunikasi dan dunia sang anak semakin membuat sang ibu jauh dari anaknya sehingga sang ibu “patah hati”.

artikel dari surat kabar Asahi Shimbun

Hal ini bisa terjadi karena memang perubahan masyarakat Jepang sendiri yang membuat rata-rata seorang wanita melahirkan 1,39 anak. Jika anak hanya satu atau dua, tentu seluruh waktunya sebagai ibu dicurahkan kepada 1 atau 2 anak ini saja. Selain itu sekarang anak-anak lelaki berubah menjadi 草食系 (soushokukei) yaitu lelaki yang tidak “garang”. Kalau lihat dari kanjinya bisa diterjemahkan sebagai “pemakan rumput” dibandingkan dengan 肉食系 (nikushokukei) “pemakan daging” yang sifatnya lebih agresif. Perubahan laki-laki yang “garang” menjadi “lembut” membuat mereka lebih bisa mengerti hati wanita, sehingga bisa lebih dekat dengan ibunya. Sehingga ibu yang merasa “nyaman” dengan hubungan anak lelaki ini, akan menjadi “patah hati” jika sang anak menjauh.

Oleh psikiater disarankan kepada ibu-ibu untuk ① mengerti bahwa anaknya akan memasuki masa puber dan itu normal ② harus mempunyai kegiatan lain selain menjadi seorang ibu ③ tetap menjaga hubungan dengan suami…

Waaaah isi artikel yang kalau dipikir jauh dengan kondisiku. Aku masih mempunyai banyak hal yang harus dipikirkan selain anak-anak, keluarga, pekerjaan, hobi termasuk ngeblog 😀 TAPI aku bisa mengerti dan memahami bahwa akan ada suatu saat waktu seorang ibu harus melepaskan anak(-anak) lelakinya untuk memulai kehidupan sendiri.

Tadi pagi aku sempat memeluk Riku di depan pintu sebelum dia pergi sekolah, lalu dia sambil tertawa berkata “Uzai” “Kimoi”, aku hampir marah, tapi untung aku ingat, dia juga membaca artikel koran itu. Rupanya dia menggoda aku! Huh, aku cubit dia tapi dia sempat lari masuk ke lift. Memang sudah mulai ada jarak antara aku dan Riku. Dia maunya mandi sendiri, lalu sudah mulai memilih baju sendiri, tidak suka dengan baju pilihanku. Atau kadang-kadang dia tidak makan makanan yang kusediakan karena tidak suka. Tidak bisa lagi kumarahi kalau tidak makan seperti dulu.  Dia tentu saja sudah bisa belanja, bepergian atau menunggui rumah sendiri. Rasanya aku sudah tidak diperlukan selain untuk masak dan membereskan rumah 😀

Aku senang karena masih ada Kai. Dia masih mau tidur dan mandi bersamaku. Atau dia masih mau mencium pipiku dan memelukku meskipun sudah malu kalau di depan umum. Tapi dia juga sudah mulai “besar” dan bertanggung jawab. Dia sering memarahiku kalau lupa atau membiarkan lampu menyala. “Boros kan ma…” Atau dia selalu  bertanya, “Mama tidak apa-apa?” kalau mendengar aku batuk atau bunyi “gubrak” waktu aku menjatuhkan sesuatu. Kadang aku peluk dia erat-erat dan berkata, “Aduh tahun depan Kai sudah SD, mama tidak bisa begini lagi ya?” Dan… tahu dia jawab apa?
“Aku akan terus tidur sama mama”
“Loh sampai kapan?”
“Sampai aku gede!”
“Ngga bisa dong, Kai harus bisa tidur sendiri kalau sudah gede!”
Aku sebetulnya mau gangguin dia…. “Kan kamu suatu waktu juga akan menikah” tapi aku diamkan saja dulu. Karena kalau aku bilang sekarang, sudah pasti jawabannya, “Aku tidak mau menikah!” (Dia pernah bilang mau jadi pastor :D) hahahaha

Akankah aku “patah hati” … hmmm let say, 5 tahun lagi? Mungkin! Tapi aku akan bersiap-siap mencari kesibukan baru jika anak-anak sudah besar. Mau belajar membuat keramik, mau belajar melukis, atau mau treking sambil hunting foto. Tapi yang pasti aku mau ngeblog terus 😀

Tapi sebetulnya yang susah itu justru kalau anak-anak lelakiku patah hati ya? Jangan-jangan aku ikut “patah hati” jika mereka patah hati 😀 hihihihi

 

19 Replies to “Patah Hati :D

  1. Saya jadi melamun. Membayangkan kalo saya orang yang gak pernah di rumah. Mungkin itu juga yang dirasakan ibu saya ya he he.
    Merantau jauh, ketika pulang malah sahabat yang segera dikunjungi … doooh 🙁

  2. Terima kasih mbak EM berbagi cerita patah hati. Sekian tahun lagi jagoan kecil sudah meninggi dan mandiri, jadi sahabat mama.
    Tak malu pula saat tilp anak2 yang sudah kerjapun yg ditanyakan sudah maem malam kak, jangan lupa konsumsi buah, bener2 khas mak cerewet. ..
    Salam

  3. Mbak, kalau aku sekarang sudah sering patah hati lho..Anakku yang besar sudah kos, yang kecil sudah tamat SMA dan mau kuliah tahun ini..Malam minggu mereka sudah sibuk dengan teman masing-masing..
    Nah aku pernah curhat sambil berlinang air mata bahwa mereka sekarang terasa jauh..Yah cuman dipeluk sejenak sambil tertawa dengan mengatakan, ” Mama lebay ih..” Habis itu mereka sibuk lagi dengan dunianya..
    Tapiiiiiii..aku lebih suka patah hati begini ketimbang mereka jadi anak mami selamanya di rumah..:)

  4. Kami sudah merasakan anak yang sudah beranjak remaja menjadi “jauh” dari kita. Afif sudah punya dunianya sendiri. Untuk bisa keluar bareng kayak dulu, perlu janjian dulu. Jangankan untuk mencium pipinya, dirangkul saja dia sudah risih, hehe..

    Untung Ajib-Fatih masih kecil, jadi masih ada yang bisa “dikencani”, setidaknya sampai 5 tahun ke depan.. 🙂

  5. 5 tahun lalu, istri saya tiap hari nangis dan nggak bisa makan karena anak pertama kami harus sekolah dan masuk asrama ketika kelas 1 SMP sampai pada akhirnya antara anak dan emaknya sama-sama nggak tahan pada akhirnya tiap akhir minggu mereka dipertemukan. Mungkin begitulah naluri ibu pada anak-anaknya yang nggak bisa dipisahkan dengan anaknya, apapun dan bagaimana[un budaya yang dianutnya

  6. hahahaha untung si andrew sampe sekarang masih mau dicium2in, dipeluk2, malah dia maunya selalu tidur ama kita tapi cuma kita bolehin kalo weekend. hehehe.

    iya ntar pasti ada masanya anak gak bisa sedeket ini lagi ya… pasti sedih dah.. huhuhu 😀

  7. Hmmm …
    Saya mencoba berkaca pada keluarga saya …
    apakah Bunda Patah Hati ?
    saya tidak tau … sepertinya sih … dia pantang menyerah …
    walaupun dibilang “Bunda ini gimana sih aku kan udah gede …”
    tapi teteeep aja … memperlakukan anak-anak as if mereka masih kelas 2 SD

    Hahahaha

    (kecuali Mandi dan Tidur saja …)

    Salam saya

  8. ah, ini dia. aku juga selalu merasa begini. walau anakku baru berumur 3 tahun aku sudah merasa kuatir… hahaha.. bagaimana rasanya kalau dia bilang begitu ya?

  9. Syukurlah saya tak mengalami perasaan ibu yang diceritakan dalam artikel itu. Saat si sulung (anak laki-laki) makin besar, saya masih bisa menciumnya pagi dan malam, asal tidak di depan teman-teman nya.

    Saya hanya mengatakan..”Ibu sayang kamu, dan ibu ingin menciummu” Ini sekaligus untuk monitor apakah dia mulai berbau aneh-aneh (mis mulai merokok..).
    Mungkin juga karena saya terlalu sibuk, sehingga ketemu anak-anak harus benar-benar untuk melakukan hal penting, kebersamaan. Saya sering hanya ngegoler bersama si sulung dan si bungsu di akhir pekan, mengobrol..haha hihi.

    Dan belakangan, setelah pensiun, anak-anak sudah keluar rumah….saya masih suka jalan sendiri. Kalau bosen jalan keluar rumah, ke Gramed…ke Mal, makan sendiri diluar sambil mengamati orang lalu lalang. Ternyata ini menyenangkan, karena saat nengok si bungsu, akhirnya saya berani jalan sendiri..kalau nunggu anak, kapan saya tahu daerah yang saya kunjungi, karena kalau menunggu diantar anak, anakku sibuk sekali.

    Saya kira Imelda juga tak akan mengalami perasaan seperti ibu dalam artikel itu…walau rasa semedot (apa ya bahasa Indonesia nya) akan tetap ada…

  10. Kalau aku karena belum punya anak, biasa yang jadi targetnya adalah keponakan-keponakanku 🙂 Aku punya dua orang keponakan laki-laki, umur 13 dan 6 tahun. Kalau yang remaja, udah jelas pasti gak bakal mau aku cium-cium lagi 🙂 Tapi kalau yang umur 6 tahun, masih mau dicium dan dipeluk…Bahkan kadang-kadang dia menawarkan diri untuk dicium, dengan syarat mau aku temanin main 😀

  11. hmmmm tak terbayangkan rasanya… dan belom mau membayangkan rasanya (mash jauh) xxiixixix

    semangaaaaaaaaaaaaat mommy ^^ masih ada pipi tomat hehehehehee

  12. Begitu juga dengan anak saya kevin sekarang kelas dua smp. Biasanya klo jalan kemana mana selalu saya pegang tangannya, tapi sejak kelas satu dia sudah tidak mau lagi. Bahkan kadang kadang tangan saya ditepisnya, “Papa gimana sih, kan malu kalau dilihat orang”

  13. makanya kadang ada orang tua (atau lebih tepat ibu) yang pengen punya anak perempuan ya mbak, selain patah hatinya kemungkinan kecil, juga sepanjangnya bisa dijadikan teman dan sahabat 😀

  14. aku jadi membayangkan orang tuaku, mereka patah hati juga nggak ya? memang sih aku bukan anak cowok, tapi mungkin mereka juga merasakan bahwa ketika aku besar, tercipta jarak. itu tidak bisa dihindari deh sepertinya ya.

    btw, kalau kai jadi pastor, kayaknya aku ikutan patah hati deh hahaha.

  15. Jadi ingat papa dan mama… mungkin mereka juga “patah hati” meski tak terucapkan… satu persatu anak-anaknya punya dunia sendiri, ninggalin rumah, lalu memilih orang lain menjadi pasangan masing-masing… aduh… jadi pengen telp mama… 🙂

Tinggalkan Balasan ke Cut Inong Mutia Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *