Solitaire dan Sendiri

16 Feb

 

 

 

Ikut yuuk! GIVE AWAY Pribadi Mandiri

Keterangan lengkap baca di bawah posting ini

 

Tahu solitaire kan? Itu loh permainan kartu yang mengurutkan angka-angkanya sampai kartu di tangan habis (ada pula versi digitalnya). Itu memang permainan khusus untuk sendiri, dan bagi yang menikmatinya bisa loh mereka berlama-lama main solitaire begitu berjam-jam. Dan saat ini aku mengingat almarhum Oma Poel yang kadang bermain kartu solitaire itu di rumahku.

Permainan kartu Solitaire itu konon sejarahnya mulai dari pertengahan abad ke 18 yang menyebar ke seluruh dunia dengan nama yang berbeda-beda. Di Inggris dikenal dengan nama “Patience”, di Perancis sering dinamakan “Success” dan dalam bahasa Denmark, Finlandia dan Polandia disebut dengan “Kabal” atau “Kabala” yang berarti secret knowledge, karena sering dihubungkan dengan ramal-meramal.

Konon diberitakan bahwa Napoleon memainkan solitaire ini dalam pengasingannya, tapi tidak terbukti. Pada pertengahan abad 19, permainan ini populer dalam masyarakat Perancis. Sampai akhirnya tahun 1980-an personal computer membuat permainan ini lebih populer karena tidak diperlukan kartu, tidak perlu mengocok dan membaginya. Dengan satu klik pemain  bisa memulai permainan baru. (dari http://justsolitaire.com/history.html)

Yang aku mau tulis sebetulnya bukan soal solitairenya tapi soal bermain “sendiri”nya. Memang kalau banyak waktu luang, atau ingin “membunuh waktu” kita tentu bisa saja bermain sendiri. Bermain game, bermain BB, Angry Bird atau PS/Nintendo dsb dsbnya. Tapi seberapa lama sih bisa bertahan? Apakah tidak pernah bosan?

Aku suka bermain game, tapi cepat bosan. Biasanya kalau aku mulai bermain game berarti aku sedang kesepian. Untunglah sejak 5 bulan lalu otomatis aku sudah tidak bermain game lagi karena sudah ada temen special berbagi hati 😀 Sementara sahabat hati satunya sedang  amat sangat  sibuk sehingga bagiku mendapat teman akrab  baru lagi sesudah pulang mudik dari Jakarta itu merupakan berkat dari Tuhan. Dan aku sadar bahwa aku memang tidak bisa “sendiri”.

Dalam percakapan kami, temanku itu berkata, “Mbak aku mau nonton sendiri hari ini”. Aduuuh kok bisa ya? Kamu bisa? Aku terus terang tidak bisa nonton sendiri, meskipun memang aku amat sangat jarang nonton bioskop. Nah di situ aku langsung berpikir, apa saja ya kegiatan yang tidak bisa aku lakukan sendiri? Dan jawabannya yang langsung melintas di kepala adalah MAKAN!

Ya aku mau cerita, bahwa aku TIDAK BISA makan sendiri… dulu sampai tahun-tahun pertama aku di Jepang. Aku memang tidak menampik bahwa keluargaku termasuk keluarga yang jarang makan bersama waktu malam. Masing-masing sibuk sendiri, sehingga jam makan berbeda semua. Tapi biasanya pasti ada seseorang yang menemani makan, kalau tidak hanya duduk di meja makan dan mengobrol bersama. Apalagi jika makan di luar rumah. TIDAK PERNAH makan di luar/di restoran sendirian! NEVER!

Karenanya aku bersyukur waktu pertama kali datang ke Jepang, aku homestay dengan keluarga Jepang dan biaya kost termasuk makan. Hari pertama mendarat, makan malam bersama keluarganya dan pembantunya! Ya saat itu aku juga kaget, benar-benar kaget karena orang yang dikenalkan padaku sebagai “pembantu” keluarga itu (memang keluarga kaya sih, karena biasanya keluarga Jepang tidak menggaji pembantu) ikut DUDUK di sampingku. Suatu kejadian yang tidak akan pernah dapat aku alami di Indonesia! Atau tidak juga di keluargaku. Apakah keluarga teman-teman yang mempunyai asisten, asistennya makan bersama????? Kurasa meskipun kita ajak makan bersama, mereka juga akan menolak, dan merasa nyaman makan sendiri di dapur. Ini satu pengalaman spritualku yang begitu membekas saat itu. SEMUA ORANG DUDUK DI SATU MEJA YANG SAMA. Inilah negara yang katanya tak beragama tapi betul-betul mengamalkan bahwa manusia itu semua sama. Aku mengubah pandanganku saat itu juga, sampai waktu aku mudik ke Indonesia setelah 2 tahun, begitu aku sampai di rumah Jakarta aku memeluk Dyah, asistem rumahku yang sudah lama bekerja pada kami, dengan perasaan syukur dan terima kasih yang begitu dalam (sambil menuliskan ini aku tak bisa menahan air mata mengingat perasaanku waktu itu dan mengingat mukanya yang kaget, tapi senang… ah Dyah aku kangen kamu. Semoga kamu sehat-sehat bersama Ricky anakmu di desa sana ya)

Jadi, selama di rumah homestay, aku selalu makan bersama keluarga atau minimum bersama sang asisten rumah. Tapi, aku tidak bisa selalu makan siang di rumah. Kalau sedang arbaito (kerja sambilan pertamaku menjadi asisten di kantor landscape di Harajuku, kerja serabutan menggambar atau menghitung, kadang mengantarkan pesanan gambar ke klien) , saat itu aku harus makan siang sendiri. Aku belum tahu bagaimana untuk makan siang yang murah, sehingga aku TERPAKSA masuk ke restoran spaghetti sendiri, duduk di meja untuk sendiri, dan melihat banyak OL (office lady) yang makan sendiri, sehingga aku berhasil menghabiskan spaghetti dalam piringku. Makan di restoran sendirian akhirnya berhasil aku jalani, …dan menjadi biasa. Karena banyak sekali OL yang sendirian di restoran itu. Dan aku juga bisa berganti restoran lain dengan memberanikan diri mencari restoran yang banyak meja untuk berdua saja.

Setelah cukup lama bekerja di kantor landscape itu aku kemudian bisa berteman dengan para arsitek di situ yang kebetulan berasal dari luar negeri. Ada orang Irlandia, orang Malaysia dan orang Amerika. Laki-laki semua, dan mereka mengajarkan aku membeli bento (bekal makanan) di toko dan makan di taman! Waduhh pertama kali aku diajak makan di taman dekat kantor aku canggung sekali. Tidak biasa aku makan di luar ruangan. Untung waktu itu seorang asisten lain yang  perempuan membawa bento dan ikut kami makan bersama. Dan untung mereka semua tidak tahu bahwa itu merupakan pengalaman aku makan di taman yang pertama 😀 Sesekali kami juga makan di restoran bersama, dan aku diajak ke restoran yang murah di sekitar kantor. Waktu itu budgetku untuk sekali makan adalah 1000 yen padahal kalau sekarang banyak sekali restoran yang menawarkan set makan siang seharga 700- 850 yen. Dan sekarang tentu sudah pintar mencari bekal makanan yang 400-an sehingga bisa hemat banyak.

Pengalaman makan siang bersama teman-teman kantor di Harajuku itu membuatku lebih mudah dan lebih cuek untuk makan sendiri. TAPI yang menjadi masalah waktu aku harus makan sendiri di universitas. Waktu pertama kali kuliah di universitas aku belum begitu tahu seluk beluk universitasku. Sehingga tidak tahu kantin itu di mana. Jadi cara terbaik adalah membeli roti. Tapi makan di mana? Tidak ada taman yang rimbun dengan tempat duduk di sekitar kampusku. Adanya lapangan rumput yang besar, lapang, tempat beberapa anak laki-laki selonjor dan makan siang. Tidak ada mahasiswi sama sekali. ADUUUH aku bagaimana? aku tahu, aku tidak bisa makan di luar. Dan aku tidak bisa makan di kelas, karena aku tidak punya kelas khusus waktu itu. Sebagai mahasiswa peneliti, kelasku adalah ruang kerja dosen pembimbingku, SM sensei. Sebetulnya kalau aku mau cuek, bisa saja aku minta ijin untuk makan di situ, karena aku tahu beberapa kali sensei pun makan siang di situ sambil berkata, “Imelda saya makan dulu ya…”.  TAPI aku tidak bisa begitu. Makan sendirian, dengan ditatap sensei yang belum begitu aku kenal (kurasa waktu itu aku memang salting deh, soalnya senseiku itu cakep sih hehehe **waktu itu aku belum kenal Gen loh**) . Jadi waktu kuliah itu aku makan rotinya di mana? Hayo tebak….

Di WC… ya di WC perempuan kampus lantai 5 itu memang jarang dipakai karena mahasiswi nya juga sedikit. WC di situ juga bersih,  tidak bau sehingga aku bisa makan deh dalam bilik WC itu cepat-cepat. Baru setelah aku mempunyai teman perempuan orang Jepang satu seminar, aku diajak makan di kantin atau beli bekal dan sama-sama makan di dalam kantor sensei. Ah…. urusan makan ini memang rumit sekali bagiku, karena aku tidak bisa makan sendiri, tidak bisa makan diliatin orang yang tidak aku kenal 🙁 Kalau diingat kembali, adaptasi adikku yang datang ke Jepang 5 tahun setelah aku jauuuuh lebih cepat daripadaku soal makan ini. Bayangkan, aku belajar makan tachigui soba (mie Jepang yang dimakan sambil berdiri di stasiun) dari dia. Tachigui soba  di stasiun ini MURAH meriah. Beli tiket di vending machine, hanya 350 yen, makan sambil berdiri, slurp 5 menit selesai!  kembalikan mangkoknya lalu pergi. Tidak berlama-lama. Ya aku baru bisa makan itu setelah adikku datang dan mengajariku. Makasih ya Tin 😉  Waktu pertama kali aku tahu bahwa dia sering makan tachigui soba itu, aku bertanya, “Kok kamu bisa sih makan sambil berdiri begitu?” Dia berkata, “Bisa dong. Yang penting murah! Kan aku tidak sekaya kamu yang bisa makan di restoran”…. hmmmm berarti aku manja  ya?

Sekarang tentu saja aku sudah bisa makan sendirian, bisa belanja sendirian, bisa minum kopi sendirian di kedai kopi, bahkan bisa masuk internet cafe/ mangga kissa sendirian. Bisa segala sesuatu (sepertinya sih) sendirian. Tapi awalnya ya itu aku tidak bisa makan sendirian. Bagaimana dengan teman-teman? Tidak bisa melakukan apa sendirian?

Tulisan ini sekaligus mengenang Oma Poel yang jika masih hidup akan berusia 91 tahun pada tanggal 18 Februari besok. I miss you oma!

NB:

Aku menerima beberapa pesan dari mereka yang pernah/sedang tinggal di Tokyo dan merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan waktu itu. Well soal makan memang sulit. Aku masih beruntung karena aku kristen bisa makan semua. Sehingga masalahku HANYA pada soal kebiasaan saja. Tapi mereka yang muslim… sulit sekali untuk mendapatkan makanan yang halal, jika tidak mau masak sendiri. Itu juga menjadi masalah. Mau makan roti atau makanan jadipun di sini kan SUDAH PASTI tidak ada tanda halalnya, kecuali beli di toko khusus. Tapi aku ingat perkataan Alm. Prof Koesnadi waktu kutanyakan soal makanan (beliau pernah tinggal berbulan-bulan di sini dan aku sering bermain ke apartemennya), katanya :”Kan ada kekecualian untuk musafir Imelda”. Ah aku juga kangen pada Prof Koesnadi yang begitu bijak, juga istrinya Tante Nina yang sering membuatkan aku sambal terasi jika aku datang 🙁
Teman-teman yang baru/sedang tinggal di Jepang, semoga bisa mengatasi masalah makan ini dan menjadikannya sebagai suatu pengalaman yang berharga ya.

 

 

Ikut yuuk! GIVE AWAY Pribadi Mandiri

Perhelatan KHUSUS untuk warga Warung Blogger (WeBe) baik bloggerwan maupun bloggerwati. Bila anda BLOGGER tapi belum jadi warga WeBe yaaa sebaiknya daftar dulu deh hehehe  Silahkan membuat  postingan berjudul SOLITAIRE dan SENDIRI, boleh mengintip postingan kami (saya dan Imelda)  tapi tidak boleh mencontek plek ketiplek *GR* di blog masing-masing. Tentu  saja wajib mencantumkan link blog kami berdua, sebagai pemberitahuan pada kami bahwa tulisan kalian sudah tayang. Setelahnya, daftarkan tulisanmu di komen postingan ini seperti biasa:

Nama : Fulan (id facebook : www.facebook.com/fulan)

 Judul : SOLITAIRE dan SENDIRI

URL:

Cantumkan juga : Tulisan ini diikutkan pada perhelatan GIVEAWAY :  PRIBADI MANDIRI yang diselenggarakan oleh Imelda Coutrier dan Nicamperenique.

Ada 3 kriteria untuk calon pemenang, yaitu :

1. Tulisan yang teratas di google.com

2. Tulisan yang terOK menurut kami berdua

3. Tulisan yang terbanyak mendapatkan LIKE dari warga Warung Blogger.  Berarti tulisan teman2 harus diposting di WeBe ya, jangan lupa itu

Perhelatan ini diadakan SATU MINGGU saja, mulai hari ini 17 –  24 Pebruari, 2012, dan pengumuman akan ditayangkan pada tgl. 25 Pebruari 2012.

HADIAHnya aapaaaaa???

Ga pake ribet, ga pake lama, VOUCHER GIFT senilai Rp 100.000,- dari toko buku untuk 3 orang pemenang. Gimana? Menarik toh? Menarik dong!

Semua warga WeBe WAJIB ikut ya … becanda ding … ok, ditunggu partisipasinya yaaaa !