Tiga bulan yang lalu

23 Mei

Tepat tiga bulan yang lalu, atau 90 hari yang lalu, Mama berpulang kepada Bapa, dan “pindah rumah” ke Rumah Abadi….. Eternal Home.

Bagaimana perasaanku? Ya masih sedih, apalagi jika teringat, atau menyadari bahwa jika aku mudik nanti aku tidak bisa bertemu mama lagi, menciumnya, memeluknya. Padahal aku juga selama ini pulangnya setahun sekali paling lama satu bulan. Tidak bisa sering-sering bertemu. Juga tidak terlalu sering menelepon. Jika aku menelepon biasanya mama hanya mendengarkan “kicauan”ku, dan jika aku tanya, “Mama bagaimana?” dia selalu menjawab, “Ya… begitu. Namanya sudah tua. Sudah sering lupa” Dan kalau dia sudah bicara begitu, aku bilang, “Ngga usah mama, aku aja juga suka lupa. Suka sakit badannya. Namanya manusia ya ma…. pasti menjadi tua…” Tapi…. dia tidak pernah cerita bahwa dia mau dikremasi saja kalau meninggal. Tidak kepadaku, tetapi kepada adikku.

Ya, kami yang ditinggalkan masih belum bisa memahami keinginan mama jika dia meninggal. Ia ingin dikremasi dan abunya dibuang ke laut, sama seperti kakaknya. Rupanya pengalamannya waktu mengikuti prosesi kremasi dan dilarung abunya ke laut sangat membekas pada diri mama. Ntah karena dia ingin “bertemu” dengan kakaknya di perairan 7 samudra, atau lebih ke alasan ekonomis. Ya, dikremasi dan dilarung lebih murah dan tidak merepotkan bagi yang ditinggal, dibandingkan dengan pemakaman biasa.

Jadi waktu aku pulang ke Jakarta, aku saat itu hanya ingin mengetahui keinginan papa dan adik-adik bagaimana. Bagiku, cara apa saja OK. Apalagi aku sudah sering melihat upacara kremasi dari keluarga Gen. Yang memang untuk pertama kali pasti akan shock mengikutinya. Silakan baca di tulisan lamaku?http://twilightexpress.blogspot.jp/2006/07/for-dust-thou-art-and-unto-dust-shalt.html

Dua malam aku menjaga jenazah mama di kamar tamu rumah Jakarta sambil berdiskusi mengenai pemakaman mama. Tapi yang paling penting adalah keinginan papa. Papa sendiri sebetulnya tidak setuju kremasi apalagi dilarun atau ditebarkan abunya ke laut. Aku baru tahu bahwa papa tidak ikut waktu kremasi kakaknya mama, karena tidak setuju 🙁 Ya memang perlu mengubah mindset untuk bisa mengerti mengapa harus “kremasi”. ?Sama seperti tulisanku waktu omanya Gen meninggal, baru saat dikremasi kita bisa mengerti ayat dalam kitab suci :

 

in the sweat of thy face shalt thou eat bread, till thou return unto the ground; for out of it wast thou taken: for dust thou art, and unto dust shalt thou return. (Genesis3:19)
dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil;?sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kejadian 3:19)

Ya, manusia pasti akan kembali menjadi abu/debu. Jika dimakamkan, dikubur dalam tanah akan butuh waktu bertahun-tahun, tapi dengan dikremasi hanya dalam hitungan jam.

Papa memang sudah memesan kepada pengurus pemakaman untuk mempersiapkan kremasi di Oasis Lestari. Sepertinya ada keluarga jauh kami yang juga pernah di sana. Sebuah areal kremasi dan kolumbarium (tempat menyimpan abu seperti koloseum) yang dikelola oleh sebuah yayasan katolik yaitu?Dana Pensiun??Konferensi Waligereja Indonesia ? (DP KWI)?. Untungnya yayasan ini memiliki website dan aku diberitahu websitenya justru oleh sahabat mayaku, Nique.

Dalam website itu tertulis begini:

Dalam Order of Christian Funerals bagian Appendiks II no. 417 yang diterbitkan pada tahun 1997, diberikan catatan bagaimana kita mesti memperlakukan abu kremasi [sebenarnya partikel-partikel tulang].

1. Hal yang dilarang oleh gereja :

Penaburan/pelarungan abu kremasi ke laut/sungai, entah dari udara atau dari pantai dan Penyimpanan abu kremasi di rumah sanak kerabat atau sahabat.

2Hal yang dianjurkan Gereja :

Supaya abu jenazah yang dikremasi itu dimakamkan di pemakaman atau disemayamkan di mausoleum atau columbarium agar ada tempat untuk mengingat pribadi yang meninggal sekaligus tempat kita berziarah dan berdoa.

Berdasarkan keterangan ini, maka papa pun memutuskan untuk tetap mengadakan kremasi dan menyimpan abunya dalam kolumbarium. Ya, aku pun sependapat dengan papa. Meskipun aku menyetujui kremasi, aku tidak bisa membayangkan jika abu mama disebarkan ke laut misalnya. Bagaimana aku akan berziarah jika di laut? Memang semua laut di seluruh dunia sambung menyambung, tapi aku tetap tidak bisa pergi ke Teluk Tokyo misalnya untuk berdoa pada mama. Memang benar juga bahwa kita bisa berdoa di mana saja, tapi tetap yang namanya manusia tetap memerlukan simbol, tempat yang kasatmata, yang bisa dilihat. Meskipun mungkin hanya setahun sekali saja kita berziarah ke makam. Jadi makam, atau kolumbarium atau mausoleum itu lebih terletak pada kepentingan orang-orang yang ditinggal. Orang yang meninggal tidak memerlukannya.?

Rumah Abadi Mama

Jadi kami meletakkan abu mama dalam guci ke dalam kolumbarium. Sebuah kotak kaca kecil dalam sebuah dinding panjang. Kami menyebutnya sebagai flat baru mama. Ah mama, dia memang menurunkan sifat bercandanya pada kami. Begitulah keluarga Mutter… selalu bercanda, baik dalam upacara kematian. Bercanda sambil menangis….. Sehingga kami yang mewarisi sifatnya bisa mengatakan, “Mama, ini flat baru mama. Rumah abadi mama. Apartemen Nomor E-1 ya. Semoga mama kerasan” 😀 🙁 🙁

Memang banyak tempat menaruh guci itu yang benar-benar dihias seperti rumah oleh keluarga-keluarga. Ditaruh foto atau barang kesukaannya. Yang bagusnya di Oasis Lestari ini, kami pun bisa berdoa di depan “rumah abadi” mama dengan khusyuk tanpa takut kena hujan. Belum lagi setiap bulan, Oasis Lestari ini juga mengadakan misa arwah, mengenang saudara-saudara yang “tinggal” di situ. Dan persis tanggal 12 Mei kemarin, persis hari ulang tahun mama, mereka mengadakan misa arwah di sana.

Kami di Tokyo, memperingati hari ulang tahun mama, tanggal 12 Mei 2012 yang berdekatan dengan Mothers Day dengan mengadakan misa di gereja St. Anselmo, Meguro. Pada hari itu, aku memutuskan untuk membaptis Kai menjadi katolik. Memang biasanya kami, umat katolik membaptis anak-anak kami waktu masih bayi. Tapi selama ini aku pribadi belum menemukan pastor yang cocok, waktu yang pas, karena aku ingin adikku Tina yang menjadi ibu permandian bagi Kai. Sehingga aku baru membaptis anak keduaku ini waktu dia sudah berusia 4 tahun. ?Dan kebetulan pastor Ardy Hayon SVD, yang sudah kukenal sejak aku hamil Kai pindah tugas dari Akita ke Kichijouji, Tokyo.

Dan aku merasa memang seperti semua sudah seharusnya. Kai sudah mengenal cara berdoa, cara umat kristen bersikap. Bahkan setiap malam terlebih sesudah mama meninggal, dia selalu berdoa dengan suara keras. Doanya yang dia karang sendiri :

“Tuhan, tolong aku supaya tidak mimpi buruk. Bisa bangun pagi dan sehat. Tolong papa yang belum pulang supaya selamat sampai di rumah. Tolong oma supaya oma bisa bertemu Tuhan. Tolong opa jika kesepian, temani dia. Tolong opa jika takut, dampingi opa. AMIN”

aaahhh waktu pertama kali dia menyebut “Supaya oma bisa bertemu Tuhan” tangisku tak bisa berhenti…..juga ketika aku beritahu bahwa opa akan operasi kateter tanggal 8 Mei lalu (dan sampai sekarang masih belum tahu cara operasi apa yang terbaik untuk penyumbatan jantung Opa) dia langsung tambahkan dalam doanya, “Tolong Opa jika takut….”

Ignatius Kai Miyashita

Ignatius Kai Miyashita, 4 tahun … semoga kamu menjadi anak kristen yang berguna bagi gereja, keluarga dan masyarakat. Jangan takut karena Yesus dan St Ignatius melindungimu. Selalu….

 

sebuah postingan yang tertunda 1o hari….