Taman Nasional Bantimurung

29 Jan

Akhirnya aku bisa mewujudkan cita-citaku memperlihatkan Taman Nasional Bantimurung kepada Riku, anak sulungku. Meskipun sebetulnya dia sudah pernah ke sini waktu usia 6 bulan :D. Bagaimana mau ingat ya?

Riku di Bantimurung, 9 tahun yang lalu 😀

Sejak aku tahu bahwa Riku juga menyukai hobi barunya, dan menikmati kupu-kupu di Cihanjuang Bandung, aku ingin sekali membawa Riku ke Bantimurung, yang dikenal di Jepang sebagai “Lembah Kupu-kupu”. Tapi untuk ke sana tentu biayanya tidak sedikit. Karena aku harus menyediakan tiket p.p. Jakarta – Makassar yang harganya sama saja dengan naik shinkansen p.p. dari Tokyo ke Osaka 😀 dan bukan hanya untuk aku sendiri tapi untuk 3-4 orang . Belum lagi hotelnya karena meskipun ada rumah saudara, pasti anak-anakku ingin berenang, sehingga lebih baik menginap di hotelnya. Nah, waktu aku kemukakan keinginan mengajak papaku ke kampung halamanku pada Gen, dia amat menyetujui dan satu-satunya tempat yang diwanti-wanti HARUS pergi adalah Bantimurung. Jadilah Bantimurung menjadi tujuan kami pertama kali, bahkan langsung sesudah mendarat

Setelah minum teh tarik di salah satu restoran di bandara, kami langsung naik pajero milik om Benny menuju ke Bantimurung. Tidak jauh sebenarnya, tapi mendekati areal Taman Nasional itu ada satu mobil PU yang badannya segede Gaban dan menutupi jalan masuk. Setelah berputar dulu mencari jalur lain, kami bisa turun di gerbang masuknya. Ya, aku ingat di gerbang masuknya ada patung gorilla tapi aku baru tahu sadar bahwa ada patung kupu-kupu besar.

Dari gerbang masuk, pintu masuk dan jalan masuk menuju air terjun

Sesudah kami memarkirkan mobil, kami langsung masuk… dan terus terang kami tidak tahu berapa harga tiket masuknya. Rupanya om Ari sudah menyelesaikan pembayaran di luar sepengatahuan kami. Dan kami pelan-pelan berjalan masuk ke dalam. Terus terang aku lupa, apakah 9 tahun yang lalu seperti ini juga. Tapi sepertinya jauuuh lebih bagus sekarang. Ada sebuah kolam semacam kolam renang (yang butek airnya) di sebelah kiri dan di sebelah kanannya lebih merupakan sebuah kolam. Di sini warnanya bagus jika difoto dengan Canon (Hasilnya lain dengan Nikon)

kolam sebelum air terjun

Dan selama kami berjalan masuk ke dalam, waktu itu matahari sudah tinggi sekitar pukul 11:30 an dan lembab! Panasnya…. Tapi untung sih tidak hujan, karena kalau hujan sudah jelas kami tidak bisa melihat kupu-kupu.  Terus terang dibandingkan 9 tahun yang lalu, kali ini aku banyak melihat kupu-kupu! Senang sekali, dan ciri khas kupu-kupu Indonesia terbangnya cepat dan aktif sekali. Susah untuk memotret mereka. Tapi karena banyak kupu-kupu yang terbang, aku bisa mencari obyek potret dengan mudah. Aku baru ingat dulu waktu 9 tahun lalu ke sini, kami datang sudah siang, dan memang kalau mau melihat banyak kupu-kupu semakin pagi semakin bagus.

sebagian kupu yang kujumpai. Yang kanan bawah itu sedikit dari yang kami beli dari pemuda di sana

Akhirnya kami sampai di bawah air terjun. Rupanya yang membedakan dengan 9 tahun yang lalu, adalah adanya pagar keramik sepanjang pinggir air, sehingga kita bisa duduk-duduk di situ. Dan jika mau turun ke bawah air terjun, bisa masuk lewat pintu yang tersedia. Di bantaran juga tersedia tempat untuk duduk bertikar yang disewakan, juga loker penyimpanan baju bagi yang mau mandi di air terjun.

Nah mulai deh ke dua anakku memandangi air terjun dan melihat orang-orang yang dengan riangnya bermain air. Dan keduanya mau turun ke air. Kupikir tidak apa karena koper kami masih di dalam mobil, jadi bisa buka kalau perlu baju ganti. Jadi kuijinkan asal jangan jatuh karena licin. Yang lucu, Opanya melihat cucu-cucu bermain air begitu, juga ingin turun main air. Justru aku lebih khawatir kondisi opa daripada cucu-cucu. Orang tua/lansia TIDAK BOLEH jatuh! Jadi aku langsung wanti-wanti Riku untuk memperhatikan opa, dan terus terang aku juga tidak bisa konsen memotret (dengan 3 kamera karena aku akhirnya harus pegang kameranya opa juga!) , dan tentu saja bersiap-siap kalau perlu aku pun turun ke air. Masa bodo deh hehehe.

Opa ikut bermain air!

Tapi senang melihat Opa senang! “Wah aku pertama kali turun ke air terjun Bantimurung sejak bertahun-tahun pulang kampung!” Dengan senangnya dia menceritakan pengalaman “main air” dengan cucu-cucu kepada teman-teman dan saudara-saudara setelah pulang. Dia tidak  tahu aku deg-degan terus karena teringat kata-kata Novi, adikku, di BB….” Mel you have THREE dependant!” hihihi.

Setelah puas bermain air, kami duduk di bantaran, sambil aku memotret kupu-kupu kuning-coklat yang terbang mendekat, sambil Opa melihat-lihat kupu-kupu yang dijual anak-anak setempat. Aku biarkan saja, karena Opa berbicara dengan bahasa ibunya, bahasa Makassar dengan mereka, dan mau membelikan kupu-kupu itu untuk cucunya. Padahal kalau mau jadi environmentalist sejati, seharusnya aku tidak membeli kan? Ohh… idealisme kadang membuat ribet memang ya. Tidak lama 4 kotak set kupu-kupu berpindah tangan. Dan empat kotak ini kemudian aku foto satu per satu dan minta Gen check apakah masuk Konvensi Washington atau tidak. Dan ternyata dari sekian banyak kupu-kupu ada 4 ekor yang tidak bisa kami bawa, dan kutinggal di rumah Jakarta (lagi).

istirahat di bantaran sambil Opa melhat kupu-kupu yang dijual

Kemudian aku tanya pada Riku apakah dia mau pergi ke sumber mata air yang ada di atas? Kalau Riku tidak mau, aku yang akan pergi, karena sebetulnya aku ingin membandingkan kondisi mata air itu dnegan kondisi waktu 9 tahun yang lalu. Padahal 9 tahun yang lalu aku tidak naik ke atas, karena menjaga Riku yang masih bayi. Tapi paling tidak bisa memotretnya dan membandingkan dengan foto-foto yang diambil Gen dulu. Ternyata Riku mau, dan aku pesan untuk memotret kondisi di atas. Sayangnya aku tidak menjelaskan dengan detil apa saja yang perlu difoto 😀 Jadi…. dia hanya ambil SATU foto hahaha.

Mataair di atas air terjun. Foto-foto ini diambil Gen, 9 tahun yang lalu

Setelah Riku kembali, kamipun beranjak dari lokasi air terjun untuk pulang. Ya, kami sudah lapar! Mau mencari makanan tapi tentu tidak di daerah situ. Padahal sebetulnya Taman Nasional Bantimurung itu bukan hanya air terjun saja, masih ada museum dan tempat penangkaran kupu-kupu. Kami berniat untuk skip museumnya, dan menuju ke penangkarannya, tapi ternyata tidak dibuka. Rupanya penjaganya sedang pergi sholat Jumat dan belum kembali. Nah, di sekitar itu memang masih merupakan semacam hutan liar. Jauh deh dengan Taman Kupu-kupu Cihanjuang di Bandung yang memang ditata rapi. Wild deh! Tapi di situlah aku melihat untuk pertama kalinya seekor BUNGLON yang besarnya hampir sebesar BIAWAK! Tadinya aku tidak melihat, dan oleh si abang yang memandu kami ditunjukkan dan kupikir aku mau mendekat saja. Ternyata langkah kakiku membuatnya takut dan lari! TAPI dengan larinya aku jadi bisa tahu dia ada di mana! Jelas tidak ketemu karena aku pikir bunglon itu pasti di atas dahan pohon, ternyata ini di tanah! Si abang itu bilang, “Wah itu sih masih kecil, biasanya lebih besar….” Tentu dalam bahasa Makassar yang diterjemahkan papa 😀

bunglon sebesar biawak! dia beradaptasi warna dengan patahan kayu di tanah

Keringat dan panas serta lapar mulai menyerang sehingga kami akhirnya cepat-cepat meninggalkan areal taman dan naik ke mobil. Aku sudah siapkan tip untuk pemuda yang mengantar-antar kami, tapi oleh papa dilarang karena rupanya om Ari sudah menyelesaikannya semua. Duh, aku tidak tahu bagaimana balas budi kepada Om Ari dan Om Benny!

So, setelah itu kami bergegas ke darah pantai Losari dan mencari makan. Bukan Mie Titi, atau Nyuknyang, atau coto Makassar tapi ikan bakar :D. Dan lucuuuu rasanya melihat Kai makan ikan bakar dengan tangan 😀 (Kalau Riku sih sudah sering, kalau Kai biasanya aku suapi kalau ikan)… Aduuuh jadi ingin makan Pallumara deh 😀

Karena kami sampai sudah terlalu siang, tinggal sedikit jenis ikan yang tersisa…. padahal aku ingin sekali makan Baronang bakar 😀

Ntah kapan aku bisa ke sini lagi…. mungkin kalau ada rencana ke Toraja bisa mampir ya? 😀  Semoga!

Postingan yang cukup lama ditulis karena gangguan kesehatan dan… malasnya memilih foto-foto 😀

 

Pulang Kampung

23 Jan

Mudik atau pulang kampung. Di mana ya kampungmu?

Aku kadang heran karena sebetulnya kalau mau dikatakan aku “pulang kampung” ke Jakarta, kata-kata ini tidaklah tepat. Kurasa Jakarta bukanlah kampung, dan kita tidak mungkin juga mengubah menjadi “pulang kota” kan? Mau pakai kata mudik juga tidak tepat juga…. tapi karena tidak ada kata yang cocok untuk menggambarkan pulang ke tempat asalnya, maka kupakai saja pulang kampung.

Untuk bahasa Jepang ada istilah 里帰り Satogaeri (Sato = kampung, gaeri=kaeri = pulang), itu untuk orang Jepang. Tapi untuk orang asing biasanya dipakai 一時帰国 Ichiji kikoku (ichiji= sesaat, kikoku = pulang ke negaranya), dan ini adalah bahasa resmi yang dipakai orang Jepang kepada pelajar asing di sini.

Aku pulang kampung ke Jakarta mulai tanggal 22 Desember sampai tanggal 7 Januari yang lalu. Begitu sampai di Jakarta aku dijemput adikku yang membutuhkan 2 jam untuk sampai ke bandara, diakibatkan banjir di dekat Senayan City. Ya hari Sabtu itu banyak temanku yang terjebak banjir. Oleh karena itu sebelum pulang ke rumah, kami bersiap makan dan ke wc dulu, dan ternyata jalanan lancar jaya dan kami bisa sampai rumah kurang dari 1 jam. Padahal banyak temanku yang menyarankan lewat BB untuk nginap di bandara saja saking parahnya kemacetan hari itu. Makanya aku agak heran waktu jalan Sudirman ke arah blok M begitu lancar. Semesta mendukung nih.

Memulai “pulang kampung” tgl 28 Desember 2012 @Soeta

Setelah menghabiskan waktu memperingati Natal bersama keluarga di rumah Jakarta, tanggal 28 Desember aku benar-benar pulang kampung, atau tepatnya menemani papaku pulang kampung. Kalau aku kelahiran Jakarta, papaku kelahiran Makassar dan sebetulnya ingin pulkam bulan Oktober lalu. Aku tahu memang biasanya bulan Oktober papa pulang sekitar hari ulang tahun oma, untuk nyekar dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Terakhir papa ke Makassar masih bersama alm. mama, dan setelah mama meninggal papa menjalani pengobatan untuk jantungnya yang hanya berfungsi 20%. Jadi sudah pasti tidak diperbolehkan bepergian sendiri ke luar kota. Nah, waktu aku merencanakan pulkam Natal/Tahun Baru yang cukup mendadak ini (mendadak dalam hal keuangan juga hehehe), aku menawarkan pada papa apakah mau pulkam ke Makassar berempat dengan kami. Papaku tentu dengan gembira menyambut ajakanku sampai berkata, “Aku bisa bayar tiket pesawat sendiri kok mel…..” Tapi itu kan hadiah Natalku dan Gen untuk papa 🙂

Sebelum naik pesawat. Kiri : aku dengan baby Riku, Agustus 2003 dan Kanan: Kai dan Riku, 9 tahun kemudian. Ya aku sudah 9 tahun tidak ke Makassar.

Kupikir kapan lagi aku bisa mengajak kedua anakku mengetahui asal muasal keluarga Coutrier di Makassar. Gen sudah dua kali ke Makasar th 2000 dan tahun 2003, sehingga kurasa tidak perlu menunggu Gen untuk mengajak anak-anak ke Makassar. Sejak opa dan omaku meninggal (th 2000 dan th 2004), meskipun masih banyak saudara di Makassar, agak sulit meluangkan waktu dan biaya untuk pergi ke sana. Dan sebetulnya dengan biaya yang sama aku bisa saja ke pulau Bali ikut adikku yang memang setiap tahun berlibur ke Bali. Bali bisa menunggu, tapi Makassar kurasa hanya bisa kudatangi sekarang ini.  Merencanakan perjalanan ke luar kota memang harus banyak perhitungan. Dan aku beruntung masih bisa mendapatkan tiket pesawat dan hotel dengan harga murah meskipun jadwalnya sudah sekitar akhir tahun yang biasanya padat pengunjung.

anak lanangku, dengan sukarela menjaga opa dan membantu membawakan ransel opa. I’m proud of you son!

Kami berangkat dari rumah pukul 4 pagi, untuk naik pesawat Garuda yang take off sekitar jam 6. Kami hanya membawa satu koper yang berisi pakaian ganti untuk kami berempat. Sedapat mungkin travel light, dengan hanya membawa satu bagasi untuk cabin. Riku yang biasanya membawa ransel, kali ini tidak membawa. Dan dia yang langsung menawarkan diri untuk menggendong ranselnya Opa. Memang aku sudah beritahu dia untuk memperhatikan opanya karena opanya tidak boleh capek, tapi tak kusangka dia punya keinginan sendiri untuk membawakan ransel opa. Tanggung jawab yang besar karena ranselnya berisi uang :D. Sebelum berangkat, waktu memesan dua kamar hotel, aku juga sudah katakan pada Riku bahwa dia satu kamar dengan Opa. Dengan khawatir dia berkata, “Kalau ada apa-apa dengan opa, aku musti gimana?” “Ya cukup telepon ke kamar mama dong… nanti mama usahakan supaya kamarnya sebelahan. Paling  juga kamu tidak dengar apa-apa, langsung mlempus tidur duluan 😀

Bandara Hasanuddin yang baru… begitu turun dari pesawat

Tapi begitu kami sampai di bandara Hasanuddin yang baru itu, kami tidak langsung ke hotel. Kami menuruni pesawat lewat belalai dan bisa melihat bangunan megah itu dari luar. Yang aku masih tidak bisa mengerti, mengapa di bandara Cengkareng (waktu berangkat) kami harus turun dan naik shuttle bus sampai ke dekat pesawat, lalu naik tangga. Memang sih anak-anak senang bisa melihat badan pesawat dari dekat, tapi amat sangat tidak menyenangkan bagi mereka yang sulit berjalan. Aku jadi teringat dulu opa dan oma  Makassar (sebutan kami untuk opa dan oma pihak papa) kalau mau ke Jakarta, pasti kami minta bantuan staff garuda untuk menyediakan kursi roda. Perjalanan domestik di Indonesia amat tidak menyenangkan bagi lansia dan mereka yang sulit berjalan. Tidak barrier free tentu saja, tapi jika ada belalai langsung dari gate ke pesawat paling sedikit mempermudah mereka yang sulit berjalan. Papa yang jantungan sebetulnya tidak boleh naik turun tangga, sehingga aku khawatir sekali waktu dia harus naik tangga masuk pesawat. Ah, ini suatu kenyataan yang harus aku hadapi bahwa lansia di Indonesia memang tidak didukung untuk bepergian, dan harus berpikir banyak kali sebelum mengajak lansia bepergian di dalam negeri. Jauuuuh sekali dengan pelayanan bagi lansia dan penyandang cacat di Jepang. So, lakukanlah perjalanan jauh sewaktu engkau masih sehat (dan muda)! (Dan aku bersyukur kampungku di Jakarta, at least masih bisa merasakan pelayanan untuk orang asing 😀 Pakai belalai dan eskalator!)

Phinisi di bandara Hasanuddin, 28 Des 2012

Karena masih pagi (jam 10 pagi euy…. kalau di Jepang itu sudah siang hahaha) , kami santai dulu pergi ke WC dan berfoto di depan perahu Phinisi di lobby kedatangan. Sambil papa menelepon orang yang akan menjemput kami. Kami beruntung sekali karena disediakan mobil selama berada di Makassar oleh teman lama papa, Om Benny. Padahal om Bennynya sendiri berada di Manado. Aku sudah kenal om Benny ini sejak masih anak-anak karena setiap kami pergi ke Makassar pasti kami dijamu oleh Om Benny. Dan aku masih ingat “tangan kanan”nya om Benny di Makassar, Om Ari yang selalu bertugas mengantar kami. Setelah mengambil koper kami keluar bandara. Karena papa mau minum obat, kami mencari teh tarik. Memang papa penikmat teh sejak dulu. Jaman aku pertama kali minum kopi di usia 12-an, papa sudah berganti haluan dengan minum teh. Dan akhir-akhir ini papa kerajingan dengan teh tarik. Ada sedikit insiden di suatu toko gerai donut terkenal DD, karena itu toko yang terdekat begitu kami keluar pintu kedatangan. Jadilah papa minta teh susu di situ, yang dijawab tidak ada, adanya teh biasa. Dan papa harus memilih salah satu tea-bag yang tersedia. Aku sendiri tidak tahu awal mulanya apa, tapi aku lihat di daftar menunya ada tea latte, jadi aku bilang, “Loh ada tea latte kan? Itu kan teh susu… Kalau itu ada, kenapa tidak sediakan itu saja?” Dan dijawab ada! Papa langsung marah dan bilang, “Saya tanya ada teh susu, kamu bilang tidak ada. Sekarang bilang ada. Kalian niat jualan ngga sih? Ayo kita pergi dari sini!” Hmmm mulai deh. Memang aku tahu pelayanan di Indonesia itu membutuhkan kesabaran, dan tidak cocok bagi orang-orang yang mobilitasnya (bisa dibaca: tempramen) tinggi 😀 (Makanya aku tidak kerasan tinggal di Indonesia :D). Teh susu kok bisa beda dengan Tea Latte? Jangan kasih nama asing deh kalau tidak tahu artinya 🙂 Akhirnya kami pindah ke toko lain, yang justru malah menyediakan teh tarik dengan tempat duduk yang lebih nyaman…. Welcome home papa!

Setelah minum yang hangat, kami bersiap untuk menuju tujuan pertama di kampung halaman Papa/Opa. Bantimurung!

Bantimurung

 

Salju itu (Tidak) Menyenangkan?

17 Jan

Seorang tanteku di Belanda menulis begini : “Sneeuw is mooi om te zien … leuk voor the kids om te spelen … maar ellende voor veel mensen —- Salju indah untuk dilihat … menyenangkan untuk anak2 untuk bermain … tapi jadi masalah untuk banyak orang”. Dan memang begitu adanya. Kalau sesekali turun sih masih menyenangkan, tapi…..

Seperti kutulis di posting sebelum ini, tanggal 14 Januari lalu turun salju cukup lebat, bahkan untuk wilayah Yokohama sudah 13 tahun tidak turun salju sebanyak kemarin itu. Ketinggian 15 cm untuk wilayah Tokyo itu tinggi! Memang jangan dibandingkan dengan daerah di utara Jepang yang setiap musim dingin saljunya minimum 1 meter 😀 (Tidak jarang sampai 3 meter juga loh). Dan memang salju selalu ditunggu anak-anak karena mereka bisa bermain lempar-lemparan salju, membuat boneka salju atau meluncur di atas salju.

boneka snowman yang kubuat sekitar 16 tahun yang lalu di atas apartemen tingkat 4. hidungnya wortel, mulutnya cabe 😀

Tapi setelah salju berhenti turun itu masalahnya. Kami tidak bisa menyetir mobil jika bannya tidak dilengkapi rantai. Tanpa rantai, mobil bisa slip dan menimbulkan kecelakaan. Kami juga harus berhati-hati waktu berjalan, harus memakai sepatu yang tidak licin dan tentu saja menggandakan waktu yang diperlukan untuk bepergian. Jika tadinya cukup 30 menit, harus perhitungkan 1 jam untuk perjalanan.

sebelum pergi dengan mobil, salju yang menumpuk juga perlu disingkirkan dulu. Memakai spatula (apa saja yang tidak tajam) dan air panas.

Dan salju setelah berhari-hari itu kotor! Tidak lagi putih bersih. Kami harus menyekop tumpukan salju untuk membuat jalan dan itu harus dilakukan waktu salju itu masih lembut. Kalau sudah lewat sehari, salju itu berubah menjadi serutan es dan jika suhu rendah terus salju tidak mencair malahan menjadi keras seperti es batu, dan ini sangat berbahaya.

jalanan seperti begini yang berbahaya karena licin

Hari ini aku harus mengajar sehingga Kai baru ke TK hari ini. Dua hari kemarin TK nya membebaskan murid-murid untuk tinggal di rumah. Jadi tadi pagi aku pertama kali juga keluar rumah mengantar Kai, naik sepeda. Dan ada beberapa jalan yang tidak bisa kulewati dengan sepeda karena licin, jadi aku harus turun dan mendorong sepeda, Halaman sekolah Kai juga masih penuh oleh salju dan genangan air sehingga anak-anak tidak bisa bermain di halaman. Ah Nerima memang Tokyo bagian desa sih :D, suhunya juga lebih rendah dari bagian kota Tokyo yang lain.

halaman TK Kai sore hari ini

Bagaimana? Mau coba tinggal di negara bersalju? Tapi percaya deh, kalau sudah merasakan hari dengan salju, maka hari-hari berikutnya akan terasa hangat!

Ulang Tahun

15 Jan

Sudah beberapa tahun terakhir ini, aku dan Gen tidak bisa merayakan ulang tahun bersama, karena biasanya pas tanggal 14-nya, Gen harus menginap di universitasnya untuk membantu kelancaran pelaksaan Ujian Pusat (semacam Sipenmaru dulu). Jadi biasanya hanya sempat meniup lilin kue ultah di pagi hari atau bahkan sesudah kembali dari menginap. Jadi tidak pernah bisa melewatkan satu hari tanggl 14 Januari itu berdua.

Nah, kebetulan sudah sejak awal Desember aku melihat di kalender bahwa tanggal 14 Januari itu jatuh pada hari Senin dan tanggal merah, hari Dewasa seijin no hi  di Jepang. Hmmm tapi biasanya meskipun tanggal merah Gen kadang harus bekerja, sehingga sudah aku wanti-wanti untuk mengambil cuti. Karena aku ingin kita merayakan ulang tahun bersama. Karena aku bisa mendapatkan tiket masuk SkyTree pukul 4 sore, aku membeli tiket itu untuk ber-6. Maksudnya ingin mengajak bapak dan ibunya Gen juga untuk bersama-sama pergi ke Sky Tree dan merayakan ulang tahun di tower setinggi 634m itu. Dan karena aku tidak berhasil memesan tempat untuk dinner di restoran di atas SkyTree (dan mahal sekali sehingga aku tidak mau), Ibu mertuaku berhasil memesan tempat di restoran China di hotel Asakusa yang dari restoran di tingkat 27 itu kami bisa melihat ke arah SkyTree dan menikmati dinner sekaligus pemandangan SkyTree malam hari. Jadi sudah perfect deh rencana kami untuk tanggal 14 Januari.

Jadi sejak tanggal 13 sore, kami pergi ke rumah mertua di Yokohama untuk makan malam bersama, kemudian menginap dan esoknya akan pergi naik kereta ke SkyTree. Namun kami memang mengetahui dari prakiraan cuaca bahwa kemungkinan Tokyo hujan dan bercampur salju. Jadi kami sudah siap tidak naik mobil, memakai baju tebal dan siap dengan payung lipat, sambil berdoa semoga tidak hujan.

Tapi…. begitu kami sarapan pagi pukul 8 pagi, Hujan mulai turun disertai angin kencang. hmmmm…. masak sih akan bersalju? Dan…. saat itu aku melihat butiran salju kasar mulai turun. WAH ternyata memang salju. Tapi kami pikir ah cuma salju sedikit, toh tidak akan menumpuk jadi tetap pergi saja. Pas jam 11 kami mau bersiap ganti baju untuk pergi, kami mendapatkan pemandangan seperti ini di halaman belakang rumah.

jam 11 saljunya sudah segini

Waaaah ternyata salju menumpuk dan sialnya untungnya salju terus turun cukup deras. Wah kalau begini ada kemungkinan kami tidak bisa naik ke SkyTree. Di homepagenya juga terlihat tayangan pemandangan ke arah luar dari tembo deck (tempat di atas Skytree) yang tertutup hujan, tapi waktu itu masih dibuka. Terpaksa kami membatalkan dinner di hotel karena terlalu beresiko untuk pulang malam hari dalam salju. Tapi tetap berusaha untuk pergi ke SkyTree, kalau bisa naik ya naik, kalau tidak kami toh harus pulang.

menuruni jalan terjal di depan rumah sekitar pukul 1 siang

Keluar rumah pukul setengah satu mendapatkan jalanan putih dan tumpukan salju cukup dalam. Kami berjalan hati-hati supaya tidak jatuh. Memang ada kiatnya untuk berjalan di atas salju, yaitu menginjak salju yang masih baru. Jika menginjak salju bekas pijakan orang lain, ada kemungkinan saljunya sudah mengeras dan licin! Dan kami berjalan menuju stasiun terdekat bersama ibu mertua yang tetap keukeuh ingin ikut. Tapi melihat kondisi salju, aku mohon kepada ibu mertua untuk pulang saja, karena khawatir pulangnya beliau harus sendirian jalan pulang dalam salju. Rencana jalan bersama masih bisa ditunda, daripada nanti berakibat buruk misalnya jatuh karena licin. Jadi aku dan Kai menunggu di stasiun, sementara Gen dan Riku mengantar ibu mertua pulang ke rumah kembali. Brrr dingin juga duduk di ruang tunggu stasiun itu.

kameraku ikut basah kena salju…

Sambil membalas email, dan bermain game dengan Kai, kami melihat seorang gadis berkimono yang duduk di sebelah kami. Kasihan juga melihat dia yang basah kuyub. Dan disitu dia ditemani bapaknya, mengganti kaus kaki dan sandal kimononya yang basah dengan kauskaki dan sepatu yang kering. Aduh kaki yang putih itu memerah kedinginan. Memang hari itu karena merupakan Hari Dewasa, di tempat-tempat pemerintah dan hiburan ada upacara penyambutan pemuda-pemudi berusia 20 tahun yang dinyatakan dewasa. Jadi mereka memakai kimono untuk yang wanita dan hakama untuk yang pria. Dan bisa dibayangkan repotnya berkimono dalam salju. Sayang sekali cuaca tidak mendukung mereka.

Setelah Gen dan Riku bergabung, kami naik kereta dan terus memakai subway (kereta bawah tanah) sampai ke stasiun SkyTree. Perjalanan yang panjang tak terasa karena kami bisa duduk dan melewatkan waktu dengan bermain game. Sesudah sampai di SkyTree kami terus naik sampai lantai 4 untuk menukarkan tiket kami persis pukul 4.

kaki SkyTree yang tertutup salju

Dan ternyata, karena kami selalu di bawah tanah, kami tidak tahu bahwa angin bertambah kencang, sehingga pada pukul 2 siang SkyTree ditutup tidak ada yang bisa naik ke atas. Hmmm memang sudah bisa diperkirakan, dan aku juga sudah merelakan seandainya tiket kami itu hangus. EH ternyata, kami mendapat penggantian tiket 100% karena cuaca memang buruk. Senangnya karena karcis ber-6 itu memang cukup terasa deh untuk kami (1 orang dewasa 2000 yen = 230.000 rupiah).

mendapatkan bath powder dan sticker sebagai tanda maaf staff SkyTree

Akhirnya kami mencari makan siang seadanya dan window shopping di pertokoan yang terkenal dengan nama Solamachi. Sekitar jam 6 sore kami mulai beranjak pulang karena takut kereta berhenti dan kami tidak bisa sampai ke rumah.

Well, sekali lagi kami berlapang dada menerima kenyataan bahwa tidak semua rencana kami bisa berhasil semua. Masih teringat rencana pesta ulang tahun Riku tahun lalu yang batal karena mama meninggal. Dan tahun ini, pesta ulang tahun aku dan Gen, batal karena cuaca buruk. Tapi buatku…. aku tidak sedih karena aku senang sekali melihat salju dan berjalan bersama-sama keluarga dalam salju, dan bertualang naik subway pergi pulang. Ini merupakan rekor terpanjang aku bisa naik subway selama itu sejak aku terkena penyakit panic syndrome sehingga tidak bisa naik kereta bawah tanah. Yang pasti ulang tahun kami tahun ini sudah kami lewatkan bersama keluarga….. for better for worst 🙂

di tempat ticket SkyTree

Selamat Tinggal

13 Jan

Mentang-mentang hari ini adalah hari terakhirku berusia 44 tahun, aku mau menuliskan “Selamat Tinggal” kepada si 44 yang telah menemaniku selama ini. Banyak yang telah terjadi dalam satu tahun yang telah lewat, termasuk yang paling besar pengaruhnya pada diriku yaitu kehilangan mama. Kalau tahun lalu mama masih menyelamatiku di telepon, tapi tahun ini aku tak bisa mendengar suaranya lagi. Ya, hampir satu tahun mama dipanggil Tuhan, tapi rasa kehilangan itu masih ada dan pasti terus ada. Kenangan tentang mama akan selalu berada dalam hatiku.

Setelah hari Sabtu aku beristirahat di rumah karena aku kurang enak badan, siang tadi kami berangkat dari rumah pukul setengah dua siang. Kami janji untuk bertemu bapak dan ibu mertuaku di rumah mereka di Yokohama. Ini merupakan kunjungan pertama kami ke rumah mereka pada awal tahun karena kami melewatkan tahun baru di Jakarta. Bukan, bukan untuk menagih otoshidama atau angpao :D, karena anak-anak malah sudah menerima angpaonya sebelum pergi ke Jakarta. Tapi merupakan kewajiban kami untuk sowan kepada orang yang lebih tua, bukan?

Pintu utama Jalur Toyoko, Stasiun Shibuya

Untuk pergi ke rumah mertua, jika tidak naik mobil, kami harus melewati stasiun Shibuya. Stasiun yang ketiga atau keempat terbesar dalam jalur Yamanote line setelah Tokyo, Ueno dan Shinagawa. Dan dari Stasiun Shibuya kami harus menaiki jalur Toyoko Line. Stasiun dan jalur kereta yang akrab denganku karena sejak aku datang ke Jepang 20 tahun yang lalu, aku selalu menggunakan jalur kereta ini. Dulu aku tinggal di 4 stasiun sesudah stasiun Shibuya.

Dan kami memang harus mengucapkan “Selamat tinggal” kepada stasiun Shibuya, jalur Toyoko Line ini. Karena pada bulan Maret nanti stasiun ini akan ditutup, dimusnahkan. Karena jalur Toyoko Line akan disambung dengan jalur Fukutoshi Line yang bersambung dengan Yurakucho Line, sehingga stasiunnya akan dijadikan satu di bawah tanah, tidak perlu berhenti di atas, di stasiun yang biasanya. Karena itu Gen ingin sekali mengajak kami semua untuk melihat stasiun itu terakhir kali dan mengambil foto. Sedih juga melihat pemandangan yang telah akrab di mata ini akan hilang untuk selamanya. Tapi semua tidak ada yang abadi, baik yang bernyawa apalagi yang tidak bernyawa. Sedangkan umurpun tidak statis, dia akan bertambah terus dan akhirnya…. berhenti suatu waktu.

Selamat tinggal usia 44th juga stasiun Shibuya. Terima kasih kenangan selama ini. Semua akan tersimpan dalam hati dan pikiranku, sampai aku mati tentunya.

Imigrasi

12 Jan

Aku sampai kembali ke Tokyo tanggal 8 Januari yang lalu. Pesawat ANA yang kutumpangi mendarat tepat waktu, sekitar pukul 6:40 pagi. Cuaca agak mendung dan dingin… tentu saja. Aku memang sudah memakaikan anak-anak down jacket yang ringan dan aku sendiri sudah memakai baju thermal di bawah baju yang kupakai. Takut jika tidak persiapan sejak di pesawat, kami akan masuk angin.

Karena kami duduk di nomor 17, kami bisa cepat keluar dan menuju imigrasi. Sebagai warga asing yang permanent resident, aku harus pergi ke barisan khusus, bukan w.n. asing, bukan juga w.n. Jepang. Tapi memang di bandara Narita itu counter imigrasinya banyak, dan mereka langsung buka barisan baru jika terlihat antrian sedikit saja. Semua counter dilengkapi dengan camera untuk pas foto dan scanner sidik jari, jadi meskipun di barisan orang Jepangpun, aku masih bisa dilayani. Sehingga urusan imigrasi bisa selesai tidak lebih dari 5 menit.

Aku memang tidak boleh mengeluh atas kondisi negara kita. Tapi kalau melihat sikap kita menerima “tamu” di bandara, rasanya kesal itu tak tertahankan.

Seperti pernah aku tulis, aku mendarat tgl 22 Desember di bandara Cengkareng, Jakarta. Pesawat tepat waktu, dna kami bisa langsung keluar dengan lancar. Karena aku harus mampir mengurus visa on arrival untuk anak-anakku, maka adikku Tina langsung menuju imigrasi untuk orang Indonesia dan mengurus koper. BUT dia harus menunggu lamaaaaaa sekali, hampir satu jam.

Waktu kami sampai di tempat visa on arrival, seperti biasa kami harus membayar $25/orang untuk 30 hari kunjungan. Setelah itu semestinya kami dilayani oleh petugas imigrasi yang terletak di sebelahnya. TAPI ternyata waktu itu tidak ada satu petugaspun di situ, dan rombongan orang-orang asing ini DISURUH langsung ke antrian imigrasi untuk orang Indonesia. Jadi dong terjadi antrian mengular di tempat orang Indonesia. Setelah menunggu dalam antrian, aku melihat keanehan yang terjadi waktu beberapa orang asing di antrian depanku, DIUSIR begitu saja oleh petugas dan disuruh kembali ke tempat untuk orang asing. Tidak dijelaskan apa-apa, sampai waktu giliranku, aku tanya kenapa? Ternyata dia tidak mempunyai kertas visa untuk orang asing, jadi dia bisa menyelesaikan proses arrivalku, tapi tidak untuk kedua anakku dan aku harus kembali ke tempat orang asing. Langsung aku bilang, “Tadi itu tidak ada orang pak. Apakah sekarang ada orang? Saya tidak mau bolak-balik dengan jarak cukup jauh begini dengan dua anak loh. Dan kenapa tidak diberitahu ke semua orang asing yang ada di belakang saya. Jelaskan dong, kasihan mereka tidak tahu. Jangan diusir-usir seperti anjing. Kan mereka tidak ngerti!”

Tapi tentu saja beliau diam saja, akhirnya aku teriak kepada orang-orang asing di belakangku dalam bahasa Jepang dan Inggris bahwa kita harus kembali ke tempat semula. Dan mereka semua mengikutiku kembali. TAPI waktu kami ke tempat itu sudah terjadi antrian yang panjang, kebanyakan orang Italia, penumpang pesawat sesudahku. Aku langsung antri di belakang mereka, dan menunggu giliran. Petugas HANYA DUA (dari 3 loket dan tengah-tengah satu petugas meninggalkan loket karena KEHABISAN Kertas visa 🙁 )! ampuuun deh. Semua orang Jepang di belakangku mulai ngedumel. MALUUUU sekali aku sebagai orang Indonesia 🙁 Mbok yo ada pengumuman, atau… ada permintaan maaf (kalau di Jepang pasti sudah bungkuk-bungkuk minta maaf). Tapi ini tidak ada sama sekali 🙁 Ya sudah aku terpaksa sabar, tapi aku tidak bisa menghubungi adikku yang sudah di luar. Sambil usah terus, aku melihat banyak sekali kekacauan tentunya. Ada satu orang Italia yang memaki-maki petugas karena… dia sudah ketinggalan pesawat. Memang, peljaran untuk semua orang kalau musti naik conecting flight, usahakan ada rentang waktu minimum 3-4 jam. Aku pernah ditawarkan oleh maskapai Singapore naik conecting flight dengan rentang waktu 2 jam, tapi aku tolak. Aku katakan aku tidak mau ambil resiko, dan aku tidak mau berlari. Itu maskapai Singapore yang terkenal, apalagi kalau maskapai kita yang terkenal “rubber time”nya hehehe. Dan teman adikku yang waktu itu bersamaku mengatakan dia pernah harus menginap di Jakarta atas biaya Garuda, karena tidak keburu untuk tukar pesawat. Mubazir kan?

Aku malu, aku malu, aku malu! Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Orang kita tidak tahu keadaaan penyambutan tamu asing, karena tidak pernah berurusan dengan imigrasi (terkecuali kasus TKI deh). Paling sedikit tolong dong beri pengumuman dalam bahasa Inggris. Ini seakan-akan mereka sama sekali tidak berusaha memakai bahasa Inggris (semua pakai bahasa Indonesia). Tanda-tanda penunjuk juga kurang, dan tidak tahu bahwa harus “beli” kwitansi 25dollarnya dulu sebelum mengurus visa, dipikirnya sekaligus. Ah, bagaimana bisa negara kita menarik wisatawan kalau begini. Di pintu gerbang masuknya saja tidak disambut semestinya. Apalagi sesudah pintu gerbang harus menghadapi kemacetan atau perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan. Setidaknya image pertama, yang diterima begitu mereka mendarat, bisa membuat mereka mempunyai keinginan untuk datang kembali ke negara kita bukan?

Selama ini aku paling kagum pada imigrasi Hongkong. Tanpa mesti menulis kertas apa-apa untuk visa on arrival, prosesnya begitu cepat, tanpa tanya macam-macam juga. Aku hanya bisa berharap (terus) supaya negara kita bisa lebih baik dan ramah terhadap pendatang.

Ayam Goreng

11 Jan

Baru kemarin malam aku melihat sebuah iklan di TV, dari waralaba ayam goreng terkenal milik seorang Kolonel 😀 Katanya ada rasa baru di gerai itu dijual rasa baru : Amakara kari-kari chicken yang kalau diterjemahkan langsung jadi Ayam Kriyuk Pedas Manis! Tergoda oleh penampilan ayam yang dimakan artis cantik itu, seakan enaaaak bener, aku langsung bilang, “Mama mau!”. Padahal aku sempat heran juga kok musim dingin mengeluarkan ayam pedas. Biasanya mereka mengeluarkan ayam pedas itu waktu musim panas saja.

karikari

Tadi siang sesudah mengajar, aku pikir mau membeli ayam goreng itu untuk lauk makan malam saja. Tapi …apa benar enak? Untung saja aku cicip dulu sebelum membeli yang banyak. Ternyata…. aneh bin ajaib untukku :D. Lebih banyak manisnya daripada pedasnya. Hmmm seperti ayam tepung diberi madu hihihi. Langsung deh batal beli yang banyak. Itulah akibat termakan iklan TV. Abis di TV kelihatannya enak bener dan warnanya merah-merah gitu kan…. pas lihat aslinya, loh kok pucat gini 😀

Tapi aku ada satu cerita lagi tentang Ayam Goreng. Mungkin kalau aku katakan ayam goreng, semua akan membayangkan ayam K*C itu, tapi ayam goreng yang disebut karaage di Jepang itu lebih menyerupai nugget. Jadi tanpa tulang. Bedanya karaage itu mempunyai lapisan kulit yang kriyuk juga. Dan untuk membuatnya sebetulnya mudah sekali, meskipun memang ada berbagai macam resep. Ada yang pakai lemon, atau jahe atau daun bawang dsb. Aku sih cukup diberi lada garam dan kecap asin, kemudian dilapis tepung kanji lalu digoreng. Dan biasanya aku potongnya kecil-kecil supaya lebih banyak bagaian yang crispy.

Ada seuatu cerita yang termasuk dalam Kamus Keanehan Jepang, sebuah acara TV yang mengumpulkan keanehan-keanehan di seluruh Jepang. Kemarin dulu aku menonton suatu keanehan yang berhubungan dengan karaage ini.

Sepasang suami istri membuka sebuah rumah makan dengan andalannya adalah nasi+ ayam goreng karaage ini. Ayam gorengnya cukup terkenal karena enak dan murah. Tapi sang istri yang melakukan pembukuan menemukan bahwa mereka bisa terancam bangkrut karena pengeluaran dan pemasukan tidak balance. Di antara suami istri itu memang ada semacam perjanjian, suami bertanggung jawab untuk memasak di rumah makan, dan istri melakukan pembukuan dan masing-masing tidak boleh mengganggu ranah yang lain. Istri akhirnya demi menyelamatkan perekonomian keluarga terpaksa menaikkan harga makanan di rumah makannya. Waktu si suami tahu bahwa pelanggan terpaksa harus membayar kenaikan harga, suami merasa kasihan pada pelanggan sehingga dia memutuskan untuk membuat ukuran ayam gorengnya lebih besar lagi.

Tentu saja akhirnya istrinya juga menemukan bahwa mereka bukannya untung dengan kenaikan harga kok malahan merugi, terpaksa dia menaikkan lagi harga masakan mereka. Begitulah terus menerus selama bertahun-tahun, sehingga akhirnya sampai ayam goreng itu terlalu besar untuk bisa ditaruh dalam piring dan terpaksa suami “berhenti” membuat ayam yang lebih besar lagi. Hanya gara-gara “miskomunikasi” dan tidak adanya kompromi dari suami istri tersebut, rumah makan itu terkenal dengan “Karaage Raksasa” sampai sekarang. Dan waktu diwawancara, suami istri yang sudah menjadi sepuh itu mengaku bahwa sudah tidak bisa lebih besar lagi 😀 Coba lihat fotonya, ini satu set nasi dan karaage untuk satu orang loh 😀 Kalau di keluargaku itu pasti sudah untuk berempat hehehe.

Set karaage dari rumah makan Miyagawa di prefektur Nagano. harganya 1050 yen atau sekitar 120ribu rupiah. Gambar diambil dari http://tabelog.com/nagano/A2006/A200601/20001793/dtlphotolst/P9587076/?ityp=1

Aaahhhh gara-gara membicarakan ayam goreng, aku jadi ingin makan Ayam Goreng Suharti. Waktu mudik 2 minggu kemarin belum sempat makan 😀 (Ngga terlalu nge-fans sih, tapi kadang-kadang kangen 😀 ).

Kamu suka ayam goreng?

 

Canggih!

10 Jan

Sudah 20 tahun aku tinggal di Jepang, dan melihat banyak kecanggihan orang Jepang dan terbiasa dengannya. Ada satu hal yang membuat aku sadar waktu Natal kemarin pulkam sebentar. Yaitu waktu di Bandara aku ke wc dan mau cuci tangan. Loh kok tidak keluar airnya? Tentu saja! Karena aku hanya mengulurkan tangan di bawah keran, tanpa memutar keran. Terbiasa di Jepang hampir semua keran di fasilitas umum itu otomatis. Memakai sensor sehingga air akan keluar hanya dengan mendekatkan tangan ke keran. Dan saat itu aku berkata, “Welcome to Jakarta mel”.

Hari ini mau posting pendek saja deh, masih capek pulang kerja pertama di Tahun Baru. Tidak terbiasa jalan lagi di dalam udara dingin, sehingga badan meriang dan kepala pusing. Apalagi katanya hari ini angin memang kencang dan dingin di Tokyo, dengan prakiraan max 8 derajat. Kalau di bawah sinar matahari sih masih mending….

Kecanggihan yang ingin kuperkenalkan kali ini adalah usaha merubuhkan sebuah hotel di pusat Tokyo. Jika teman-teman pernah perhatikan di televisi. Biasanya orang merubuhkan bangunan pasti dengan memakai alat berat seperti shovel car, atau kalau bangunannya besar memakai bahan peledak…. boooommmm!

Nah, di daerah Akasaka ada sebuha hotel yang terkenal dengan nama AKAPURI, singkatan dari Akasaka Prince Hotel. Aku pernah beberapa kali mengikuti acara di sana, dan hotel ini memang termasuk hotel tua karena dibuka tahun 1955. Hotel berlantai 40 setinggi 140 meter itu sesudah Gempa bumi Tohoku pernah menampung 788 pengungsi, sampai ditutup tanggal 30 Juni 2011. Tentu saja hotel ini ditutup karena sudah merasa “kuno” dan di tempat yang sama akan dibangun komplek apartemen/hotel yang lebih canggih lagi. Lokasinya memang bagus sih.

Nah masalahnya bagaimana merubuhkan hotel dengan 40 lantai, tanpa memakai bahan peledak? Nah di sini canggihnya. Jadi, perusahaan Taisei yang bertugas merubuhkan hotel ini, memakai cara unik, yaitu “memotong” bagian lantai atas tiap 10 hari 2 lantai. Sehingga tingginya akan menciut, sampai yang tertinggal adalah lantai teratas dan lantai bawah dan … habis semua pada bulan Mei 2013. Dimulai tanggal 13 November, pada tanggal 8 Januari kemarin sudah berkurang 30 meter tingginya dari 140 meter hotel aslinya.

Cara “pemotongan” lantai ini dilaksanakan karena ingin mengurangi debu dan suara yang keluar dari pembongkaran bangunan yang begitu besar (mengurangi polusi). Bahkan kalau tidak memperhatikan atau tidak tahu proyek ini, orang yang lewat di dekatnya bahkan tidak sadar bahwa sebetulnya hotel itu sedang menciut. Memang sih kalau memakai bahan peledak, resikonya besar sekali karena letaknya di pusat kota. Canggih ya? Cuma pasti biayanya tidak sedikit tuh…..

(Sumber data dan foto dari http://ajw.asahi.com/article/behind_news/social_affairs/AJ201301090049)

 

 

Rasa Baru & Edisi Terbatas

9 Jan

Horreee…aku sudah kembali ke rumah di Tokyo! Dan berarti kembali pada kesibukan utamaku sebagai… pembantu dan ojek sepeda 😀 Banyaaaaak sekali cerita yang akan aku tulis, tapi tentu saja tidak bisa sekaligus. Juga kadang aku bingung untuk mulai dari mana. Jadi sabar ya hehehe.

Senin, 8 Januari 2013. Sambil membereskan koper, aku menyiapkan makan malam. Karena siangnya sudah makan rendang, bingung juga malam hendak masak apa. Di kulkas tidak ada bahan yang cukup. Sedangkan Riku maunya makan sushi…. Tapi aku malas keluar rumah karena dingin, apalagi Gen yang sudah kurang tidur karena harus menjemput kami jam 7 pagi di Narita. Jadi aku bongkar koper deh, dan menemukan ini:

Indomie Cabe Ijo

Memang aku membeli Indomie rasa baru ini pada hari Minggu, sehari sebelum aku pulang. Tidak seperti biasanya aku belanja cukup sedikit untuk ukuranku. Karena aku tidak mau menambah jumlah koper yang ada, meskipun sebetulnya aku masih bisa sih membawa 1 koper lagi (=23 kg lagi). Belanja secukupnya saja. TAPI aku mengambil 20 bungkus Indomie rasa Cabe Ijo karena si @Pitoist bilang jumlah yang beredar sedikit sehingga agak sulit carinya. Maksudku, aku mau coba dulu sebelum masuk koper, kalau enak masuk semua, tapi kalau tidak enak ya aku tinggal saja di rumah Jakarta 😀 Jadi begitu pulang dari Carrefour aku minta mbak Anna, asisten rumahku itu untuk masak. Dan rasanya not bad lah. Demikian pula kesan Gen waktu semalam aku masakkan satu bungkus. “Pedes yaaaa!” Kata dia. Cuma aku agak ragu dengan warna “ijo” nya si cabe, kok sepertinya tidak wajar ijonya hehehe 😉 . Yah cukuplah untuk kali ini aku hanya membeli rasa yang baru ini saja, padahal biasanya aku beli berbagai macam rasa loh.

Memang setiap perusahaan yang inovatif biasanya mengeluarkan rasa-rasa baru untuk menarik pembeli lebih banyak lagi. Semakin banyak terjual semakin untung bukan? Tapi kadang kala penuh resiko karena bisa saja bukannya malah laku, tapi merugi karena onglos produksi lebih mahal. Nah, tadi malam aku terbangun pukul 1 malam JST dan lapar. Jadi aku buat sup cangkir yang diberikan ibu mertua. Di kotaknya tertulis Clam Chowder, tapi waktu aku masukkan air panas… loh kok warnanya oranye seperti sup tomat? Mustinya Clam Chowder itu kan putih. Rupanya yang terambil olehku itu adalah extra, tambahan yang dimasukkan dalam kotak dengan rasa sup krim udang. Mungkin perusahaan itu sedang mencoba mempromosikan dengan memberikan sample rasa sup yang baru diproduksi. Rasanya? Hmmm aneh sih, mungkin karena aku tidak begitu getol makan udang ya. Yang pasti, meskipun dijual, aku belum tentu mau membelinya.

sup krim udang

Ada banyak rasa baru dalam produk-produk makanan di Jepang (tentunya di Indonesia juga). Aku biasanya membeli untuk mencoba. Kalau enak ya beli lagi, kalau tidak enak ya stop sampai di situ saja. Aku memang suka mencoba rasa-rasa baru, selama masih edible 😀 Dan sering kali rasa-rasa baru itu dijual untuk jangka waktu tertentu saja, limited edition 期間限定 kikan gentei. Edisi terbatas. Atau ada juga yang dikeluarkan oleh daerah-daerah (perfektur di Jepang) tertentu saja, sehingga kalau mau mencoba harus membeli di daerah itu, atau minta tolong orang belikan, atau lewat internet. Di sini disebut sebagai Chiiki Gentei 地域限定. Dan memang orang Jepang itu suka sekali memburu makanan/barang yang terbatas-terbatas seperti ini. (Sepertinya Imelda sudah mulai jadi orang Jepang :D)

Kitkat limited edition (seasonal and regional)

Aku sempat membeli beberapa kitkat dengan beraneka rasa lewat internet. Ada yang edisi terbatas musim dan ada yang terbatas daerahnya. Memang perlu modal besar untuk mengumpulkan rasa-rasa ini karena satu kotak berisi 12 mini itu harganya sekitar 100.000 rupiah. Dan aku berikan untuk saudara-saudara kandungku dan sahabat terdekat saja masing-masing satu mini berbagai rasa. Limited person only. Untuk kalangan terbatas deh 😀 Aku sendiri belum coba semuanya, meskipun aku bawa pulang kembali satu set. Waktu aku tanya apa Gen mau coba dia bilang, “Aku lebih suka yang classic!”. Classic = coklat tanpa tambahan rasa-rasa lain alias coklat (bitter sweet) tok! … hmmm untuk coklat memang kami  berbeda :D. Mau tahu coklat yang paling aku suka? Marmalade, kulit jeruk yang dilapis coklat bittersweet! (Dan ini mahal harga per ons nya, jadinya jaraaaang sekali aku bisa beli 😀 )

Tapi Gen sangat setuju waktu aku membeli limited edition yang ini. Perangko dan kartu pos khusus peringatan 60 th Anniversary All Nippon Airways (ANA) yang hanya dijual di atas pesawat. Cukup mahal, tapi… kapan lagi kan? Belum tentu tahun ini aku bisa naik ANA lagi. Untuk menambah koleksiku dan mungkin bisa dijual mahal kalau ANA ulang tahun yang ke 100 😀 (kalau aku masih hidup atau aku hibahkan ke Riku saja 😉 )

Perangko terbatas

Rasa baru apa yang sedang kamu sukai? 😉