Pacar? Oh no… jangan diingat-ingat lagi deh kalau itu hohoho. Tapi kalau mengganti baju dalam sehari tentu boleh ditanyakan dong ya? Atau mengganti kaus kaki (biasanya sih sehari sekali bukan? ….yang jawab bukan, aku ngga ngerti deh seberapa baunya kakinya hehehe. Kecuali kalau basah kena hujan yaaaa). Atau mengganti gelas/mug dalam sehari? Nah ini aku tahu pasti ada yang bilang setiap kali minum, tapi kalau yang “environmentalist” pasti berkata satu hari sekali, pakai satu gelas diberi tutup/nama. Aku termasuk orang yang pakai satu mug satu hari 😉
Entah kenapa pagi ini aku sambil menjemur pakaian teringat pada sebuah acara di TV yang bernama “Nandemo World Ranking” yang diasuh oleh Imoto dan Neptune (Sekai Bantzuke). Sesuai dengan namanya acara ini menampilkan G20, 20 orang dari berbagai negara yang menjawab tentang kebudayaan di negerinya. Dan tentu saja termasuk orang Indonesia, yang jika dilihat dari daftar namanya bergantian dengan 3 orang.
Biasanya staff menyediakan suatu ranking tentang topik tertentu dan dari hasilnya akan dikomentari wakil dari negara yang bersangkutan. Ranking itu memang bermacam-macam, dan ada yang sudah pernah aku tulis juga di Graffiti or Rakugaki. Untuk sebuah episode misalnya ada ranking mengenai:
・よく掃除をする国ランキング Ranking mengenai negara mana yang paling sering membersihkan rumah. Hasilnya nomor 1 adalah Chile dengan angka 17,8 kali/seminggu. Alasannya karena di Chile banyak laba-laba beracun sehingga perlu sekali sering membersihkan rumah agak laba-laba itu tidak sempat datang dan menghuni rumahnya. Sedangkan yang paling jarang membersihkan rumah adalah Norwegia dengan angka 3,4kali/minggu, karena kedua orang tua bekerja sehingga tidak sempat membersihkan rumahnya (dan tentu saja tidak ada ART seperti di Indonesia). Jepang sendiri berada di posisi 27 dengan 9,5 kali seminggu.
・お風呂(シャワー)に入る国ランキング Ranking negara yang paling sering mandi. Nah ini perlu berbangga karena Indonesia mendapat ranking no 1 dengan 13,8 kali/minggu, dan yang paling jarang mandi adalah negara China dengan 4,5 kali/minggu. Memang China luas sekali, sehingga daerah yang panas tentu lebih sering mandi, tapi di daerah yang dingin mereka tidak ada air panas untuk mandi, sehingga jarang mandi. Kebiasaan mandi ini memang bergantung pada suhu udara rata-rata. Yang menarik jawaban dari Orang India, yaitu bahwa mereka pasti makan kare setiap hari, sehingga badannya juga ikut berbau kare. Karenanya perlu sering mandi. (sambil ingat temanku pernah berkata bahwa orang India sering berbau bawang bombay)
´パンツを取り替える国ランキング Ranking negara yang paling sering mengganti celana dalam. Di sini juga Indonesia menempati posisi pertama dengan alasan bahwa setiap sembahyang ganti celana dalam, sehingga dalam sehari bisa beberapa kali ganti celana dalam. Sedangkan yang paling jarang ganti adalah China (lagi) . Hmm aku sendiri cukup kaget mendengar hasil ini, karena memang biasanya kita mengganti CD sesudah mandi (jadi 2 kali sehari), tapi aku baru tahu bahwa umat muslim mengganti CD setiap sembahyang. Wakil Indonesia yang perempuan bahkan mengatakan (sambil menunjukkan) bahwa dia selalu membawa tas isi peralatan sembahyan+CD untuk ganti). Tapi dalam pembahasan soal ini, ada suatu fakta yang mengherankan yaitu orang NewZealand jarang mengganti kaos kaki. Wakil NZ mengatakan bahwa dia sudah pakai kaos kaki yang sekarang dia pakai selama 65 hari. hiiiiii jorok (Si Kai sering loh pakai kata “jorok” meskipun sering kebalik-balik dengan “jelek” hahaha)
Masih ada bermacam-macam ranking yang dibahas, tapi yang aku teringat waktu tadi menjemur baju ya yang tentang ganti CD itu. Jadi aku ingin tahu apakah benar setiap sembahyang umat muslim mengganti CD nya? Lalu kira-kira apa lagi ya yang sebetulnya perlu diganti secara rutin secara berkala? Yang kutahu sahabatku si Nique pernah menulis tentang SIKAT GIGI. Oh ya, Aku juga pernah menulis tentang Handuk loh….
Selamat berakhir pekan! Dan untuk yang di Jepang, selamat menyambut Golden Week 😉
Ada yang tahu apa itu herbarium (pluralnya: Herbaria) ? Wah aku natsukashii (kangen) sekali mendengar kata herbarium. Mungkin sudah lebih dari 25 tahun tidak mendengar kata itu. Herbarium adalah koleksi contoh tumbuhan yang dikeringkan. Jadi ingat dulu pernah membuat daun yang dikeringkan di dalam buku sampai hanya tinggal tulang daunnya saja. Nah itu termasuk cara untuk membuat herbarium. Dan, tentu mengingatkanku juga bahwa dulu aku pernah ingin belajar biologi, tapi akhirnya nyasar di Sastra Jepang :D. Oh ya, waktu aku mencari definisi herbarium, aku boleh berbangga sedikit karena Herbarium Bogoriense (BO) (Bogor, West Java, Indonesia) termasuk dalam 23 herbaria terbesar di dunia.
Kenapa tiba-tiba aku bicara soal herbarium? Ya karena tadi pagi aku pergi ke Makino Memorial Garden dan Museum yang hanya 5 menit naik sepeda dari rumahku. Dan siapa itu Makino?
Seperti biasa kemarin aku mencari di Jepang itu hari peringatan apa, dan ternyata kemarin tanggal 24 April adalah Hari Botanical di Jepang, untuk memperingati botanist Jepang Makino Tomitarou yang merupakan bapak Botanist Jepang. Dan persis tahun ini sebetulnya adalah 150 th hari kelahirannya (24 April 1862). Aku mulai curiga karena nama Makino kok aku sering dengar, ternyata memang benar nama yang sama dengan sebuah museum di dekat rumahku. Dulu Gen dan Riku pernah pergi ke situ tapi waktu itu sedang direnovasi, jadi tidak banyak foto yang diambil. Sayang sekali aku terlambat tahu mengenai hari kelahiran Prof Makino ini (sudah hampir jam 7 malam), kalau tidak aku bisa lari sebentar ke sana.
Kebetulan hari ini tidak hujan meskipun agak mendung, jadi setelah mengantar Kai ke TK, aku pergi ke tempat tersebut naik sepeda. Sebuah tempat yang teduh sekali. Setelah mengisi buku tamu, si Penjaga sempat bertanya, “Anda bukan orang Jepang kan?” hehehe. Dan sekaligus aku tanyakan apakah aku boleh mengambil foto di situ. Boleh katanya… tapi untung saja waktu di museumnya aku tidak memotret, karena ternyata di dalam museum tidak boleh memotret. Kalau di halaman boleh.
Aku mengelilingi kebun yang penuh dengan jenis-jenis pohon, termasuk pohon sakura. Sayang sekali sakura yang umum (mekar awal April) sudah tidak berbunga lagi. Coba pas mekar-mekarnya aku ke sini, pasti bagus deh. Well, masih ada tahun depan. Ada sebuah pohon sakura yang jenis Yaesakura yang mekarnya memang terlambat, namanya Fukurokuju Cerasus lannesiana ‘Contorta’ Miyoshi . Pantas aku banyak melihat jenis ini di jalan ke Universitas W, rupanya memang mekarnya sesudah pohon sakura Someiyoshino.
Setelah puas melihat di halaman, aku masuk ke museumnya. Masih ada bagian kamar belajarnya Prof Makino yang asli terbuat dari kayu dan menggambarkan kehidupannya waktu itu. Di situ juga ada tumpukan buku yang tentu saja hanya sebagian kecil dari koleksinya. Termasuk juga maket rumah yang di Nerima ini. Rupanya dulu sebelum tinggal di daerah Nerima, beliau tinggal di Shinjuku, dan rumahnya kebakaran. Untuk menyelamatkan koleksi dokumen dan buku-bukunya, dipinjamkan rumah yang cukup luas di Nerima ini. Luasnya 2.222 meter persegi dan dipenuhi dengan berbagai tumbuhan untuk keperluan penelitiannya juga. Beliau tinggal di sini sampai akhir hayatnya dalam usia 94 tahun pada tahun 1957. Museum dan taman ini dibuka untuk umum setahun sesudahnya. Dan yang bagusnya, karena dipelihara pemerintah daerah Nerima, untuk memasuki museum ini tidak dipungut biaya.
Dalam museum dipamerkan artifak, benda-benda yang dipakai profesor Makino, serta contoh buku, gambar-gambar yang dibuatnya. Ada pula riwayat perjalanan hidup profesor Makino ini. Dari wikipedia kemarin aku juga mengetahui bahwa sebetulnya beliau bahkan tidak lulus dari SD. Tanpa masuk sekolah menengah, beliau belajar otodidak bahasa Inggris, geografi dan botany. Waktu beliau menjadi guru bahasa Inggris itulah, beliau pertama kali membuat tulisan akademis mengenai ilmu tumbuhan. Dengan bekal itu beliau diperbolehkan belajar di Universitas Tokyo, dan meraih gelar doktor pada usia 65 tahun. Dan dari foto-foto yang dipajang, ada satu yang membuat aku bergetar…. yaitu foto waktu beliau berusia 93 tahun dan sakit-sakitan sehingga harus tetap di tempat tidur, tapi masih meneliti dan memeriksa gambar yang dibuat muridnya. Benar-benar belajar (meneliti) sampai mati!
Kalau melihat betapa detilnya gambar tetumbuhan yang dibuat oleh Prof Makino, aku juga bisa membayangkan bahwa profesor ini pastinya pandai menggambar seperti paktuonya Inon. Detil dari bunga-bunga, daun dan bebijian begitu apik digambarkan dan menjadi bagian dari ensiklopedi tumbuhan Jepang. Kalau dipikir jaman sekarang ini jauuuuh lebih mudah, karena ada kamera (apalagi yang lensa makro). Semua tinggal jeprat-jepret. Dulu mana ada? Hebat euy.
Apalagi kalau mengatahui bahwa beliau itu yang menemukan dan memberi nama 2500 tumbuhan termasuk 1000 species dan 1500 varietas baru! Passion dan semangatnya itu loh, patut ditiru. Semoga saja bisa tertular padaku, karena sesungguhnya mengetahui bahwa pernah ada orang hebat yang tinggal sedekat ini saja, aku sudah bangga hehehe :D. Bagi yang berminat mengunjungi Taman dan museum kecil ini bisa menghubungi aku sampai dengan tanggal 17 Juni 2012 (khusus untuk pameran lukisan Sakura yang dibuat oleh pelukis/peneliti khusus dalam rangka memperingati 150 tahun kelahiran Prof Makino).
Bukan nama partai politik atau organisasi deh pokoknya. Cuma LPF ini adalah “pelajaran” baru yang kudapatkan hari ini. Singkatan dari Low Pass Filtering. Mau tau isinya apa? Silakan baca wikipedia di sini yah. Soalnya aku juga tidak ngerti hihihi.
Jadi ceritanya kamera DSLR Nikon D-80 kami (yang lungsuran dari bapak mertua) itu ternyata kemasukan kotoran di lensa bagian dalamnya. Aku sadarnya waktu aku bawa ke Jakarta waktu mama meninggal Februari lalu. Setiap memotret pasti ada titik noktah hitam yang tidak bisa hilang meskipun sudah diganti lensa atau dibersihkan lensa luarnya. Hmmm pasti butuh servis nih. Apalagi waktu aku pakai untuk memotret sakura di Taman Inokashira waktu itu, kehadiran noktah itu amat sangat mengganggu. Sayang keindahan sakuranya jadi berkurang banyak, meskipun sudah aku usahakan hapus dengan photoshop.
Waktu kutanya bapak mertuaku, ternyata memang sering terjadi seperti itu, dan tinggal bawa saja ke service center Nikon, yang ada di Ginza atau di Shinjuku. Karena rumahku lebih dekat ke Shinjuku, pagi tadi kubawa kamera itu ke Nikon Plaza di Gedung L Tower, Shinjuku. Aku beritahukan masalahnya, dan oleh petugas aku diberi kertas order servis dan bisa diambil pada jam 1 (waktu itu pukul 11:30). Wah cepat juga. Dan tertulis biayanya 1500 yen (150.000). Murah! Aku sudah takut saja kalau biayanya mahal.
Sambil menunggu servis selesai, aku janjian makan siang dengan Tina adikku dan temannya, di sebuah restoran Indonesia di Shinjuku. Bukan di restoran Jembatan Merah, tapi di restoran Bali Lax. Hmm aku baru pertama kali ke sini. Oleh Tina disarankan ke sini karena semua lunch menu setnya seharga 980 yen dan sudah termasuk salad bar, minuman, dessert dan sup. Tina sukanya karena bisa makan sayur sebanyak-banyaknya di sini. Well memang sih salad pumpkin yang digiling dengan cream cheese nya enak!
Kami memesan Nasi Campur, yang terdiri dari sate daging, ayam bumbu, bakmi goreng, acar, kerupuk dan ikan goreng tepung. Semuanya jumlahnya sedikit (untung juga karena pasti tidak habis). Supnya sup thailand semacam Tom Yan. Dessertnya irisan orange, nanas dan coktail buah. Ada kopi dan teh juga (Aku tak tanya kopinya kopi apa. Tapi yah kalau menurutku rasa masakannya jauh dari masakan Indonesia, meskipu mungkin cocok untuk lidah orang Jepang. Tapiiii di sini suasananya bagus. Ada kolam-kolaman dengan hiasan-hiasan Bali. Di pintu luar tertulis sih kalau dinner, setiap orang dicharge 525 yen selain pesanan makanan dan minuman.
Salah dua yang menarik adalah penulisan Nasi Campur dalam alfabeth yang aneh! Padahal tulisan dalam katakananya sudah benar Nashi camupuru, eeeeeh kok alfabethnya jadi Nasi Thanpuru 😀 Selain itu koki dalam bahasa Inggrisnya menjadi shef. Lucu jadinya. Yang lainnya adalah sebuah “sayur” yang baru kukenal. Namanya Romanesco. Cuma kok kelihatan grotesque ya?
Setelah makan (salada sebanyak-banyaknya) dan bercakap-cakap, Tina dan temannya harus kembali ngantor dan aku juga harus mengambil kameraku. Nah baru saat aku mengambil kembali kameraku itu aku membaca di papan digital bahwa Low-pass itu memakan waktu 1 jam. Ya pembersihan lensa dalam itu dengan cara yang diberi nama Low Pass. Sebetulnya bisa sendiri, karena waktu aku googling ketemu caranya di Youtube ini. Tapi kok aku takut coba-coba (awalnya juga tidak tahu sih) padahal kalau bisa sendiri, kan tidak usah keluar 1500 yen. But still leave it to the pro’s. Lebih afdol a.k.a lebih mantap! Betul kan?
Hari ini tanggal 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia, World Book Day seperti yang sudah kutulis di posting tahun 2008. Tapi di Jepang juga diperingati sebagai hari “Hari Baca Anak-anak”, yang ditentukan dalam UU No 154/ 2011. Wah betapa pemerintah Jepang merasa bahwa membaca itu perlu bagi anak-anak sampai perlu membuat UU. Dan jika melihat undang-undang tersebut bisa diketahui bahwa UU Meningkatkan Minat Baca Anak-anak ini berhubungan dengan UU Dasar Pendidikan Kyouiku Kihonho 教育基本法, UU Perpustakaan 図書館法, UU Perpustakaan Sekolah 学校図書館法, dan Internasional Library of Children Literature 国際子ども図書館.
Perpustakaan memang mempunyai fungsi yang sangat besar dalam mengembangkan minat baca anak-anak. Perlu diketahui bahwa perpustakaan terbesar di Jepang adalah National Diet Library Kokuritsu Kokkai Toshokan 国立国会図書館. Semua buku yang diterbitkan di Jepang baik oleh penerbit atau individu, pasti mengumpulkan contoh bukunya di Perpustakaan Kokuritsu Kokkai Toshokan yang terletak di Chiyoda-ku. Jumlah buku, majalah, surat kabar dan peta yang terkumpul di sini ada kira-kira 38juta buku. Luas perpustakaan yang di Tokyo sebesar 148.000 meter persegi atau sekitar 21 buah lapangan sepakbola. Pengunjung perpustakaan ini setahunnya tidak kurang dari 500.000 orang, dengan 890 pegawai yang bekerja di sana. Buku tertua yang disimpan dalam perpustakaan ini adalah buku doa agama Buddha yang ditulis tangan pada tahun 740, atau yang tercetak pada tahun 770.
Nah, buku anak-anak yang terdapat di perpustakaan Kokuritsu Kokkai Toshokan ini kemudian dipindahkan ke Perpustakaan Sastra Anak InternasionalKokusai Kodomo Toshokan 国際子ども図書館 yang terletak di Ueno. Konon 300.000 buku anak-anak disimpan di sini. Waktu kubuka website Perpustakaan Sastra Anak Internasional ini aku kaget membaca tentang daftar buku anak Indonesia yang disimpan di situ. Pas dibuka ternyata hanya ada 200 judul buku :D. Terus terang aku sendiri belum pernah pergi ke perpustakaan terbesar di Jepang Kokkai Toshokan, dan Perpustakaan Sastra Anak Internasional ini. Suatu hari aku ingin pergi ke sana.
Tapi aku sudah pernah pergi ke distrik atau kota BUKU terbesar di dunia yang terdapat di Jinbocho Kanda. Satu daerah itu mempunyai 18o toko yang masing-masing mempunyai spesialisasi masing-masing, mulai dari pamflet film sampai buku mengenai kendaraan. Aku sendiri waktu itu pergi ke toko buku ASIA BUNKO, sebuah toko yang menjual berbagai buku dan kaset mengenai Asia sejak tahun 1984. Aku lupa waktu itu aku membeli buku apa, tapi yang pasti saat itu aku melihat sebuah kamus tebal Jepang-Indonesia seharga 20.000 yen (2 juta rupiah saja). Ingin beli tapi…… tentu saja tidak jadi 😀
Sekian dulu perkenalan mengenai buku dan perpustakaan di Jepang sehubungan dengan World Book Day dan Hari Baca Anak-anak di Jepang. Sayangnya akhir-akhir ini belum ada buku picture book lagi yang menarik untuk anak-anak yang bisa aku ulas di sini. Tapi hari Sabtu dan Minggu kemarin, waktu aku bolos menulis TE, aku menyempatkan diri membaca 2 buku novel karangan Maria A. Sardjono berjudul Istana Emas dan Kleting Kuning serta dua buah novel harlequin berbahasa Inggris.
Dalam hidup kita tentu ada yang bisa dihindari dan yang tidak bisa dihindari. Yah, seperti kematian, jika kematian alami memang tidak bisa dihindari, tapi jika kecelakaan, semestinya bisa dihindari. Kalau sudah menghindari dengan berbagai cara tapi tetap terjadi kecelakaan ya namanya apes hehehe. Banyak yang bilang nasib (cuma aku kok tidak begitu suka kata nasib, seakan manusia itu pasif jadinya) atau karma… apalah namanya yang penting sebetulnya manusia harus tetap berusaha sebaik mungkin.
Hari Kamis malam kemarin, mungkin hari apesnya Gen, meskipun aku dan Gen tidak menanggap sebagai apes sih, biasa saja. Waktu dia mengemudikan mobil di jalan tol, ada sebutir kerikil kecil yang seenak udelnya “loncat” ke front mirror, kaca depan mobilnya. Pletak…. dan membuat lubang kecil yang mulai meretakkan kaca. Untung posisinya bukan di ketinggian mata, masih di bagian bawah. Tapi karena bahaya, kami memutuskan untuk membawa mobil itu ke bengkel untuk diganti. Wahhh pasti mahal deh.
Hari Jumat pagi, kebetulan Gen libur (mengambil cuti) karena menjaga Kai sementara aku mengajar. Jadi berdua Kai, dia pergi ke bengkel dealer Honda, dan diberitahu untuk kembali hari Minggu. Mungkin mereka harus memesan front mirror dulu di bengkel ya. Dan diberitahu bahwa kami harus membayar 50.000 yen (5 juta Rp) untuk penggantian kaca. Hmmm karena memang harus dan perlu karena bahaya jika dibiarkan, kami menyanggupi. Bayangkan jika sedang menyetir, karena getaran mobil, retakan kaca tambah besar dan… pyarr pecah, serta serpihan kacanya masuk ke dalam….. hiiiiii…… Itu saja sudah murah, karena seharusnya biayanya 12 juta. Asuransi yang kami ikuti ternyata tidak menanggung semuanya (tergantung pilihan option kami dan waktu memilih ternyata kami memilih asuransi mengcover biaya jika melebihi 50.000 yen). Sepertinya kami harus mengganti option asuransi mobil kami nih.
Jadi memang ada hal-hal tak terduga yang bisa terjadi dalam hidup ini, yang tidak bisa dihindari. Hal buruk, maupun hal baik 😀 Dan hal baik yang tidak bisa kami hindari itu antara lain adalah ulang tahun! Kebetulan sekali waktu aku mengajar di Universitas S hari Jumat, adikku yang rumahnya hanya beda 2 stasiun dari universitas tersebut, sedang bekerja di rumah. Dia memang programmer sehingga sering juga kerja dari rumah, daripada kantornya yang di Shinjuku. Kebetulan pula hari itu adalah hari ulang tahun adik kami yang terkecil, Andy. Karena mendapat laporan bahwa dirayakan sederhana di rumah Jakarta pakai nasi kuning, aku dan Tina janjian untuk nge-teh di sebuah kedai kopi stasiun antara tempat kerja dan rumahnya. Aku bilang, “Pokoknya hari ini aku mau makan kue tart :D”. Tapi sayang waktu kami cari kedai kopi yang ada kue tartnya tidak ada, terpaksa kami masuk kedai teh yang display kue tartnya kelihatan enak-enak. The Darjeling, nama kedai itu. Pasti tempat yang cocok dan tepat untuk pecinta teh…sayangnya aku bukan pecinta teh 🙁
Jadi deh aku yang tidak biasanya memesan teh, kali itu memesan teh susu pakai whipping cream, serta sebuah kue tart kecil ntah apa namanya, tapi isinya semacam mousse dari strawbery, dilapis bolu tipis dan diberi gelatin strawbery dan dihias atasnya. Kupikir tadinya kecut (biasanya sih semanis-manisnya strawberry kan ada rasa kecutnya). ehhh ternyata tidak loh. Yang pasti aku malas untuk mencoba membuat kue macam begini yang butuh ketrampilan dan ketelitian 😀 (emang imelda orangnya gradak gruduk sih hehehe). Merayakan ulang tahun adikku tanpa kehadirannya, ternyata lucu juga! Well, bertambah umur juga tak bisa dihindari ya….
Tulisanku yang ke 1111, angka cantik yang sebetulnya sudah kutunggu. Aku ingin menulis sesuatu yang khusus… tapi… akhirnya aku tidak menemukan ide apa-apa sedangkan stock draft juga tidak menarik untukku. Aku tidak mau menulis soal performa blog, atau betapa blog itu bermanfaat atau …. blank! Jadi aku pun bisa loh mampet ide (sambil melirik Inon dan Una)
Hari Senin yang lalu, aku bertemu dengan dua orang Jepang yang kukenal sejak aku pertama datang ke Jepang, 20 tahun yang lalu. Aku pertama kali mengajar bahasa Indonesia untuk arbaito (kerja part time) dengan mereka. Sebuah kelompok dengan 5 personil, yang kesemuanya sudah pandai berbahasa Indonesia. Buku yang dipakai untuk belajar tidak tanggung-tanggung, “Sepanjang Jalan Kenangan” nya Muharyo Djojodigdo (13 September 1928 – ) . Cerita yang dikategorikan komedi masyarakat ini katanya pernah dimuat di majalah Femina. Bahasanya lugas dan menarik, meskipun banyak memakai bahasa Jawa dan Belanda…. yang membuat kepalaku ikut berdenyut waktu membaca bersama-sama 5 orang Jepang. Waktu itu (th 1994) belum ada Mbah Google yang bisa dimintai bantuan sehingga seringnya pakai perasaan saja waktu menerjemahkan tulisan-tulisan itu. Tapi meskipun sulit, aku merasa senang sekali bisa ikut membaca buku ini sekaligus mempelajari kalimat-kalimat bahasa Jepang yang mereka buat. Jadi kelompok yang kunamakan kelompok Ajiken ini lebih tepat jika disebut sebagai Kelompok Belajar, bahasa kerennya Kenkyukai 研究会.
Sesudah belajar kira-kira 2 jam, hampir setiap kali kami makan malam bersama di sekitar Shinjuku. Selalu berganti restoran dan menu, yang murah meriah. Dan untungnya pada saat itu aku belum minum alkohol, sehingga tidak perlu membayar extra untuk minuman. Tapi seperti biasa kalau pergi makan dengan orang Jepang, kami menganut sistem warikan 割り勘 alias bagi sama rata. Jumlah yang harus dibayarkan dibagi dengan jumlah peserta. Bukan BSS (bayar sendiri-sendiri) karena kalau bss kan kita bayar apa yang kita pesan saja. Nah karena aku statusnya masih mahasiswa saat itu, aku selalu dapat korting, bayarnya lebih sedikit. Setiap kali aku mau membayar sama, Matsui san selalu berkata,”Nanti saja kalau Imelda san bekerja dan makan dengan mahasiswa, bayarlah lebih. Kami selalu begitu. Dulu kami dibayari sempai (senior) kami, dan sekarang giliran kami membayar kohai (junior) kami. Dan saya harap Imelda juga meneruskan kebiasaan itu…” Dan ucapan Matsui san itu selalu aku ingat dan sedapat mungkin sebarkan di kalangan mahasiswa.
Kemudian aku berhenti mengajar mereka karena harus mempersiapkan thesis. Anggota berpencar, dan Matsui san pindah ke Makassar. Aku sempat bertemu dengannya pada tahun 1997/98 di Makassar, dan Senin kemarin kami bertemu lagi setelah 14 tahun. Kedudukan berbalik, aku yang orang Indonesia tinggal dan bekerja di Tokyo, sedangkan Matsui san yang orang Jepang tinggal dan bekerja di Indonesia. Barter? hehehe…
Topik pembicaraan kami bermacam-macam, mulai dari mengenang masa dulu sampai kejadian gempa bumi Tohoku dan dampaknya setelah PLTN Fukushima rusak. Soal radiasi, soal keluarga yang tercerai berai karena musibah, soal kesehatan anak-anak yang masih tinggal di Fukushima. Matsui san sendiri berasal dari Fukushima dan seluruh keluarganya masih tinggal di sana. Belum lagi soal gempa bumi besar yang diprediksi akan terjadi dalam 4 tahun ini di Tokyo. Hmmm masalah yang berat, tapi kalau kita pikir itu terus, kita tidak akan berkembang dan tidak bisa hidup tenang. Tapi mungkin ada kesamaan mendasar pada kami berdua, yaitu mempunyai dua tempat tinggal, Tokyo dan Jakarta. Jadi kami masih ada satu tempat cadangan jika sesuatu terjadi…. jika kami bisa hidup ya.
Kami berpisah di stasiun Kichijoji dengan janji akan saling menghubungi dan menjaga silaturahmi yang sempat terputus karena peristiwa-peristiwa kehidupan. Menikah, mempunyai anak, membesarkan balita, merupakan peristiwa yang tentu saja bagus, tapi biasanya merenggangkan hubungan dengan teman-teman. Banyak kejadian ibu-ibu yang anaknya sudah SMP tiba-tiba merasa kesepian karena tak punya teman. Karenanya ibu-ibu rumah tangga di sini perlu membuat teman baru, atau ikut kegiatan-kegiatan untuk dirinya sendiri supaya tidak kesepian di hari tuanya. Akupun sudah mulai merasakan itu, karena dulu temanku banyak sekali. Sekarang? Sulit sekali untuk menjaga silaturahmi itu. (Kecuali di dunia maya ya…)
Hari Selasa seharian aku di rumah, menyulap kamar tamu/makan menjadi kinclong. Tentu saja ada alasannya, soalnya aku tidak akan bebersih begini kalau tidak ada alasan yang tepat :D. Kan mending aku ngeblog daripada beres-beres segitunya hihihi. Jadi kemarin itu aku berprofesi sebagai ibu rumah tangga, lengkap dengan membuat snack pancake bertahtakan strawbery merah-merah yang kebetulan sedang sale.
Tadi pagi cuaca di Tokyo cerah sekali, dan menular pada anak-anakku. Tak biasanya Kai mengajak aku pergi ke TK pukul 8:15! Biasanya dia baru mau pergi jam 9:10 sesudah menonton acara TV NHK. Wah, senangnya hatiku waktu kami tiba di TK pukul 8:40 (Pintu dibuka pukul 8:30) dan melihat di halaman sekolah sudah terpasang bendera ikan KOI koinobori. Bendera-bendera ikan Koi ini dipasang untuk memperingati hari Anak laki-laki pada tanggal 5 Mei. Mengingatkanku juga bahwa sudah dekat Golden Week, masa libur panjang bagi warga Jepang yang dimulai sejak tanggal 29 April sampai 5 Mei. Dan mengingatkanku juga bahwa tahun ini Kai akan berusia 5 tahun, jadi HARUS dirayakan khusus (3tahun dan 7 tahun untuk anak perempuan, dan 5 tahun untuk anak laki-laki).
Setelah bermain dengan bendera ikan Koi koinobori yang menjuntai, Kai dengan suka hati menuju ke pintu masuk dan mengganti sepatunya dengan sapatu dalam (uwabaki) dan setelah toss dengan mamanya, dia langsung berlari ke kelasnya. Aku pulang ke rumah dan menunggu waktu menjemput Kai pukul 11:30, tentu saja sambil melanjutkan acara beres-beresnya.
Sebetulnya aku beres-beres itu karena guru TK nya Kai akan mengadakan home visit ke rumahku. Ini adalah program tahunan yang dilakukan pada minggu kedua -ketiga tahun ajaran baru. Maksudnya untuk mengetahui kondisi keluarga, sekaligus melaporkan pandangan pertama murid di kelas dan menanyakan masalah-masalah pribadi sang anak dari orang tuanya. Dengan kunjungan yang memang singkat itu diharapkan orang tua dan guru bisa membangun hubungan saling percaya. Karena ini adalah kali ke 4 aku kedatangan guru TK (2 kali waktu Riku, dan Kai tahun lalu) aku sudah tahu prosedurnya dan tidak deg-degan. Kami tidak boleh memberikan minuman/makanan karena waktu 10 menit itu memang at to iuma あっという間 singkat sekali.
Ada dua permintaanku permintaanku pada gurunya yaitu untuk memarahi Kai jika dia mengatakan sesuatu yang kasar. Karena di rumah sering dia bertengkar mulut dengan kakaknya memakai kata yang kasar. Entah dari mana dia tahu kata-kata itu, mungkin dari TV atau meniru dari kakaknya juga, tapi aku selalu menegur dia jika dia “memarahi” kakaknya. Selain itu aku minta gurunya memperhatikan apakah dia ikut “gerak badan” dan menyanyi di kelas atau tidak. Karena tahun lalu, aku melihat dia tidak pernah ikut gerak lagu yang dibawakan teman-temannya 😀
Well, satu persatu hari sudah dilalui. Pengalaman demi pengalaman bertambah, dan satu lagi tulisan hari ini bertambah. Tulisan ngalor ngidul di angka cantik, 1111 sambil menunggu komentator ke 22.222. Besok dan lusa profesiku berubah menjadi dosen sehingga mungkin tak ada waktu menulis. Tapi aku tetap menghadapi hari-hari mendatang dengan semangat. Tentu teman-teman juga kan?
Coutrier.com is 6 years and 9 months old, it is ranked 811,507in the world (among the 30 million domains). This site is relatively popular among users in the Indonesia. It gets 81.4%from Indonesia. This site is estimated worth $2,538USD. This site has a good Pagerank(3/10). It has 445 backlinks. It’s good for seo website. Imelda.coutrier.com has 15% seo score.
Komentator ke 22.222 adalah vee a.k.a Elviyeti, terima kasih banyak yaaaaa
Oh…. silau… Oh… menyenangkan… Air begitu mengkilap Angin sepoi-sepoi Kr kr kr Ah… begitu harum Kr kr kr
Oh ada bunga Inunofuguri Oh awan besar bergerak perlahan Kr kr kr Kr kr kr
Ini adalah sebuah puisi yang diterjemahkan bebas olehku, karya Kusano Shinpei berjudul “Lagu Musim Bunga” Haru no Uta. Tentu akan lebih terasa irama dan keindahannya jika dibaca dalam bahasa aslinya. Tapi aku ingin memperkenalkan puisi yang tercantum di halaman awal buku bahasa Jepang kelas 4, kelasnya Riku.
Memang aku selalu kagum pada pendidikan Jepang, terutama bahasanya yang selalu memilihkan puisi atau cerita atau topik bahasan yang timely, sesuai dengan musim dan keadaan saat itu. Apalagi bukunya juga menarik. Puisi “Lagu Musim Bunga” itu terasa segar dipakai dalam pembuka tahun ajaran baru. Menceritakan tentang kodok yang selama musim dingin berada di dalam tanah, dan keluar pada musim bunga/semi, dan…. yang dilihatnya tentu sinar matahari yang menyilaukan dan segarnya udara di musim semi itu. Ada satu nama bunga yang keluar di situ, dan kami berhasil menemukannya tadi di sebuah rumah tradisional di Yokohama. Bunga Inunofuguri : Veronica didyma var. lilacina (asyiiik namaku dipakai :D) . Bunga rumput yang keciiil sekali berwarna biru. Itulah yang dilihat dan dikagumi sang kodok dalam puisi tersebut. Mungkin kalau tak ada puisi tersebut, anak-anak tidak akan tahu nama bunga sekecil itu, dan tentu saja aku tidak akan tahu! (Jadi mamanya ikut belajar deh!)
Setelah hari Jumat yang hangat, Sabtu kami lalui dengan keadaan basah karena hujan terus menerus. Pasti deh bunga sakura kedinginan dan rontok ke tanah dalam cuaca seperti ini. Kami pergi menginap di rumah mertua di Yokohama, dan cukup kaget karena malam hari suhu drop sampai kami harus mencari selimut tebal dan memasang heater kembali. Untunglah hari Minggu cuaca cerah sekali, sampai Riku mengatakan “Hujan kemarin itu sepertinya bohong-bohongan yah” saking tak terlihat sedikitpun bekas hujan. kami pun santai di rumah dan menikmati bunga-bunga yang ada di halaman rumah. Di atas kolam ikan ada bunga Yamabuki Kerria japonica , bunganya berwarna kuning terang, dan tak jauh ada juga bunga yang berwarna merah muda seperti sakura tapi bukan.
Selain bunga di luar rumah, bapak mertuaku dengan bangga memamerkan bunga anggrek Catleya besarnya. Sudah pasti sulit memelihara bunga anggrek di Jepang yang mempunyai 4musim. Tapi setiap tahun pasti ada saja Catleyanya yang berbunga.
Sebetulnya Gen ingin pergi ke museum Instant Noodle di Yokohama, tapi karena semua malas, aku mengajak pergi nyekar ke makam keluarga, sekaligus jalan mencari bunga-bunga. Siapa tahu masih ada sakura yang bisa dilihat. Di kuil tempat makam keluarga Miyashita ada beberapa pohon sakura dan kelopak bunganya banyak yang sudah rontok dan membuat permadani di tanah bawahnya. Daun-daun juga sudah menyembul, menggantikan kedudukan bunga-bunga sakura itu. Memang pohon sakura itu aneh. Bunganya muncul dulu baru daun, kebalikan dari pohon-pohon yang umum kan?
Setelah dari kuil, kami mampir di rumah tradisional Yokomizo yang letaknya hanya 300 meter dari kuil. Rumah ini juga dilengkapi taman yang cukup luas dan ditanam pohon dan bunga-bunga yang menjadi ciri khas setiap musim. Selalu menyenangkan untuk mampir ke sini. Di sinilah kami menemukan bunga Inunofuguri yang terdapat dalam puisi buku bahasa Jepangnya Riku.
Dan di seberang rumah ini ada ladang Na no hana Tenderstem broccoli , bunganya berwarna kuning dan bisa dimakan. Tapi kami baru pertama kali tahu bahwa di balik ladang Na no hana ini ada semacam parit yang lebih rendah dari jalanan, dan di sebelah kanan kirinya dipenuhi bunga rumput yang indah. Yang kusuka ada satu bunga Yukiyanagi Spiraea thunbergii , dengan bunga putih kecil pada batang yang menjuntai. Sesuai namanya yuki= salju, kelopaknya yang kecil itu terlihat seperti salju jika rontok ke tanah/air.
Memang cocok sekali jika Spring atau musim semi itu dinamakan juga musim bunga, karena memang di mana-mana bermekaran berbagai jenis bunga beraneka ragam. Dan akhirnya perasaan kami persis seperti si kodok dalam puisi “Lagu Musim Bunga” : menyilaukan dan menyenangkan!
Hari Jumat, Friday the 13th… sepertinya tidak ada yang weird kok hari ini hehehe. Bahkan pada pukul 5 sore, aku, Riku dan Kai naik lift bersama dan Riku mengatakan, “Hari ini menyenangkan”…dan dijawab oleh Kai, “Kai juga”, dan kututup dengan, “Mama juga”.
Hari ini aku mulai mengajar di Universitas S, yang biasanya membutuhkan sedikitnya waktu 1,5 jam untuk pergi karena terletak di prefektur yang berbeda. Karena hari pertama, aku bangun pukul 5 pagi (biasanya jam 6 cukup sih) untuk mempersiapkan ini itu, termasuk sarapan pagi untuk Riku. Hari ini aku harus mengajak Kai bersama, karena TK nya Kai selesai pukul 11 dan belum ada penitipan perpanjangan. Hmmm susah deh. Dulu waktu Kai masih bayi, ibu mertuaku yang datang ke rumah setiap Jumat untuk menjaga Kai, tapi sekarang dia sudah tidak semudah dulu untuk bepergian jauh. Jadi aku mengatur supaya Kai yang bolos TK dan datang ke rumahnya, atau paling tidak bertemu di pertengahan. Memang sebetulnya rumah mertuaku jauh lebih dekat ke Universitas S itu. Paling gampang kalau aku menginap di rumah mertuaku, tapi masalahnya ada Riku yang harus sekolah.
Jadilah aku dan Kai keluar rumah pukul 8 pagi! Naik bus ke stasiun, dan memang sengaja kupilihkan rute yang tidak terlalu banyak orang, tidak terlalu banyak ganti-ganti kereta. Dari Kichijoji menuju Shibuya, lalu turun di Musashi Kosugi. Kami janjian bertemu di Musashi Kosugi. Saat itu pukul 9:44. Untung saja Kai sudah merasa dirinya besar, jadi dia tidak menangis dan dengan sukarela menggandeng tangan omanya. Aku sempatkan melambaikan tangan waktu mereka naik kereta lagi pulang ke rumah mertua. Sedangkan aku masih harus melanjutkan perjalananku, ganti kereta 2 kali lagi dan sampai di stasiun tujuan pukul 10:22. Dari stasiun ada mobil khusus para guru pukul 10:30, dan sampai di kampus jam 10:40. Kuliah mulai jam 10:45…. Beuh 2jam 45 menit perjalananku hari ini 😀
Pelajaran pertama, kelas menengah, murid hanya 4 orang! Well, no problem, mungkin minggu depan bertambah 1-2 orang. Biasanya memang maximum 10 orang yang mengikuti kuliah kelas menengah ini. Selesai kelas pertama, aku harus mengikuti pertemuan para dosen pengajar bahasa asing selain bahasa Inggris. Di universitas ini, selain bahasa Indonesia ada bahasa Korea, China, Spanyol dan Perancis. Seperti biasa pertemuan membicarakan kalender akademik, penilaian dan masalah-masalah yang biasa dihadapi antara dosen – mahasiswa. Karena pertemuan dilakukan pada waktu istirahat, kami mengikuti pertemuan sambil makan siang yang sudah disediakan. Dan selesai meeting itu, kami hanya punya waktu 5 menit sebelum kuliah berikutnya mulai. Padahal…. kelasku jauuuh sekali dari tempat meeting. Butuh waktu 10 menit euy.
Kuliah kedua, kelas dasar, ditempatkan di Gedung 1 (rapatnya di gedung 9). Aku sampai 5 menit terlambat dengan menggeh-menggeh… berlari dan naik tangga. Tentu saja mahasiswa sudah menanti dengan rapih…daaaannnn ampun deh aku kaget sekali! Jumlahnya 50 orang persis! Untung aku membuat copy bahan sebanyak 50 lembar. Pas! Rasanya ingin tertawa, dan menangis sekaligus 😀 Senang karena banyak yang mengikuti kuliah, tapi bisa membayangkan sulitnya menghandle kelas bahasa dengan 50 peserta. Tahun-tahun yang lalu maksimum 35 orang saja! Dudududu…..
Tapi sekilas kondisi kelas ini not bad deh. Terlihat muka-muka semangat belajar (semoga terus begitu), dan yang pasti ada 3 mahasiswa yang tinggalnya jauh sekali. Satu di Shizuoka, satu di Ibaraki, dan satu di Saitama perbatasan. Mereka butuh waktu 2,5 jam untuk ke kampus setiap hari. Ini kuketahui dari perkenalan dalam bahasa Indonesia mereka. Kebiasaan yang sudah kujalani bertahun-tahun dan manfaatnya biasanya mereka bisa saling berkenalan (karena mahasiswa berasal dari berbagai fakultas dan angkatan) kemudian menjadi akrab karena punya kesamaan-kesamaan. Dan setiap tahun memang ada saja mahasiswa yang tinggalnya jauh dari lokasi kampus, sekitar 2,5 – 3 jam perjalanan. Dan itu menjadi cambuk buat yang lain untuk tetap semangat kuliah. (Bayangin deh Bandung Jakarta setiap hari pp)
Nah, jadinya sudah tahu ya dengan yang kumaksud dengan lima puluh di judul di atas. Lima puluh mahasiswa (dengan kemungkinan tambah/berkurang tentunya) di awal semester. Lalu, Duanya apaan?
Setelah selesai kuliah, aku pulang naik bus kampus lagi, dan bertemu dengan dosen temanku yang berasal dari Columbia yang pernah kuceritakan di sini. Karena sudah hampir 3 bulan tak bertemu, dia menanyakan kabarku. “How are you, I’ve been thinking of you 2 days ago. How about the earthquake?” Dan kuceritakan bahwa aku harus pulang mendadak ke Jakarta karena mama meninggal. She was sorry and…. kami bercakap-cakap akhirnya mengenai gempa bumi. Memang diprediksikan bahwa dalam 4 tahun ini Tokyo akan mengalami gempa besar. But WHEN? nobody knows. Yah, kubilang, earthquake is similar to death itself, nobody knows. Setiap saat bisa terjadi. Jika kita tahu kapan akan terjadi, kita bisa melarikan diri, tapi kita juga tidak mungkin melarikan diri terus, kan? Dan yang pasti kita tidak bisa melarikan diri dari kematian.
Lalu dia berkata, “Ya memang gempa bumi itu pasti terjadi. Tapi seperti kejadian gempa bumi yang lalu, aku benar-benar panik. Kamu tahu sendiri kan bahwa suamiku sering pergi ke luar negeri (dia tidak punya anak), waktu gempa Tohoku itu, aku harus sendirian menghadapi kekacauan. Nobody… Lonely. Tak ada teman….” Hmmm di situ aku berpikir, kenapa ya aku tidak takut sendirian menghadapi gempa? Gempa memang menakutkan, tapi aku tidak takut menghadapinya sendiri…..
Ternyata…. aku merasa kuat karena aku tidak merasa sendiri. Dan apa yang menyebabkan aku tidak merasa sendiri adalah karena aku punya DUA PERMATA yang harus kujaga. Gen harus bekerja, kemungkinan aku dan Gen terpisah itu besar, jika gempa itu terjadi waktu jam kerja. TAPI anak-anakku ada di dekatku selalu. Sehingga aku tidak merasa sendiri. Seperti waktu gempa tahun lalu, aku bersama-sama dengan mereka terus. Kami saling menguatkan. Memang masalah jika gempa itu terjadi waktu aku sedang bekerja misalnya, tapi aku punya satu tujuan, pulang ke rumah dan menghadapi bersama dengan anak-anakku. Sama seperti komentarku pada tulisan Donny tentang Kiamat 2012.. ,Jadikah?
Satu yang kuingin, yaitu bersama anak-anakku. Seperti waktu gempa tahun lalu. Aku kuat, karena ada mereka. Aku harus kuat untuk mereka! Belum tentu aku kuat sendirian tanpa mereka.
Lima puluh itu penting, tapi yang DUA itu jauuuuh lebih penting bagiku!
(Sambil teringat kembali muka ceria Kai yang kujemput pulang tadi… dalam kereta dia menceritakan harinya yang dia lewati bersama omanya. Serta muka ceria Riku waktu dia berteriak, “Mama!” dari sepeda pulang bermain karena secara kebetulan bertemu kami yang sedang jalan pulang. Dua permataku….)
Waktu aku pertama datang ke Jepang, aku tidak pernah melihat kornet a.k.a daging giling dalam kaleng. Waktu itu aku perlu sebagai bahan campuran membuat macaroni schotel. Memang aku jarang sekali memakai kornet, karena biasanya kalau kami membuat macaroni schotel itu memakai ayam yang dibuat bumbu bistik lalu diberi potongan ham. Nah kupikir kalau ada kornet kan akan lebih cepat, tapi…. aku tidak tahu bahasa Jepangnya kornet itu apa 😀 Setelah aku tanya-tanya baru tahu bahwa namanya corned beef. Dasar orang Indonesia corned (korn) dibaca kornet deh. Pantas aku tidak tahu bahasa aslinya apa.
Tapi kenapa namanya corned beef ya? Ternyata kata dasarnya bukannya [corn] yang berarti jagung, tapi [corns] yang berarti butiran garam. Ya, kornet adalah suatu cara pengawetan daging dengan bumbu garam lalu kemudian dikalengkan. Perusahaan Jepang asli yang membuat pengalengan kornet adalah perusahaan NittoBest, yaitu pada tahun 1950-an dengan membuat daging kornet dengan bahan dasar daging kuda, karena pada saat itu terjadi kekurangan bahan pangan di Jepang. Daging kornet ini memakai nama Nizaki no Nyu Koon Bifu 「ノザキのニューコンビーフ」dan dijual dengan harga 100 yen per kaleng, langsung menjadi populer. Tapi sejak tahun 2005, dengan adanya peraturan labeling makanan maka namanya berubah menjadi Nozaki no NyuKoon Miito 「 ノザキのニューコンミート」. Jadi tidak memakai kata beef, karena memang memakai campuran daging kuda. Tentu saja ada yang 100% memakai daging sapi tapi harganya memang jauh lebih mahal.
Kornet ini memang merupakan bahan makanan tahan lama yang praktis untuk disimpan terutama untuk jaga-jaga jika terjadi gempa bumi besar. Meskipun aku jarang mendengar ada keluarga Jepang yang memakannya sebagai bahan sehari-hari. Tapi di Jepang selain kornet buatan Jepang, ada juga dijual merek Amerika yang terkenal yaitu SPAM. Bukan spam mail, tapi spam daging kaleng. SPAM tidak ada yang halal, karena memang bahan dasarnya adalah babi. Meskipun terkenal memang tidak tersedia di toko umum, sehingga harus mencarinya di toko yang menjual barang luar negeri. Selain merek SPAM, ada juga Libbys, juga dari Amerika.
Bentuk kaleng dari kornet ini juga khas kan? Nah bentuk trapesium ini ternyata sudah dipatenkan pada tanggal 6 April 1875! Ini aku ketahui waktu mencari “Hari ini hari apa” dan menemukan ada hari Kornet! hahaha.
Dan yang membuat kornet itu praktis untuk dibawa mendaki gunung atau berkemah itu adalah karena kita tidak perlu membawa pembuka kaleng. Kita membuka kornet itu dengan “kunci” yang dapat menguliti sedikit kaleng sehingga terbuka. Tapi sebetulnya bermasalah juga jika tidak sengaja terputus di tengah jalan, karena terpaksa harus dibuka paksa. Aku pernah mengalami “kegagalan” ini sehingga perlu memakai pembuka kaleng.
Ada yang suka makan kornet begitu saja? Suamiku tuh suka makan begitu saja, digado. Biasanya sih yang aku tahu kornet sering dicampur dengan telur waktu membuat telur dadar, atau dimasukkan dalam mie rebus (Lucu deh, keterangan ini : dicampur untuk mie rebus terdapat di wikipedia bahasa Indonesia). Tapi kalau aku sendiri sering pakai kornet untuk isi dari roti. Roti kornet. Dan aku pernah suatu waktu “kecanduan” makan sandwich kornet+ mayoneise yang dijual di toko roti dekat universitas tempat aku mengajar. Sekarang sih sudah tidak suka, mungkin karena sudah bosan ya 😀
Jadi begitulah, gara-gara topik “Hari ini hari apa” aku mencari tahu tentang kornet. Dan satu lagi yang kuketahui bahwa corned beef itu tidak harus selalu berbentuk daging giling! Bahkan daging yang diasinkan tanpa dimasukkan dalam kaleng pun diberi nama corned beef. Daaaaan dari foto-foto contoh-contoh corned beef itu, aku jadi teringat pada seiris tebal roti berisi daging sapi asin Salted Beef di food court departemen store Selfridges, London yang dibeli mama dan kita makan bersama di tempat itu! Waktu cari info, ternyata nama tokonya The Brass Rail dan ada fotonya!!! Jadi kangen mama! Maklum dulu belum punya (belum ada) kamera digital yang bisa jeprat-jepret segala macam seenak perut hihihihi. Kapan yah aku bisa ke London dan menikmati Salted Beef ini lagi? Mimpi dulu dan masukkan dalam daftar keinginan saja dulu.
update: Kami (Saya dan Riku) berhasil makan Salted Beef dari The Brass Rail, Juli 2019