Dongeng

26 Okt

Seperti yang teman-teman ketahui, aku mengajar bahasa Indonesia di universitas, kepada mahasiswa Jepang. Untuk kelas “Elementary” biasanya selama satu tahun, aku mengajar memakai buku buatanku sendiri, yang memang sudah lama sekali aku pakai, karena sudah nyaman dengan urutan-urutan pengajarannya. Nah, untuk kelas menengah, aku memakai banyak media sebagai bahan pelajaran. Kadang lirik lagu, film, komik, atau surat kabar kupakai sebagai bahan pelajaran. Semester kemarin aku pakai satu cerita awal dari komik Hattori Ninja versi bahasa Indonesia. Asyik juga bisa membaca dan berbagi beragam fenomena dalam satu cerita.

Nah, semester ini aku memberikan sebuah cerita anak-anak dari majalah Bobo. Kebetulan sekali aku mempunyai sisa fotokopi, dan kulihat ceritanya masih relevan dan bisa bercerita banyak dari bahan tersebut, termasuk pemakaian pola-pola kalimat. Cerita itu memang kudapat dari majalah Bobo online, bertahun lalu (yang sekarang sudah tidak ada linknya). Ceritanya seperti ini:

Lari Kepagian

 oleh : Sucahyo Widiyatmoko (Bobo No 34/XXVIII)

Kukuruyuuuuuuk…..!!
“Oaaaaaheemmm….!” Piyun menguap. Kokok ayam jantan itu membangunkannya. Berarti sudah pagi. Ia mengintip dari balik tirai jendela. Di luar masih gelap. Hari Minggu pagi. Waah, asyik untuk lari pagi. Piyun menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu memakai sepatu olah raga.
Brr..! Cuaca di luar sangat dingin. Piyun melakukan senam pemanasan. Setelah badannya terasa agak hangat, ia mulai lari pagi.
Jalanan kampung masih sepi. Piyun berlari seorang diri. Jantungnya berdetak kencang. Berarti peredaran darah di tubuhnya lancar. Keringat pun mulai mengalir.
“Aneh, biasanya setiap hari Minggu banyak orang lari pagi. Tapi sekarang tak seorang pun yang terlihat,” kata Piyun dalam hati. Tapi ia tak begitu peduli.
Piyun berbelok menuju ke jalan setapak yang melintasi sebuah kebun. Keadaam masih gelap gulita. Rasa heran Piyun muncul lagi. Sudah setengah jam ia berlari, tapi matahari belum muncul juga.
“Jangan-jangan masih malam. Aduuh, kenapa tadi aku tidak melihat jam dulu yaa?” Piyun menepuk dahinya. Ia menghentikan larinya. Tiba-tiba ia merasa takut. Bulu tengkuknya berdiri. Keringat dingin mulai membasahi. Ia memang bukan penakut. Tapi seorang diri di kebun yang gelap begini, siapa tahaan?
Belum hilang rasa takutnya, samar-samar Piyun melihat sebuah bayangan hitam bergerak-gerak di depan. Semakin lama bayangan itu semakin jelas. Bayangan itu berbentuk manusia yang berjalan bungkuk dan mengendong sesuatu di punggungnya. Bayangan itu berjalan menuju ke arahnya!
Piyun menahan napas. Rasa takutnya semakin jadi. Ia diam terpaku.
“Tak salah lagi. Itu pasti hantu bungkuk yang menunggu kebun ini, seperti cerita teman-teman,” kata Piyun dalam hati. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa berat. Sementara bayangan hitam itu semakin mendekat!
Piyun bingung dan takut. Tanpa pikir panjang ia memungut sebutir batu kerikil dan melempar ke arah bayangan hitam itu.
Bukkk…!! Lemparannya tepat mengenai sasaran.
“Aduuh!” bayangan hitam itu mengaduh. Suaranya kecil, seperti suara seorang nenek. “Siapa yang berani kurang ajar melemparku, yaaa?”
Fiuuuh!! Piyun menarik napas lega. Bayangan hitam itu mengaduh kesakitan. Berarti bukan hantu. Piyun berlari menghampiri bayangan hitam itu.
Piyun terkejut. Ternyata itu Nenek Ranta, penjual kue serabi langganan Piyun. Setiap pagi Nenek Ranta berjualan kue serabi di pertigaan jalan kampung.
“Ooh, jadi kamu yang meleparku yaa?” ujar Nenek Ranta.
“Maaf, Nek. Aku keliru. Ada yang sakit, Nek?” tanya Piyun.
“Untung yang kamu lempar itu kerikil. Kalau batu, bisa pingsan aku,” jawab Nenek Ranta. “He, Piyun! Sedang apa kamu dini hari sendiri di kebun ini?”
“Aku sedang lari pagi, Nek,” jawab Piyun.
“Kamu ini ada-ada saja. Masih jam tiga dini hari sudah lari pagi,” kata Nenek Ranta sambil terkekeh.
“Jam tiga, Nek?” Piyun terbelalak.
“Iya. Kamu bukan lari pagi, tapi lari kepagian! He..he…he…!” Nenek Ranta terkekeh lagi. Piyun menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Hee, jangan bengong!” Nenek Ranta menepuk pundak Piyun. “Sebagai hukuman, kamu harus membawa tempayanku sampai di pertigaan jalan kampung!”
“Baik, Nek!” Piyun mengangguk.
Nenek Ranta menurunkan tempayan di gendongannya. Tempayan itu berisi adonan kue serabi. Piyun memanggul tempayan itu dan berjalan mengikuti Nenek Ranta.
“Jam berapa Nenek Ranta berangkat dari rumah?” tanya Piyun.
“Jam setengah tiga!” jawab Nenek Ranta.
“Setiap pagi?”
“Setiap pagi.”
“Tidak ngantuk, Nek?”
“Aku sudah terbiasa sejak muda. Tidak seperti anak muda jaman sekarang, suka malas-malasan.”
Sampai di persimpangan jalan kampung, mereka berhenti. Piyun menurunkan tempayan yang dipanggulnya. Nenek Ranta membuat tungku dari tumpukan batu bata. Piyun membantu menyalakan api. Setelah api menyala, Nenek Ranta mulai membuat kue serabi.
“Kamu tunggu saja di sini, Yun,” kata Nenek Ranta.
“Baik, Nek,” Piyun mengangguk. Ia berjongkok di belakang Nenek Ranta, sambil memperhatikan cara membuat kue serabi.
Terdengar beduk Subuh. Piyun terseyum sendiri. Ternyata ia memang bangun terlalu pagi. Ia berlari pagi saat orang-orang masih tertidur lelap.
Keadaan berangsur-angsur terang. Orang-orang mulai banyak yang lari pagi. Sebagian ada yang membeli kue serabi. Piyun ikut membantu melayani.
Ketika mau pamit, Nenek Ranta memberi sepuluh biji kue serabi. Tentu saja Piyun senang sekali.
Sampai di rumah, ternyata Ayah, Ibu dan adik sedang ribut mencarinya.
“Dari mana saja kamu, Yuun?” tanya Ayah.
“Piyun baru lari, Yah,” jawab Piyun.
“Lari pagi atau lari kepagian?” tanya Ayah lagi.
Piyun cuma garuk-garuk kepala.
“Bungkusan apa yang kamu bawa itu?” tanya Ibu.
“Kue serabi, Bu.”
“Keu serabi?” Ayah, Ibu terheran-heran. Lalu Piyun menceritakan semuanya. Tentu saja Ayah, Ibu dan adik tertawa mendengar cerita Piyun.
“Ternyata lari kepagian itu sangat menguntungkan. Selain badan sehat, juga mendapat kue serabi!” kata Ayah sambil tertawa tergelak.
“Semua itu gara-gara ayam berkokok terlalu pagi. Jadi Piyun terbangun,” ujar Piyun.

Aku senang memakai cerita seperti ini karena memang bisa saja terjadi di kenyataan, dengan muatan kata-kata yang mudah dan siap pakai. Dari judulnya “kepagian” bisa menjelaskan konfiks ke-an. Lalu kalimat pertama, bisa menceritakan soal beda bunyi-bunyian binatang di Jepang dan Indonesia. Yang lucunya waktu sampai kalimat “bulu tengkuknya berdiri”, aku juga rasa geli sendiri, membayangkan jika tengkuk kita berambut seperti kuda, dan jika berdiri lucu juga ya. Berdiri bulu tengkuk = bulu kuduk = bulu roma (sejak kapan ya roma ada di badan kita :D) bahasa Jepangnya Tori hada ga tatta. Nah, ini lebih lucu lagi, karena pakai perumpamaan “kulit (hada)  ayam (tori) berdiri” tapi bisa dibayangkan kulit ayam yang dicabuti bulunya kan memang mengerikan :D.

Nah, kemudian berlanjut sampai kata “bungkuk”, yang akhirnya aku jelaskan dengan “Si Bungkuk dari Notre Dame” (judul bahasa Inggrisnya :  The hunchbacked of Notre Dame) . Tapi sialnya cerita yang sama dalam bahasa Jepang judulnya menjadi Notre Dame no Kane  :ノートルダムの鐘、karena ” si bungkuk” bahasa Jepangnya semushi せむし dan itu merupakan kata-kata yang tidak sopan (henken 偏見 = prejudice) jadi tidak boleh dipakai. Jepang memang hebat deh, sedapat mungkin menghapus atau tidak menggunakan kata-kata yang mengandung prejudice dan menyakitkan hati yang mendengar. Perhatian Jepang terhadap penyandang cacat juga besar! (Bisa baca di sini)

Sambil menerangkan begitu, eh malah jadi membicarakan soal dongeng yang kadang sering tidak masuk akal. Menurutku cerita Si Bungkuk dari Notre Dame itu agak aneh, tapi ada satu lagi cerita yang aku baca waktu aku berusia 10 th dan aku ingat terus sampai sekarang yang amat aneh (tidak masuk di akal) menurutku yaitu Putri yang Sempurna atau bahasa Inggrisnya The Princess and The Pea. Masak ya bisa merasakan kacang polong yang ditimbun 20 kasur sih hehehe. Yah namanya juga dongeng, fiksi wajar jika tidak masuk di akal kan? Tapi ya gitu deh, aku suka dongeng dan fiksi tapi aku tetap tidak bisa menerima kalau terlalu jauh di luar nalar….dan itu juga yang menyebabkan aku tidak bisa menikmati Harry Potter :D. Eh iya, aku juga tidak suka Alice in the Wonderland tuh, membingungkan. Kata orang Jepang aku ini  kawaikunai かわいくない. hehehe.

Ada tidak dongeng atau cerita yang menurut kamu itu terlalu dibuat-buat? Atau kamu bisa menikmati semua dongeng atau fiksi begitu saja?